611-Article Text-1662-1-10-20190925 PDF
611-Article Text-1662-1-10-20190925 PDF
611-Article Text-1662-1-10-20190925 PDF
Abstract
Aliran Kepercayaan constitutes a cultural heritage of Indonesia,
inherited from generation to generation. Aliran Kepercayaan
however have been often measured on the perspective of
Indonesian six official religions that eventually bear
misjudgment. The divergent of belief system either in terms of
religious teachings and practices finally comes as counter
argument in responding the existence of Aliran Kepercayaan.
This article tries to examine the existence of Aliran Kepercayaan
in Mojokerto namely Aboge religiously and socially in relation
with the social and political condition of Indonesia. State’s
constitution indeed guarantees religious freedom for the
people to worship in accordance with someone’s belief.
However, the reality is different at all. Some Aliran Kepercayaan
experienced persecution by religious extremist and by the
State. Aboge itself often becomes controversial for its Muslim
neighborhood. Negative and positive assumption are attached
on them in an exchange. Two different interpretations reflect
on the Aboge’s religious practices and teachings. For this
reason, this article attempts to scrutinize the religious practices
and teachings in correlation with spiritual tradition on the
Javanese people that specialized mysticism in any matters. It
also is aimed to explain the state intervention toward the
religious life of Aliran Kepercayaan based on the perspective of
six official religions.
Keywords: Aboge, Religious Practices and Teachings,
Kejawen and State Policy.
Masagung, 1985), 4.
92|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
yang diakui dan mendapat hak penuh dalam hal keagamaan dan Aliran
Kepercayaan seperti dianaktirikan dan tidak diakui dalam kehidupan
beragama di Indonesia.
Seperti halnya dalam peraturan Menteri Agama no. 9/1952/pasal
4 yang menyatakan bahwa Aliran kepercayaan merupakan suatu bentuk
budaya keterbelakangan yang masih mengacu pada kepercayaan nenek
moyang.5 Dan juga penafsiran dari undang-undang pasal 29 tahun 1945
yang secara tidak langsung memisahkan antara Aliran kepercayaan dan
Agama.6
Undang-undang tersebut merupakan wujud ketidakpedulian
Negara terhadap Aliran kepercayaan di Indonesia. Pada akhirnya, hal
tersebut berimbas kehidupan sosial penganut Aliran kepercayaan seperti
halnya masalah terkait dengan administrasi negara yang terkesan
mendiskriminasikan penganut Aliran Kepercayaan. Selain itu, lebih lanjut
lagi terkait dengan kehidupan sosial penganut Aliran Kepercayaan yang
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sekitar yang notabene
adalah pemeluk agama mayoritas.7 Dari situ, Tedi berpendapat bahwa
penafsiran pada pasal 29 tahun 1945 terkait dengan pemisahan antara
Agama dan Kepercayaan menjadi penyebab utama dalam isu agama lokal
di Indonesia.8
Kejawen sebagai salah satu Aliran Kepercayaan tidak luput dari
permasalahan tersebut. Sebagai agama asli Jawa, Kejawen adalah cara
pandang masyarakat Jawa terkait dengan keagamaan, kepercayaan dan
juga tradisi.9 Kartapradja menambahkan bahwa Kejawen adalah segala
5 Ramstedt Martin, Hinduism in Modern Indonesia a Minority Religion Between Local, National
and Global Interest (Routledge, 2005), 9.
6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal
dan Diskriminasi Hak Sipil (Semarang: Rasail Media Group, 2009), 178.
9 Hakiki, Kiki Muhamad, “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran
94|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
tanpa melihat jarak dan lokasi dan mbegendeng yang mana berperilaku
seperti layaknya orang gila. Ritual-ritual tersebut merupakan jalan untuk
mencapai penyatuan diri dengan sang maha kuasa atau Tuhan.
Dalam kehidupan sosial, ritual dan ajaran Aboge sering kali
dipandang negatif oleh kebanyakan orang sekitar mereka. Sebagian
masyarakat di Mojokerto menganggap bahwa praktik tersebut adalah
praktik sesat yang menyimpang dari ajaran agama. Namun sebagian kecil
masyarakat menganggap bahwa praktik dan ajaran tersebut merupakan
bentuk tradisi spiritual keagamaan Jawa. Dari sini, penelitian ini mencoba
untuk menjabarkan secara singkat terkait dengan praktik keagamaan
orang Aboge beserta dengan ajarannya. Selain itu, penelitian ini mencoba
untuk mempermasalahkan kerumitan kehidupan beragama di Indonesia.
Seperti yang sudah dijelaskan di beberapa literatur bahwa rumitnya
kehidupan beragama di Indonesia dikarenakan oleh aturan Negara yang
ambigu dengan nilai-nilai kebebasan beragama.
Ajaran Aboge
Aboge merupakan Aliran Kejawen yang ada di Mojokerto-Jawa
Timur. Aliran ini tidak mempunyai struktur kelembagaan seperti halnya
Aliran Kejawen pada umumnya. Aliran Aboge merupakan kelompok
spiritual yang berada di berbagai tempat di Mojokerto. Mereka lebih
dikenal dengan orang kebatinan. Pada saat ini kebanyakan penganut
Aboge tinggal di Mojokerto namun mereka tidak di satu lokasi tertentu
melainkan menyebar ke beberapa tempat di Mojokerto, Sidoarjo dan
Surabaya. Ada juga beberapa dari mereka yang memilih hidup di suatu
tempat terpencil misalnya di gua dan di hutan area sekitar gunung
welirang dan penanggungan yang ada di Mojokerto.12
Aliran Aboge pada dasarnya mengacu pada pencapaian spiritual
dalam kehidupan manusia. Hal ini mengacu pada pemahaman seseorang
terkait spiritualisme yang merujuk pada pertanyaan ontologi yaitu tentang
keberadaan manusia di dunia. Aboge adalah sebuah label bagi mereka
yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam hal spiritualisme.
96|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
manusia di sini adalah pohon, gunung, sungai, batu, hewan dan lain
sebagainya. Aboge memahami mereka (non-manusia) adalah
person/orang yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dalam
konteks ini, Aboge memahami bahwa untuk dapat bersatu manusia harus
bias memahami keberadaan person lain (makhluk non-manusia) sebagai
wujud dari eksistensi yang maha kuasa. Selain itu, orang Aboge
memahami non-manusia mempunyai jiwa seperti manusia. Oleh karena
itu, sikap yang diutamakan dalam perilaku orang Aboge adalah
menghargai mereka layaknya manusia lain.
Dalam kaitannya dengan ritual Aboge, ritual tersebut
dimaksudkan untuk menyinkronkan setiap elemen kehidupan termasuk
manusia dan makhluk non-manusia agar bias bersatu dengan zat yang
maha agung atau dalam artian Manunggal (bersatu dengan Tuhan).
Untuk alasan tersebut, ritual adalah sebuah penyegaran kembali
hubungan antar subjek antara manusia dan non-manusia untuk mencapai
tahap Manunggaling.
Praktik-praktik keagamaan dari Aboge disebut juga Laku. Laku
berasal dari bahasa Jawa yang artinya suatu kegiatan spiritual untuk
meningkatkan spiritualitas seseorang dalam hal spiritualisme. Tidak ada
aturan khusus melakukan Laku. Dalam prosedurnya, ada dua cara Laku
yaitu individu dan kelompok. Cara individu yaitu kegiatan yang dilakukan
secara personal dalam bentuk dan pola yang berbeda tiap individunya.
Dan cara komunal yaitu dilakukan oleh beberapa orang berdasarkan
pedoman yang dari Guru.
Laku dalam pemahaman orang Aboge adalah urusan personal.
Hal ini karena tiap individu mempunyai cara dan tujuan tersendiri dalam
melaksanakan Laku. Selain itu, tidak ada ketetapan waktu dan lokasi
dalam menjalankan Laku. Sementara itu berbeda dengan Laku dalam
kaitannya dengan Aboge dalam suatu kelompok. Sering kali Laku yang
akan dikerjakan tergantung pada sesepuh atau guru spiritual mereka. Jadi,
meskipun terdapat prosedur yang berbeda terkait dengan Laku (secara
individu dan kelompok), praktik keagamaan ini memiliki tujuan yang
sama yaitu untuk dapat bersatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawulo
Gusti”. Di bawah ini, beberapa praktik Laku dalam pemahaman orang
Aboge.
98|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
perjalanan ke puncak gunung Arjuna yang dilakukan setiap tahun oleh
sebagian penganut Aliran Kejawen di Jawa.
3. Ritual Poso
Ritual “Poso” atau puasa merujuk pada pengertian menahan hawa
nafsu untuk makan, minum, berbicara, seks dan sebagainya. Orang
Aboge memahami bahwa nafsu manusia tidak hanya berkisar tentang
nafsu makan dan minum akan tetapi juga nafsu lainnya seperti berbicara,
mendengar dan seksualitas. Poso juga erat kaitannya dengan “Roso/Rasa.”
Oleh karena itu, Poso didefinisikan sebagai Ngeposno Roso atau
mengekang hawa nafsu. Ritual ini tergolong dalam ritual individu yang
bertujuan untuk menahan nafsu manusia sehingga bias merasakan rasa
sejati atau Sejatine Roso. Hal itu berarti rasa tidak hanya mencakup tentang
rasa dalam pengertian umum duniawi akan tetapi dibalik rasa itu ada
tingkat rasa yang tertinggi yaitu Roso Sejati atau Sejatine Roso.17 Dalam
ajaran agama Jawa, ada banyak bentuk Poso seperti: Poso Pati Geni yang
tidak boleh terkena sinar matahari, Poso Mutih yang hanya makan nasi
putih dan air putih, Poso Weton atau puasa berdasarkan waktu kelahiran,
Poso Ngalong atau puasa dengan cara tidak tidur selama beberapa hari
siang dan malam dan lain sebagainya.18
4. Ritual Sembahyang
Ritual sembahyang atau disebut juga Sesembahan Sanghyang yaitu
penyembahan terhadap Tuhan yang maha esa. Ritual Ini adalah ritual
umum yang rutin dilakukan oleh setiap orang Kejawen. Sembahyang
tidak dibatasi oleh waktu, tempat atau ruang. Sembahyang mempunyai
bermacam bentuk dan pola tergantung pada ajaran yang diterima oleh
pelaku ritual. Ritual ini juga disebut sebagai Neng Ning, yang berarti
100|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
Pernyataan kasar terkait dengan hal itu adalah label sesat, gila,
aneh dan lain sebagainya yang disematkan oleh sebagian besar
masyarakat terhadap penganut Aliran Aboge. Bahkan karena label
tersebut, salah satu penganut Aliran Aboge pada tahun 2010 hampir
diusir oleh sebagian orang yang ada di sana termasuk juga pejabat desa.
Jika menganalisis hal tersebut, tidak bias dipungkiri bahwa Aliran
kepercayaan memang bukan termasuk dalam kategori agama di Indonesia
melainkan sebagai bentuk kebudayaan. Dengan kata lain, stigma negatif
terhadap penganut Aliran tersebut juga dikarenakan oleh campur tangan
Negara dalam mengatasi keragaman agama di Indonesia.
Dengan demikian, jika menghubungkan dengan peraturan
Negara dan lembaga yang khusus menangani Aliran kepercayaan seperti
Bakorpakem, maka ritual tersebut akan menjadi masalah serius. Hal ini
karena ritual tersebut akan dianggap sebagai penghujatan dan
penyalahgunaan terhadap salah satu agama yang berlaku di Indonesia.
Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang PNPS tahun 1965
tentang pencegahan penodaan agama dan penyalahgunaan dalam pasal 1
nomor 2 yang singkatnya mengatakan bahwa seseorang dilarang di muka
umum melakukan penafsiran terhadap agama dan melakukan kegiatan-
kegiatan yang mirip dengan agama yang berlaku.
Dengan adanya undang-undang tersebut, negara melalui
Bakorpakem bertindak untuk menghentikan kegiatan tersebut. Namun,
perlu juga adanya syarat-syarat lain seperti halnya rekomendasi dari
lembaga keagamaan tertentu seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI)
untuk menilai kegiatan tersebut. Oleh karena itu, ritual Aboge kaitannya
dengan sosial erat hubungannya dengan negara dan Bakorpakem sebagai
eksekutornya. Dengan demikian, praktik-praktik ritual di luar enam
agama akan dianggap sebagai praktik ilegal yang harus dihentikan dan
dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
102|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
kepada pemerintah tindakan pencegahan sehingga membawa penganut
Aboge kembali ke ajaran Islam. Demikian asumsi negatif yang sempat
melekat pada orang Aboge karena tindakan keagamaan yang dinilai
melecehkan agama Islam. Berbeda dengan sebagian kecil masyarakat
yang pernah mendalami ilmu Kejawen, kegiatan agama tersebut dianggap
sebagai cerminan ajaran asli Jawa.
Asumsi lain yang bermunculan dalam pandangan sebagian kecil
masyarakat muslim di Mojokerto adalah sebagai orang yang memiliki
pemahaman lebih jauh tentang ketuhanan. Kadang mereka dianggap
sebagai Wong Ngerti (orang bijak), Wong Pinter (orang penuh
pengetahuan), dan kadang juga menyamakan dengan Wali atau dalam
istilah Islam berarti kekasih Allah. Hal ini dikarenakan tindakan dan
kemampuan orang Aboge melebihi kemampuan orang biasa pada
umumnya seperti halnya dapat mengobati orang yang sakit, melihat
makhluk halus dan juga keistimewaan-keistimewaan lainnya. Beberapa
dari masyarakat percaya bahwa ketika manusia telah mencapai tingkat
tertentu dalam kehidupan spiritualitasnya maka orang tersebut sudah
hampir mencapai kesempurnaan sejati. Oleh karena itu, sebagian kecil
orang menganggap mereka sebagai orang-orang pilihan, orang-orang
suci, dan orang-orang yang memahami jati diri mereka sendiri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada dua sisi dalam
hal melihat Aliran Aboge di masyarakat Muslim Jawa. Beberapa dari
mereka tidak setuju dengan keberadaan mereka dan juga menurunkan
Aliran Aboge karena tidak sejalan dengan Islam apalagi itu bukan bagian
dari agama resmi di Indonesia. Tapi, di sisi lain beberapa dari mereka
setuju dengan atau dapat dikatakan tidak mempermasalahkan keberadaan
Aliran Aboge dalam masyarakat Muslim Jawa untuk mereka
menggambarkan arti sebenarnya dari cara hidup orang Jawa dan tradisi.
104|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
3. Pemahaman tentang Alam
Alam merupakan makhluk Tuhan sama seperti manusia. Alam
meliputi matahari, gunung, pohon, bumi, hewan dan sebagainya adalah
makhluk hidup. Mereka hidup berdampingan dengan manusia, berbagi
dan menyembah kepada Tuhan dalam cara tertentu. Orang Aboge
percaya bahwa matahari yang bergerak mengikuti arahnya adalah contoh
dari penyembahan terhadap Tuhan yang dilakukan oleh matahari.
4. Pemahaman Tentang Kehidupan Setelah Kematian
Orang Aboge tidak mengenal kehidupan setelah kematian namun
mereka mengenal istilah reinkarnasi. Selain itu, tidak ada istilah surga dan
neraka dalam ajaran orang Aboge namun orang Aboge memandang
surga dan neraka ada dalam kehidupan dunia. Orang Aboge percaya
bahwa neraka dan surga adalah emosi manusia ketika mereka berurusan
dengan momen emosional tertentu seperti kesedihan dan kebahagiaan.
Reinkarnasi dalam pandangan orang Aboge adalah ketika seseorang
meninggal dia akan dibangkitkan sebagai manusia lagi dengan bentuk dan
tujuan yang berbeda.
5. Pemahaman tentang Karma
Hukum karma juga bekerja ajaran Aboge. Mereka percaya pada
sebab dan akibat dari tindakan manusia, apakah itu baik atau buruk.
Semuanya akan berdampak di masa depan. Selain itu, Karma dalam
pandangan Aboge ini dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
Demikian adalah ajaran dan praktik keagamaan orang Aboge.
Jika melihat sekilas tentang hal tersebut, pemahaman-pemahaman
tersebut merupakan salah satu bentuk ajaran tradisi Kejawen yang mana
pemahaman tentang ketuhanan, alam dan manusia mempunyai
keterkaitan satu sama lain sehingga sikap yang muncul adalah tindakan
nyata dibarengi dengan kepercayaan mereka yang melandasi sikap hidup
agama Jawa.
23 Syafiie, Inu Kencana dkk. Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999.
107
24 Picard and Medinier, The Politics Of Religion In Indonesia (New York: Routledge, 2011),
5.
25 Ibid, 3.
106|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
dari pemeluk agama-agama dunia tetapi juga agama lokal. Konteks agama
di Indonesia mencerminkan Islam dan Kristen sebagai agama mayoritas
di Indonesia.26
Selanjutnya, Negara hanya menyebutkan Islam, Buddha, Hindu,
Kristen, Katolik dan Khong Hu Cu sebagai agama-agama yang diakui
oleh negara. Selain itu, kemunculan undang-undang tahun 1965 PNPS
No. 1 dan 1969 Nomor 5 tentang pemisahan antara agama dan Aliran
kepercayaan menjadi sangat jelas.27 Ditambah lagi dengan, peraturan
pemerintah dalam Keputusan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
nomor IV / MPR / 1978 yang menegaskan bahwa Aliran Kepercayaan
atau kelompok agama lokal bukan merupakan agama.28 Dengan begitu,
status belum beragama dirasakan oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia terhadap kelompok-kelompok Aliran kepercayaan yang
akhirnya menambah kisruh kehidupan agama di Indonesia.
Kedua adalah posisi Aliran Kepercayaan di Indonesia yang pada
saat ini dialihkan di bawah naungan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
yang sebelumnya diserahkan kepada Kementerian Agama. Pemindahan
tugas ini pada dasarnya mengarahkan pada asumsi bahwa Aliran
Kepercayaan memang bukan suatu bentuk keagamaan melainkan sebagai
ekspresi budaya masyarakat Indonesia.
Ketiga adalah tentang keberadaan Bakorpakem yang memiliki
kewenangan hukum untuk menentukan mana yang termasuk dalam
kategori agama dan mana yang bukan agama. Bakorpakem berfungsi
untuk mengawasi agama baru seperti yang disebutkan oleh undang-
undang No.16/2004 khususnya pasal 33 ayat 3 huruf (d) dan (e) terkait
26 Ibid, 13.
27 Kholiluddin, Kuasa Agama Atas Negara, Pengakuan, 230.
28 Sairin, Weinata, and Joseph Marcus Pattiasina. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
Penutup
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Aboge di Jawa
timur merupakan salah satu bentuk Aliran Kejawen yang memiliki
karakteristik tertentu dalam melaksanakan praktik dan ajaran agama
mereka. Aboge adalah identitas spiritual bagi orang-orang yang telah
mencapai tingkat tertentu dalam kehidupan spiritualnya. Hal ini juga
108|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
mengarah pada orang yang telah belajar dan memahami eksistensi diri
atau “sejatine Awak”. Pengertian ini merujuk pada esensi Ilahi dalam diri
manusia. Wujud dari esensi Ilahi ini adalah pemahaman terkait dengan
segala sesuatu yang ada di alam semesta baik hal yang berwujud atau
tidak berwujud.
Untuk memperoleh pemahaman tersebut diperlukan Laku
sebagai mediator dalam mengeratkan hubungan spiritual antara manusia
dan non-manusia. Laku dalam Aliran Aboge merupakan praktik
keagamaan dan pengajaran yang mengarah pada tindakan simbolis
spiritual untuk mencapai tingkat tertentu yaitu “Manunggaling Kawulo
Gusti” bersatunya manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, tindakan
simbolis dalam praktik dan ajaran Aboge tersebut merupakan suatu
bentuk rekontekstualisasi hubungan antara manusia dengan alam dan
seisinya baik antara manusia atau non-manusia. Secara ilmiah ritual
Aboge mengarah pada hubungan intersubjektivitas antara manusia dan
non-manusia yang mana orang Aboge memahami alam semesta dan juga
isinya sebagai person/orang. Oleh karena itu, ritual seperti halnya ritual
Ngembong merupakan suatu tindakan hubungan timbal balik orang Aboge
terhadap non-manusia untuk mengetahui esensi jati dirinya sehingga bias
mengantarkan mereka kepada pemahaman tertinggi yaitu “Manunggaling
Kawulo Gusti”.
Praktik spiritualisme yang semacam ini merupakan sisi mistik
ajaran Kejawen. Ajaran agama Jawa mengutamakan mistisisme yang
tercermin dalam setiap kebudayaan masyarakat Jawa. Hal tersebut,
dimaksudkan untuk menjaga keharmonisan antara manusia, alam dan
Tuhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Selain itu, tujuan utama dari
mistisisme Jawa adalah tercapainya kesempurnaan sejati dalam kehidupan
di dunia. Ritual dalam perspektif Kejawen tidak hanya tentang praktik-
praktik keagamaan tetapi juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan
hubungan manusia dengan manusia, makhluk hidup lain, alam dan
Tuhan. Oleh karena itu, dapat disederhanakan bahwa praktik dan ajaran
Aboge tidak bias dilepaskan dari ajaran Kejawen yang mengutamakan
harmonisasi di antara beberapa aspek kehidupan. Akan tetapi, ragam
kekayaan spiritual semacam ini sering kali disalahpahami bagi sebagian
besar masyarakat agama mayoritas karena adanya anggapan
Daftar Pustaka
Afandi, Fachrizal. “PAKEM: Salah Satu Upaya Negara dalam
Melindungi Agama”. Dalam al-Qânûn. Vol. 12 No. 2, Desember
2009.
Afdillah, Muhammad. Agama Jawi. Dalam Al-Afkar: Jurnal Kajian
Keislaman, Vol. 3, No. 2 Desember 2010.
Baso, Ahmad. UU NO. 1/PNPS/1965 dan Soal “Agama Resmi” Itu: Sebuah
Tatapan untuk JPS. Makalah dipresentasikan dalam Rakernas
Perencanaan Strategis Jaringan Pokja-pokja Jamaah Persaudaraan
Sejati di Puncak, Ciloto, 2004.
Bird-David, Nurit. Animism Revisited: Personhood, Environment, and Relational
Epistemology 1. In Current Anthropology 40.S1, 1999: S67-S91.
Deddy, Mulyana, dan Jajaludin Rahmat. Komunikasi Antar Budaya.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993.
110|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
Dwiyanto, Djoko. Bangkitnya Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa: Hasil Studi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Ampera Utama, 2011.
Endaswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Tanggerang: Penerbit
Cakrawala, 2003.
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, Dan Sufisme
Dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2003.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago
Press: 1976.
Hakiki, Kiki Muhamad. Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran
Kebatinan). Analisis: Jurnal Studi Keislaman 11.1, 2014: 159-174.
Hallowell, A. Irving. “Ojibwa Ontology, Behavior, and World View”.
Dalam Graham Harvey (ed.). Readings in Indigenous Religions. New
York, NY: Continuum, 2002.
Indonesia, Republik. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4674.
Kartapradja, Kamil. Aliran Kebathinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Masagung, 1985.
Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara atas Agama Politik Pengakuan: Diskursus
Agama Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: Rasail Media
Group, 2009.
Langaji, Abbas. Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan: Tinjauan Perspektif
Sosiologi Agama. Dalam Conference Proceeding Annual
Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS) 2013.
Lubis, M. Ridwan. “Kebijakan Pembangunan Agama di Indonesia dalam
Lintasan Sejarah”. Dalam Harmoni: Jurnal Multikultural
Multireligius. Vol. 9 No. 34, 2010.
Maarif, Samsul. Ammatoan Indigenous Religion and Forest Conservation. In
Worldviews: Global Religions, Culture, and Ecology 19.2, 2015:
144-160.
112|Moch. Ichiyak Ulumuddin – Aliran Kejawen Aboge di antara Agama dan Negara
Sihombing, Uli Parulian. Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum terhadap
Pengawasan Agama Dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Indonesian
Legal Resource Center (ILRC), 2008.
Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Cipta Loka Caraka,
1981.
__________. Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan Dan Agama.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976.
Sujamto. Reorientasi Dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Ed. 2 (rev).
Semarang: Dahara Prize, 1992.
Sunyoto, Agus. Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan.
Yogyakarta: Transpustaka, 2011.
Syafiie, Inu Kencana dkk. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1999.
Badan Pusat Statisik. Sensus Penduduk Propinsi DKI Jakarta, 2010.
Van Der Kroef, M, Justus, Folklore And Tradition In Javanese Society.
American Folklore Society, The Journal Of American Folklore,
Vol. 68, No. 267, Jan-Mar, 1995.