Laporan Kasus SACG Dan Katarak Kongenital Pada Aniridia

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

0

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG

Laporan Kasus : Glaukoma Sekunder dengan Sudut Tertutup dan Katarak


Kongenital pada Kasus Aniridia
Penyaji : Intan Ekarulita
Pembimbing :Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K), MKes

Telah diperiksa dan disetujui oleh


Pembimbing

Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K), MKes

Senin, 21 Desember 2020


Pukul 08.15 WIB
1

Secondary Angle Closure Glaucoma and Congenital Cataract Associated


with Aniridia

Abstract
Introduction: Aniridia often asssociated with glaucoma and congenital cataract.
Glaucoma in aniridia typically develops by rotating the rudimentary iris stump anteriorly
and cover the trabecular meshword progressively. Once the angle closed, surgery may be
required for intraocular pressure (IOP) control.
Purpose: To present a case of aniridia with glaucoma and cataract that was treated by
combined surgery.
Case report: A male-29-years old came to Glaucoma Unit of National Eye Center Cicendo
Eye Hospital with chief complain of ocular pain in both eyes and radiating to his head for
2 weeks ago. He has also complained of blurry vision without redness. He has photophobia
and involuntary eye movement since child. The IOP were 46 mmHG in right eye and 36
mmHg in left eye. The biomicroscopic examination revealed aniridia with rudimentary iris
especially in inferior, lens coloboma, and lens opacity with superior subluxation in both
eyes. Throughout examinations preceding, the patient was diagnosed with bilateral
secondary angle closure glaucoma, aniridia, and congenital cataract. Combined surgery
with 5FU as an antimetabolite in right eye was done as the chosen management to this
patient.
Conclusion: Combined surgery (trabeculectomy and lens extraction) is one of the surgical
sellection to reduce IOP in angle closure glaucoma with aniridia patient.
Keywords: glaucoma, aniridia, angle closure glaucoma, congenital cataract.

I. PENDAHULUAN
Aniridia adalah bentuk hipoplasia iris atau gangguan perkembangan stroma
iris secara difus. Aniridia dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, trauma mata,
dan komplikasi dari operasi mata. Secara global, insidensi aniridia terjadi 1 kasus
dari 64.000 kehidupan dan kurang lebih dua pertiga kasus adalah genetik. Aniridia
dapat terjadi secara kongenital dan didapat. Aniridia kongenital bukan hanya terjadi
secara dominan autosomal dan resesif autosomal, namun dapat juga terjadi secara
sporadik.1,2
Aniridia dapat terjadi oleh adanya kegagalan perkembangan neuro-
ektodermal dan neural crest pada mesenkimal. Kasus aniridia yang terjadi secara
dominan autosomal berkaitan kuat dengan mutasi gen PAX6 tanpa memiliki faktor
resiko terhadap tumor Wilms. Kasus aniridia tanpa adanya riwayat penyakit yang
sama pada keluarganya, berkaitan dengan mutasi gen yang berdampak pada lokus
WT dan AN2 sehingga memiliki resiko 20-30% terjadinya tumor Wilms.1-3

1
2

Pasien dengan aniridia memiliki keterbatasan penglihatan serta berkaitan


dengan kondisi mikrokornea, katarak dan nistagmus yang dapat muncul saat lahir
atau pada masa perkembangannya, serta hipoplasia nervus optik dan fovea. Banyak
kasus aniridia masih memiliki pangkal iris yang imatur. Pangkal iris kemudian
berkembang secara progresif dan berotasi sehingga menutup sawar trabekular, hal
tersebut menyebabkan sudut menjadi tertutup oleh sinekia.2-4
Diagnosis glaukoma pada kasus aniridia ditegakkan berdasarkan tanda dan
gejala, pemeriksaan oftalmologis, dan pemeriksaan penunjang. Penegakan
diagnosis dan terapi yang tepat pada pasien dapat mencegah perkembangan
kerusakan saraf optik yang dapat mengancam penglihatan.2 Laporan kasus ini
bertujuan untuk memaparkan kasus glaukoma sekunder dengan sudut tertutup dan
katarak kongenital pada kasus aniridia.

II. LAPORAN KASUS


Pasien Tn. D usia 29 tahun datang pada tanggal 16 November 2020 ke Pusat
Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo poliklinik glaukoma dengan
mengeluhkan nyeri kepala sebelah kanan sejak 2 minggu yang lalu. Nyeri kepala
dirasakan hilang timbul seperti tertekan dari mata hingga ke kepala kanan dengan
skala 4 dari 10. Tidak ada perasaan mual dan muntah. Pasien meminum obat
warung untuk pereda nyeri kepala. Pasien mengeluhkan pandangan buram, silau,
dan bola mata yang bergerak-gerak sejak kecil. Pasien memiliki keterbatasan pada
ekstremitas atas dan bawah. Pasien berobat ke RSUD Banjar dengan keluhan nyeri
mata dan dirujuk ke poli glaukoma PMN RS Mata Cicendo dengan diagnosis
glaukoma ODS + aniridia ODS + nistagmus ODS. Pasien menyangkal adanya mata
merah, gangguan pendengaran, keluhan nyeri berkemih atau cuci darah, penurunan
berat badan, riwayat gigi lubang berulang, riwayat trauma, riwayat keluarga dengan
glaukoma, dan riwayat penggunaan obat-obatan kortikosteroid. Tidak ada riwayat
penggunaan kacamata, lensa kontak, ataupun operasi mata. Pasien lahir di Banjar
oleh bidan dengan berat badan lahir normal dan langsung menangis. Ibu pasien
menyangkal mengalami penyakit saat masa kehamilan. Ibu pasien mengaku sempat
depresi dan meminum obat yang diakui sebagai obat penghilang nyeri. Sejak lahir
3

ibu pasien sudah menyadari mata terdapat bintik putih. Pandangan dirasakan
semakin memburuk ketika kelas 3 SD, pasien harus duduk di paling depan. Pasien
menempuh pendidikan hingga lulus SMK dan saat ini bekerja sebagai karyawan
toko.

Gambar 2.1. Gambar susunan keluarga pasien. Pasien anak terakhir dari 3
bersaudara. Saudara laki-laki pasien meninggal karena penyakit
jantung di usia dewasa. Tidak ada riwayat penyakit keluarga yang
serupa dengan pasien.
Pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada status generalis tampak
normal kecuali terdapat phocomelia dan ectrodactyly pada ekstremitas atas serta
ectrodactyly pada ektremitas bawah sebelah kanan. Pemeriksaan bentuk wajah,
palatum, gigi, dan telinga dalam batas normal. Pemeriksaan tajam penglihatan dasar
mata kanan 0.05 pin hole (ph) 0.1, dan mata kiri 0.1 ph 0.16. Pemeriksaan tekanan

Gambar 2.2. Foto klinis pasien pada hari pertama kedatangan. Terdapat klinis
normokornea, malformasi pada bagian tengah autopod tangan kiri dan
kaki kanan (ectrodactyly), serta hilangnya segmen tengah dari
ektremitas (pochomelia) pada tangan kanan.
Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo
4

intraokular (TIO) aplanasi tonometri (ATN) Goldman mata kanan 46 mmHg dan
mata kiri 36 mmHg. Pasien memiliki gejala nistagmus. Gerak bola mata kanan dan
kiri baik ke segala arah. Pemeriksaan lampu celah biomikroskopi mata kanan dan
kiri didapatkan palpebra dan konjungtiva tenang. Kornea tampak jernih dengan
diameter horisontal 11 mm. Pemeriksaan Van Herick pada bilik mata depan dan
flare dan sel sulit dievaluasi. Pemeriksaan pupil dan iris didapatkan adanya aniridia.
Pemeriksaan lensa terdapat gambaran koloboma lensa, agak keruh pada bagian
kortikal lensa, dan subluksasi ke superior.

A
OD OS

B
OD OS

Gambar 2.3. Foto klinis mata pasien. A) Pada kedua mata terdapat gambaran aniridia
dengan pangkal rudimentari iris dibagian inferior serta gambaran
koloboma lensa dengan katarak kongenital. B) Foto hasil pemeriksaan
gonisokopi mata pasien dengan menggunakan lensa Sussman. Terdapat
gambaran garis schwabe pada keempat kuadran sudut mata kanan dan
kiri.
Dikutip dari: PMN RS Mata Cicendo
5

Pemeriksaan gonioskopi didapatkan garis schwabe pada keempat kuadran.


Pemeriksaan segmen posterior pada mata kanan didapatkan media agak keruh,
papil ukuran sedang, bulat membayang, kesan lebar rima papil tidak sesuai dengan
aturan ISNT, kesan CD ratio 0.5, serta terdapat cupping. Pemeriksaan segmen
posterior pada mata kiri didapatkan media agak keruh, papil ukuran sedang, bulat
dengan batas tegas, kesan lebar rima papil tidak sesuai dengan aturan ISNT, kesan
CD ratio 0.7, serta terdapat cupping. Evaluasi makula dan daerah perifer sulit
dinilai.

OD OS

Gambar 2.4. Foto funduskopi segmen posterior pasien. Gambar tidak menunjukan
adanya kelainan kongenital pada papil. Terdapat gambaran cupping
pada papil mata kanan dan kiri.
Dikutip dari: PMN RS Mata Cicendo

Hasil pemeriksaan laboratorium pasien dalam batas normal. Hasil


pemeriksaan ureum dan kreatinin dalam batas normal. Pemeriksaan optical
coherence tomography (OCT) papil dan pemeriksaan lapang pandang Humphrey
tidak dapat dilakukan. Pasien didiagnosis dengan glaukoma sekunder sudut tertutup
ODS + aniridia ODS + katarak kongenital ODS. Terapi medikamentosa yang
diberikan adalah tetes mata timolol maleat 0.5% 2 x ODS, asetazolamid 3x250 mg
per-oral, dan kalium-l-aspartat 1x1 tablet per-oral. Pasien direncanakan untuk
dioperasi dan dipasangkan glaucoma drainage device (GDD) dan ekstraksi lensa
dengan mempertimbangkan pemasangan lensa intraokular (IOL) OD dalam bius
umum.
6

Evaluasi dan pemeriksaan persiapan operasi pada tanggal 3 Desember 2020,


pasien hanya mengeluhkan penglihatan masih buram pada kedua mata. Status
generalis dalam batas normal. Pemeriksaan tajam penglihatan dasar mata kanan
0.08 ph 0.1, dan mata kiri 0.1F ph 0.2. Pemeriksaan TIO dengan ATN mata kanan
22 mmHg dan kiri 22 mmHg. Gerak bola mata kanan dan kiri baik ke segala arah.
Pemeriksaan lampu celah biomikroskopi mata kanan dan kiri didapatkan palpebra
dan konjungtiva tenang. Pemeriksaan kornea, bilik mata depan, pupil, iris, dan lensa
tampak sama. Tatalaksana pasien diganti menjadi combined (trabekulektomi +
ekstraksi lensa OD) + 5FU dengan mempertimbangkan pemasangan IOL dalam
bius sedasi.
Pada tanggal 4 Desember 2020 dilakukan tindakan combined (trabekulektomi
+ ekstraksi lensa OD) + 5FU +/- IOL OD. Durante operasi dilakukan tindakan
pengukuran diameter kornea dengan kaliper pada mata kanan, kemudian dilakukan
bius subtenon dan jahitan traksi kornea. Tindakan dilanjutkan dengan peritomi pada
konjungtiva dan tenon superior serta kauterisasi untuk menghentikan perdarahan.
Pemberian 5FU pada subkonjungtiva dan subtenon dilakukan selama 2 menit.
Pembuatan flap sklera dilakukan di area superior dengan ukuran 4x3 mm. Tindakan
parasentesis dilakukan pada area temporal dengan keratom dan insisi side port,
kemudian dilanjutkan tindakan pemasangan retraktor iris dan capsular tension ring
(CTR) dan dilakukan ekstraksi lensa dengan teknik fakoemulsifikasi. Terdapat
posterior capsule rupture (PCR) saat intraoperatif. Tekhnik dilanjutkan dengan
keratektomi, namun iridektomi perifer tidak dapat dilakukan. Dilakukan penjahitan
flap sebanyak 3 jahitan dengan ethylone 10.0 serta dilakukan penjahitan
konjungtiva. Pasien diberi terapi pasca-operasi dengan tetes mata levofloksasin
6xOD, prednisolon asetat 6xOD, salep mata klorampenikol dan hidrokortison
3xOD, paracetamol 3x500 mg peroral, dan ciprofloksasin 2x500 mg peroral.
Pada hari pertama paska operasi, pasien mengeluhkan nyeri mata minimal,
tidak ada nyeri kepala dan mual. Hasil pemeriksaan tajam penglihatan pada mata
kanan adalah 1/60 ph tetap dan mata kiri adalah 0.16 ph 0.2. Hasil pengukuran
tekanan intraokular dengan menggunakan ATN mata kanan adalah 15 mmHg dan
mata kiri adalah 20 mmHg. Pada pemeriksaan mata kanan dengan menggunakan
7

lampu celah biomikroskopis didapatkan adanya blefarospasme minimal pada


palpebra. Pada konjungtiva terlihat perdarahan subkonjungtiva serta bleb dengan
area yang maksimal, sedikit elevasi, normal vaskularisasi, dan pemeriksaan Seidel
negatif. Pada pemeriksaan kornea didapatkan minimal edema. Bilik mata depan,
pupil, dan iris tidak dapat diveluasi. Pada pemeriksaan lensa didapatkan kondisi
afakia. Pemeriksaan lampu celah biomikroskopis mata kiri sama dengan
pemeriksaan mata kiri sebelum operasi. Diagnosis pasien menjadi glaukoma
sekunder sudut tertutup ODS + aniridia ODS + afakia OD + katarak kongenital OS.
Terapi medikamentosa pasca-operasi masih dilanjutkan, terapi antiglaukoma
diberikan tetes mata timolol maleat 0.5% 2xODS. Pasien diminta datang kontrol 1
minggu pasca-operasi ke poliklinik glaukoma.

Gambar 2.5. Foto klinis mata kanan pasien 1 hari paska operasi.
Dikutip dari: PMN RS Mata Cicendo

Pasien datang tanggal 11 Desember 2020 untuk kontrol 1 minggu paska


operasi dengan mengeluhkan mata kanan terasa mengganjal, namun tidak terasanya
nyeri. Tajam penglihatan mata kanan 1/60, ph 0.1 dan mata kiri 0.1, ph 0.3. Pada
pemeriksaan TIO dengan ATN didapatkan mata kanan 16 mmHg dan mata kiri 24
mmHg. Pemeriksaan dengan lampu celah biomikroskopis didapatkan palpebra
tenang serta konjungtiva terdapat bleb dengan minimal elevasi, vaskularisasi yang
normal, dan pemeriksaan seidel negatif. Kornea didapatkan jernih serta bilik mata
depan sulit dinilai dengan flare dan sel negatif. Pemeriksaan pupil dan iris
didapatkan aniridia serta lensa didapatkan afakia. Segmen posterior mata kanan
didapatkan papil bulat, batas tegas, ukuran rima sklera regular, ukuran rima inferior
8

relatif sama dengan temporal, tidak terdapat atropi peripapil, dan rasio cup dan disc
0.5. Pada pemeriksaan didapatkan reflek fovea redup. Hasil pemeriksaan lampu
celah dan posterior mata kiri masih sama dengan kondisi sebelumnya. Pasien
didagnosis dengan glaukoma sekunder sudut tertutup ODS + aniridia ODS + afakia
OD + katarak kongenital OS. Pasien diberikan terapi medikamentosa tetes mata
prednisolon dengan tappering off pada mata kanan, timolol maleat 0.5% 2xOS,
asetazolamid 3x250 mg per-oral, dan kalium-l-aspartat 1x1 tablet per-oral.
Prognosis ad vitam pasien adalah dubia ad bonam, dengan prognosis ad functionam
adalah dubia, serta prognosis sanactionam pasien adalah dubia.

A B

Gambar 2.6. Foto klinis mata kanan pasien 1 minggu paska operasi. A) Afakia pada
mata kanan. B) Foto bleb menunjukan sedikit elevasi dan normal
vaskularitas.
Dikutip dari: PMN RS Mata Cicendo

III. DISKUSI
Aniria adalah gangguan panokular yang ditandai hipoplasia iris yang
memiliki manifestasi klinis seperti gejala silau, penurunan tajam penglihatan, dan
nistagmus. Penyebab aniridia adalah kelainan kongenital dan kelainan yang
didapatkan, dimana dominan autosomal memiliki angka kejadian yang tertinggi.
Aniridia dapat diturunkan secara resesif autosomal sebanyak 1-3% kejadian dan
berkaitan dengan gejala ataksia cerebelum dan retardasi mental pada sindrom
Gillespie. Satu pertiga kejadian kasus aniridia terjadi secara sporadik dengan
adanya mutasi pada gen PAX6 serta dapat berkaitan dengan sindrom WAGR
(tumor Wilms, aniridia, anomali genitourinari, dan retardasi mental) atau sindroma
9

Miller. Sebanyak 25-33% pasien dengan aniridia kongenital sporadik akan


memiliki gejala nefroblastoma sebelum 3 tahun masa kehidupan. Kondisi aniridia
sering menjadi kondisi penyerta dari beberapa sindrom seperti sindrom Roberts dan
split hand/split foot malformation (SHFM) yang melibatkan malformasi
ekstremitas, perkembangan kecerdasan, dan wajah.2,4-6 Diagnosis aniridia pasien
Tn. D ditegakkan berdasar keluhan penglihatan yang buram, silau, dan mata yang
bergerak-gerak yang sesuai dengan gejala yang dapat timbul pada kondisi aniridia
sejak lahir. Pada pemeriksaan lampu celah biomikroskopis tidak ditemukan adanya
iris yang sempurna, namun masih terdapat pangkal iris yang imatur di 3600
khususnya daerah inferior. Pasien menyangkal terdapat riwayat keluarga lain yang
mengalami hal serupa sehingga kondisi aniridia memungkinkan bukan disebabkan

Gambar 3.1. Foto klinis kasus aniridia, tidak tampak adanya iris (panah hitam) dan
panus pada periferal kornea (panah putih).
Dikutip dari: Samant, dkk.6

oleh penyakit keturunan, namun terjadi secara sporadik yang berkaitan dengan
mutasi gen PAX6. Pasien tidak memiliki tanda dan gejala keterkaitan dengan
sindrom WAGR seperti gangguan berkemih, retardasi mental, anomali
genitourinari, penurunan berat badan, abnormal hasil tes laboratorium ureum dan
kreatinin. Kondisi aniridia pasien masih dapat berhubungan dengan sindrom
Roberts tanpa retardasi mental karena memiliki gejala malformasi ektremitas yaitu
phocoamelia dan ectrodactyly sejak lahir dan berhubungan dengan penggunaan
obat-obatan saat kehamilan, namun tidak memiliki gejala deformitas pada wajah,
palatum, telinga, dan hidung. Kondisi aniridia pasien juga dapat berhubungan
dengan SHFM, namun pasien tidak memiliki gejala gangguan pendengaran.
10

Koloboma lensa adalah kelainan yang ditandai dengan bentuk lensa yang
tidak sempurna. Koloboma lensa dibagi menjadi 2 tipe yaitu primer dan sekunder.
Koloboma lensa primer ditandai dengan malformasi perifer lensa yang berbentuk
baji sedangkan koloboma lensa sekunder ditandai dengan bentuk perifer lensa yang
datar oleh gangguan perkembangan badan siliar atau zonular. Kondisi koloboma
lensa sering disertai kekeruhan pada kortikal lensa dan kelemahan zonular sehingga
memiliki resiko terjadinya ektopia lensa. Kekeruhan lensa yang ditandai dengan
gejala leukokoria saat lahir dikategorisasikan sebagai katarak kongenital. Kejadian
katarak kongenital bilateral dapat berhubungan dengan kelainan metabolik, infeksi
TORCH (toxoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, dan varisela), dan sifilis.
Tindakan ekstraksi katarak pada kasus kongenital dan bilateral sebaiknya dilakukan
usia 8 minggu masa kehidupan untuk mendapatkan hasil tajam penglihatan yang
baik.3,4,6 Pasien Tn. D mengaku terdapat bintik putih pada kedua mata yang disadari
pada saat lahir dan diikuti dengan gejala buram yang progresif. Hal ini dapat
menunjukan adanya katarak kongenital bilateral. Pada pemeriksaan lensa terdapat
gambaran zonular yang jarang dengan bentuk lensa yang datar pada bagian inferior
serta kekeruhan pada lapisan kortikal yang menunjukan adanya koloboma lensa

Gambar 3.2. Foto klinis mata kanan dan kiri dengan menggunakan lampu celah
biomikroskopis yang menunjukan gambaran lensa yang datar pada
bagian inferior.
Dikutip dari: PMN RS Mata Cicendo

sekunder dengan kelemahan zonular sehingga mengakibatkan subluksasi lensa ke


superior. Pasien baru memeriksakan kondisi mata dan menjalani operasi ekstraksi
lensa pada usia 29 tahun sehingga prediksi tajam penglihatan pasca-operasi menjadi
kurang baik. Hal ini sesuai dengan hasil tajam penglihatan mata kanan pasien 1
minggu pasca-operasi menjadi 1/60 dan 0.1 dengan pin hole yang menunjukan
tajam penglihatan pin hole yang tetap pada sebelum dan setelah operasi.
11

Glaukoma pada kasus aniridia dapat terjadi secara primer dan sekunder, serta
dapat terjadi pada sudut terbuka dan tertutup. Glaukoma primer diakibatkan oleh
gangguan perkembangan pembentukan matriks ekstraselular sawar trabekular dan
sel trabekular di area juxtakanalikular. Gejala glaukoma primer sering terjadi pada
awal masa kehidupan sedangkan glaukoma sekunder terjadi pada dekade kedua
atau lebih pada masa kehidupan. Glaukoma sekunder dengan sudut tertutup
disebabkan oleh adanya penyempitan sudut yang diakibatkan oleh pangkal iris
imatur yang berotasi sehingga menutup sawar trabekular.1,2,6 Pasien Tn. D
mengeluhkan nyeri mata dan sakit kepala pasien sejak 2 minggu sebelum datang ke
RS dan pada pemeriksaan terdapat peningkatan TIO pada kedua mata. Onset gejala
glaukoma dirasakan pasien sesuai dengan literatur yaitu ketika berusia 29 tahun dan
pasien menyangkal pernah mengalami hal serupa sebelumnya sehingga. Pada
pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan menggunakan lensa gonioskopi, area
yang tervisualisasi pada keempat kuadran adalah garis schwabe yang menunjukkan
sudut bilik mata depan yang sempit. Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan
gambaran glaukoma dengan terdapatnya cupping pada papil dengan rasio cup dan
disc mata kanan 0.5 dan 0.7. Ukuran rima optik dan evaluasi lapisan serabut retina
sulit dievaluasi karena kekeruhan media optik. Gejala klinis pasien sesuai dengan
glaukoma sekunder dengan sudut tertutup.

Gambar 3.3. Foto segmen posterior kasus hipoplasia foveal (panah putih) dan diskus
optik (panah hitam).
Dikutip dari: Samant, dkk.6

Kondisi aniridia dapat berkaitan dengan beberapa kondisi lain seperti


keratopati, mikrokornea, membran pupilari persisten, hipoplasia saraf optik,
hipoplasia fovea, dan koloboma fundus. Keratopati pada kasus aniridia disebabkan
12

oleh defisiensi stem sel limbus, yang ditandai dengan adanya panus kornea,
iregularitas epitel kornea, dan kornea konjungtivalisasi.7-9 Pasien Tn. D tidak
terdapat kekeruhan pada kornea. Hasil pemeriksaan diameter horisontal dan
vertikal pupil adalah 11 mm, hal tersebut menunjukkan pasien tidak terdapat
kondisi mikrokornea yang dapat terjadi pada penyakit displasia okulo-digitalis.
Pada pemeriksaan funduskopi 1 minggu paska operasi, media optik mata kanan
lebih jelas sehingga dapat memvisualisasi gambaran retina dan fovea dengan jelas.
Papil pasien tidak menunjukan adanya tanda hipoplasia, namun didapatkan
gambaran reflek fovea yang redup sehingga dicurigai terdapat hipoplasia fovea.
Terapi medikamentosa antiglaukoma sering gagal dalam mengkontrol
tekanan intraokular dan membutuhkan terapi intervensi surgikal. Pilihan terapi
surgikal yang dapat dilakukan adalah goniotomi, trabekulektomi, trabekulotomi,
dan pemasangan GDD. Goniotomi dilakukan sebagai surgikal profilaksis pada
glaukoma aniridia dengan sudut yang masih terbuka. Terapi surgikal yang dapat
dilakukan untuk mengontrol tekanan intraokular ketika sudut sudah tertutup adalah
trabekulektomi, pemasangan GDD, dan siklodestruksi. Tingkat kesuksesan terapi
surgikal tertinggi adalah pemasangan GDD. Literatur yang membahas tingkat
keberhasilan penurunan TIO pada pemasangan GDD adalah sebesar 83.3% dalam
1 bulan pasca-operasi, 66.6% dalam 12 bulan pasca-operasi, dan 50% pada
pemeriksaan setelah 12 bulan pasca-operasi. Beberapa literatur membahas
keberhasilan trabekulektomi dalam mengontrol TIO pada kasus glaukoma aniridia
hingga 12 bulan pasca-operasi. Faktor yang mempengaruhi kegagalan keberhasilan
trabekulektomi pada kasus glaukoma aniridia adalah adesi sel-sel fibrotik pada area
bleb sehingga membutuhkan terapi antimetabolit sebagai tambahan.8-12 Pasien Tn.
D direncanakan terapi surgikal pemasangan implan GDD pada awalnya, namun
tindakan diganti menjadi combined (trabekulektomi dan ekstraksi lensa) serta 5FU
OD pada pemeriksaan sesaat sebelum operasi. Perubahan tindakan dilakukan
dengan pertimbangan TIO yang turun >30% setelah dilakukan terapi
medikamentosa yaitu tetes mata timolol maleat 0.5% 2xODS dan asetazolamid
3x250 mg per-oral. Pada saat pemeriksaan 1 minggu pasca-operasi, TIO pasien
turun hingga 16 mmHg dengan menggunakan satu terapi timolol maleat 0.5%.
13

Walaupun terjadi penurunan TIO, evaluasi keberhasilan operasi combined +


antimetabolit membutuhkan waktu dan pemeriksaan berkala dalam jangka waktu
yang relatif panjang. Prognosis ad vitam pasien adalah dubia ad bonam karena
pasien tidak memiliki gejala sistemik yang berkaitan dengan tumor Wilms namun
masih memungkinkan pasien memiliki gejala sistemik lain yang belum diketahui.
Prognosis ad functionam adalah dubia berkaitan dengan nistagmus pasien yang
menandakan adanya gangguan fiksasi yang kronik, serta prognosis sanactionam
pasien adalah dubia karena glaukoma pasien masih mungkin terjadi kembali.

IV. SIMPULAN
Glaukoma sekunder pada kasus aniridia sering kali terjadi pada dekade
kedua masa kehidupan. TIO yang tinggi disebabkan penutupan sawar trabekular
oleh pangkal iris yang berotasi. Pemeriksaan dan evaluasi sudut dengan gonioskopi
dapat menentukan jenis glaukoma pada kasus aniridia sehingga dapat menentukan
terapi yang tepat. Terdapat beberapa pilihan terapi glaukoma pada aniridia untuk
mengontrol TIO. Penatalaksaan awal dapat dimulai dengan terapi medikamentosa.
Pada glaukoma refraktori, terapi sugikal dapat diberikan untuk mencegah
progresifitas penyakit. Walapun terapi surgikal implan GDD merupakan terapi
yang terbaik pada kasus glaukoma aniridia, namun combined (trabekulektomi dan
ekstraksi lensa) dikatakan juga berhasil mengontrol TIO. Penggunaan antimetabolit
sebagai terapi tambahan trabekulektomi dapat meningkatkan keberhasilan dalam
mengontrol TIO.
14

DAFTAR PUSTAKA

1. Opthalmology AAO. Section 10: Glaucoma: Angle Closure Glaucoma.


Basic and clinical science course. Edisi. San Francisco: American Academy
of Ophthalmology; 2019. h. Hal 143-77.
2. Tripathy K, Salini B. Aniridia. [Updated 2020 Aug 10]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538133/
3. Hered RW, Archer SM, Braverman RS, Khan AO, Lee KA, et al. Pediatric
Ophthalmology and Strabismus Basic and Clinical Science Course.
American Academy of Ophthalmology, 2019. p298-9.
4. Hingorani M, Hanson I, van Heyningen V. Aniridia. Eur J Hum Genet.
2012;20(10):1011-1017. doi:10.1038/ejhg.2012.100
5. Abdolrahimzadeh S, Fameli V, Mollo R, Contestabile MT, Perdicchi A,
Recupero SM. Rare Diseases Leading to Childhood Glaucoma:
Epidemiology, Pathophysiogenesis, and Management. BioMed Research
International. 2015 2015/09/16;2015:781294.
6. Samant M, Chauhan BK, Lathrop KL, Nischal KK. Congenital aniridia:
etiology, manifestations and management. Expert Rev Ophthalmol.
2016;11(2):135-144. doi:10.1586/17469899.2016.1152182
7. European Glaucoma Society. Terminology and guidelines for glaucoma
ed.4th . 2014
8. Demirok GS, Ekşioğlu U, Yakın M, Kaderli A, Kaderli ST, Örnek F. Short-
and Long-term Results of Glaucoma Valve Implantation for Aniridia-
related Glaucoma: A Case Series and Literature Review. Turk J Ophthalmol
2019;49:183-187
9. Barthakur R, Shrestha SP, Bhat KS, Natarajan M. Case Report:
Management of glaucoma in a case of familial aniridia by trabeculectomy.
Nep J Oph 2009;1(1):75-76
10. Nelson LB, Spaeth GL, Nowinski T et al. Aniridia: A review. Surv
Ophthalmol. 1984, 28:621.
11. Okada K, Mishima HK, Masumoto M, Tsumamoto Y, Tsukamot H,
Takamatsu M. Results of filtering surgery in young patients with aniridia.
Hiroshima J Med Sci. 2000, 49(3): 135-8
12. Adachi M, Dickens CJ, Hetherington J Jr, Hoskins HD, Iwach AG, Wong
PC, Nguyen N, Ma AS. Clinical experience of trabeculectomy for the
surgical treatment of aniridic glaucoma. Ophthalmology. 1997;104:2121-
2125.

14

You might also like