Tinjauan Historis: Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Tabi'in (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam Hanbali) Dalam Istinbat Al-Ahkam
Tinjauan Historis: Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Tabi'in (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam Hanbali) Dalam Istinbat Al-Ahkam
Tinjauan Historis: Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Tabi'in (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam Hanbali) Dalam Istinbat Al-Ahkam
net/publication/342169957
CITATIONS READS
0 134
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Muhammad Rijal Fadli on 15 June 2020.
Avaliable online at
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/tamaddun/index
Published by Departement of History and Islamic Culture, Faculty of
Ushuluddin Adab and Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Indonesia
Abstract
In this article, we discuss the history of Islamic legal thought in Tabi'in. It
was known at the time of Tabi'in that the development of Islamic law was
marked by the emergence of political sects implicitly pushing for the
formation of a legal stream. This is due to a number of factors including:
regional expansion and the different uses of Ra'yu. Indirectly the formation of
this stream proves that in Islam there is freedom of thought and each one
tolerates each other / mutual respect for that difference. This difference does
not become a barrier in the togetherness and ukhwah of Islam. In general, the
term tabi'in in the determination and application of the law follows the steps
taken by friends in istinbath al-ahkam. This Istinbath is carried out by means
of berijtihad in accordance with the provisions of Islamic sources, namely the
Qur'an, Sunnah, Ijma 'and Qiyas. The formation of schools of thought is
seen from the development of science, in this phase it is said to be a golden age
in the history of the development of Islamic law. The main factor driving the
development of Islamic law is due to the development of science in the Islamic
world. So that the Islamic schools of Islamic jurisprudence appeared after the
best friend and the al-Tabi'in Kibrar numbered thirteen schools. There were
thirteen mujtahids whose schools were recorded and followed by their
opinions, all of which were affiliated with the Ahl al-Sunnah sect. However,
only four well-known schools of thought are the Hanafi Imam, Imam Malik,
Imam Shafi'i and Imam Hanbali.
Keywords: Islamic law, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Shafi'i, Imam
Hanbali, Istinbath.
Copyright @ 2020 Author. Published Tamaddun:Jurnal Sejarah dan Kebudayaan
Islam
1. Pendahuluan
1
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans
Publishing, 2015), 87
2
Abdul Wahab Khallaf, Mashadir Al-Tasyri’ Al-Islami Fima La Nashsha Fiih,
(Kuwait: Dar Al-Qalam, 1956), 35
3
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), vii
2
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
berjalan seiring dengan gerak laju perkembangan umat Islam itu
sendiri. Hukum dalam Islam pastinya bersumber kepada Al-qur‟an
dan Hadist sehingga semuanya sudah dijelaskan dan ditentukan
secara gamblang dalam sumber tersebut. Dinamika perkembangan
pemikiran dalam hukum Islam pada masa Tabi‟in ini mengalami
masa keemasan karena banyak pembaharuan-pembaharuan dalam
istinbath al-ahkam/pengambilan hukum. Disini merupakan titik dari
kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam khususnya di dalam
hukum Islam.
Pada masa Tabi‟in pengambilan hukum Islam mempunyai
banyak variasi sebab di setiap masa-masanya selalu ada pembaharuan
dalam istinbath al-ahkam variasi disini arahnya terdapat perbedaan
dari setiap madzhab. Hal ini tidak terjadi masalah karena dengan
adanya perbedaan ini bahwa ilmu pengetahuan tentang Islam sangat
luas sehingga perbedaan-perbedaan ini tidak masalah dalam dunia
Islam. Melihat sejarahnya kemajuan-kemajuan dalam dunia Islam
terjadi adanya aliran-aliran politik secara implisit mendorong
terbentuknya aliran hukum. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya: perluasan wilayah dan perbedaan penggunaan Ra’yu.
Dalam mempelajari pemikiran ulama dan langkah ijtihadnya
menjadi penting, karena sebagai upaya konstruktif dalam memahami
produk pemikiran dan pola yang digunakan. Salah satu kaidah
dikatakan bahwa memelihara produk pemikiran ulama dan langkah-
langkah ijtihadnya serta mengembangkannya sehingga lebih maslahat
(almuhafazdatu ‘alaa qodimissholih wal-akhdzu bil jadidil ashlah)
“memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang
lebih baik”. Dengan begitu dalam mempelajari perkembangan hukum
Islam berarti telah melakukan langkah awal ijtihadnya untuk
ditransmisikan, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.4
Dengan demikian, bahwa pemikiran hukum Islam pada masa Tabi‟in
mengalami kemajuan pesat, dari setiap imam madzhab mempunyai
istinbat tersendiri. Dalam kajian ini hanya membahas pemikiran
hukum Islam masa Tabi‟in serta dalam metode istinbatnya dari
4
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 16
3
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
masing-masing madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟i
dan Imam Hanbali).
5
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 38
6
Mahmud Syaltout, Al-Islam Aqidah Wa Syariah, (Kairo: Dar Al-Qalam, 1966), 9
4
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
kaitannya dengan sejarah dan perkembangan hukum Islam itu
sendiri.
1. Syari‟ah
Secara etimologis (harfiah) syari’ah berarti al-‘utbah (liku-liku
lembah), al-‘atabah (ambang pintu dan tangga), maurid al-syaribah (jalan
tenpat peminum mencari air), dan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang
lurus).7 Syari‟ah dalam arti terminologi:
َو
ٍ اَّة
ِي َل
َوَو ع
ٍ ا
يةَّ ِ
ِدَائ
َق َام
ِ ع ْكَح
ْ ا
ِيِ ه
ٍِِباد َُّ
ِ ُة هللا
لع ٌَها س َ
ٍَّة
ِي ُُ
لق خ
Apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik
dalam bidang keyakinan (i’tiqodiyyah), perbuatan maupun akhlak.8
Dengan begitu dimaksud dengan syari‟ah ialah peraturan yang
telah ditetapkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk
manusia yang mencakup tiga bidang; keyakinan, perbuatan, dan
akhlak. Karena cakupannya yang luas, sehingga dalam pengertian ini
syari‟ah sama dengan agama (Islam).
Secara umum syari‟ah diartikan sebagai seperangkat norma
Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial.
Hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya,
atau dengan kata lain Syariah berisi peraturan-peraturan yang
mengatur aktifitas yang seharusnya dikerjakan manusia.9
Pada mulanya pengertian syari’ah sama dengan agama, dalam
perkembangannya istilah syari’ah secara khusus menunjuk kearah
hukum amaliyah. Pengkhususan ini karena agama pada dasarnya
ialah satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syari‟ah berlaku
untuk masing-masing umat dan berbeda-beda dengan umat
sebelumnya. Dengan demikian syari’ah lebih khusus dari agama
syariah merupakan hukum amaliyah yang berbeda menurut
perbedaan rasul yang membawanya.
7
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans
Publishing, 2015), 88
8
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 16
9
Latupono, Barzah, dkk, Buku Ajar Hukum Islam, (Yogyakarta: Deepuhlish, 2017),
10
5
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
Syariah ini kemudian didasari sebagai norma hukum yang
disyari‟atkan oleh Allah dan diperinci oleh Nabi Muhammad,
sehingga selain tertera di dalam Al-qur‟an, syari‟at juga terdapat
dalam As-Sunnah (Hadist). Dalam hadist Nabi dijelaskan bahwa
“umat Islam tidak akan pernah tersesat dalam perjalanan hidupnya di
dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada
Al-qur‟an dan sunah Rasulullah”. Posisi syariat disini sebagai
pedoman dan tolok ukur, bagaimana manusia dapat hidup di jalan
yang benar atau tidak. Selama didalam hidup tetap berpatokan
kepada ketentuan Al-qur‟an dan hadist nabí maka hidupnya akan
menjadi terarah.10
2. Tasyri‟
Kata tasyri’ memiliki akar kata yang sama dengan syari’ah,
kalau syari’ah berarti hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan
Allah yang menyangkut tindak-tunduk umat manusia. Sedangkan
tasyri’ bersangkutan dalam hal penetapan hukum dan aturan-aturan
tersebut.11 Secara terminologi tasyri’ adalah
َِيي َى
ًَا ء الق َْا
ًُِشَا َام
ِ و ى األَح
ْك َُا
بيََ َة
ِ و ُّ الشَّر
ِيع ِي َ س
هىُ
Penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan
penyusun perundang-undangan.12
Tasyri’ bisa dikatakan merupakan istilah teknis tentang proses
pembentukan fiqih atau peraturan perundang-undangan. Didalamnya
tercakup produk dan proses pembentukan fiqih atau perundang-
undangan. Jadi dalam hal ini istilah tasyri’ lebih tampak ke arah
pembentukan hukum. Dalam prosesnya penetapan hukum bersumber
kepada Al-qur‟an dan Hadist, maka ilmu asbab al-nuzul dan asbab al
wurud bagian yang tidak bisa dipisahkan dan diabaikan. Karena
dalam kaitannya sangat penting untuk memperhatikan langkah-
langkah berijtihad yang tela dilakukan oleh para ulama.
3. Fiqih
10
Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara
Books, 2016), 12
11
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans
Publishing, 2015), 88
12
Muhammad Kamil Musa, Al-Madkhal Ila Al-Tasyri’ Al-Islami, (Beirut: Muassasah
Al-Risalah, 1989), 17
6
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
Fiqih berasal dari bahasa arab dari masdarnya faqiha-yafqahu (-فقه
)يفقه, secara bahasa kata ini memiliki arti al-‘ilmu (pengetahuan) dan al-
fahmu (pemahaman).13 Sedangkan menurut Ajat Sudrajat fiqih secara
etimologis berarti “paham yang mendalam”.14
Fiqih secara terminologi syara‟ adalah :
َُ
ها لتِِي أد َسَبِ ه
ُكت ُ َة
الو َل
ِي َو
ِالع َةِيِع َام
ِ الشَّر ُ ب
ِاألحك ِلن الع
َة
ِ ِي
ِيل َْ
التفصَ
Fiqih adalah ilmu tentang hukum syara‟ bersifat amali (praktis)
yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci.15
Dengan demikian fiqih merupakan ilmu pengetahuan tentang
hukum syara‟ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali
satu persatu dalilnya. Maksud pengetahuan disini ialah pengetahuan
yang hanya sampai pada tingkatan dzan (asumsi/dugaan), hal ini
disebabkan dalam definisi diatas terdapat kata al-muktasab yang
artinya “diusahakan” dan mengandung pengertian adanya campur
tangan akal pikiran manusia dalam penarikan hukum-hukum dari
nash.16
Fiqih merupakan ilmu yang dengannya diketahui segala
hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf,
baik yang wajib, yang haram, dan yang mubah, harus diambil
(diistinbatkan) dari al-qur‟an dan Hadist dan dari dalil-dalil yang
telah tegas ditegakkan oleh syara‟, seperti qiyas umpamanya. Apabila
dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dan dalil-dalilnya,
maka yang dikeluarkan itu, dinamai Fiqih.17
Dalam hal ini bahwa kaitannya syari‟ah dan fiqih sangat dekat.
Untuk mengetahui dan menjelaskan keseluruhan apa yang
dikehendaki oleh Allah harus ada pemahaman yang mendalam
terhadap syari‟ah, sehingga secara amaliyah syari‟ah dapat
dilaksanakan dalam kondisi dan situasi apapun. Hasil pemahaman
13
Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara
Books, 2016), 8
14
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans
Publishing, 2015), 88
15
Fauzi, Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 7
16
Izomiddin, Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018), 7
17
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2017), 27
7
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
kemudian dituangkan kedalam bentuk ketentuan yang terperinci.
Ketentuan terperinci yang menjadi sandaran manusia (mukallaf) itu
adalah merupakan formulasi yang dilakukan para ulama, itulah
dikenal dengan fiqih. Secara ringkas fiqih adalah hasil formulasi dari
pemahaman para ulama (mujtahid) terhadap syari‟ah. Karena itulah
kemudian dikenal adalah fiqih maliki, fiqih hanafi, fiqih syafi‟i, fiqih
hambali. Adapun keistimewaan fiqih yaitu asasnya merupakan
wahyu Ilahi dan mencakup semua kebutuhan kehidupan, sifatnya
agamis, diikat dengan akhlak, balasannya tidak sama antara duniawi
dan ukhrawi, memperhatikan kemaslahatan pribadi dan masyarakat.
Fiqih penerapannya yang bersifat abadi dan tujuan akhirnya
kebahagiaan dunia dan akhirat.18
18
Fauzi, Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), 8
8
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam
penggunaan ra’yu (penalaran/pemikiran), sedangkan aliran ra’yu
lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan aliran hadits.
Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin
mendorong perkembangan ikhtilaf dan pada saat yang sama semakin
mendorong perkembangan hukum Islam.19
Dari masing-masing aliran memiliki pendapat tersendiri dan
memiliki murid serta pengikut tersendiri. Secara tidak langsung
terbentuknya aliran ini membuktikan bahwa dalam Islam terdapat
kebebasan berpikir dan masing-masing saling bertoleransi/saling
menghargai perbedaan itu. Perbedaan itu tidak menjadi penghalang
dalam kebersamaan dan ukhwah islamiyah. Secara umum masa
tabi‟in dalam penetapan dan penerapan hukum mengikuti langkah-
langkah yang telah dilakukan oleh sahabat dalam istinbath al-ahkam.
Langkah-langkah mereka yang dilakukan sebagai berikut: 1) mencari
ketentuannya didalam Al-qur‟an, 2) apabila ketentuannya tidak
didalam Al-qur‟an jadi dicari didalam Sunnah, 3) apabila tidak
didapatkan dalam Al-qur‟an dan Sunnah, mereka kembali pada
pendapat sahabat, 4) apabila pendapat sahabat tidak diperoleh maka
berijtihad.20 Dengan demikian, dasar-dasar hukum Islam pada
periode ini adalah; Al-qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan pendapat sahabat
(Ijtihad).
Dalam pembentukan madzhab dilihat dari semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan, pada fase ini dikatakan sebagai
zaman keemasan dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Faktor
utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah karena
berkembangannya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang
pesat ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh beberapa hal
yaitu; pertama banyaknya mawali yang masuk Islam. Dimana Islam
telah menguasai pusat-pusat peradaban Yunani: Antioch dan Bactra.
Kedua berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan.
19
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 16
20
‘Umar Sulaiman Al-‘asyqar, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami. (Amman: Dar Al-Nafa’is,
1991), 81
9
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
Ketiga adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-qur‟an
dengan dua cara yaitu dicatat (mushaf) dan dihafal.21
Menurut Thaha Jabir Fayadl Al‟ulwani dikutip dalam
Mubarok22 menerangkan bahwa madzhab fiqih Islam yang muncul
setelah masa sahabat dan kibrar al-tabi‟in berjumlah tiga belas aliran.
Pada masa ini, muncul tiga belas mujtahid yang madzhabnya
dibukukan dan diikuti pendapatnya. Ketiga belas aliran ini berafiliasi
dengan aliran Ahl al-sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat
diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukumnya. Adapun
diantara pendiri ketiga belas aliran itu adalah:23
1. Abu Sa‟id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w.110 H)
2. Abu Hanifah al-Nu‟man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H)
3. Al-Auza‟i Abu Amr Abd al-Rahman ibn Amr ibn
Muhammad (w. 157 H)
4. Sufyan ibn Sa‟id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Al-Laits ibn Sa‟d (w. 175 H)
6. Malik ibn Annas al-Bahi (w. 179 H)
7. Sufyan ibn Uyainah (w.198 H)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i (w. 204 H)
9. Ishaq ibn Rahawaih (w. 238 H)
10. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H
11. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H)
12. Daud ibn Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H)
13. Ibn Jarir At Thabary (w. 310 H)
Dari sejumlah nama di atas yang merupakan para fuquha
terkenal dan memiliki murid dan pengikut sampai sekarang, hanya
beberapa diantaranya; Abu Hanifah, Malik ibn Annas, Muhammad
ibn Idris al-Syafi‟i, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Keempat
fuquha ini dengan pengikutnya kemudia terkenal dalam madzhab
21
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 67-68
22
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 70
23
Abdillah, Nanang. Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan. Jurnal
Fikroh Vol. 8 No. 1 Juli (2014): 22-23
10
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
pemikiran fiqih dengan sebutan; Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah,
dan Hanbaliyah.
1. Madzhab Hanafi
Aliran ini berasal dari nama tokoh sentral dalam pemikiran
fiqih, yaitu Abu Hanifah al-Nu‟man ibn Tsabit ibn Zuhti (80-150 H).
Abu Hanifah mengalami kekuasaan dua dinasti Islam, yaitu masa
dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Beliau hidup selama 52 tahun pada
dinasti Umayyah, dan 18 tahun pada dinasti Abbasiyah. Pada
awalnya beliau adalah seorang pedagang, tetapi atas anjuran seorang
ulama (al-Sya’bi), kemudian beralih menjadi pengembang ilmu. Abu
Hanifah tergolong sebagai generasi ketiga setelah Nabi Muhammad
saw (at-ba’ al-tabi’in). Ia belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ahl al-
ra’yu). Dan karena itu pula dalam perkembangan pemikiran fiqihnya
ia merepresentasikan aliran al-ra’yu.
Abu Hanifah tidak memulai pembelajaran dari fiqih, tetapi
memulai dengan ilmu kalam sehingga hal ini yang menyokong dalam
pembentukkan metode berfikirnya yang rasional dan realistis. Pada
perkembangannya, ia dikenal dengan sebutan ahl ra’yu dalam fikih
dengan metodenya yang terkenal, yaitu istihsan.24
Dalam Thaha Jabir Fayadi al-„Ulwani25 memaparkan
pembagian cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua cara, yaitu cara
ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan, cara
ijtihad (istinbath) yang pokok yang dilakukan Ahu hanifah sebagai
berikut: 1) Sumber utamanya adalah merujuk kepada al-Qur‟an, 2)
Apabila tidak ditemukan di dalam Al-qur‟an, Ia merujuk kepada
Sunnah Nabi dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang
orang yang tsiqah, 3) Apabila tidak mendapatkan pada keduanya, Ia
mencari qaul para sahabat. Sedangkan cara ijtihad yang tambahan
menurut Ajat Sudrajat26 adalah: 1) Bahwa dilalah lafad umum (‘am)
24
Juliansyahzen, M. Iqbal. Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian
Sosio-Historis Seputar Hukum Keluarga. Jurnal Al-Mazahib Volume 3, Nomor 1, Juni
(2015): 76
25
Thaha Jabir Fayadi Al-‘Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. (Washington: The
International Institute of Islamic Thought, 1987), 91
26
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans
Publishing, 2015), 99
11
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
adalah qath’i, seperti lafad khash, 2) Bahwa pendapat sahabat yang
tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus, 3)
Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih),
4) Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan
shifat, 5) Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang
dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan riwayatnya, 6)
Mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan, 7)
Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
2. Madzhab Maliki
Imam Malik adalah imam yang kedua dari Imam-imam empat
serangkai dalam Islam. Dari segi umur Ia dilahirkan di kota Madinah,
suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari
ahad 10 Rabi‟ul Awal 179 H/ 798 M di Madinah. Imam Malik wafat
pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Harun Ar-
Rasyid. Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdillah Malik bin
Anas As Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu „Amir bin Harits. Imam
Malik dikenal sebagai seorang yang berbudi mulia dengan pikiran
cerdas, pemberani, dan teguh mempertahankan kebenaran yang
diyakininya. Kedalaman ilmu menjadikan beliau amat tegas dalam
menentukan hukum syar‟i.27
Pada usia remaja, Malik ibn Annas, belajar dan menghafal Al-
qur‟an. Kemudian ibunya mendorong Malik untuk belajar fiqih aliran
rasional kepada imam Rabi’ah al-Ra’yu, yang juga berasal dari
Madinah. Malik juga belajar kepada faqih yang lain, yaitu Yahya ibn
Sa‟id di samping belajar fiqih, Malik ibn Anas juga mempelajari
hadits-hadits Nabi, antara lain kepada Abdurrahman ibn Hurmuz,
Nafi Maula ibn Umar, lbn Syihab al-Zuhri, dan Sa‟id ibn Musayyab.
Hadits-hadits yang Ia terima dari gurunya dituangkan dalam suatu
kitab yang disusunnya, dan diberi nama al-Muwattha sehingga imam
Malik dikenal dengan ahl al-hadits.28
27
Danu Aris Setiyanto, Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan
Sejarah Sosial). Al-ahkam Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol. 1, Nomor 2, (2016): 106-108
28
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans
Publishing, 2015), 100
12
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
Cara ijtihad (istinbath) Imam Malik melalui langkah-langkah
ijtihad sebagai berikut: 1) mengambil dari Al-qur‟an, 2) menggunakan
zhahir Al-qur‟an yaitu lafad-lafad yang umum (Sunnah Nabi), 3)
menggunakan dalil Al-qur‟an yaitu mafhum al-muwafaqoh, 4)
menggunakan mafhum Al-qur‟an yaitu mafhum mukhalafah, 5)
menggunakan tanbih Al-qur‟an yaitu memperthatikan illat. Kemudian
dalam madzhab imam Malik lima langkah itu disebut sebagai Ushul
Khamsah. Langkah-langkahnya dalam Askar Saputra29 adalah; 1)
ijma‟, 2) qiyas, 3) amal penduduk Madinah, 4) istihsan, 5) saad al-
dzara’i, 6) al-maslahah al-mursalah, 7) qoul shohabi, 8) mura’at al-khilaf, 9)
al-istishhab, 10) syar`u man qoblanaa. Sebenarnya para penerus imam
Malik dalam menggunakan dalil hukum bersumber kepada Al-qur‟an,
Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas.30
3. Madzhab Sayafi‟i
Nama lengkap imam Syafi‟i adalah Muhammad bin Idris bin
al-Abbas bin Syafi'i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim
bin al-Mutholib bin Abdi Manaf. Dari pihak Ibu al-Syafi'i adalah cucu
saudara perempuan ibu sahabat Ali bin Abi Thalib. Jadi ibu dan
bapak al-Syafi'i adalah dari suku Quraisy. Bapak beliau berkelana dari
Makkah untuk mendapatkan kelapangan penghidupan di Madinah,
lalu bersama dengan ibu al-Syafi'i meninggaikan Madinah menuju ke
Gaza untuk akhirnya beliau wafat di sana setelah dua tahun kelahiran
al-Syafi'i. Dalam catatan yang lain al-Syafi'i lahir dalam keadaan
yatim, pada bulan Rajab Tahun 150 H. (767 M) di Gaza, Palestina.31
Pada umur 9 tahun Imam Syafi‟i telah hafal Al-qur‟an. Setelah
itu beliau melanjutkan belajar bahasa Arab, hadits dan fiqih. Diantara
gurunya ialah imam Malik dan beliau hafal kitab al-Muwatha. Setelah
imam Malik wafat, imam Syafi‟i mulai melakukan kajian-kajian
hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih, bahkan telah menyusun
metodologi kajian fiqih. Dalam kajian fiqihnya, al-Syafi‟i
29
Askar Saputra, Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik. Jurnal Syariah
Hukum Islam Vol 1, No 1, (2018): 30-311
30
Thaha Jabir Fayadi Al-‘Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, (Washington: The
International Institute of Islamic Thought, 1987), 93-94
31
Rohidin. Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'i. Jurnal Hukum No. 27
Vol 11 September, (2004): 98
13
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
mengemukakan pendapat bahwa hukum Islam harus bersumber
kepada Al-qur‟an dan Sunnah serta Ijma‟. Apabila ketiga sumber ini
belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas dan pasti, al-Syafi‟i
telah mempelajari qaul sahabat, dan baru kemudian ijtihad dengan
qiyas dan istishab.32
Imam Syafi‟i pada usia 20 tahun pergi ke Madinah dan belajar
kepada imam Malik. Lalu tahun 195 H beliau pergi ke Baghdad dan
belajar kepada Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibaniy (murid Abu
Hanifah) selama 2 tahun. Setelah itu beliau kembali ke Makkah dan
kembali ke Baghdad dan menetap disana selama beberapa bulan.
Selanjutnya melakukan perjalanannya lagi ke Mesir dan menetap
disana sampai wafat pada 29 Rajab tahun 204 H. Maka dari itu
didalam diri imam Syafi‟i terhimpun pengetahuan-pengetahuan fiqih
ashab al-hadits (imam Malik) dan fiqih ashab al-ra’yu (Abu Hanifah).33
Cara ijtihad (istinbath) imam al-Syafi‟i seperti imam-imam
madzhab yang lainnya, namun al-Syafi‟i disini menentukan thuruq al-
istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya
adalah; Ashal yaitu Al-qur‟an dan Sunnah. Apabila tidak ada
didalamnya maka beliau melakukan qiyas terhadap keduanya.
Apabila hadits telah muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia
termasuk berkualitas. Makna hadits yang diutamakan adalah makna
zhahir, ia menolak hadits munqathi’ kecuali yang diriwayatkan oleh
Ibn al-Musayyab pokok (al-ashl) tidak boleh dianalogikan kepada
pokok, bagi pokok tidak perlu dipertanyakan mengapa dan
bagaimana (lima wa kaifa), hanya dipertanyakan kepada cabang
(furu’).34
Imam Syafi‟i mengatakan dalam Muhammad Kamil Musa35
bahwa; ilmu itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama adalah Al-qur‟an
dan Sunnah, kedua ialah ijma‟ terhadap sesuatu yang tidak terdapat
32
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, (Malang: Intrans
Publishing, 2015), 101
33
Abdul Karim, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya.
Jurnal Riwayah Vol. 1, No. 2, September (2015): 188-189
34
Thaha Jabir Fayadi Al-‘Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, (Washington: The
International Institute of Islamic Thought, 1987), 95
35
Muhammad Kamil Musa, Al-Madkhal Ila Al-Tasyri’ Al-Islami. (Beirut: Muassasah
Al-Risalah, 1989), 254
14
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
dalam Al-qur‟an dan Sunnah. Ketiga adalah qaul sebagian sahabat
tanpa ada yang menyalahinya, keempat adalah pendapat sahabat
Nabi Saw yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda
(ikhtilaf) dan kelima adalah qiyas. Dengan demikian, dalil hukum
yang digunakan oleh imam Syafi‟i adalah Al-qur‟an, Sunnah dan
Ijma‟. Sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah qiyas dan
takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya.
Ikhtilaf antara madzhab ahl al-ra’yu dan madzhab ahl al-ḥadits
sebenarnya telah berakhir pada masa imam Syafi‟i karena beliau telah
menggabungkan dua metodologi dalam mengistinbatkan hukum
Islam. Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Syafi‟i memiliki dua
qaul, yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Pemetaan istilah tersebut dengan
melihat dimana tempat beliau memutuskan hukum. Pendapat imam
Syafi‟i yang difatwakan dan ditulis di Irak (195-199 H) dikenal dengan
qaul qadim. Sedangkan hasil ijtihad Imam Syafi‟i yang digali dan
difatwakan selama ia bermukim di Mesir (199-204 H), dikenal dengan
qaul jadid.36
Kebanyakan pendapat imam Syafi‟i sewaktu menetap di Irak
banyak dituliskan dalam al-Risalah al-Qadimah dan al-Hujjah, yang
populer dengan sebutan al-Kitab al-Qadim. Sedangkan qaul jadid yang
dirumuskan imam Syafi‟i setelah beliau berdomisili di Mesir
diabadikan dalam beberapa kitab, yaitu: al-Risalah al-Jadidah, al-Umm,
al-Amali, al-Imla' dan lain-lain. Itulah pendapat imam Syafi‟i tentang
qaul qadim dan qaul jadid yang sering dijadikan alasan oleh
pembaharu untuk memodifikasi fiqih Islam. Selain itu juga ada
pendapat-pendapat imam Syafi‟i yang di cantumkan dalam kitab
yang sering dikenal dengan kitab al-‘Umm, didalam kitab ini
menjelaskan pendapat-pendapat imam Syafi‟i tentang hukum-hukum
Islam.
4. Madzhab Hanbali
Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Al-Syaibani
dilahirkan di Baghdad (Iraq) tepatnya dikota Maru/Merv, kota
36
Ainol Yaqin, Evolusi Ijtihad Imam Syafi’i: Dari Qawl Qadim Ke Qawl Jadid.
Jurnal Al-Ahkam Volume 26, Nomor 2, Oktober (2016): 146-147
15
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
kelahiran sang ibu, pada bulan Robi`ul Awwal tahun 164 H atau
Nopember 780 M. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad
Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn As`ad Ibn Idris Ibn Abdillah Ibn Hayyan Ibn
Abdillah Ibn Anas Ibn `Auf Ibn Qosit Ibn Mazin Ibn Syaiban Ibn Zulal
Ibn Ismail Ibn Ibrahim. Dengan kata lain, Ia adalah keturunan Arab
dari suku bani Syaiban, sehingga diberi laqab Al-Syaibani.37
Imam Hanbal dibesarkan di Baghdad dan mendapatkan
pendidikan awalnya dikota tersebut hingga usia 19 tahun (riwayat
lain menyebutkan bahwa Ahmad pergi keluar dari Bagdad pada usia
16 tahun). Pada umur yang masih relative muda ia sudah dapat
menghapal Al-Qur`an. Sejak usia 16 tahun Ahmad juga belajar hadits
untuk pertama kalinya kepada Abu Yusuf, seorang ahli al-ra`yu dan
salah satu sahabat Abu Hanifah. Kemudian gurunya dalam pemikiran
fiqih ia belajar kepada imam Syafi‟i, dan imam Hanbal banyak
mempergunakan Sunnah sebagai rujukan. Beliau tergolong orang
yang mengembangkan fiqih tradisional. Dalam hidupnya imam
Hanbal banyak melakukan analisis-analisis terhadap hadits-hadits
Nabi dan kemudian disusun berdasarkan sistematika isnad, sehingga
karyanya imam Hanbal dikenal dengan sebutan kitab Musnad. Imam
Hanbal juga dikenal sebagai ulama ahli fiqih dan ahli hadits yang
masyhur dikalangan masyarakatnya. Pandangannya berpengaruh
dikalangan masyarakat.
Ijtihad (istinbath) imam Ahmad ibn Hanbal dijelaskan oleh
Thaha Jabir Fayadl al-„Ulwani38 bahwa cara ijtihad imam Hanbal
sangat dekat dengan ijtihad yang dipakai oleh imam Syafi‟i.
Selanjutnya pendapat-pendapat imam Ahmad ibn Hanbal dibangun
atas lima dasar diantaranya:
1. Al-nushush dari Al-qur‟an dan Sunnah, apabila telah ada
ketentuan dalam Al-qur‟an dan Sunnah. Beliau berpendapat
sesuai dengan makna yang tersurat, makna yang tersirat ia
abaikan.
37
Abdul Karim, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya. Jurnal
Riwayah Vol. 1, No. 2, September (2015): 353
38
Thaha Jabir Fayadi Al-‘Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, (Washington: The
International Institute of Islamic Thought, 1987), 96
16
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
2. Jikalau tidak didapatkan dalam Al-qur‟an dan Sunnah maka
menukil fatwa sahabat, dan memilih pendapat sagabat yang
disepakati sahabat lainnya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda maka memilih salah satu
pendapat yang lebih dekat kepada Al-qur‟an dan Sunnah.
4. Imam Ahmad ibn Hanbal menggunakan hadits mursal dan
dhaif apabila tidak ada atsar, qaul sahabat atau ijma‟ yang
menyalahinya.
5. Apabila hadits mursal dan dhaif sebagaimana diisyarattkan di
atas tidak didapatkan maka menganalogikan (qiyas). Dalam
pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan
dharurat (terpaksa).
6. Langkah terakhir adalah menggunakan sadd al-dzara’i yaitu
melakukan tindakan yang prepentif terhadap hal-hal yang
negatif.39
Pemikiran fiqih Ahmad bin Hanbal merujuk pada fatwa
sahabat tanpa membedakan apakah fatwa itu mempunyai dasar dari
sunnah atau atsar atau sekedar diperoleh dari ijtihad mereka.
Sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa Ahmad bin Hanbal telah
menghidupkan fatwa-fatwa sahabat tanpa verifikasi ilmiah yang
memadai tetapi ia menganggap fatwa-fatwa itu sebagai rujukan
kedua setelah hadis dalam memahami agama dan hukum syara‟
adalah satu kenyataan yang sulit dibantah. Dengan demikian, maka
dapat diasumsikan bahwa keteguhan Ahmad bin Hanbal dalam
mengedapankan fatwa-fatwa sahabat sebagai rujukan dalam istinbat
hukumnya cukup menjadi indikator bahwa dari jalur inilah pemikiran
fiqih sahabat membentuk pemikiran fiqh Ahmad bin Hanbal. Imam
Hanbal tidak pernah menggunakan qiyas, penggunaan qiyas pernah
dilakukan oleh gurunya tidak banyak berpengaruh pada Ahmad bin
Hanbal bahkan sikap dan pemikirian fiqh Ahmad bin Hanbal
cenderung fundamentalistik dalam memegang hadis.40 Sebagaimana
dilakukan sebagian besar sahabat telah menjadi potensi dasar bagi
39
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), 38
40
M. Mawardi Djalaluddin, Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab Ibnu Hanbal. Jurnal
Al-Daulah Vol. 6, No. 1, Juni (2017): 21-22
17
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
upayanya untuk melakukan perombakan pemahaman agama yang
dianggap telah mengalami distorsi oleh kepentingan politik dan aliran
pada zamannya menuju pemahaman komprehensif para sahabat.
3. Penutup
Hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan
yang bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. untuk
mengatur tingkah laku manusia di tengahtengah masyarakatnya.
Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan
sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam. Dalam berbicara
tentang hukum Islam sebagian sistem hukum mempunyai beberapa
istilah-istilah yang perlu dijelaskan terlebih dulu,supaya tidak terjadi
kebingungan dalam memahami maknanya. Dalam kajian ini diawali
penjelasan tentang istilah-istilah dalam hukum Islam seperti (Syari‟ah,
Tasyri‟ dan Fiqih).
Hukum Islam masa Tabi‟in yang dikenal empat madzhab yaitu
Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali. Pada fase
tabi‟in hukum Islam mengalami kemajuan pesat, perkembangan
hukum Islam ini ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik
secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: perluasan wilayah dan
perbedaan penggunaan Ra‟yu. Faktor utama yang mendorong
perkembangan hukum Islam adalah karena berkembangannya ilmu
pengetahuan di dalam dunia Islam. Berkembang pesat ilmu
pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh beberapa hal yaitu;
pertama banyaknya mawali yang masuk Islam. Dimana Islam telah
menguasai pusat-pusat peradaban Yunani: Antioch dan Bactra. Kedua
berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan. Ketiga
adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-qur‟an dengan dua
cara yaitu dicatat (mushaf) dan dihafal. Dari setiap madzhab pasti
terdapat perbedaan-perbedaan dalam beristinbath atau pengambilan
hukum Islam karena dari masing-masing mempunyai cara-cara ijtidah
tersendiri seperti ijma‟, qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, saad
al-dzara’i, al-maslahah al-mursalah, qoul shohabi, mura’at al-khilaf, al-
istishhab, syar`u man qoblanaa, dari cara ini semua pastinya sesuai
18
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
dengan ketentuan sumber hukum Islam yaitu Al-qur‟an dan Sunnah
(Hadist).
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Abdul. (2015). Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab
Musnadnya. Jurnal Riwayah Vol. 1, No. 2, September.
19
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
Mubarok, Jaih. (2000). Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yaqin, Ainol. (2016). Evolusi Ijtihad Imam Syafi‟i: Dari Qawl Qadim
Ke Qawl Jadid. Jurnal Al-Ahkam Volume 26, Nomor 2, Oktober.
20
Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume (8), Issue (1), July 2020
View publication stats