File O1dx2g1z PDF
File O1dx2g1z PDF
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
Firman Wijaya
(Corresponding Author)
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Meraih Sarjana Hukum dari
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta, Doktor Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Krinadwipayana)
Abstract
Evidence is the important instrument to decide criminal cases and Its began from investigation,
prosecution, until court decisions. Evidence is arrange in article 184 and explanation of KUHAP.
Police investigating to determine someone be a suspect or unknown through investigation about
entanglement according to evidence any goods and the evidence available. In fact many law
enforcement officials such as police used power revenue and their authority to quickly resolve the
cases with no accordance to the procedure. Therefore to minimize those things law enforcement
need supervision as pretrial. Pretrial have authority to judge about legal or failure arrest,
detention termination investigation or termination prosecution; compensation and or
rehabilitation for criminal cases stopped at the investigation or prosecution. Related to the verdict
of South Jakarta District Court number 97/Pid.prap/2017/Pn.Jkt.Sel, judge Cepi Iskandar said
that the same evidence cannot be used as evidence in other criminal cases brought many different
polemics. Generally judge decide on criminal cases based to article 183 KUHAP and in fact many
criminal cases was using the same evidence especially to cases with more than one defendant or
participation cases. Judge Cepi Iskandar decision have given uncertainty law in the public, so it
needs analysis and further discussion about the evidence and the consideration on that judicial
decisions.
1
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sehingga keberadaan hukum menjadi unsur penting kehidupan
bermasyarakat. Keberadaan hukum menurut L.J. Apeldoorn dilihat dari
tujuannya adalah untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat secara
damai dan adil. 1 ) Padangan ini memberi arti bahwa adanya hukum
memberi pelayanan bagi masyarakat sehingga tercipta suatu ketertiban,
keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Makna dalam menjalankan
kehidupan bernegara tersebut salah satunya dengan penanganan dalam
menyelesaikan masalah sosial yang disebut tindak pidana. Van Hamel
merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut: “Kelakuan manusia
yang dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut
dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.” 2 ) Dalam menangulangi
kejahatan, Indonesia menggunakan dasar pendekatan sistem yakni sistem
peradilan pidana (criminal justice system) dengan dasar open system yaitu
suatu sistem yang di dalam gerakan mencapai tujuan baik tujuan jangka
pendek (resosialisasi), jangka menegah (pencegahan kejahatan) maupun
jangka panjang (kesejahteraan sosial) dengan pengaruh dari lingkungan
masyarakat dan bidang-bidang dalam kehidupan manusia, sistem peradilan
pidana bergerak dan mengalami interface. Komponen-komponen yang
bekerjasama dalam sistem peradilan pidana ini, berdasarkan KUHAP
adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Keempat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu apa
yang dikenal dengan nama integrated criminal justice system (sistem
peradilan pidana terpadu).
Berjalannya keempat komponen tersebut dalam peradilan pidana
bertumpu pada “mencari kebenaran”. Kebenaran yang dicari merupakan
1)
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 11, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 57
2)
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Cet. Ke-4, (Jakarta: PT Rienka Cipta, 2010),
hal. 96.
2
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
kebenaran materiil yang muncul dari alat bukti. Alat bukti adalah segala
sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan
alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian
guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak
pidana yang telah dilakukan terdakwa.3) Dalam Pasal 184 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat
bukti yang sah adalah:4) a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa. Dimulai dari tahap penyelidikan5)
yakni untuk menentukan apakah suatu perkara merupakan perkara pidana
yang kemudian dilanjutkan dengan tahap penyidikan6) untuk menetapkan
status tersangka seseorang. Setelah tahap penyidikan maka dilanjutkan ke
tahap penuntutan lalu ketahap pengadilan.
Penentuan status tersangka seseorang pada tahap penyidikan
merupakan tahapan yang penting serta harus dilakukan secara hati-hati.
Hal ini sudah diatur dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP yang berbunyi
“tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
selain itu, dalam Pasal 1 angka 20 menyebutkan bahwa “penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan pernyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal
3)
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung:
Mandar Maju, 2003), hal. 11.
4)
Eddy Hiariej O.S, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), hal. 12.
5)
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981, LN No. 9
Tahun 1951, TLN No. 81, Ps. 1 butir 4. Berbunyi : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”. Ranah penyelidikan dilakukan oleh Penyelidik yang merupakan pejabat polisi negara
republik indonesia denagn kewajiban dan hak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 KUHAP.
6)
Ibid, Pasal 1 angka 2. Menyebutkan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya. Adapun komponena atau alat negara yang berwenang
melakukan penyidikan disebut dengan “penyidik” pada pasal 1 angka 1 KUHAP menjelaskan
“penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Kewajiban, wewenang serta tugas dari penyidik diatur dalam Pasal 6 sampai 9 KUHAP.
3
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Adanya frasa
“bukti permulaan” ataupun “cukup bukti” dalam kedua pasal tersebut
menjelaskan bahwa alat bukti menjadi komponen yang penting dalam
menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ketika frasa “bukti permulaan”
atau “cukup bukti” tidak terpenuhi maka tidak dapat ditetapkannya
seseorang sebagai tersangka sehingga harus dilakukan penghentian
penyidikan. Demi menjaga hak asasi dari tersangka tersebut maka dapat
diajukan gugatan praperadilan. Praperadilan 7 ) merupakan bagian dari
pengadilan negeri yang melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal
dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau penuntut
umum. Tujuan utama dari Praperadilan yakni untuk pengawasan dalam
suatu proses pidana untuk menjaga penyalagunaan wewenang ataupun
kekuasaan oleh para aparat penegak hukum.
Pada Senin, 17 Juli 2017 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi
(selanjutnya disebut “KPK”) menetapkan Mantan Ketua DPR RI, Setya
Novanto sebagai tersangka yang diduga terlibat korupsi proyek pengadaan
Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Setya Novanto
diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
dengan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan. Korupsi E-KTP
tersebut mengakibatkan kerugian negara Rp2,3 triliun dari nilai proyek Rp
5,9 triliun. Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.8)
7)
Ibid, Pasal 1 angka 10 menyebutkan “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a.
Sah atau tidaknya Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/ penyidik/ penuntut umum
demi tegaknya hukum dan keadilan; c.Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
8)
http://nasional.kompas.com/read/2017/07/17/19034751/kpk-tetapkan-setya-
novanto-tersangka-kasus-e-ktp, diakses pada Sabtu, 3 Februari 2018, Pukul 15.10 WIB.
4
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas,
permasalahan yang dikaji dalam artikel ini adalah:
9)
https://nasional.tempo.co/read/1021611/praperadilan-setya-novanto-ma-tak-hilangkan-
perbuatan-pidana, Pada Sabtu, 3 Februari, 2018, pukul 15:20 WIB.
10 )
http://nasional.kompas.com/read/2017/09/30/06581381/icw-kemukakan-6-
kejanggalan-putusan-hakim-praperadilan-setya-novanto, diakses Pada Sabtu, 3 Februari, 2018,
pukul 15:30 WIB.
5
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan guna menemukan sumber-sumber diperlukan
untuk memprediksi apa yang akan dilakukan sehingga dapat diketahui apa
11 )
tindakan-tindakan yang dapat diambil. Sehingga dalam metode
penelitian yang merupakan proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip hukum maupun doktrin hukum untuk menyelesaikan isu hukum
yang ada.
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang akan digunakan oleh penulis dalam penelitian
ini adalah penelitian yuridis normatif. Penulis menggunakan penelitian
ini karena Penulis mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif12 terkait penggunaan alat bukti yang sama dalam perkara
yang berbeda disesuaikan dengan keadaan yang terjadi saat ini, dikenal
dengan istilah das sollen das sein.13 Adapun pendekatratan penelitian
yang digunakan berupa pendekatan peraturan perundang-undangan
(statue approach) dan pendekatan kasus (case approach)14)
11)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Edisi revisi), (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009), hal. 57.
12)
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Publishing,
2006), hal. 295.
13 )
Norma-norma terdiri dari beberapa macam seperti : norma moral, norma kesusilaan,
norma etika, norma hukum, norma agama, dan lain-lain. Namun, dari beberapa norma tersebut
terdapat sebuah norma yang dianggap paling kuat yakni norma hukum. Norma hukum adalah
aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, seperti pemerintah, sehingga denagn tgas
dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat
peraturan itu. Pelanggaran terhadap norma akan diberikan sanksi yang dapat berupa sanksi denda
hingga hukuman fisik berupa dipenjara ataupun hukuman mati. Sebagai mana Pasal 10 KUHP
menetapkan bahwa sanksi pidana terdiri atas pidana pokok yakni pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan . selain itu, ada juga pidana tambahan berupa
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim. Norma hukum memilki kehendak yakni Das Sollen.
14)
Ibid, hal. 133.
6
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
15)
Ibid, hal. 181.
16)
H. Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 47.
17)
Ibid, hal. 183-184.
18)
Ibid, hal. 206.
19)
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, Cet ke-1, (Jakarta: Prenada Media Group,2016), hal. 156.
7
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
II. PEMBAHASAN
A. Pengaturan Mengenai Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Peraturan
Pidana di Indonesia
Alat bukti dan barang bukti merupakan komponen yang sangat
penting dalam menyelesaikan suatu perkara di persidangan. Alat bukti
adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.21 Selain itu, Martiman
Prodjohamidjojo menyatakan bahwa barang bukti atau corpus delicti
adalah barang bukti kejahatan. 22 Ansori Hasibuan berpendapat barang
bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa utnuk melakukan suatu
delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan
sebagai barang bukti pengadilan.23
20)
Beni Ahmad Soebani, Metode Penelitian Hukum, Cet ke-1, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hal. 103.
21)
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia,
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hal. 23.
22)
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hal. 19.
23 )
Ansori Hasibuan, Syarifuddin Petenasse, Ruben Ahmad, Hukum Acara Pidana,
(Bandung: Angkasa, 1990), hal. 182.
8
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
24 )
Herziene Inlandsch Reglement, Reglemen Indonesia yang Diperbaharui,
related:www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl53195/parent/27228 hir. Pasal 295 H.I.R
9
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
Terkait Barang bukti juga sudah diatur dalam Pasal 42 H.I.R yang
perlu dibeslag yakni :25)
1. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana, seperti misalnya
barang-barang yang dicuri, digelapkan, ditipu dan lain sebagainya.
2. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana, seperti
misalnya uang logam atau uang kertas palsu yang telah dibuat oleh
terdakwa. Barang-barang tersebut pada nomor 1 dan 2 ini adalah
barnag-barang yang disebut “corpora delicti”.
3. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
seperti misalnya golok atau pistol yang dipakai untuk menganiaya
atau membunuh orang, golo atau alat lain yang dipergunakan
membongkar rumah untuk mencur, racun untuk membunuh, alat-alat
untuk membuat uang palsu dan lain sebagainya, yang biasa disebut
“instrumenta delicti”
4. Barang-barang lain yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk
memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa, seperti misalnya
pakaian kena darah yang dipakai tersangka membunuh orang, kaca
jendela yang ada bekas telapak jari dari orang yang mencuri dan lain
sebagainya, yang termasuk pula dalam sebutan “corpora delicti”.
25)
Ibid. Pasal 42 ayat (2) H.I.R
10
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
26)
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN
Nomor 8 Tahun 1981, TLN No. 3258, Pasal 1 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP.
11
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
Pengaturan mengenai Barang bukti pada saat ini tertuang dalam Pasal
39 ayat (1) KUHAP dimasukan dalam penjelasan terkait penyitaan27) yakni
:
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil tindak
pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Ubi Societas Ibi Ius28) dimaknai sebagai dimana ada masyarakat disitu
ada hukum. Hal ini sejalan dengan perkembangan masyarakat setiap
27)
Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989),
hal. 14.
12
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
28)
Ubi societas ibi ius adalah ungkapan yang dikemukakan oleh Marcus Tulius Cicero yang
artinya “dimana ada masyarakat di situ ada hukum.” Ungkapan klasik tersebut memberikan
gambaran bahwa kapan hukum pertama kali tercipta, pertanyaan tersebut mengandung pengertian
yaitu bahwa hukum tercipta pada saat manusia tercipta juga, karena pada saat ada manusia dan
pergaulannya pada saat itulah hukum sudah ada. Jawaban adalah sejak manusia pertama kali
diciptakan oleh Sang Pencipta. Dikutip dari buku Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2013), hal. 41.
29 )
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Drs.
Setya Novanto dengan memberikan kuasa berdasarkan surat kuasa khusus kepada Muhammad
13
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
bukti elektronik (digital) sebagai alat bukti dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor. 42/PUU-XV/201730) mengenai kedudukan dan syarat penggunaan
alat bukti yang sama terkait implikasinya pada perkara pidana yang
berbeda dan dapat digunakan untuk mengeluarkan Surat Perintah
dimulainya Penyidikan (SPRINDIK).
Ainul Syamsu, S.H.,M.H., Syaefullah Hakid, S.H., Hafisullah Amin Nasution, S.H., dan Teuku
Mahdar Ardian,S.HI, Advokat di Kantor Hukum Syamsu Hamid & Partners.
30 )
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XV/2017 mengenai alat bukti yang
diajukan oleh Anthony Chandra Kartawiria dengan pemberian kuasa kepada Ricky Kurnia
Margono, S.H., M.H., David Surya, S.H.,M.H., H. Adidharma Wicaksono, S.H., LL.M., Hendro
Sismoyo, S.H., M.H. yaitu advokat dan konsultan hukum di Law Firm Margono-Surya & Partners
14
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
31)
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 17-18.
32 )
https://www.indopos.co.id/index.php/read/2017/09/20/110884/simak-ini-7-poin-
permohonan-praperadilan-setya-novanto, diakses pada Minggu, 27 Mei 2018, Pukul 20:16 WIB.
15
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
33 )
Pertimbangan mengenai alat bukti dan barang bukti dalam putusan praperadilan
pengadilan negeri jakarta selatan Nomor 97/Pid.Prap/2017/Pn.Jkt.Sel “
Halaman 207-208 “Alat bukti perkara orang lain in casu adalah Perkara No.
41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST. Secara yuridis alat bukti dalam perkara orang lain tidak
boleh dipergunakan untuk membuktikan perkara yang lain lagi. UU KPK mensyaratkan penetapan
tersangka berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, Termohon tidak membedakan
mana yang merupakan barang bukti dan mana yang termasuk alat bukti yang sah berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, sehingga tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum.
Halaman 213 “Bahwa dalam Putusan No. 41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST. tersebut,
nama Pemohon tidak disebut dan tidak masuk dalam pertimbangan Majelis Hakim yang
memeriksa perkara tersebut sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana, yang
disebutkan dalam SPDP tersebut di atas yang dikeluarkan oleh Termohon terhadap diri Pemohon
meminjam alat bukti perkara orang lain in casu adalah perkara No.
41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST., atas nama Terdakwa Irman dan Sugiharto, sehingga cacat
16
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
tersebut mengacu pada 200 (dua ratus) barang bukti yang tertulis sebagai
bukti permulaan atau bukti yang cukup dalam menetapan status tersangka
seseorang. Dasar hukum mengenai alat bukti sudah tertuang dalam Pasal
184 KUHAP sedangkan untuk barang bukti tertuang dalam Pasal 39 ayat (1)
KUHAP. Objek praperadilan yang sudah diperluas yakni salah satunya
mengenai penetapasan status tersangka seseorang yakni dalam Pasal 1
angka 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka 34 ) adalah seorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dimana penetapan tersangka ini
dilakukan setelah dilakukan penyidikan.35) Makna bukti permulaan ini tidak
dijelaskan dalam KUHAP sehingga untuk memberikan kepastian hukum
maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal
1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai
“minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.36)
Secara teoritis terdapat 4 teori mengenai sistem buktian, dimana HIR
maupun KUHAP menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negative (Negative Wettelijk Bewijs Theorie) yang mengacu pada
Pasal 183 KUHAP yang menyatakan Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selain
itu, Menurut Wirdjono Prodjodikoro Indonesia menganut sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction
hukum, karena secara yuridis alat bukti dalam perkara orang lain tidak boleh dipergunakan untuk
membuktikan perkara yang lain lagi.
34 )
Mengacu pada Pasal 17 KUHAP bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup
35)
Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan penyidikan adalah serangkaian tindakna penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
36 )
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796#.Wwqo0VOWS1s,
diakses pada 27 Mei 2018, pukul 20:43 WIB.
17
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
18
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan mengenai alat bukti dan barang bukti dalam perkara
pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang di dalamnya menyebutkan bahwa alat
bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum
acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan
untuk pembuktian. Selanjutnya mengenai barang bukti dalam perkara
19
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
20
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
B. Saran
1. Perlu dibentuknya suatu peraturan yang mengatur tentang penggunaan
alat bukti yang sama terhadap suatu perkara pidana dikarenakan dalam
kenyataannya banyak terjadi penggunaan alat bukti yang sama dalam
beberapa perkara pidana sedangkan dasar hokum yang mengatur
menganai hal tersebut tidak ada sehingga hakim harus melakukan
interpretasi dan penafsiran sendiri yang menyebabkan timbul
kekhawatiran mengenai adanya multitafsir yang dapat menimbulkan
tidak adanya kepastian hokum bagi masyarakat.
2. Bagi para penegak hukum hendaknya menggunakan kewenangannya
dengan sebijak mungkin terutama hakim yang memiliki hak
independensi dalam memutus perkara dengan melakukan penafsiran
atau interpretasi terhadap suatu hal yang tidak diatur secara eksplisit di
dalam peraturan perundang-undangan. Perlunya sikap bijak tersebut
dikarenakan putusan hakim yang telah dijatuhkan dikemudian hari
dapat dijadikan sebagai yurisprudensi dengan artian bahwa hakim
selanjutnya dengan perkara yang hampir sama dapat sewaktu-waktu
menggunakan putusan hakim sebelumnya sebagai dasar hukum dalam
memutus perkara yang sedang ia tangani, sehingga dikhawatirkan
dapat menyebabkan sistem pemidanaan yang ada menjadi berubah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Afiah, Ratna Nurul. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. (Jakarta: Sinar
Grafika, 1989).
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011).
Ali, H. Zainudin. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam
Justifikasi Teori Hukum, Cet ke-1, (Jakarta: Prenada Media Group,2016).
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Cetakan Ke-4. (Jakarta: PT Rienka
Cipta, 2010).
21
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
22
Alnan Marchelita Pradewi & Firman Wijaya
Analisis Alat Bukti Yang Sama Dalam Perkara Pidana Yang Berbeda
(Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL)
23