2141-Article Text-5290-1-10-20200310

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

DOI: http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2019-p.

520-529

Tingkah Laku Makan Domba Lokal Muda yang Diberi Pakan


dengan Level dan Sumber Protein Berbeda

(Eating Behavior of Young Local Sheep Fed with Different Feed


Levels and Sources of Protein)
Luthfi MF, Purnomoadi A, Adiwinarti R

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang


[email protected]

ABSTRACT

Early fattening is an attempt to produce low-fat meat and cholesterol by accelerating the
fattening phase. Early fattening should be supported by good quality feed that can be seen
from the content of crude protein (CP) of feed. Crude protein can be derived from vegetable
and animal protein sources. This study aimed to examine the effect of different levels and
sources of protein on eating behavior of local lamb. Twenty heads of local lamb aged 3-4
months, body weight (BW) of 13.03±2.30 kg (CV 17.65%). The study used a Completely
Randomized Design (CRD) 2×2 factorial pattern, there were two protein levels (13.36% and
15.20%) and two protein sources (soybean meal and fish meal) with 5 replications. The diet
was given adlibitum in pellet. Treatment was distinguished by 4 types of rations, T1 (13.13%
soybean meal), T2 (15.20% soybean meal), T3 (13.58% fish meal) and T4 (15.20% fish
meal). The parameters observed were eating time, rumination time and Dry Matter Intake
(DMI). The results showed that eating time (219.58 min/d), rumination time (163.00 min/d)
and DMI (641.77 g/d) are not significantly different at levels and protein sources. It is
concluded that giving different levels and sources of protein did not affect the eating behavior
of local lamb.
Key words: Eating behavior, protein levels, protein sources, local lamb

ABSTRAK

Penggemukkan dini merupakan upaya untuk menghasilkan daging rendah lemak dan
kolesterol dengan mempercepat fase penggemukkan. Penggemukkan dini harus didukung
dengan pakan yang berkualitas baik yang dapat ditinjau dari kandungan protein kasar (PK)
pakan. Protein kasar dapat berasal dari sumber protein nabati dan hewani. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan level dan sumber protein terhadap tingkah laku
makan domba lokal muda. Dua puluh ekor domba lokal jantan umur 3–4 bulan, Bobot Badan
(BB) 13,03±2,30 kg (CV 17,65%). Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola faktorial 2 2, terdapat dua level protein (13,36% dan 15,20%) dan dua sumber
protein (bungkil kedelai dan tepung ikan) dengan 5 ulangan. Pakan diberikan secara adlibitum
dalam bentuk pellet. Perlakuan dibedakan dengan 4 jenis ransum yaitu T1 (bungkil kedelai
13,13%), T2 (bungkil kedelai 15,20%), T3 (tepung ikan 13,58%) dan T4 (tepung ikan
15,20%). Parameter yang diamati adalah waktu makan, waktu ruminasi dan konsumsi bahan
kering (BK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu makan, ruminasi dan konsumsi BK
pada level dan sumber protein tidak berbeda nyata dengan nilai rata-rata seluruh perlakuan
yaitu 219,58 menit/hari, 163 menit/hari dan 641,77 g/hari. Disimpulkan bahwa pemberian
level dan sumber protein yang berbeda tidak mempengaruhi tingkah laku makan domba lokal
muda.
Kata kunci: Tingkah laku makan, level protein, sumber protein, domba lokal muda

532
Luthfi et al.: Tingkah Laku Makan Domba Lokal Muda yang Diberi Pakan dengan Level dan Sumber Protein

PENDAHULUAN

Penggemukkan dini pada domba merupakan upaya untuk menghasilkan daging


rendah lemak dan kolesterol dengan mempercepat fase penggemukkan (Purnomoadi
2018). Penggemukkan dini pada umumnya dilakukan pada domba muda umur 3–4 bulan
atau lepas sapih. Domba pada umur tersebut berada dalam fase pertumbuhan dipercepat
(Ilham 2017), sehingga masa penggemukkan akan menjadi lebih singkat karena
pertumbuhan tulang dan otot dapat maksimal. Salah satu jenis domba lokal yang
berpotensi untuk dilakukan penggemukkan dini yaitu domba ekor tipis (DET) karena
memiliki beberapa kelebihan antara lain mudah beradaptasi dengan lingkungan dan pakan
baru serta memiliki produktivitas yang tinggi. Proses penggemukkan dini harus ditunjang
dengan pemberian pakan yang berkualitas baik untuk mempercepat proses produksi.
Pakan yang berkualitas baik dapat dilihat dari kandungan nutriennya terutama
protein kasar (PK). Pakan harus mengandung PK yang cukup untuk kebutuhan hidup
pokok dan pertumbuhan. Domba muda membutuhkan PK yang lebih tinggi untuk
mendukung proses pertumbuhan yang cepat. Hasil penelitian Prima et al. (2016)
menggunakan DET jantan muda diperoleh hasil bahwa level PK yang terbaik adalah
14%.
Protein pakan dapat berasal dari sumber protein nabati dan hewani. Salah satu
sumber protein nabati dan hewani yang sering digunakan yaitu bungkil kedelai dan
tepung ikan. Penggunaan bungkil kedelai sebagai sumber protein untuk pakan ruminansia
dinilai masih kurang efisien karena tingkat degradasi protein bungkil kedelai di dalam
rumen dapat mencapai 75% (Uhi 2006). Tingkat degradasi protein yang tinggi dan tidak
diimbangi dengan pembentukan protein mikroba yang tinggi pula membuat protein tidak
dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh ternak untuk produksi. Alternatif untuk
menghindari kondisi tersebut yaitu mengganti penggunaan bungkil kedelai dengan tepung
ikan karena memiliki tingkat degradasi protein di dalam rumen yang lebih rendah yaitu
40% (Puastuti et al. 2008) serta merupakan sumber lemak dan mineral yang baik.
Level dan sumber protein yang berbeda dalam pakan diduga dapat mempengaruhi
proses pencernaan didalam mulut dan rumen. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku
makan ternak yang meliputi lama waktu ternak dalam mengkonsumsi dan meruminasi
pakan. Penelitian Riyanto et al. (2015) dengan menggunakan kambing kacang, pemberian
sumber protein yang berbeda menghasilkan waktu makan dan ruminasi yang berbeda.
Disamping itu, Sabilla et al. (2015) dengan menggunakan kambing kacang muda,
pemberian pakan dengan level PK berbeda menghasilkan waktu makan yang sama namun
ruminasi yang berbeda. Proses makan ternak meliputi pengambilan pakan menggunakan
mulut (prehensi), pengunyahan (mastikasi) dan proses salivasi yang kemudian penelanan
(deglutisi) menuju rumen untuk difermentasi. Pakan yang difermentasi kemudian
dikeluarkan (regurgitasi) dan dikunyah kembali (remastikasi) hingga menjadi partikel
yang mampu lolos dari rongga rumen untuk proses pencernaan pasca rumen. Tingkah
laku makan dapat memberikan informasi penting mengenai cara ternak mengkonsumsi
pakan dan jenis pakan yang paling disukai sehingga program pemberian pakan menjadi
lebih efisien (Goetsch et al. 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan dengan level
dan sumber protein yang berbeda terhadap tingkah laku makan domba lokal muda.
Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi tentang pengaruh
pemberian pakan dengan level dan sumber yang berbeda terhadap tingkah laku makan
domba lokal muda.

533
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2019

MATERI DAN METODE

Penelitian mengenai tingkah laku makan dan ruminasi domba ekor tipis jantan
muda yang diberi pakan dengan level dan sumber protein berbeda dilaksanakan pada
bulan Agustus–Desember 2018 di Laboratorium Ternak Potong dan Perah, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

Materi penelitian

Materi yang digunakan adalah 20 ekor domba lokal jantan umur 3-4 bulan dengan
rataan bobot badan awal 13,03±2,30 kg (CV= 17,65%). Pakan yang diberikan berupa
pakan komplit berbentuk pellet dengan kandungan nutrien 13,36% dan 15,20% PK yang
tersusun dari molases, gaplek, pucuk tebu, kulit singkong, bungkil kedelai, tepung ikan
dan mineral.
Domba yang digunakan dalam penelitian ini ditempatkan pada kandang individu
yang terbuat dari besi dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Timbangan
digital dengan merk SF-400 kapasitas 10 kg untuk menimbang pakan dengan ketelitian
0,001 kg. Mixer vertikal untuk mencampur bahan pakan dan peralatan sanitasi untuk
membersihkan kandang. Peralatan pendukung pengambilan data tingkah laku makan
adalah formulir isian manual tingkah laku makan dan stopwatch.

Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial 2 2 dengan kombinasi 4 perlakuan dan 5 ulangan. Faktor pertama adalah level
protein (A) dan faktor kedua sumber protein (B). Perlakuan yang digunakan adalah:
T1 (A1B1) = Pakan komplit dengan PK 13,13% dan menggunakan sumber protein
bungkil kedelai
T2 (A2B1) = Pakan komplit dengan PK 15,20% dan menggunakan sumber protein
bungkil kedelai
T3 (A1B2) = Pakan komplit dengan PK 13,58% dan menggunakan sumber protein
tepung ikan
T4 (A2B2) = Pakan komplit dengan PK 15,20% dan menggunakan sumber protein
tepung ikan

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien bahan pakan penelitian

A1B1 A2B1 A1B2 A2B2


Uraian
………………………(%)…………………………..
Komposisi bahan pakan
Gaplek 32,00 30,00 34,00 32,80
Pucuk Tebu 37,50 33,20 33,00 29,80
Kulit Singkong 1,50 3,00 1,80 1,30
Molases 8,00 7,40 8,00 7,30
Mineral 2,00 2,00 2,00 2,00
Bungkil Kedelai 19,00 24,4 - -
Tepung Ikan - - 21,20 26,80

534
Luthfi et al.: Tingkah Laku Makan Domba Lokal Muda yang Diberi Pakan dengan Level dan Sumber Protein

Total 100 100 100 100


Kandungan nutrien
BK 89,89 91,30 88,95 89,58
Dalam 100% BK :
Abu 14,16 14,34 11,45 18,62
PK* 13,13 15,20 13,58 15,20
LK* 1,15 1,99 2,76 6,41
SK* 14,45 11,99 12,85 12,63
BETN** 57,11 56,48 59,36 47,14
TDN*** 53,49 50,76 50,49 49,22
Keterangan : BK = Bahan Kering; SK = Serat Kasar; LK = Lemak Kasar; PK = Protein Kasar;
BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen; TDN = Total Digestible Nutrients.
Sumber : *) Hasil Analisis di Laboratorium Program Studi Pangan dan Gizi, Universitas
Gadjah Mada, 2018.
**) BETN = 100 - %abu - %LK - %PK - %SK
***) TDN = PK tercerna + (2,25 x LK tercerna) + SK tercerna + BETN tercerna

Prosedur penelitian

Penelitian dilakukan selama 9 minggu dengan pemberian pakan dan minum secara
adlibitum. Sanitasi kandang dilakukan setiap pagi dan sore hari untuk menjaga kebersihan
kandang. Pengambilan data tingkah laku makan dan ruminasi selama 3 x 24 jam atau
selama 3 hari yang dilakukan pada minggu ke-2 perlakuan. Data tingkah laku makan
diperoleh dari pengamatan secara manual dengan mengamati tingkah laku ternak, yaitu
eating (makan) dan rumination (ruminasi). Pengamatan dilakukan dengan mengisi
formulir tingkah laku makan per 5 menit. Data yang diperoleh selanjutnya dirata– rata
menjadi 24 jam.

Parameter penelitian

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah waktu makan dan ruminasi.
Parameter pendukung yaitu konsumsi bahan kering (BK) pakan selama 9 minggu.
Konsumsi BK (g) = Konsumsi pakan (g) kadar BK pakan (%)

Analisis data

Data hasil penelitian kemudian diolah dan dianalisis menggunakan analisis varians
pada taraf 5%. Apabila terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji Wilayah Ganda
Duncan. Model linear yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1991), adalah sebagai
berikut:

535
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2019

Yijk = μ + αi +βj + (αβ)ij + eijk


Keterangan:
I = Perlakuan perbedaan level protein (1,2)
J = Perlakuan perbedaan sumber protein (1,2)
K = Ulangan perlakuan (1,2,3,4,5)
Yijk = Tingkah laku makan pada petak percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor level Protein dan
taraf ke-j dari faktor sumber protein)
µ = Nilai tengah umum (rata-rata populasi) tingkah laku makan
Αi = Pengaruh aditif dari faktor level protein ke-i
Βj = Pengaruh aditif dari faktor sumber protein ke-j
(αβ)ij = Pengaruh interaksi faktor level protein ke-i dan faktor sumber
protein ke-j
Ɛijk = Pengaruh galat percobaan pada petak percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan ij

Kriteria pengujian

Kriteria pengujian untuk analisis varians adalah sebagai berikut:


1. Apabila F hitung yang didapat ≥F tabel dengan tingkat signifikasi 5% maka
pengaruh perlakuan nyata.
2. Apabila F hitung yang didapat <F tabel pada tingkat signifikasi 5%, maka
dikatakan pengaruh perlakuan tidak nyata.

Hipotesis statistik

Hipotesis statistik dari penelitian ini adalah :


H0: Tidak ada pengaruh pemberian level protein dan sumber protein yang berbeda
terhadap tingkah laku makan dan ruminasi domba lokal muda.
H1: Terdapat pengaruh pemberian level protein dan sumber protein yang berbeda
terhadap tingkah laku makan dan ruminasi domba lokal muda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan statistik tidak menunjukkan interaksi (P>0,05) antara perlakuan


terhadap konsumsi bahan kering (BK), waktu makan dan waktu ruminasi. Perlakuan level
dan sumber protein berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap konsumsi BK, waktu
makan dan waktu ruminasi. Hasil analisis ragam konsumsi BK, waktu makan dan waktu
ruminasi ditampilkan pada Tabel 2.

536
Luthfi et al.: Tingkah Laku Makan Domba Lokal Muda yang Diberi Pakan dengan Level dan Sumber Protein

Tabel 2. Konsumsi bahan kering (BK), waktu makan dan waktu ruminasi

PK (%)
Parameter Sumber Protein Rata-rata
13,36 15,20
Bungkil Kedelai 708,16 684,38 696,27
Konsumsi BK
Tepung Ikan 566,24 608,30 587,27
(g/hari)
Rata-rata 637,20 646,34
Bungkil Kedelai 197,33 197,67 197,50
Waktu makan
Tepung Ikan 214,33 269,00 241,67
(menit/hari)
Rata-rata 205,83 233,33
Bungkil Kedelai 170,00 147,33 158,67
Waktu ruminasi
Tepung Ikan 169,67 165,00 167,33
(menit/hari)
Rata-rata 169,83 156,17
Keterangan: a, b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Konsumsi bahan kering (BK)

Hasil perhitungan konsumsi BK selama penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-


rata seluruh perlakuan sebesar 641,77 g/hari. Konsumsi BK yang tidak berbeda nyata
(P>0,05) menunjukkan bahwa pakan dengan level protein berbeda memiliki pallatabilitas
yang sama sehingga memacu ternak untuk terus mengkonsumsi pakan sesuai dengan
kebutuhan energi dan kapasitas rumennya. Orskov (1988) menyatakan bahwa ternak akan
berhenti makan ketika rumennya telah penuh terisi pakan. Hasil tersebut sejalan dengan
penelitian Prima et al. (2019) bahwa domba yang diberi pakan dengan level protein
berbeda (14,16 dan 18%) menghasilkan konsumsi BK yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Pemberian pakan dengan sumber protein berbeda tidak mempengaruhi (P>0,05)
konsumsi BK. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan tepung ikan pada taraf yang tinggi
yaitu 26,8% tidak menurunkan palatabilitas pakan. Hasil ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan Marjuki (2008) bahwa penggunaan tepung ikan hingga 15% dapat
menyebabkan rendahnya palatabilitas pakan karena aromanya yang tajam. Penyajian
dalam bentuk pellet diindikasikan berpengaruh terhadap pallatabilitas tepung ikan karena
dalam proses pembuatan pellet terjadi proses pemanasan dan penekanan (pressing)
sehingga meminimalisasi aroma amis pada tepung ikan.

Waktu makan

Hasil perhitungan waktu makan menunjukkan nilai rata–rata seluruh perlakuan


sebesar 219,58 menit/hari. Waktu makan tersebut lebih lama dari penelitin Prima et al.
(2018) pada DET yang diberi pakan terbatas 3,5% BB menghasilkan waktu makan
182,41 menit/hari. Galvani et al. (2010) yang dikutip oleh Sharifabadi et al. (2016)
menyatakan bahwa pemberian pakan yang tidak dibatasi (ad libitum) memberikan waktu
makan yang lebih lama. Level protein pakan yang berbeda (13,36 dan 15,20%) tidak
berpengaruh (P>0,05) terhadap waktu makan. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian
Pembayun et al. (2013) dengan menggunakan kambing Kacang, pemberian pakan dengan
level protein berbeda (9,20%, 11,67% dan 18,33%) menghasilkan waktu makan yang

537
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2019

sama. Hal tersebut dapat diduga disebabkan karena kandungan serat kasar (SK) yang
hampir sama pada PK 13,36 dan 15,20% (Tabel 1). Adiwinarti et al. (2019) menyatakan
bahwa semakin banyak asupan serat kasar maka akan semakin lama waktu mengunyah.
Sumber protein yang berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap waktu makan.
Ukuran partikel yang kecil dari bungkil kedelai dan tepung ikan, menyebabkan luas
permukaan yang sama sehingga diduga menghasilkan tingkat kunyahan yang sama.
Disamping itu, penyajian pakan dalam bentuk pellet diduga juga memberikan tingkat
kunyahan yang sama. Lee et al. (2010) menyatakan bahwa bentuk fisik pakan dan
karakteristik pakan mempengaruhi waktu makan.

Waktu ruminasi

Hasil perhitungan waktu ruminasi menunjukkan nilai rata–rata seluruh perlakuan


sebesar 163 menit/hari. Waktu ruminasi yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
mengindikasikan bahwa laju pakan dalam rumen sama. Cardoso et al. (2017) menyatakan
bahwa waktu ruminasi dapat digunakan untuk menentukan laju pakan di dalam saluran
pencernaan. Perlakuan level protein 13,36 dan 15,20% diduga tidak mempengaruhi waktu
ruminasi karena konsumsi BK yang dihasilkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Konsumsi
BK berpengaruh terhadap banyaknya produk fermentasi dalam rumen. Bata & Sodiq
(2014) menyatakan bahwa produk fermentasi dalam rumen dipengaruhi oleh tingkat
konsumsi BK pakan. Jumlah produk fermentasi yang sama menyebabkan bolus yang
dikeluarkan untuk remastikasi sama sehingga waktu ruminasi sama.
Perlakuan sumber protein berbeda tidak mempengaruhi (P>0,05) waktu ruminasi.
Tepung ikan sebagai sumber protein bypass tidak memacu ternak melakukan proses
ruminasi lebih cepat. Dartosukarno et al. (2012) juga menyatakan bahwa waktu ruminasi
lebih dipengaruhi oleh banyaknya total pakan yang diruminasi daripada kualitas atau
komposisi pakan. Tinggi rendahnya degradasi protein diduga tidak berpengaruh terhadap
degradasi partikel pakan sedangkan ruminasi akan berhenti ketika partikel pakan dapat
lolos dari rongga rumen sehingga tidak terjadi proses regurgitasi dan remastikasi. Ferreira
et al. (2011) menyatakan bahwa ukuran partikel minimum yang merangsang kegiatan
ruminasi atau remastikasi yaitu 1,18 mm.

Pola aktivitas makan dan ruminasi

Pola aktivitas makan dan ruminasi ditampilkan pada Ilustrasi 1 dan 2. Pola aktivitas
makan dan ruminasi berbanding terbalik dimana saat aktivitas makan tinggi maka
aktivitas ruminasi rendah dan sebaliknya. Meskipun setiap perlakuan memiliki waktu
makan yang berbeda namun menghasilkan fluktuatif yang hampir sama. Pada grafik, T4
cenderung memiliki waktu makan yang lebih tinggi dari T1, T2 dan T3 namun secara
statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal tersebut diduga karena kandungan tepung ikan
pada pakan yang tinggi sehingga waktu makan cenderung lebih lama karena tepung ikan
memiliki rasa asin sehingga ternak lebih sering mengeluarkan saliva untuk menetralisir
rasa asin.

538
Luthfi et al.: Tingkah Laku Makan Domba Lokal Muda yang Diberi Pakan dengan Level dan Sumber Protein

25,00

20,00

15,00 T1
Menit

10,00 T2
T3
5,00
T4
0,00
01:00
02:00
03:00
04:00
05:00
06:00
07:00
08:00
09:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
18:00
19:00
20:00
21:00
22:00
23:00
00:00
Jam

Gambar 1. Pola aktivitas makan domba lokal muda yang diberi pakan dengan level dan
sumber protein berbeda

Pola aktivitas ruminasi menunjukkan bahwa aktivitas ruminasi meningkat pada jam
0:00–6:00. Hal tersebut diduga pada jam 19:00-0:00 ternak mengkonsumsi banyak pakan
sehingga menghasilkan produk fermentasi yang tinggi. Peningkatan proses ruminasi
tersebut juga digunakan ternak untuk proses homeostatis karena diduga pada jam 0:00–
6:00 suhu lingkungan sangat rendah.
20,00

15,00

T1
Menit

10,00
T2
5,00 T3
T4
0,00
01:00
02:00
03:00
04:00
05:00
06:00
07:00
08:00
09:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
18:00
19:00
20:00
21:00
22:00
23:00
00:00

Jam

Gambar 2. Pola aktivitas ruminasi domba lokal muda yang diberi pakan dengan level dan
sumber protein berbeda

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan dengan


level dan sumber protein berbeda tidak mempengaruhi tingkah laku makan domba lokal
muda.

539
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2019

DAFTAR PUSTAKA

Adiwinarti R, Lestari CMS, Purnomoadi A. 2019. Feeding behaviour and drinking activities
of Kacang goat fed high and low fiber diets. IOP Conf Ser Earth Environ Sci. 247:1-5.
Bata M, Sodiq A. 2014. Tingkah laku makan sapi Peranakan Ongole yang diberi pakan
berbasis jerami padi amoniasi dengan metode pemberian yang berbeda. J Agripet. 1:17-
24.
Dartosukarno S, Iskandar S, Purnomoadi A. 2012. Effect of level of concentrate feeding level
on efficiency of eating behaviour on ongole crossbred cattle. J Indones Trop Anim
Agric. 37:22-26.
Ferreira EM, Pires AV, Susin I, Mendes CQ, Gentil RS, Araujo RC, Loerch SC. 2011.
Growth, feed intake, carcass characteristics, and eating behavior of feedlot lambs fed
high-concentrate diets containing soybean hulls1. J Anim Sci. 89:4120-4126.
Galvani DB, Pires CC, Wommer TP, Oliveira F, Santos MF. 2010. Chewing patterns and
digestion in sheep submitted to feed restriction. J Anim Physiol Anim Nutr. 94:e366–
e373.
Goetsch AI, Gibson TA, Askar AR, Puchala R. 2010. Feeding behavior of goat. J Anim Sci.
88:361-373.
Ilham F. 2017. Pertumbuhan pra dan pascasapih domba lokal pada padang penggembalaan di
musim yang berbeda. Yogyakarta (Indonesia): Zahir Publishing.
Lee S, Kim Y, Oh Y, Kwak W. 2010. Effects of feeding methods of total mixed ration on
behavior patterns of growing Hanwoo steers. Asian-Aust J Anim Sci. 23:1469-1475.
Marjuki. 2008. Penggunaan tepung ikan dalam pakan konsentrat dan pengaruhnya terhadap
pertambahan bobot badan kambing betina. J Ternak Tropika. 9:90-100.
Orskov ER. 1988. The feeding of ruminant principles and practice. Marlow (USA): Chalombe
Publisher.
Pembayun IH, Purnomoadi A, Dartosukarno S. 2013. Tingkah laku makan kambing kacang
yang duberikan pakan dengan level protein-energi berbeda. J Anim Agric. 2:31-36.
Prima A, Purbowati E, Rianto E, Purnomoadi A .2019. The effect of dietary protein levels on
body weight gain, carcass production, nitrogen emission, and efficiency of productions
related to emissions in thin-tailed lambs. Vet World. 12:72-78.
Prima A, Luthfi N, Rianto E, Purnomoadi A. 2016. Body weight gain and feed efficiency of
young thin - tailed sheep raised under intensive feeding at different level of protein.
International Conference on Tropical Animal Science and Production. Bangkok. p. 283-
286.
Prima A, Rianto E, Purbowati E, Purnomoadi A. 2018. Indirect evaluation of digestive tract
function on male lambs and ram based on feed digestibility and eating behavior. JITAA.
43:124-130.
Puastuti W, Mathius IW. 2008. Respon domba yang mendapat ransum dengan sumber protein
berbeda: tinjauan pada komposisi kimia tubuh dan pertumbuhan wool. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (Indonesia): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Purnomoadi A. 2018. Early fattening lamb could mitigate methane productiont-an example of
climate smart livestock farming system in Indonesia. IOP Conf Ser Earth Environ Sci.
119:1-9.

540
Luthfi et al.: Tingkah Laku Makan Domba Lokal Muda yang Diberi Pakan dengan Level dan Sumber Protein

Riyanto A, Adiwinarti R, Dartosukarno S, Purnomoadi A. 2015. Effisiensi untuk waktu


makan dun ruminasi kambing kacang yang diberi pakan dengan sumber protein yang
berbeda. Dalam: Solihati N, et al., penyunting. Prosiding Seminar Nasional Peternakan
Berkelanjutan 7. Sumedang (Indonesia): Universitas Padjajaran. hlm. 340–344.
Sabilla AM, Rianto E, Purnomoadi A. 2018. pengaruh pemberian pakan dengan kadar protein
yang berbeda terhadap waktu makan dan ruminasi pada kambing kacang muda. Dalam:
Sarjana TA., Karno, Sugiharto, penyunting. Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan
Peternakan III. Semarang (Indonesia): Universitas Diponegoro. hlm. 559-563.
Sharifabadi RH, Naserian AA, Valizadeh R, Nassiry MR, Bottje WG, Redden R R.2016.
Growth performance, feed digestibility, body composition, and feeding behavior of
high– and low–residual feed intake fat-tailed lambs under moderate feed restriction1. J
Anim Sci. 94:3382-3388.
Uhi HT. 2006. Perbandingan suplemen katalitik dengan bungkil kedelai terhadap penampilan
domba. JITT. 6:1-6.

541

You might also like