Syamil: Konsep Integrasi Ilmu Dalam Pandangan Ismail Raji Al-Faruqi
Syamil: Konsep Integrasi Ilmu Dalam Pandangan Ismail Raji Al-Faruqi
Syamil: Konsep Integrasi Ilmu Dalam Pandangan Ismail Raji Al-Faruqi
Syamil
pISSN: 2339-1332, eISSN: 2477-0027
2015, Vol. 3 No. 1
Abstract
The development of science grows rapidly. However, this phenomenon raises a huge
impact for Muslims. It has been our behavior that distinguish between Moslem Science
and other knowledge. There is a discriminative treatment against the two types of
science. Muslims are divided into those who have positive perception of the Islamic
sciences, and negative to other, or vice versa. Based on the reality, Al-Faruqi says that
there is no other way to raise Islam, except to reassess the culture of Islamic scholarship
in the past, present and modern scholarship as well, and then process them into
scientific to be a mercy to the world through what called "integrated science". From the
background, the purposes of this study are 1) To know the concept of science integration
Ismail Raji al-Faruqi sight. 2) To know the method implementation of the science
integration concept in Ismail Raji al-Faruqi sight. This research uses descriptive-
analysis method. Descriptive method tries to explain the concepts of Ismail Raji al-
Faruqi thought about the science integration. While the analysis technique used is a
combination among deductive, inductive, and interpretation. After the research
completed, it could be concluded that the Science Integration Concepts in Ismail Raji
al-Faruqi sight shows us that science is not value-free and must be based on the method
of monotheism. Tauhid principle should be the basic or the main foundations in the
development of science in Islam. So that, it shows us to the development of community
beneficial. The idea of science Islamisation is one solution to overcome the people
problems. The ideas are implemented in 12- work plan steps in Science Islamisation
program.
A. Pendahuluan
Pada dasarnya ilmu pengetahuan digunakan untuk menjawab atau
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sehingga dengan
majunya ilmu pengetahuan, tingkat kesejahteran hidup manusia akan meningkat.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada empat dasarwarsa terakhir banyak
diwarnai oleh para filosof baik Barat maupun Timur, telah menjadikan ilmu
pengetahuan yang terlalu rasionalistik pada gilirannya menghampakan
manusia.1
Krisis ilmu pengetahuan modern ini telah sampai pada krisis landasan
filososifs. Pondasi epistemologi positivisme-rasionalisme yang digunakan ilmu
pengetahuan modern sebagai topangan berfikir secara lambat laun tapi pasti
telah meniadakan keberadaan nilai terutama nilai agama atau menihilkan
keberadaan Tuhan. Hal ini didukung dengan pernyataan bahwa ilmu yang
obyektif itu bebas nilai. Dengan istilah yang lain, di tengah-tengah umat manusia
sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme, ternyata
membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi
mentalitas zaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu tema bagi
kehidupan modern. Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya, sebagai dikutip Syafiq
A. Mughni menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai The Plight Of Modern
Man, nestapa orang-orang modern.2
Banyaknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan dewasa ini yang santer
didengungkan oleh kalangan intelektual Muslim di antaranya Sayyed Hossein Nasr,
pencetus pertama kali ide Islamisasi sains. Sains Islami menurutnya tidak akan
dapat diperoleh kecuali dari intelek yang bersifat Ilahiyah dan bukan akal manusia.
Kedudukan intelek di hati, bukan di kepala, karena akal tidak lebih dari pantulan
ruhaniyah. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk mengakses yang sacral
dan ilmu pengetahuan sakral tetap sebagai jalan kestuan utama dengan realitas,
dimana kebenaran dan kebagahagiaan disatukan.
Sedangkan menurut Naquib al-Attas, bahwa, langkah yang paling efektif
dalam melakukan integrasi keilman adalah melalui Islamisasi bahasa. Islamisasi
bahasa menurutnya, sesungguhnya telah ditunjukkan oleh Alqur’an sendiri dalam
Surat al-„Alaq (96) : 1-5. Kosakata dasar Islam inilah yang meproyeksikan
pandangan dunia khas Islami dalam pikiran kaum Muslim. Ziauddin Sardar,
mengidentifikasikan cara perumusan epistemologi Islam dengan merumuskan
paradigma ilmu pengetahuan, yaitu dengan menitikberatkan pada konsep, prinsip
dan nilai Islam penting yang berhubungan dengan pengkajian khusus, selain itu,
merumuskan paradigma tingkah laku, dengan jalan menentukann batasan etik
dimana para ilmuwan Muslim bisa bekerja secara bebas.
1
F. Nashori, Membangun Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 15.
2 Mughni Syafiq A, Nilai-Nilai Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 95.
3 Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer : Sejarah Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam
Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/Juli-September, 2005),
h. 99-118.
kebenaran, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia.7 Jelasnya, sains modern
telah lepas atau melepaskan diri dari nilai-nilai teologis.8
Perceraian sains modern dari nilai-nilai teologis ini memberikan dampak
negatif. Pertama, dalam aplikasinya, sains modern melihat alam beserta hukum
dan polanya, termasuk manusia sendiri, hanya sebagai sesuatu yang bersifat
material dan insidental yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Karena itu,
manusia bisa mengeksploitir kekayaan alam tanpa memperhitungkan nilai-nilai
spiritualitas. Kedua, secara metodologis, sains modern ini, tidak terkecuali ilmu-
ilmu sosialnya, menjadi sulit diterapkan untuk memahami realitas sosial
masyarakat muslim yang mempunyai pandangan hidup berbeda dari Barat.9
Sementara itu, keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan
nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa
memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang
dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya
global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi
konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan
mengedepankan ketaatan fanatik terhadap shari>‟ah (fiqh produk abad
pertengahan). Mereka menganggap bahwa shari>‟ah (fiqh adalah hasil karya yang
telah paripurna, sehingga segala perubahan dan pembaharuan atasnya adalah
penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid`ah. Mereka
melupakan sumber utama kreatifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan
ketertutupannya.10
Sikap sebagian ilmuwan muslim tersebut, pada akhirnya juga
menimbulkan pemisahan wahyu dari akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan
pemisahan pemikiran dari kultur, sehingga menimbulkan stagnasi keilmuan
dikalangan mereka.11 Artinya, dampak negatif yang terjadi dari sikap-sikap
“keras kepala” sebagian ilmuan Islam sendiri sesungguhnya tidak kalah
membahayakannya dibanding apa yang ada dalam sains modern. Kenyataannya,
menurut al-Faruqi, di sekolah, akademi maupun universitas, tidak pernah terjadi
seperti sekarang di mana seorang ilmuan muslim begitu berani mengemukakan
tesa-tesa yang bisa dianggap tidak Islami, dan tidak sehebat sekarang acuhnya
pemuda muslim terhadap agamanya.12
7 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka,
1995), h. 55.
8 Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik Sekapur Sirih Nurcholis Madjid, (Jakarta: Teprit, 1993), h.
63.
9 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Vol. I, (Jakarta, Jambatan, 1992), h. 242.
10 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi…h. 41.
11 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi…h. 43.
12 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi…h. 12
Berdasarkan realitas seperti itu, menurut al-Faruqi13, tidak ada cara lain
untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan
mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan
modern Barat sekaligus, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang
rahmatan lil „ālamīn, melalui apa yang disebut “integrasi ilmu” yang kemudian
13 Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986) dilahirkan di Jaffa, sebuah kota di tepi pantai selatan
Palestina, (sekarang berada diwilayah Israel). Al-Faruqi berasal dari sebuah keluarga yang terpandang,
pada tanggal 1 Januari 1921. Al-Faruqi dibesarkan di wilayah Palestina yang tidak pernah surut didera
konflik melawan Israel. Sebagai seorang keturunan Arab Palestina tampaknya al-Faruqi mewarisi karakter
kuat tradisi Arab Palestina yang gigih berjuang untuk membebaskan bangsanya dari pendudukan Israel.
Dan dia menjadi salah seorang penentang gigih Zionisme. Hingga kematiannya al-Faruqi berpendapat
bahwa Negara Israel harus dirobohkan, dan rakyat Palestina berhak melakukan aksi melawan mereka,
Lihat Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, Edisi Indonesia, Atlsa
Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2000), h. 6.
Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese,Libanon sejak 1926 sampai 1936. Ia kemudian
melanjutkan pendidikan tinggi di The American University, Beirut, tempat ia memperoleh gelar BA-nya
pada tahun 1941. Ia lalu masuk dalam pemerintahan, dan pada umur 24 tahun pada tahun 1945
menjadi gurbernur Galilee, arah kehidupan masa depannya sudah mantap.
Semuanya tiba-tiba terhenti dengan dibentuknya Negara Israel pada tahun1948, dan al-
Faruqi menjadi salah satu dari ribuan pengungsi Palestina yang berimigrasi bersama keluarganya ke
Lebanon. Pada masa ini kehidupan dan karirnya sebagai pemimpin di Palestina berakhir, seperti orang
Palestina lainnya. Ia kemudian beralih ke dunia akademik untuk membangun kembali hidup dan
karirnya. Amerika menjadi tempat pelatihan tempat ia menyiapkan diri dengan mencapai gelar master di
Indiana dan Harvard dan pada tahun 1952 mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana. Al-
Faruqi mengalami masa-masa sulit, selain trauma diasingkan dari negrinya juga perjuangan untuk terus
hidup dan membiayai pendidikannya.
Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktoral dalam filsafat barat, langkanya
kesempatan kerja dan juga dorongan batin membawanya kembali ke akar dan warisan
kecendekiawanan Islamnya. Ia meninggalkan Amerika menuju Kairo, tempat ia selama empat tahun
dari tahun 1954 sampai 1958, mempelajari Islam di Universitas terkenal di Kairo yaitu Al-Azhar.
Sekembalinya dari Kairo ke Amerika Utara, ia menjadi profesor tamu studi-studi Islam di Institut
Studi Islam dan menjadi mahasiswa tingkat doktoral penerima beasiswa pada Fakultas Teologi di
Uneversitas McGill dari tahun 1959 sampai 1961, tempat ia belajar tentang Kristen dan Yahudi. Ia lalu
memulai karir profesionalnya sebagai guru besar studi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di
Karachi dari tahun 1961 sampai 1963. Selama setahun berikutnya ia setelah kembali ke Amerika,
ia menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago. Pada tahun 1964, ia
memperoleh posisi permanen penuh pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada
Universitas Syracuse. Ia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968 untuk menjadi guru
besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang didudukinya sampai ia wafat pada tahun
1986, lihat Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, Edisi Indonesia,
Atlsa Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2000), h. 6.
Selain mengajar, al-Faruqi juga mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada
1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga
tersebut memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya
pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social Scientist. Ke dua lembaga yang
didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu sosial Islam. Apa yang dilakukannya itu
karena keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang telah sekuler dan jauh dari tauhid.
Kemudian dia juga menelurkan konsep dan teori-teori agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan
jauh di luar etika, melalui konsep Islamisasi Ilmu dan Paradigma tauhid dalam pendidikan dan
pengetahuan.
Terjemahnya:
“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-
gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan”.
B. Landasan Teori
Ilmu pengetahuan diartikan para tokoh sebagai kumpulan dari
pengetahuan-pengetahuan yang tersusun secara sistematis, bisa diukur, diuji dan
diamati. Ilmu pengetahuan ini berada dalam posisi benar atau salah, yang
merupakan kajian dari ilmu pengetahuan secara subtansinya. Dalam sudut
pandang filsafat ilmu yang juga menjadi tolak ukur bahwa apa yang dijadikan
objek tersebut bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat
ilmu ini ada tiga hal yang menjadi dasar tolak ukur sebuah objek dikatakan
sebagai ilmu pengetahuan. Yakni, Ontologi, Epstimologis dan Aksiologi.
Mengenai munculnya integrasi ilmu tersebut, pertama-tama dapat
dipahami sebagai upaya membangun suatu pandangan dan sikap yang positif
terhadap kedua jenis ilmu (ilmu agama-ilmu umum) yang sekarang
berkembang di dunia Islam. M. Amir Ali kemudian memberikan pengertian
integrasi keilmuan: Integration of sciences means the recognition that all true knowledge is
from Allah and all sciences should be treated with equal respect whether it is scientific or
revealed. 15
Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa
14 Ziauddin Sardar, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam”, dalam Jihad Intelektual, terj.
semua ilmu harus diperlakukan dengan hormat yang sama apakah itu ilmiah atau mengungkapkan, lihat Nasim Butt,
Sains…h. 74-75.
semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from
Allah).16 Dengan pengertian yang hampir sama Usman Hassan menggunakan
istilah "knowledge is the light that comes from Allah ".17Bagi al-Faruqi, mengakui
Ketuhanan Tuhan dan Keesaan berarti mengakui kebenaran dan kesatupaduan.18
Pandangan al-Faruqi ini memperkuat asumsi bahwa sumber kebenaran yang
satu berarti tidak mungkin terjadi adanya dua atau lebih sumber kebenaran. Ini
sekaligus menjadi bukti bahwa integrasi keilmuan memiliki kesesuaian dengan
prinsip tauhid.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian literer atau kepustakaan
karena penelitian ini dilakukan dengan, menganalisis buku-buku sebagai sumber
penelitian, dengan pendekatan historis dan filosofis. Dengan metode pengumpulan
datanya adalah metode dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu a) Sumber Data Primer, yakni sumber-sumber
yang memberikan data langsung dari sumber asli, baik yang berbentuk dokumen
maupun sebagai peninggalan lain. 19 yaitu Islamization of Knowledge: General Principles
and Workplan (1982) oleh Ismail Raji al-Faruqi, b) Sumber Data Sekunder, yakni
sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber-sumber data primer.
Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini metode deskriptif-
analitis, dengan model Miles and Hubberman (1996).
2005), h. 150.
dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomis. Dan
nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam Islam yaitu tauhid.
2. Kesatuan Ciptaan
Kesatuan ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang
material, psikis, spasial (ruang), biologis, sosial maupun estetis, adalah
kesatuan yang integral. Masing-masing saling kait dan saling
menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah) untuk
mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Namun, bersamaan dengan itu, Dia
juga menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga mereka bisa
mengubah polanya dan mendayagunakannya demi kesejahtaraan umat.
Berdasarkan hal ini, dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka
setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan
sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepada-Nya. Ini berbeda
dengan prinsip keilmuan barat, di mana sejak abad 15, mereka sudah tidak
lagi berterima kasih pada Tuhan melainkan hanya pada dirinya sendiri dan
untuk kepentingannya sendiri. Mereka memisahkan pengetahuan dari
prinsip teologis dan agama.34
4. Kesatuan Hidup
Menurut al-Faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam:
a) Berupa hukum alam (sunnatullāh) dengan segala regularitasnya yang
memungkinkan diteliti dan diamati, materi.
b) Berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum
ini berjalan seiring, senada dan seirama dalam kepribadian seorang
Muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat
spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.
5. Kesatuan Manusia
Tata sosial Islam, menurut a l - Faruqi adalah universal, mencakup
seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim tidak disebut
bangsa, suku atau kaum melainkan umat. Pengertian umat bersifat trans
lokal dan tidak ditentukan oleh pertimbangan geografis, ekologis, etnis,
warna kulit, kultur dan lainnya, tetapi hanya dilihat dari sisi taqwanya.
Meski demikian, Islam tidak menolak adanya klasifikasi dan stratifikasi
natural manusia ke dalam suku, bangsa dan ras sebagai potensi yang
dikehendaki Tuhan. Yang ditolak dan dikutuk Islam adalah faham
ethnosentrisme, karena hal ini akan mendorong penetapan hukum, bahwa
kebaikan dan kejahatan hanya berdasarkan ethnisnya sendiri, sehingga
dilihat dari perspektif Islam. Begitu pula laporan ini harus dapat
memberikan kecerahan dibeberapa bidang permasalahan yang
memerlukan perbaikan, penambahan, perubahan atau penghapusan
Islami.43
D. Kesimpulan
Berdasarkan pada deskripsi yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut, Pertama, konsep integrasi ilmu
dalam pandangan Ismail Raji al-Faruqi adalah menuang kembali seluruh
khazanah sains Barat dalam kerangka Islam yang prakteknya adalah usaha
penulisan kembali buku-buku teks dan berbagai disiplin ilmu dengan wawasan
ajaran Islam dengan meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid. Al-
Faruqi menetapkan lima program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu, yaitu:
a) Penguasaan disiplin ilmu modern, b) Penguasaan khazanah Islam, c)
Menentukan relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu, d) Mencari
cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu-ilmu
modern, e) Mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai
pemenuhan pola rancana Allah swt. Al-Faruqi meletakkan pondasi
epistemologinya pada “prinsip tauhid” yang terdiri lima macam kesatuan, yaitu: 1)
Keesaan (kesatuan) Tuhan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, 2) Kesatuan
ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang material, psikis, spasial
(ruang), biologis, sosial maupun estetis, adalah kesatuan yang integral, 3)
Kesatuan kebenaran dan pengetahuan. Kebenaran bersumber pada realitas, dan
jika semua realitas berasal dari sumber yang sama, Tuhan, 4) Kesatuan hidup.
Menurut Faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam: (a) berupa hukum
alam (sunnatullah) dengan segala regularitasnya yang memungkinkan diteliti dan
diamati, materi; (b) berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua
hukum ini berjalan seiring, senada dan seirama dalam kepribadian seorang
muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual
dan material, antara jasmani dan ruhani, 5) Kesatuan manusia. Tata sosial
Islam, menurut Faruqi adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa
terkecuali. Kelompok muslim tidak disebut bangsa, suku atau kaum
melainkan umat.
Kedua, Adapun metodologi implementasi konsep integrasi dalam
pandangan Ismail Raji al-Faruqi, yakni dengan menyusun 12 langkah kerja yang
secara kronologis harus ditempuh adalah: 1) Penguasaan disiplin ilmu modern,
2) Survei disiplin ilmu, 3) Penguasaan khazanah Islam, 4) Penguasaan
khazanah ilmiah Islam tahap analisa, 5) Penentuan relevansi Islam yang khas
terhadap disiplin-disiplin ilmu, 6) Penilaian kritis terhadap disiplin
keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini, 7) Penilaian
kritis terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini, 8)
Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, 9) Survei permasalahan yang
dihadapi manusia, 10) Analisa sintesa kreatif dan sintesa, 11) Penuangan
kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam, buku-buku dasar
tingkat universitas, 12) Penyebaran ilmu-ilmu yang telah diislamkan.
Implementasi kerja Ismail Raji al-Faruqi untuk islamisasi ilmu
pengetahuan dengan lima sasarannya dan dua belas langkah sistematis yang pada
akhirnya mengarah pada islamisasi ilmu pengetahuan pada intinya bahwa, disiplin
BIBLIOGRAPHY
Taufik, Akhmad, dkk.(2005), Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Ed. 1.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Taqi, Muhammad, Misbah. (1996), Monoteisme Tauhid sebagai sistem Nilai dan
Akidah Islam. Terjemahan oleh M. Hashem dari At Tauhid or Monotheisme:
asin the ideological and the value Systems of Islam. Jakarta: Lenterabastitama.
Turmudi, dkk. (2006) , Islam, Sains dan Teknologi Menggagas Bangunan Keilmuan
Fakultas Sains dan Teknologi Islam Masa Depan. Malang: UIN Maliki Press.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. (2003), Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas. Bandung: Mizan.
Zainuddin, M. (2003), Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikiran Islam. Malang: Bayu Media.