Jurnal Otw Kompre
Jurnal Otw Kompre
Jurnal Otw Kompre
Sifat Sensori Otak-Otak Berbahan Baku Ikan Air Tawar Sebagai Pengganti Ikan
Tenggiri
Antioxidant Activity Test of Various Sweet Potato ((Ipomea batatas) Leaf Clones and
Selection for Consumption
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Ikan segar merupakan salah satu komoditi yang mudah mengalami kerusakan (high
perishable food) yang dapat disebabkan oleh proses biokimiawi maupun oleh aktivitas
mikribiologi. Kandungan protein yang cukup tinggi pada ikan menyebabkan ikan mudah
rusak bila tidak segera dilakukan upaya mempertahankan mutu dengan cara mengolahnya
menjadi produk, sehingga secara ekonomis nilai tambah produk juga meningkat. Salah satu
pengolahan produk ikan adalah otak-otak. Otak-otak merupakan modifikasi produk olahan
antara baso dan kamaboko. Masyarakat pada umumnya telah mengenal otak-otak karena
rasanya yang enak dan cara pengolahannya yang cukup sederhana yaitu terbuat dari daging
ikan dengan penambahan tepung, santan, dan bumbunya yang dibungkus dengan
menggunakan daun kemudian dimasak sesuai selera bisa dikukus, dipanggang dan digoreng.
Otak-otak biasanya terbuat dari bahan baku ikan tenggiri, Ikan tenggiri memiliki kandungan
lemak ±0,2-5% dan protein sebesar ±22% yang sangat baik untuk pertumbuhan. Selain itu,
ikan tenggiri secara fisik memiliki daging yang tebal, teksturnya yang kenyal tetapi lembut
serta rasanya yang gurih menjadi nilai tambah dalam pemanfaatannya menjadi bahan baku
produk otak-otak (Karim et al., 2013). Otak-otak ikan tenggiri merupakan salah satu
makanan khas daerah Kalianda Lampung Selatan yang banyak diminati oleh konsumen baik
lokal maupun diluar daerah. Ikan tenggiri tidak mudah dibudidayakan yang menyebabkan
ikan tenggiri tidak tersedia pada waktu tertentu, sehingga diperlukan diversifikasi bahan baku
pengganti yang mudah dibudidayakan serta menghasilkan kualitas sensori otak-otak ikan
yang baik. Salah satu bahan alternatif yang dapat digunakan adalah ikan air tawar.
Ikan air tawar mempunyai harga relatif terjangkau bagi masyarakat dan mudah
dibudidayakan sehingga diharapkan dapat menggantikan peran dari hasil tangkapan ikan
tenggiri. Beberapa ikan air tawar mempunyai karakteristik yang mendekati karakteristik dari
ikan tenggiri sehingga dapat dijadikan bahan baku pembuatan otak-otak. Menurut Sahlan et
al. (2018) menyatakan bahwa beberapa jenis ikan air tawar memiliki karakteristik daging
yang tebal, berwarna putih, berbau netral, kompak dan duri yang mudah dipisahkan dari
tulangnya. Beberapa jenis ikan air tawar mempunyai protein yang tinggi seperti ikan gabus,
lele dan patin. Protein merupakan salah satu komponen penyusun bahan pangan yang
mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan mutu produk pangan. Protein
mampu berinteraksi dengan senyawa-senyawa, baik secara langsung maupun tidak langsung,
sehingga berpengaruh pada proses, mutu, sifat sensori dan penerimaan produk (Subagio et
al., 2004).
Sifat sensori seperti rasa, aroma, tekstur dan warna menjadi salah satu parameter dalam
penentuan mutu yang diharapkan oleh konsumen. Bahan baku yang berbeda akan
mempengaruhi sifat sensori otak-otak. Hal ini sejalan dengan karim et al. (2013) yang
menyatakan bahwa penggunaan ikan yang berbeda menyebabkan perbedaan pada tekstur,
aroma, rasa dan warna. Lebih lanjut, tekstur yang kompak dipengaruhi oleh perbandingan
tapioka dan ikan yang ditambahkan dalam adonan. Warna otak-otak dipengaruhi oleh ikan
yang digunakan sebagai bahan baku. Aroma dan rasa disebabkan oleh kandungan protein
yang terurai menjadi asam amino khususnya asam glutamat yang akan menimbulkan rasa dan
aroma yang lezat pada otak-otak ikan. Konsumen cenderung menyukai tekstur otak-otak yang
kompak dan mudah digigit. Menurut Nurjanah et al. (2005), pembentuk tekstur yang kompak
disebabkan oleh komposisi tepung dan daging ikan yang ditambahkan dalam adonan. Tepung
berfungsi memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan selama dikukus dan
3
membentuk tekstur yang padat (Sahlan et al., 2018). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian untuk mendapatkan jenis ikan air tawar serta formulasi daging ikan dan
tepung tapioka yang tepat yang akan menghasilkan sifat sensori otak-otak yang baik dan
disukai masyarakat yang mampu menggantikan ikan tenggiri sebagai bahan baku utama
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Industri Otak-Otak Bu Bejo Kalianda Lampung Selatan
dan ruang Uji Sensori, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian
ini dilaksanakan pada Januari-Februari 2019.
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan otak-otak adalah ikan patin 1 kg, ikan gabus
1 kg, dan ikan lele 1 kg, tepung tapioka cap tani, santan, gula, garam, penyedap rasa, bawang
merah, bawang putih, merica, daun pisang dan air. Bahan-bahan yang digunakan untuk
analisis proksimat adalah heksan, H2SO4, NaOH, dan indicator bromcherosol green methyl
red.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom, pengaduk, sarung tangan,
panggangan, penjepit, penggilingan chopper, timbangan, cawan porselin, pipet, erlenmeyer,
buret, gelas ukur, soxhlet, kjeldahl, desikator, tungku pengabuan, dan oven.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap yang disusun secara
faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor yang pertama adalah jenis ikan, jenis ikan
yang digunakan yaitu ikan lele, ikan patin, dan ikan gabus. Faktor kedua adalah formulasi
daging ikan dan tepung tapioka yang digunakan 80%:20%, 70%:30%, dan 60%;40%.
Data yang didapat melalui uji skoring kemudian di uji kesamaan ragam datanya dengan uji
Bartlett dan kenambahan data diuji dengan uji Tukey. Selanjutnya, data dianalisis dengan
sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji signifikasi untuk mengetahui
ada atau tidaknya perbedaan antar perlakuan, kemudian dilanjutkan menggunakan uji BNJ
dengan taraf nyata 5% (Hanafiah, 1991). Hasil terbaik dari uji skoring otak-otak ikan air
tawar selanjutnya dilakukan uji hedonik dan analisis kadar proksimatnya.
Pelaksanaan Penelitian
4
Ikan air tawar yang digunakan pada penelitian yaitu ikan lele, ikan patin dan ikan gabus di
timbang masing-masing seberat 1 kg. Kemudian ikan disiangi untuk memisahkan insang,
sisik, organ pencernaan dan isi perut, lalu ikan dicuci menggunakan air hingga bersih.
Selanjutnya ikan dipillet untuk mengambil dagingnya ±500g, kemudian daging digiling
hingga dagingnya halus. Setelah itu, daging dan tepung tapioka di timbang sesuai perlakuan
(tabel 6). Kemudian masing-masing perlakuan ditambahkan bahan tambahan seperti bawang
putih, bawang merah , merica, santan, penyedap rasa, gula, dan garam seperti pada tabel 6
lalu campurkan bahan hingga kalis. Selanjutnya, diambil masing-masing ± 10 g adonan lalu
bungkus menggunakan daun yang berukuran 20 x 5 cm. Setelah itu, dilipat hingga daun
berukuran 12 x 4 cm dan dilakukan pemanggangan menggunakan arang dengan suhu 60-70
℃ selama 10-15 menit. Tunggu hingga daun sudah berwarna kehitaman, lalu diangkat
menggunakan penjepit
Pengamatan
Pengamatan mengenai sifat sensori meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur menggunakan uji
skoring. Penerimaan keseluruhan di uji menggunakan uji hedonik. Panelis yang digunakan
pada uji skoring adalah 20 panelis semi terlatih (mahasiswa THP yang sudah mengambil
mata kuliah uji sensori) panelis yang digunakan pada uji hedonik adalah 50 panelis konsumen
(Meilgard, 1999). Panelis diminta pendapatnya secara tertulis pada kuisioner yang
disediakan.
Pengamatan mengenai analisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein dan kadar karbohidrat menggunakan uji proksimat sesuai SNI 01-2891-1992 tentang
cara mnguji makanan dan minuman.
Tekstur
Hasil uji sensori terhadap tekstur otak-otak ikan air tawar diperoleh skor antara 2,00-4,28
(cenderung tidak mudah digigit - cenderung mudah digigit dan kenyal). Skor tekstur tertinggi
diperoleh perlakuan A2B1 (ikan patin, 80%:20%), A1B1 (ikan gabus, 80%:20%), dan A2B2
(ikan patin, 70%:30%), sedangkan skor tekstur terendah diperoleh perlakuan A1B3 (ikan
gabus, 60%:40%) dan A3B3 (ikan lele, 60%:40%). Hasil analisis ragam terhadap tekstur
menunjukkan bahwa perlakuan jenis ikan air tawar dan formulasi daging ikan dan tepung
tapioka berpengaruh sangat nyata serta terdapat interaksi antara keduanya. Hasil uji lanjut
BNJ pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 2.
5
Penggunaan jenis daging ikan yang berbeda seperti ikan patin, ikan lele dan ikan gabus juga
mempengaruhi tekstur. Hal ini sesuai dengan penelitian Karim et al. (2013) tentang otak-otak
yang menyatakan bahwa tingkat penerimaan daging ikan terhadap bahan tambahannya
berbeda, sehingga pada saat pemanggangan tekstur otak-otak menjadi berbeda. Tekstur otak-
otak diduga juga terbentuk dari reaksi protein terlarut seperti aktin dan myosin dan tepung
tapioka, yang diduga ikan patin paling tinggi protein terlarutnya yang disusul ikan gabus dan
terendah ikan lele. Menurut penelitian Wardani (2008) tentang bakso ikan yang menyatakan
bahwa protein daging ikan terutama myosin bertanggung jawab atas baik tidaknya
pembentukan gel dan emulsi pada produk daging lunak. Agregat-agregat kecil myosin
dianggap berperan utama dalam emulsi lemak. Selain itu, agregat-agregat ini memiliki
kemampuan mengembang yang besar pada saat dipanaskan serta mengikat semua komponen
termasuk air sehingga menentukan konsistensi produk.
Warna
6
Hasil uji sensori terhadap warna otak-otak ikan air tawar diperoleh skor antara 2,48-3,59
(gelap-cerah). Skor warna paling cerah diperoleh otak-otak menggunakan ikan patin dengan
formulasi daging dan tepung tapioka sebesar 80%:20%, sedangkan skor warna paling gelap
diperoleh otak-otak menggunakan ikan gabus dengan formulasi daging ikan dan tepung
tapioka sebesar 80%:20%. Hasil analisis ragam terhadap warna menunjukkan bahwa
perlakuan jenis ikan air tawar dan formulasi daging ikan dan tepung tapioka berpengaruh
sangat nyata serta terdapat intreraksi antara keduanya. Hasil uji lanjut BNJ taraf 5% dapat
dilihat pada Tabel 3.
Cerah Gelap
5 4 3 2 1
7
Hasil uji lanjut BNJ taraf 5% menunjukkan bahwa skor warna perlakuan A2B1 (ikan patin,
80%;20%) berbeda nyata dengan pertakuan lainnya. Hal ini diduga karena pengaruh
penggunaan ikan patin yang memiliki warna daging putih kekuningan yang terlihat lebih
cerah dan penambahan tepung yang rendah yaitu 20%. Penambahan tepung 30% dan 40%
pada otak-otak yang terbuat dari ikan patin dan ikan lele menyebabkan skor warna menurun
(lebih gelap). Menurut penelitian Nofitasari et al. (2015) tentang pempek menyatakan bahwa
penggunaan jenis ikan yang berbeda berpengaruh pada kualitas warna. Warna daging ikan
patin lebih cerah dibandingkan dengan ikan lele dan ikan gabus yang cenderung lebih gelap
dan merah warna dagingnya. Hal ini diduga karena ikan patin memiliki kadar myoglobin
yang rendah dibandingkan dengan ikan lele dan ikan gabus. Menurut Yulientin (2006)
mengemukakan bahwa warna daging merah mendominasi warna produk (gelap). Pigmen
warna tersebut juga dipengaruhi otot yang terdapat pada daging, otot kaya akan mioglobin.
Jika mengalami proses pemasakan akan terjadi denaturasi globin. Hasil denaturasi tersebut
jika teroksidasi akan menghasilkan warna coklat sedangkan daging yang memiliki kandungan
mioglobin rendah mengakibatkan warna produk lebih terang.
(a) (b) (c)
Gambar 1. Daging ikan gabus (a), Daging ikan lele (b), Daging ikan patin (c)
Warna pada makanan juga dapat disebabkan oleh beberapa sumber diantaranya adalah
adanya pigmen, pengaruh panas pada gula (karamel), adanya reaksi antara gula dan asam
amino dari protein (Maillard), dan adanya pencampuran bahan lain seperti tepung tapioka.
Hal ini berarti kandungan protein pada ikan dan tepung tapioka berpengaruh terhadap warna
yang cenderung kecoklatan. Ikan gabus memiliki protein tertinggi yaitu mencapai ±25,5%
yang disusul ikan patin yang mencapai ±19,26% dan yang terendah yaitu ikan loele yang
mencapai ±17,7%. Tepung tapioka juga memiliki fungsi yang baik tidak hanya terhadap
tekstur suatu produk tetapi juga pada warna produk, tepung tapioka akan memberikan warna
yang terang. Namun pada saat proses pemanggangan terjadi reaksi antara gula reduksi
dengan asam amino yang berasal dari daging ikan yang disebut sebagai reaksi browning non
ezimatis (reaksi Maillard) yang menyebabkan perubahan warna menjadi kecoklatan pada
otak-otak. Menurut Sarastuti (2015) reaksi Maillard terjadi karena adanya reaksi antara gugus
amino dari suatu asam amino bebas residu rantai peptide atau protein dengan gugus karbonil
dari suatu karbohidrat apabila keduanya dipanaskan. Reaksi tersebut akan membentuk
polimer pigmen yang bersifat tidak larut, berwarna coklat dan dikenal dengan
nama pigmen melanoidin.
Rasa
Hasil uji sensori terhadap rasa otak-otak ikan air tawar diperoleh skor antara 2,55-4,15 (agak
khas ikan-khas ikan). Skor rasa tertinggi diperoleh perlakuan A2B2 (ikan patin, 70%:30%),
A2B1 (ikan patin, 80%:20%), dan A1B2 (ikan gabus, 70%:30%), sedangkan skor rasa
terendah diperoleh perlakuan A1B3 (ikan gabus, 60%:40%) dan A3B3 (ikan lele, 60%:40%).
Hasil analisis ragam terhadap rasa menunjukkan bahwa perlakuan jenis ikan air tawar dan
8
formulasi daging ikan dan tepung tapioka berpengaruh sangat nyata serta terdapat interaksi
antara keduanya. Hasil uji lanjut BNJ pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 4.
Keterangan Rasa. 5=Rasa ikan sangat kuat, sangat gurih, 4=Rasa ikan kuat, gurih, 3=Rasa
ikan kurang, gurih, 2=Rasa ikan kurang, kurang gurih, 1=Rasa ikan hilang, tidak gurih
Hasil uji lanjut BNJ taraf 5% menunjukkan bahwa skor rasa perlakuan A2B2 (ikan patin,
70%:30%), A2B1 (ikan patin, 80%:20%), dan A1B2 (ikan gabus, 70%:30%) tidak berbeda
nyata dan memilki skro tertinggi (rasa ikan kuat dan gurih), namun berbeda nyata dengan
lainnya. Penambahan tepung melebihi 30% dapat menurunkan skor rasa.
Hal ini karena protein yang terkandung pada ikan patin dan ikan gabus lebih tinggi
dibandingkan ikan lele yang dapat memberikan rasa yang khas tiap otak-otak serta
penambahan tepung yang melebihi 30% dapat menurunkan skor rasa khas ikan pada otak-
otak. Ikan gabus memiliki protein tertinggi yaitu mencapai ±25,5% yang disusul ikan patin
yang mencapai ±19,26% dan yang terendah yaitu ikan loele yang mencapai ±17,7%. Hal ini
sesuai dengan penelitian Harmian et al. (2017) tentang ilabulo menyatakan bahwa rasa
berasal dari terhidrolisisnya protein pada daging ikan menjadi asam amino glutamat yang
menimbulkan rasa gurih dan khas, semakin tinggi protein yang terkandung dalam daging ikan
maka rasa akan semakin gurih dan khas. Lebih lanjut, Kataryzna (2008), menyatakan bahwa
penambahan tepung tapioka yang lebih rendah akan menyebabkan rasa ikan akan semakin
terasa begitupun sebaliknya, penambahan tepung yang lebih tinggi akan menyebabkan daging
ikan semakin tidak kerasa.
Aroma
Hasil uji sensori terhadap aroma otak-otak ikan air tawar diperoleh skor antara 3,22-3,80
(agak khas ikan-khas ikan). Skor aroma tertinggi diperoleh perlakuan A2B1 (ikan patin,
80%:20%), A2B2 (ikan patin, 70%:30%), dan A3B1 (ikan gabus, 80%:20%), sedangkan skor
aroma terendah diperoleh perlakuan A1B3 (ikan gabus, 60%:40%) dan A3B3 (ikan lele,
60%:40%). Hasil analisis ragam terhadap aroma menunjukkan bahwa perlakuan jenis ikan air
tawar dan formulasi daging ikan dan tepung tapioka berpengaruh sangat nyata namun tidak
terdapat interaksi antara keduanya. Hasil uji lanjut BNJ pada taraf 5%n dapat dilihat pada
Tabel 5.
9
Hasil uji lanjut BNJ taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan A2B1 (ikan patin, 80%:20%),
A2B2 (ikan patin, 70%:30%), dan A3B1 (ikan gabus, 80%:20%) tidak berbeda nyata dan
memiliki aroma yang lebih baik namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Otak-otak
yang terbuat dari ikan patin dan ikan gabus dengan penambahan tepung melebihi 30% dapat
menurunkan skor aroma khas ikan, sedangkan otak-otak yang terbuat dari ikan lele
penambahan tepung melebihi 20% sudah menurunkan skor aroma. Hal ini karena pengaruh
penambahan tepung yang berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian Lekaleha (2016) tentang
nugget ikan yang menyatakan bahwa penambahan konsentrasi tepung tapioka yang berbeda
akan meinimbulkan aroma yang berbeda. Jika daging ikan yang ditambahkan dalam adonan
lebih tinggi maka aroma otak-otak lebih khas ikan, sedangkan jika penambahan tepung
tapioka lebih tinggi akan menurunkan skor aroma yang cenderung tidakn khas ikan.
Daging ikan patin, ikan lele dan ikan gabus mempunyai aroma yang hampir sama yaitu
sedikit berbau lumpur. Namun menurut Winarno (2004) adanya perbedaan aroma pada otak-
otak disebabkan oleh kandungan protein pada daging yang terurai menjadi asam amino
khususnya asam glutamat yang akan menimbulkan aroma yang khas. Ikan patin dan ikan
gabus memiliki kandungan protein yang mencapai 19,26% dan 25,5% sehingga yang terurai
menjadi asam amino lebih banyak dan akan menghasilkan aroma yang lebih khas
dibandingkan ikan lele. Lebih lanjut, menurut Peinado et al. (2016) lemak dan asam lemak
dapat mempengaruhi aroma produk secara keseluruhan. Kandungan lemak yang tinggi pada
daging ikan akan menyebabkan aroma semakin khas pada otak-otak. Ikan patin memiliki
kadar lemak tertinggi yaitu ±3,5% disusul ikan lele sebesar ±2,5% dan terendah adalah ikan
gabus yaitu ±1,7.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan otak-otak ikan air tawar dengan sifat sensori
terbaik. Penentuan perlakuan terbaik ditentukkan berdasarkan nilai sensori tekstur, warna,
rasa dan aroma tertinggi dari perlakuan. Penentuan perlakuan terbaik otak-otak ikan air tawar
dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah otak-otak ikan patin dengan
formulasi daging ikan dan tepung tapioka sebesar 80%:20%. Hal tersebut ditunjukkan oleh
hasil uji lanjut BNJ 5% terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa yang memiliki skor notasi
terbaik.
Setelah dilakukan pengujian sensori yang meliputi tekstur, rasa, aroma, dan warna maka
didapatkan otak-otak ikan air tawar perlakuan terbaik yaitu menggunakan ikan patin dengan
formulasi daging ikan dan tepung tapioka sebesar 80%:20%.. Analisis proksimat otak-otak
ikan patin yang dibandingkan dengan SNI 7737-2015 (Standar Mutu Otak-Otak) dapat
dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa Kadar air, kadar lemak, kadar protein dan
kadar karbohdrat memenuhi standar mutu otak-otak (SNI 7737-2015). Namun pada kadar
abu tidak memenuhi yang sedikit melebihi standar. Hal ini karena ikan patin yang memiliki
kadar abu yang sudah mencpai 0,97% (Rohmah, 2017). Lalu penambahan garam pada
adonan otak-otak yang terlalu banyak dan ada nya tulang ikan patin yang secara tidak sengaja
masuk ke dalam adonan otak-otak yang diduga dapat menyebabkan bertambahnya kandungan
mineral dalam otak-otak sehingga kadar abu menjadi tinggi. Menurut penelitian Maulana
(2016) kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat
pada suatu bahan pangan, bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar
11
tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Kadar abu ada
hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat
merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Mineral dapat
meningkatkan kadar abunya, semakin tinggi mineral yang terkandung maka kadar abu
semakin tinggi. Cara memperbaikinya adalah dengan mengurangi garam yang ditambahkan
pada adonan dan tulang yang ada pada daging pada saat dilakukannya pemilletan pada ikan
patin.
Setelah didapatkan otak-otak ikan air tawar terbaik yaitu menggunakan ikan patin dengan
formulasi penambahan daging ikan dan tepung tapioka sebesar 80%:20%, selanjutnya
dilakukan perbandingan dengan otak-otak ikan tenggiri dengan formulasi yang sama
menggunakan uji hedonik dengan 50 panelis konsumen. Percobaan lanjutan tersebut
dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan karakteristik penerimaan
keseluruhan. Hasil perbanding tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Uji T
Pembanding 779
Mean 4.14 4.02
Variance 0.408571429 0.387346939
Observations 50 50
Pearson Correlation 0.351920021
Hypothesized Mean Difference 0
Df 49
t Stat 1.181342296
P(T<=t) one-tail 0.121584407
t Critical one-tail 1.676550893
P(T<=t) two-tail 0.243168814
t Critical two-tail 2.009575199
Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai t hitung (t Stat) sebesar 1.1813, lebih kecil
daripada nilai tabel (t Crtikical two-tail) sebesar 2.0096 (t hitung < t tabel). Hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan keseluruhan antara otak-otak ikan tenggiri dan
otak-otak perlakuan terbaik. Hal ini diduga ikan patin memiliki karakteristik sensori daging
yang mendekati ikan tenggiri serta penggunakan formulasi yang sama. Ikan tenggiri memiliki
warna daging yang putih dan tebal, aroma yang amis serta memiliki kandungan aktin dan
myosin cukup tinggi (Mutiara, 2010). Lalu menurut Suryaningrum et al. (2010) daging patin
memiliki warna putih kekuningan, teksturnya yang kompak dan sedikit lembek, serta aroma
yang sedikit berbau lumpur dan amis. Protein daging ikan patin sebesar ± 19,26 % yang
mendekati protein yang terkandung pada ikan tenggiri yaitu ±22%. Protein yang terkandung
pada ikan dapat mempengaruhi penerimaan keseluruhan otak-otak. Berdasarkan hal tersebut
menunjukkan bahwa ikan patin dapat menjadi bahan alternatif pengganti ikan tenggir dalam
pembuatan otak-otak.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa jenis ikan air tawar dan
formulasi daging ikan dan tepung tapioka berpengaruh nyata terhadap sifat sensori otak-otak.
Perlakuan terbaik pada penelitian ini adalah otak-otak menggunakan ikan patin dengan
formulasi daging ikan dan tepung tapioka sebesar 80%:20% dengan nilai sensori pada warna
sebesar 3,59 (cenderung cerah), aroma sebesar 3,80 (khas ikan), rasa sebesar 4,08 (khas ikan
dan gurih) dan tekstur sebesar 4,28 (mudah digigit) yang dapat dijadikan bahan alternative
pengganti ikan tenggiri. Interaksi antara jenis ikan air tawar dan formulasi daging ikan dan
tepung tapioka terjadi pada parameter warna, rasa dan tekstur.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian umur simpan pada
otak-otak ikan patin.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, M. 2017. Penambahan Tepung Sagu dengan Level yang Berbeda Terhadap Mutu
(Organoleptik) Bakso Daging Ayam. (Skripsi). UIN Alauddin. Makassar. Hlm 43-46.
Eni, W.A., Karimuna, L.A., dan Isamu, K.T. 2017. Pengaruh Formulasi Tepung Kedelai dan
Tepung Tapioka Terhadap Karakteristik Organoleptik dan Nilai Gizi Nugget Ikan
Kakap Putih (Lates Carcarifer, Bloch). Jurnal Sains dan Teknologi Pangan. 2 (1):
615-630.
Harmian, M, R., Faiza, D., Nurjanah, dan Jacoeb, A, M. 2017. Karakteristik Organoleptik
dan Kimia Ilabulo Ikan Patin Fortifikan. Jphpi. 20 (2): 329-338.
Hanafiah, A, K., 1991. Rancangan Percobaan. Universitas Sriwijaya. Palembang. Hlm 35-
100.
Karim, M., Susilowati, A. dan Asnidar. 2013. Tingkat Kesukaan Konsumen Terhadap Otak-
Otak dengan Bahan Baku Ikan Berbeda. Jurnal Balik Diwa Sains dan Teknologi. 4(1):
25-31.
Kataryzna W and KrystynaS. 2008. The Application Of Wheat Fibre and Soy Isolate
Impregnated With Iodine Salts to Procesed Meats. Meat Science 80(4): 1340-1344
Lekahena, V.N.J. 2016. Pengaruh Penambahan Konsentrasi Tepung Tapioka Terhadap
Komposisi Gizi dan Evaluasi Sensori Nugget Daging Merah Ikan Madidihang.
Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan. 9(1):1-8 hlm.
Maulana, A. 2016. Analisis Parameter Mutu dan Kadar Flavonoid pada Produk Teh Hitam Celup.
(Skripsi). Universitas Pasundan. 58 hlm.
Meilgard, M., Civille G,V., dan Carr, B,T. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press.
Boca Raton. 464p.
Mutiara, N. 2010. Bahan Ajar Pengetahuan Bahan Pangan. Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta. 259 hlm.
Nofitasari, N., Baidar., dan Syarif, W. 2015. Pengaruh Penggunaan Jenis Ikan yang Berbeda
Terhadap Kualitas Pempek. Jurnal Ekonomi Rumah dan Pariwisata. 10(2): 1-18..
Nurjanah., Nitibaskara, R, R., dan Madiah, E. 2005. Pengaruh Penambahan Bahan Pengikat
Terhadap Karakteristik Fisik Otak-Otak Ikan Sapu-Sapu (Liposarcus Pardalis).
Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. 8(1): 1-11.
13
Rohmah, M, N. 2017. Kajian Perbandingan Ikan Patin (Pangasius. Sp) dan Pati Jagung serta
Lama Pengeringan Terhadap Karakteristik Pasta Kering Jagung. (Skripsi). Universitas
Pasundan. 165 hlm.
Sahlan, S., Liviawaty, E., Rostini, I., Dan Pratama, I, R. 2018. Perbedaan Jenis Ikan Sebagai
Bahan Baku Terhadap Tingkat Kesukaan Kamaboko. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
9(1): 129-133.
Sarastuti, M dan Sudarminto, S, Y. 2015. Pengaruh Pengovenan dan Pemanasan Terhadap
Sifat-Sifat Bumbu Rujak Cingur Instan Selama Penyimpanan. Jurnal Pangan dan
Agroindustri. 3(2): 464-475.
Standar Nasional Indonesia. 2015. SNI 7737-2015: Otak-Otak Ikan. Dewan Standardisasi
Nasional. Jakarta
Standar Nasional Indonesia.1992. SNI 01-2891-1992: Cara Uji Makanan Dan Minuman.
Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Subagio, A., Windrati, S. W., Fauzi, M. dan Witono, Y. 2004. Karakterisasi Protein Miofibril
Dari Ikan Kuniran (Upeneus Moluccensis) dan Ikan Mata Besar (Selar
Crumenophthalmus). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 14(1): 70-78.
Suryaningrum, D.T., Muljanah dan Tahapari. 2010. Profil Sensori dan Nilai Gizi Beberapa
Jenis Ikan Patin dan Hibrid Nasutus. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan
dan Perikanan. 5(2): 153-164.
Wardani, W.D. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Natrium Alginat dari Rumput Laut Sargassum
sp untuk Pembuatan Bakso Ikan Tenggiri (Scomberomus commerson). (Skripsi).
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hlm 67.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 76 hlm.
Yulientin, I. 2006. Penambahan Nilai Chicken Carcass Meat (CCM) Melalui Pengembangan
Produk Baru Perkedel Ayam Berkalsium. Di PT. Charoen Pokphand Indonesia –
Chicken Processing Plant, Cikande – Serang. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 67 hlm.