Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana Untuk Kegiatan Ekowisata

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

BERDASARKAN KONSEP TRI HITA


KARANA UNTUK KEGIATAN EKOWISATA*

I Wayan Runa**

Abstract

Balinese society has from a long time ago managed


and developed their land based on environmentally
friendly principles. These principles have been inspired by
implementations of the Balinese Tri Hita Karana conception. This
article attempts to explain various spatial developments relating
to ecotourism activities that are founded by Tri Hita Karana
values and practices. It constructs its arguments by conducting
an intensive literature study to review relevant hypotheses and
concepts proposed by scholars in the field. The article concludes
that ecotourism is a form of environmentally friendly tourist
developments and is seen to be the most sustainable model
for future’s tourism. The article completes its conclusion by
underlining that for its success, ecotourism related development
practices should be first understood. It then should come with
a certain framework and standard for its implementations. Best
practices pertaining to the ecotourism development should be
certified and accessible by public and others parties involved. In
addition to these remarks, the article conclusively proposes Tri
Hita Kharana conception as a framework that offers guidance
for sustainably developed ecotourism. This local concept also
provides direction as to how its development and its impact on
spatial development can be approached and managed, especially
to the case of Bali.

Key Words: Sustainable Development, Local Wisdom, Tri Hita


Karana, Ecotourism.
_____________
* Tulisan ini awalnya merupakan makalah yang disampaikan pada Seri Seminar
Arsitektur ke-2 dengan tema “Perencanaan Kota Ekowisata”, Sabtu, 12 Mei 2012
di Hotel Nikki/Hotel Puri Ayu, Denpasar.
** Guru Besar Konservasi Arsitektur, Arsitek Madya IAI Bali dan Dosen Fakul-
tas Teknik Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Warmadewa Denpasar.
Email: [email protected]

JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012 149
I Wayan Runa

1. Pendahuluan

D unia saat ini sedang mengalami persoalan lingkungan


hidup yang besar mencakup ledakan jumlah penduduk,
berkurangnya sumber daya alam (SDA), perubahan iklim
global, kepunahan tumbuhan dan hewan, kerusakan habitat,
peningkatan polusi, dan kemiskinan. Permasalahan nyata yang
dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia adalah
terjadinya bencana alam banjir, longsor, letusan gunung berapi,
gempa bumi, dan tsunami. Secara statistik, bencana alam di
seluruh Indonesia tahun 2005 – 2006 mencatat 330 bencana banjir
dengan 528 korban jiwa, 69 bencana tanah longsor dengan 127
korban jiwa, 7 bencana letusan gunung berapi, 241 gempa bumi
dengan 5839 korban jiwa.
Seiring dengan perjalanan waktu, kondisi sda yang makin
berkurang atau langka adalah minyak, air, dan udara bersih. Pada
saat yang sama ketergantungan akan sda itu makin meningkat
atau sangat dibutuhkan. The economists said that is good .....the price
goes up? Bertemunya kedua kondisi/kepentingan itu tentu akan
sangat membahayakan bagi kelangsungan peradaban di bumi.
Air menyusun lebih dari 2/3 permukaan bumi, kurang dari
0.5% tersedia untuk digunakan manusia. Kekurangan air untuk
minum dan sanitasi sering disebabkan oleh ketidakefisienan
suplai dan pelayanan daripada kekurangan air. Masalah -
masalah di atas dipercaya oleh berbagai ahli ditimbulkan oleh
pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Perkembangan ekowisata di Bali yang sangat signifikant
adalah pembentukan MEI di Bali 1996, prinsip dan kriteria
September 2002, prinsip dan kriteria ekowisata nasional 2006,
yang lain-lain seperti Alas Kedaton, Wenara Wana, Sangeh, JED
oleh Yayasan Wisnu, Sua Bali, Terumbu Karang Pemuteran,
Les, Pendakian Gunung Batur. Kini istilah ekowisata banyak
diplesetkan pemakaiannya menjadi wisata alam.
Masyarakat Bali sejak dahulu memiliki kearifan dalam
mengelola lingkungan atau mengembangkan lahan secara

150 JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012
Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana ...

komprehensif berdasarkan konsep Tri Hita Karana. Tulisan berikut


ini akan mencoba memaparkan secara garis besar pembangunan
(pengembangan lahan) berkelanjutan berdasarkan konsep Tri
Hita Karana untuk kegiatan ekowisata.

2. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pem­
bangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat) yang berprinsip
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pe­
menuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundtland Report,
1987). Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan
dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan
berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial,
dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan
erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari
jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa
menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain,
konsep pertumbuhan ekonomi itu sendiri bermasalah, karena
sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.
Emil Salim (1980 dalam Anonim, 1992) menyatakan bahwa
konsep pembangunan berkelanjutan mengandung arti bahwa
dalam setiap gerak pembangunan harus mempertimbangkan
aspek lingkungan. Pembangunan adalah suatu proses jangka
panjang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dari satu generasi ke generasi, dalam kurun waktu yang tidak
terbatas.
Pembangunan berlanjut untuk Bali tidak hanya mem­
pertimbangkan kesinambungan sumber daya alam sebagai
kebutuhan dasar untuk hidup, tetapi juga kesinambungan
sumber daya budaya (dari nilai dan legenda sampai upacara dan
bangunan kuno). Akan tetapi, pertimbangan kesinambungan
budaya tidak akan menghalangi adanya kemungkinan
perubahan penampilan budaya dari waktu ke waktu, karena

JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012 151
I Wayan Runa

budaya itu bersifat dinamis. Untuk mendukung pembangunan


berlanjut (PBB, 1991 dalam Anonim, 1992) maka ada tujuh
kriteria yaitu keutuhan ekologi, efisiensi, pemerataan, keutuhan
budaya, komunitas, keseimbangan, dan pembangunan sebagai
perwujudan potensi yang ada.
Pertanian merupakan dasar perekonomian Bali, tetapi
lahan pertanian mengalami penurunan terus menerus. Penyebab
utamanya adalah perluasan kota dan perubahan lahan yang
berkaitan dengan pariwisata. Pertumbuhan penduduk dan
meningkatnya jumlah wisatawan telah men­dorong peningkatan
jumlah limbah terutama di kota Denpasar. Masalah atau tekanan
yang lain di daerah perkotaan berkaitan dengan kualitas air dan
kerusakan terumbu karang.
Sejak tahun 1990-an di dunia internasional telah
berkembang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau
Strategic Environmental Assessment (SEA). KLHS merupakan suatu
proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan
dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan
dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis. KLHS
merupakan penyempurnaan dari AMDAL sebagai instrumen
lingkungan hidup yang sudah ada sebelumnya. Jika AMDAL
hanya hadir pada tingkat proyek, maka KLHS ada pada
Kebijakan, Rencana, dan atau Program (KRP) pembangunan.

Aspek-aspek Pembangunan Berkelanjutan


World Summit on Sustainable Development Johannesburg,
South Africa, 26 Agustus - 4 September 2002 menyimpulkan
6 (enam) aspek terkait dengan pembangunan berkelanjutan
seperti perubahan iklim, penanggulangan bencana, ke­ragaman
biologi, keragaman budaya, pengetahuan indigenous atau
pengetahuan lokal, dan kesetaraan gender. Berikut ini uraian
lebih detail keenam aspek itu.
Perlu pemahaman dan perhatian semua pihak terhadap
dampak pemanasan global. Meningkatkan “climate literacy”

152 JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012
Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana ...

para angkatan muda. Merubah sikap dan perilaku terhadap


kecenderungan berkaitan dengan perubahan iklim. Pendekatan
pembelajaran inovatif dengan mengintegrasikan pendidikan
perubahan iklim dalam sekolah.
Menumbuhkan pemikiran kritis pemecahan masalah dan
keterampilan hidup sosial untuk pemberdayaan kelompok
terkena bencana. Pendidikan interdisipliner dan holistik untuk
membentuk masyarakat fleksibel. Pendidikan interdisipliner
dan holistik untuk membentuk masyarakat fleksibel. DRR
berlandaskan hubungan antar masyarakat, lingkungan, ekonomi
dan budaya serta dampaknya. Berkembang suatu perspektif
jangka panjang dalam proses pembuatan keputusan, berpikir
kritis, pendekatan holistik dan inovatif dalam pemecahan
masalah
Karagaman biologi terdiri atas gen, spesies, ekosistem dan
lansekap. Aktivitas manusia, peningkatan populasi, perubahan
iklim global akan mengurangi keragaman biologi dalam
ekosistem. Diperlukan pemahaman akademik, pengembangan
skill, adopsi sikap dan perilaku yang kondusif untuk
mempertahankan keragaman biologi.
“Our rich diversity….is our collective strength.” (Johannesburg
Declaration, 2002). Ragam budaya dunia menkreasi suatu rajutan
yang sangat bernilai. Ragam skills dan nilai-nilai kemanusiaan
sebagai pengetahuan masa lalu penting untuk mengisi hidup
dimasa datang. Ragam budaya merupakan media utama menuju
pengembangan berkelanjutan untuk individu, komunitas,
dan bangsa. Pendidikan ragam budaya perlu untuk saling
menghormati, melindungi, dan menjaga keragaman budaya
dunia sekarang dan dimasa datang
Pengetahuan indigenous (lokal) dalam perspektif pem­
bangunan berkelanjutan dapat diintegrasikan ke dalam program
pendidikan pada berbagai level sejauh relevan. Pengetahuan
lokal termasuk bahasa adalah bagian dari keragaman dan
sumber daya utama untuk memahami dan memanfaatkan

JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012 153
I Wayan Runa

lingkungan secara baik. Budaya mesti dihargai sebagai konteks


hidup yang dinamis, dimana manusia mendapatkan nilai-
nilai dan identitasnya. Tri Hita Karana sebagai indigenous
knowledge mengatur hubungan manusia dengan pencipta,
antar manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Diskriminasi sering memperlemah ikatan masyarakat.
Wanita sering di luar pengambil keputusan keluarga
dan masyarakat. Penguatan wanita adalah krusial untuk
pengembangan berkelanjutan dan mengurangi kemiskinan.
Kesehatan sebagai dampak dari aktivitas manusia dan cerminan
hubungan manusia dengan lingkungan dan karakteristik
keseharian hidupnya. Perlu promosi kesehatan dengan
memberikan kemampuan manusia dalam meningkatkan
pengendalian dan perbaikan kesehatan.
Pendidikan, pengurangan kemiskinan dan kehidupan
berkelanjutan saling berkaitan. Kemiskinan dipengaruhi oleh
lingkungan dan sosio- ekonomik yang tidak baik. Pendidikan
yang relevan mempunyai kekuatan untuk mentransformasi
kehidupan masyarakat.
Sebagai dampak dari aktivitas manusia, kesehatan
cerminan hubungan manusia dengan lingkungan dan
karak­teristik keseharian hidupnya. Selanjutnya perlu
promosi kesehatan yang memberikan kemampuan kepada
manusia dalam meningkatkan pengendalian dan perbaikan
kesehatannya. Pendidikan adalah cara baik untuk melakukan
perubahan perilaku berkenaan dengan kesehatan. Kelaparan,
malnutrisi, malaria, water-borne diseases, drug and alcohol abuse,
violence and injury, unplanned pregnancy, HIV and AIDS and other
sexually transmitted infections adalah hanya beberapa masalah
yang berkaitan dengan kemiskinan.
Pada zaman golabalisasi konsumen sebagai aktor kuat
dalam ekonomi dunia. Pilihan keseharian sebagai konsumen
berpengaruh terhadap pekerja-pekerja di tempat lain yang jauh
dan cara hidup masyarakat. Konsumsi berkelanjutan berarti

154 JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012
Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana ...

membeli sesuatu baik barang dan jasa yang tidak merusak ling­
kungan, masyarakat, dan ekonomi. Konsumsi adalah entry point
yang baik untuk mengajarkan pengembangan berkelanjutan.
Skema pembangunan berkelanjutan pada titik temu
tiga pilar tersebut, Deklarasi Universal Keberagaman Budaya
(UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan
berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa keragaman budaya
penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman
hayati bagi alam. Dengan demikian pembangunan tidak hanya
dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai
alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan
spiritual. Dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan
kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan
berkelanjutan.
Beberapa riset memulai dari definisi ini untuk berargumen
bahwa lingkungan merupakan kombinasi dari alam dan
budaya. Mereka mengintegrasikan kapasitas multidisiplin
dan menerjemahkan keragaman budaya sebagai kunci pokok
strategi baru bagi pembangunan berkelanjutan. Beberapa
peneliti lain melihat tantangan sosial dan lingkungan sebagai
kesempatan bagi kegiatan pembangunan. Hal ini nyata di dalam
konsep keberlanjutan usaha yang mengkerangkai kebutuhan
global ini sebagai kesempatan bagi perusahaan privat untuk
menyediakan solusi inovatif dan kewirausahaan. Pandangan
ini sekarang diajarkan pada beberapa sekolah bisnis yang salah
satunya dilakukan di Center for Sustainable Global Enterprise at
Cornell University.
Pembangunan hijau pada umumnya dibedakan dari
pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan Hijau
lebih mengutamakan keberlanjutan lingkungan diatas
pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung pembangunan
berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan
konteks bagi keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran
mutakhir dari Pembangunan Hijau sulit diwujudkan. Sebagai

JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012 155
I Wayan Runa

contoh, pembangunan pabrik dengan teknologi pengolahan


limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi
sulit untuk dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumber daya
keuangan yang terbatas.
Divisi PBB mendaftar beberapa lingkup sebagai bagian
pembangunan berkelanjutan yaitu Pertanian, Atmosfer,
Keanekaragaman Hayati, Biotekhnologi, Pengembangan
Kapasitas, Perubahan Iklim, Pola Konsumsi dan Produksi,
Demografi, Penggurunan dan Kekeringan, Pengurangan dan
Manajemen Bencana, Pendidikan dan Kesadaran, Energi,
Keuangan, Hutan, Air Minum, Kesehatan, Pemukiman, Indikator,
Industri, Informasi bagi Pembuatan keputusan dan Partisipasi,
Pembuatan Keputusan yang terintegrasi, Hukum Internasional,
Kerjasama Internasional memberdayakan lingkungan,
Pengaturan Institusional, Pemanfaatan lahan, Kelompok Besar,
Gunung, Strategi Pembangunan Berkelanjutan Nasional,
Samudera dan Laut, Kemiskinan, Sanitasi, Pengetahuan Alam,
Pulau kecil, Wisata Berkelanjutan, Tekhnologi, Bahan Kimia
Beracun, Perdagangan dan Lingkungan, Transport, Limbah
(Beracun), Limbah (Radio aktif), Limbah (Padat), serta Air.
Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang
ambigu, dimana pandangan yang luas berada di bawah
naungannya. Konsep ini memasukkan pemahaman keberlanjutan
lemah, keberlanjutan kuat, dan ekolog mendalam. Konsep
yang berbeda juga menunjukkan tarik ulur yang kuat antara
eko(lingkungan)sentrisme dan antropo(manusia)sentrisme.

3. Prinsip-Prinsip Dan Kriteria Ekowisata Nasional


Ekowisata adalah penyelenggaraan kegiatan wisata yang
bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-
daerah yang dibuat berdasarkan kaedah alam, yang mendukung
upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya),
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Ekowisata adalah pariwisata ramah lingkungan yang menjadi

156 JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012
Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana ...

trend ke depan. Hal itu harus diikuti dengan pemahaman


konsep, penetapan standar, dan sertifikasi yang semuanya itu
menjadi kompetisi di era global. Sertifikasi membantu karena
konsumen mudah memilih, mendorong perbaikan berlanjut,
menjaga lingkungan, kontribusi terhadap masyarakat lokal dan
konservasi, serta meningkatkan profit.
Sesuai dengan hasil lokakarya dalam Pelatihan
Ekowisata Nasional di Bali 25-26 Agustus 2006 maka ada 9
(sembilan) prinsip ekowisata yaiyu:
1. Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi
keagamaan masyarakat setempat.
2. Memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap
konservasi alam dan warisan budaya.
3. Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada
wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan
kecintaanya terhadap alam.
4. Edukasi: ada proses pembelajaran dialogis antara masyarakat
dengan wisatawan.
5. Pengembangannya harus didasarkan atas persetujuan
masyarakat setempat melalui musyawarah.
6. Memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi serta
sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap
masyarakat setempat.
7. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen.
9. Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat
sehingga sesuai dengan harapan pemasaran yang bertanggung
jawab.

Selanjutnya setiap prinsip dijabarkan kedalam beberapa


kriteria sesuai dengan uraian berikut ini.
Prinsip 1 (Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan
tradisi keagamaan masyarakat setempat), kriterianya adalah:
(a). Sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep
masyarakat setempat, seperti Tri Hita Karana: memperhatikan
keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan),
hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan), hubungan

JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012 157
I Wayan Runa

antara manusia dengan lingkungan (palemahan).


(b). Pembangunan dan operasional disesuaikan dengan tata krama,
norma setempat dan kearifan lokal.
(c). Keberadaan dan kegiatan objek ekowisata tidak mengganggu
aktivitas keagamaan masyarakat setempat.

Prinsip 2 (Memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung


jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya),
kriterianya adalah:
(a). Tercapainya keseimbangan pemanfaatan lahan.
(b). Penggunaan teknologi ramah lingkungan.
(c). Pemanfaatan areal warisan budaya sebagai objek ekowisata
disesuaikan dengan peruntukkan dan fungsinya.
(d). Melestarikan keanekaragaman hayati dan cagar budaya sesuai
dengan daya dukung setempat.
(e). Memperhatikan keberadaan endemisitas.

Prinsip 3 (Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang


kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan
kecintaanya terhadap alam), kriterianya adalah:
(a). Menyediakan pramuwisata profesional dan berlisensi.
(b). Menyediakan fasilitas pendukung dan informasi yang memadai
terkait dengan objek ekowisata.
(c). Melibatkan lembaga adat setempat.

Prinsip 4 (Edukasi: ada proses pembelajaran dialogis antara


masyarakat dengan wisatawan), kriterianya adalah:
(a). Melibatkan unsur akademis, pemerhati lingkungan, serta lembaga
terkait (langsung atau tidak langsung).
(b). Memberikan pemahaman mengenai keanekaragaman hayati,
cagar budaya dan nilai-nilai budaya lokal.
(c). Menumbuhkan kesadaran dan kecintaan terhadap alam dan
budaya.

Prinsip 5 (Pengembangannya harus didasarkan atas per­


setujuan masyarakat setempat melalui musyawarah),
kriterianya adalah:

158 JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012
Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana ...

(a). Perencanaan, pengembangan, pengelolaan dan pengawasannya


perlu mendapat persetujuan masyarakat setempat.
(b). Melakukan koordinasi dengan masyarakat setempat dalam
setiap tahap pengembangannya.
(c). Melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan
keputusan yang berdampak luas terhadap masyarakat,
lingkungan, dan perusahaan.

Prinsip 6 (Memberdayakan dan mengoptimalkan par­tisipasi


serta sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu
terhadap masyarakat setempat), kriterianya adalah:
(a). Memprioritaskan pemanfaatan tenaga kerja lokal sesuai dengan
keahlian.
(b). Memprioritaskan pemanfaatan produk lokal untuk operasional
objek ekowisata.
(c). Melibatkan lembaga adat/tradisional serta tokoh masyarakat
setempat.

Prinsip 7 (Mentaati peraturan perundang-undangan yang


berlaku), kriterianya adalah:
(a). Mentaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
(b). Mentaati dan menghormati kearifan lokal yang dianut
masyarakat setempat.

Prinsip 8 (Secara konsisten memberikan kepuasan kepada


konsumen), kriterianya adalah:
(a). Memberikan pelayanan informasi yang akurat kepada konsumen.
(b). Menyediakan fasilitas dan memberikan pelayanan prima
kepada konsumen.
(c). Memanfaatkan masyarakat setempat sebagai local guide.
(d). Menyediakan fasilitas dan media untuk memperoleh umpan
balik dari konsumen.

Prinsip 9 (Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan


akurat sehingga sesuai dengan harapan / pemasaran yang
bertanggung jawab), kriterianya:
(a). Materi pemasaran harus akurat, jelas, berkualitas, dan sesuai
dengan kenyataan.

JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012 159
I Wayan Runa

(b). Materi pemasaran harus melalui media promosi yang dipilih


sesuai dengan target market.

4. Konsep dan Kriteria Tri Hita Karana DTW


Secara terminologis, tri berarti tiga, hita (sejahtera/
bahagia), karana (sebab). Jadi, Tri Hita Karana berarti tiga unsur
atau lapisan penyebab timbulnya kebahagiaan, atau tiga faktor
untuk mewujudkan kesejahteraan hidup lahir dan batin.
Di lingkungan Bali (Hindu), ketiga lapisan itu (Bapedalda,
2012) meliputi Parhyangan (lingkungan/lapisan dan nilai-
nilai spiritual), Pawongan (lingkungan/lapisan sosio-kultural),
Palemahan (lingkungan/lapisan fisik-alamiah).
Konsep Tri Hita Karana yang lebih mendalam dikemukakan
oleh Kaler (1982). Ketiga lapisan/unsur itu diidentifikasi sebagai
jiwa, tenaga, dan fisik. Kemudian pada bhuana alit (manusia)
ketiga unsur itu adalah atma, prana dan sarira, sedangkan pada
buana agung (alam raya) adalah paramatma (Hyang Widhi), prana
(tenaga alam), dan panca mahabhuta (tanah, air, api/sinar, udara,
ether). Di dalam sebuah desa, ketiga unsur itu adalah bhatara (zat
gaib-Nya), krama desa (anggota masyarakat), dan tanah wilayah
desa termasuk daerah pemukiman, pura, serta kuburan.
Yayasan Tri Hita Karana telah menjabarkan lebih detail
konsep Tri Hita Karana ini menjadi beberapa kriteria pada
berbagai kelompok fungsi bangunan, seperti hotel, daerah
tujuan wisata, kantor, kampus, sekolah menengah, rumah sakit,
dan swalayan. Setiap tahun yayasan ini juga telah memberikan
penghargaan berupa Tri Hita Karana Awards and Accreditation.
Bobot penilaian terbesar (40 %) diberikan pada faktor pawongan,
sedangkan faktor parhyangan dan palemahan masing-masing
sebesar 30%. Hal ini terjadi karena faktor manusia memegang
peranan penting bagi terciptanya keseimbangan bidang par­
hyangan dan palemahan. Kedepan penentuan bintang hotel salah
satunya juga ditentukan oleh penilaian Tri Hita Karana ini.
Sebagai salah satu contoh untuk akreditasi Daerah Tujuan

160 JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012
Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Konsep Tri Hita Karana ...

Wisata (DTW) tahun 2012 secara keseluruhan ada 61 uraian


(pernyataan) sebagai kriteria Tri Hita Karana DTW. Bidang
Parhyangan terdiri atas 18 kriteria, bidang Pawongan terdiri
atas 22 kriteria, dan bidang Palemahan terdiri atas 21 kriteria.
Selanjutnya setiap kriteria itu dijabarkan menjadi 5 uraian check
list atau tolak ukur penilaian.
Contoh kriteria bidang Palemahan DTW yaitu idealnya
DTW memiliki batas-batas yang jelas. Idealnya DTW memiliki
fasilitas/kawasan parkir. Idealnya DTW memiliki kantor pengelola
yang baik beserta kelengkapan fasilitas P3K dan komunikasi.
Idealnya DTW memiliki: (i) media informasi tentang objek (mis:
brosur); (ii) usaha penunjang objek (mis: art shop, warung, dll);
(iii) loket penjualan tiket; (iv) pintu masuk dan pintu keluar yang
berbeda; dan (v) ruang tunggu yang nyaman di kawasan DTW.
Idealnya seluruh bangunan di DTW ini mencerminkan arsitektur
tradisional Bali. Idealnya dipergunakan/memanfaatkan bahan-
bahan lokal dalam arsitektur bangunan di DTW. Idealnya DTW
punya taman yang mencerminkan unsur-unsur panca mahabuta.
Idealnya DTW memiliki ruang terbuka hijau (RTH), minimal
3/9 bagian dari luas objek. Idealnya DTW selalu bersih. Idealnya
DTW selalu aman. Idealnya DTW wajib memiliki tanaman
langka. Idealnya DTW melakukan efisiensi penggunaan air
bersih. Idealnya DTW harus ada sistem pengelolaan sampah
yang memadai. Idealnya DTW memiliki wc dan kamar mandi
yang bersih. Idealnya DTW melakukan efesiensi penggunaan
listrik. Idealnya DTW melakukan efisiensi penggunaan air
bersih. Idealnya pengelola DTW pernah berpartisipasi dalam
kegiatan pelestarian lingkungan di sekitarnya. Idealnya DTW
punya program/misi khusus yang bermanfaat bagi pelestarian
lingkungan. Idealnya DTW pernah memperoleh penghargaan
yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup. Idealnya
aktivitas kerja di DTW tidak mengganggu kenyamanan
lingkungan di sekitarnya. Idealnya DTW punya IPAL/STP dan
berfungsi dengan baik.

JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012 161
I Wayan Runa

5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
ekowisata merupakan kegiatan pariwisata yang ramah ling­
kungan. Hal ini nampaknya akan menjadi trend pariwisata ke
depan atau menjadi salah satu ajang kompetisi di era global.
Kegiatan ekowisata semestinya dibarengi dengan pemahaman
konsep (prinsip dan kriteria) yang benar, penetapan standar,
dan sertifikasi. Penjabaran dan penyempurnaan terus menerus
kearifan tradisional yang berkaitan dengan konsep Tri Hita
Karana menjadi penting untuk membumikan pembangunan
(pengembangan lahan) berkelanjutan di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1992, Strategi Pembangunan Berlanjut Bali, Proyek


Pembangunan Bali Berlanjut, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta Indonesia dan Universitas Waterloo, Waterloo
Ontario bekerjasama dengan Universitas Udayana Denpasar
Bali, University Consortium on the Environment.
Anonim, 2001, Permukiman Untuk Pengembangan Kualitas Hidup
Secara Berkelanjutan, Bahan Sidang Kabinen, 13 Desember
2001, Jakarta.
Anonim, 2002, World Summit on Sustainable Development,
Johannesburg, South Africa, 26 August- 4 September 2002.
Bapedalda Provinsi Bali dan Bali Travel News, 2012, Buku Panduan Tri
Hita Karana, Yayasan Tri Hita Karana, Denpasar.
Gunawan Tanuwidjaja, 2010, Pengembangan Perangkat Evaluasi Lahan
(Alit) untuk Negara-negara Berkembang Dengan Studi Kasus
Pulau Bintan Indonesia, Email: [email protected].
Kaler, I G.K., 1982, Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali 2, Bali Agung,
Denpasar.
United Nations Division for Sustainable Development, 2007,
Documents: Sustainable Development Issues Retrieved, 05-12-
2007.

162 JURNAL KAJIAN BALI Volume 02, Nomor 01, April 2012

You might also like