Pemikiran Tasawuf Anregurutta H. Abdurahman Ambo Dalle (Telaah Atas Kitab "Al-Qawl Al-Shadiq Li
Pemikiran Tasawuf Anregurutta H. Abdurahman Ambo Dalle (Telaah Atas Kitab "Al-Qawl Al-Shadiq Li
Pemikiran Tasawuf Anregurutta H. Abdurahman Ambo Dalle (Telaah Atas Kitab "Al-Qawl Al-Shadiq Li
Abstract
This research wants to know proprietary tasawuf thinking by Anregurtta H.
Abdurrahman Ambo Dalle (called Ambo Dalle) in his book in Bugis's lingual
version “al Qawl al shadiq li Ma ’ rifat al Khaliq / ada tongeng
tongengnge ri annessana pappejeppue ri
puang pancajie“. Thus, this research is bibliographical
observational type (library research) one that gets character descriptive
analysis. Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle is constitute ulama's figure
that combine among knowledge syariat and tasawuf's knowledge. Harmony
who did by Anregurutta among knowledge syariat with reality knowledge is an
effort for unbent tarekat's concept or flow (tasawuf) one that amends, notably
on Bugis's society who restrains from al Qur'an and hadits. That thing is
looked while Anregurutta combine among bodily religious service and spritual
religious service, one that religious service comes into the world is territorial
temporary carnal job religious service, spritual is territorial heart job which is
as recitation (remember) to God and that is core than religious service in
Islamic. Such too its criticism to tasawuf's teaching with concept ittihad and
hulul, which is a concept that teaches one to declare for self a slave until to its
The Infinite upon remembers (recitation) and at that moment as one with God,
therefore expression “ “العابد والمعبود واحدwhile Anregurutta Ambo Dalle is “
”العابد واحد والمعبود واحد
A. Pendahuluan
Tradisi penulisan karya-karya ulama di Indonesia telah bergerak cukup
lama dengan keragaman corak bahasa yang dipakai. Berdasarkan lacakan Anthony
H. Johns, pada akhir abad ke-16 telah terjadi pembahasan secara lokal
(vernakularisasi) Islam diberbagai wilayah Nusantara, seperti nampak pada
penggunaan aksara (skript) Arab (Jawi dan Pegon), banyaknya serapan yang
berasal dari bahasa Arab dan karya-karya sastra yang terinspirasi oleh model dan
corak Arab dan Persia.1
1
Lihat A. H. Johns, “The Qur’an in The Malay World; Reflection ‘Abd Rauf Singkel
bahasa Bugis sebagai bahasa pengantarnya. Kitab ini menjelaskan secara singkat
dan padat tentang bagaimana menyelami dunia tasawuf yang benar sesuai dengan
petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Di antara penjelasan dalam kitab itu bahwa manusia hanya dapat mengenal
hakikat pengabdian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.
Untuk itulah beliau membagi ibadah kepada dua bagian yaitu ibadah lahir dan
bathin. Dan untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja,
tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat
kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk
memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt. 4
Berdasarkan latarbelakang masalah di atas, maka penulis menganggap
bahwa kitab yang tulis oleh Anregurtta Ambo Dalle laik diteliti apalagi mengingat
buku ini menjadi bacaan masyarakat umum di tanah Bugis.
B. Kajian Pustaka
1. Latarbelakang Hidup dan Pendidiakannya
K H. Abdurrahman Ambo Dalle yang oleh murid-muridnya dan masyarakat
Bugis umumnya, lebih akrab disapa dengan “Gurutta atau Anregurutta Ambo Dalle
(selanjutnya disebut Anregurutta Ambo Dalle).5 Ambo Dalle lahir pada Selasa
1900 di UjungE Kecamatan Tana Sitolo Kabupaten Wajo wafat pada tanggal 29
November 1996. Dia merupakan putra tunggal dari pasangan Puang Ngati Daeng
Patobo dari Puang Cendra Dewa.6 Dilahirkan sekitar lima tahun sebelum colonial
Belanda mengubah sejarah Sulawesi Selatan yang berkuasa atas seluruh kerajaan
diwilayah ini dan beliau merupakan keturunan bangsawan tanah Bugis.
Penamaan dengan nama Ambo Dalle tidak begitu saja tetapi ada sebuah
kondisi yang mengitarinya sehingga diberi nama seperti itu oleh orang tuanya.
Dalam bahasa Bugis kata ‘Ambo Dalle’ terdiri dari dua suku kata, yaitu ‘Ambo’
dan Dalle. Ambo artinya ‘bapak’ dan ‘Dalle’ artinya rezeki’, sehingga dari nama
ini tersirat makna doa dan harapan yaitu agar kedua orang tua dan anaknya
senantiasa murah rezeki dan kebaikan.7
4
Lihat Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq fi Ma’rifat al-Khaliq, Pare-Pare,
1955 M/1375 H., h. 8.
5
Anre Gurutta adalah sebuah istilah gelar bagi seorang ulama Sulawesi Selatan, yang
semakna dengan gelar kiyai di Jawa, Buya di Minang, Tuan Guru di Banjarmasin dan Nusa
Tenggara Barat. Namun gelar ini ada perbedaan bagi ulama tua dan muda. Untuk ulama tua (senior)
dipakai istilah Anre Gurutta (di singkat AG), sementara ulama muda (yunior) dipakai istilah Gurutta
(disingkat G). Istilah ini sudah dipakai secara umum kepada seseorang yang dianggap sebagai
ulama, tetapi hanya dipakai kepada ulama/ustadz dalam lingkup pesantren itupun hanya dalam
bentuk panggilan kepada guru bukan dalam bentuk penulisan nama gelar. Sekitar pertengahan tahun
90-an istilah ini mulai kembali dipakai secara umum. baik yang dalam lingkup pesantren maupun di
luar. ‘Anre Gurutta Haji’ adalah sosok yang kharismatik, dipercaya masyarakat, fatwah-nya di
‘takuti’, seorang sufi dan umumnya berusia 60 tahun keatas. Seperti AGH. Asa’ad, AGH.
Abdurrahman Ambo Dalle, AGH Daud Ismail (Gurutta Daude), AGH. Pabbaja, AGH Yunus
Martan dll.
6
Muhammad Yusuf Khalid, Biografi Kayai H. Abdurrahman Ambo Dalle dan
Sumbangannya dalam Dakwah di Sulawesi Selatan, Kuala Lumpur: KUIM, 2005, cet. I, h. 10
7
Muhammad Yusuf Khalid, Biografi Kayai H. Abdurrahman Ambo Dalle, h. 11.
8
Secara berurut pengajaran baca al-Qur’an dimulai dengan pertama; “makkalepu”
(pengenalan huruf hijaiyah serta penyebutannya). Kedua, “mangijjang/mangeja” (mengeja huruf
hijaiyah), kemudian ketiga; “mabbaca lalo” (membaca satu sampai tiga atau empat ayat dalam Juz
amma). Dalam tradisi Bugis-Makassar, al-Quran Juz Amma (juz ke-30) disebut juga “al-Qur’an
Kecil” (akorang biccu) sedangkan al-Qur’an 30 Juz disebut juga “al-Qur’an Besar (akorang loppo
atau akorang lompo). Setelah tamat membaca Qur’an besar, maka lanjut massara baca (tajwid)
kemudian mallagu ( melagu).
9
Muhammad Yusuf Khalid, Biografi Kayai H. Abdurrahman Ambo Dalle, h. 11.
10
Muhammad Yusuf Khalid, Biografi Kiyai H. Abd. Rahman Ambo Dalle, h. 13.
oleh kalangan masyarakat Bugis Gurutta Sade atau Puang Aji Sade) maka pada
saat itulah GuruttaAmbo Dalle memutuskan untuk menimbah kepada Gurutta
Sade.11 Dia tiba di Sengkang pada bulan Rabiul Akhir 1347H/1928M. 12
Pada saat tiba di Sengkang Gurutta Sade melakukan pembaharuan system
pendidikan Islam yang ada sebelumnya dengan membentuk sebuah lembaga yaitu
Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) pada 1930, yang kemudian lembaga ini
menjadi tempat di mana lahir ulama-ulama besar di tanah Bugis termasuk
GuruttaAmbo Dalle, Gurutta Daud Islmail di Soppeng, Gurutta Pabbaja di Pare-
Pare, Gurutta Yunus Maratan di Sengkang, Gurutta Muin Yusuf di Sidrap, Gurutta
Marzukui Hasan, Gurutta Yusuf Hamzah, Gurutta Junaid Sulaiman di Watampone,
dan lain-lain.
Di samping beberapa ulama besar Bugis pada saat itu, di antaranya: Sayyid
Muhammad al-Ahdaqly (pimpinan Darul Ulum Sengkang), Syekh H. Syamsuddin,
Syekh H. Ambo Amme, Syekh Abdu Rasyid Jawad, Sayyid Abdullah Dahlan,
Sayyid Hasan al-Yamani, Sayyid Alwi di Mekah.
2. Karya-Karyanya
Gurutta Ambo Dalle adalah disamping sebagai sosok pendidik dan
pendakwah juga sebagai ulama yang sangat produktif di dalam menuangkan
gagasan-gagasannya di atas kertas dengan menulis beberapa karya keagamaan, baik
dalam karya yang berbahasa Arab juga dalam bentuk bahasa Bugis sebagai bahasa
pengantarnya.
Menurut lacakan beberapa penulis tentang karya Anregurutta bahwa ada
sekitar 30 lebih buah hasil karya beliau yang membahas berbagai masalah
keislaman (fiqh, akhlak-tasawuf, tauhid dan bahkan kaidah-kaidah bahasa
Arab/ilmu nahwu). Dari karya-karyanya tersebut membuktikan kedalaman dan
keluasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh beliau khususnya dalam bidang ilmu
keislaman.
Menurut Yusuf Khalid bahwa karya Guruttaada sekitar 30 buah,13 yaitu
sebagai berikut :
a. Bidang Syariah
- Mursyid al-Thullab
- Al-Durus al-Fqhiyah
- Bugyat al-Muhtaj
11
Gurutta H. Muhammad As’ad al-Buqisi dilahirkan di Mekah pada hari Senin tanggal dua
belas Rabi‘ al-Awwal 1326 H/1907 M. Bapaknya bernama H. Abdul Rasyid al-Buqisi dan ibunya
bernama Hj. Sitti Shalihah binti Abd Rahman al-Buqisi. Dari nasab (keturunan) ayah dan ibunya
tercatat sebagai nama-nama ulama senior dari Bugis Indonesia yang bermukim di Mekah Abad
Kesembilan Belas. Pada usia tujuh tahun beliau sudah hafal 30 juz al-Qur’an dan menjadi imam
tarawih di Masjidil Haram Mekah al-Muakaramah selama tahun (1340-1342 H). Daud Ismail, al-
Ta’rif Bi al-Alim al-Allamah al-Syedkh al-Haj Muhammad As’ad al-Buqisi, (Sengkang Wajo,
1956), Cet. I, h, 2. Abd.Karim Hafid, KH. Muhammad As’ad dan peranannya Terhadap pemurnian
Aqidah Islamiyah di Wajo,( Sengkang: Percetakan Tartika, 1997), Cet. I, h. 1-2. Hamzah
Manguluang, Riwayatku dan Riwayat Guru Besar KH. Muhammad As’ad, (Sengkang: t.p., 1990),
h. 1. Guruttatiba di Sengkang Wajo pada bulan Rabiul Akhir 1347H/1928M.
12
Abd. Karim Hafid, K.H. Muhammad As’ad, h. 20.
13
Muhammad Yusuf Khalid, Biografi Kiyai H. Abd. Rahman Ambo Dalle h. 89.
murid dari Gurutta Sade sedikit berbeda dengan model dakwah yang di sampaikan
oleh gurunya. Gurutta Sade dalam menyampaikan dakwahnya yang kadang-kadang
keras dan tidak mentolerirnya. Hal ini terlihat ketika Arung Matowa Wajo ke-47
Andi Oddang Pero meninggal, keluarganya berkeras untuk menguburkan di dalam
masjid Jami’ Sengkang. GuruttaSade menyuruh para penggali kubur untuk
memberhentikan penggaliannya. Maka pihak keluarga raja marah untuk tetap
melanjutkan penggalian kubur. Akhirnya diadakanlah musyawarah dengan
kesepakatan bahwa Arung Matowa dikuburkan di luar (sebelah barat) masjid
Jami’.14 Sementara GuruttaAmbo Dalle memiliki varian-varian dakwahnya yang
sedikit lentur berdasarkan situasi dan kondisi.
Perbedaan ini dikarenakan perbedaan latarbelakang hidup keduanya.
Gurutta Sade adalah seorang yang dilahirkan di kota tempat kelahiran Nabi
Muhammad saw. Mekah, dimana sebagai pusat Islam dan tatanan masyarakat yang
sudah memiliki pandangan keagamaan sudah lebih matang. Sedangkan Anregurutta
Ambo Dalle dibesarkan dengan latar budaya Bugis-Makassar yang sangat sarat
dengan paham-paham dan aliran animisme dan dinamisme tentu saja selalu
mempertimbangkan aspek sosio-kultural masyarakat Bugis pada saat itu.
Misalnya,15 Gurutta Sade melarang orang berkhutbah Jumat dengan bahasa Bugis
tetapi harus bahasa Arab, sementar Gurutta Ambo Dalle tetap membolehkannya
dengan alasan pertimbangan khutbah jumat sebagai sarana untuk menyampaikan
pesan Islam kepada Jama’ah, maka selayaknya bahasa yang digunakan dalam
khutbah adalah sesuai dengan bahasa jama’ah.
Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad As’ad, beliau
mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini.
Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat
menyarankan kepada Gurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan
(mangaji Tudang) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan
terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah
kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak),
ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah
Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh
Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan
diserahi tugas memimpin lembaga itu.
Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern
(sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah
H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di
Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau
lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu
selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas
saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka
14
Azhar Arsyad dkk., Ke-DDI-an, Sejarah dan Pandangan atas Isu-Isu Kontemporer,
Jogyakarta: LKiS, 2005), Cet. III, h. 20.
15
HM. Nasruddin Anshory, GuruttaAmbo Dalle, h. 21.
sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan.
Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan
pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare,
dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan
Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa
lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare
(depan Masjid Al-Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah
itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri
putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di
Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni
KH. Muhammad Amberi Said.
16
Lihat tulisan Abdul Rahman dalam bukunya Menalar Tasawuf Anregurtta Ambo Dalle,
2) Ibadah Lahiriyah
Ibadah dzhir/lahiriyah –menurut anregurutta- terbagi lagi kepada dua
bagian, yaitu pertama, ibadah yang langsung kepada Allah. Ibadah ini yang
diwajibkan secara individu oleh Allah swt., mislanya shalat dan ibadah-ibadah
lainnya. Jadi seorang hamba baru bisa dikatakan beribadah bilamana orang itu
sendiri yang melaksanakannya, bukan orang lain.19 Kedua, ibadah antara hamba
dengan Allah atau ibadah yang berkaitan dengan manusia itu sendiri itulah yang
disebut mu’amalah. Mislanya ibadah muamalah adalah jual-beli, tolong menolong
dan sebagainya yang menyangkut hubungan antar sesama manusia dengan manusia
yang lainnya.
Jadi kedua model ibadah lahir ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya, misalnya seseorang hamba hanya menfokuskan dirinya untuk
beribadah kepada Allah, hanya shalat, puasa, tetapi tidak memperhatikan atau
mempedulikan orang-orang yang ada disekitarnya untuk saling tolong menolong.
Jika demikian berarti belum disebut sebagai ibadah yang sebenarnya. Demikian
sebaliknya, hanya sibuk memperbaiki hubungan antar sesama tetapi tidak
mejalankan ibadah yang hubungannya dengan Allah (ibadah ritual) juga belum
disebut ibadah yang baik.
3) Ibadah Batin
Ibadah batin adalah suatu ibadah yang diperankan oleh hati. Oleh karenanya
–menuurut Anregurutta- untuk dapat melaksanakan model ibadah ini seseorang
hamba terlebih dahulu membersihkan hatinya atau dengan tidak mengikuti hawa
nafsunya yang dapat mengantarkan seseorang untuk berbuat dosa, karena hawa
nafsu itu mendorong seseorang untuk berbuat kejahatan.20
Kemudian ibadah ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu, pertama, ibadah
batin yang langsung kepada Allah, misalnya taqwa kepada Allah, tawakkal, ingat
kepada Allah (zikrullah), jadi bilamana seseorang hamba senantiasa ingat kepada
Allah berarti Allah selalu bersamanya, sebagaimana sebuah hadis Qudsi :
انا معك حيث ما ذكرتنى
“Aku bersamamu dimana ketika kamu mengingatku”
Kedua, ibadah batin yang langsung kepada Allah dengan melalui perantara
dengan ciptaan-Nya (pksiwiy bet punai anu mditEG lEtu ri puw
altal),, yaitu suatu konsep ibadah batin dengan melalui perantara ciptaan
Allah untuk dapat mengingat dan mencapai ma’rifat kepada Allah, misalnya
memikirkan ciptaan Allah karena dengan jalan ini seorang hamba dapat
mengetahui dan memahami kekuasaan, keesaan dan iradat Allah. Menurut
Anregurtta bahwa meskipun hati atau akal dapat memikirkan ciptaan Allah tetapi
belum tentu bisa mencapai pengetahuan tentang hakekat Allah. Hal sebagaimana
dikutip dalam sebuah hadis Rasulullah saw:21
تفكروا فى خلق هللا وال تتفكروا فى الخالق فإنه ال تحيط به الفكرة
“berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, tetapi jangan kamu berpikir
tentang hakekat Penciptamu (Allah), karena sesungguhnya Allah tidak bisa
dijangkau oleh akal pikiran manusia”
Dari paparan di atas terlihat bahwa paham atau corak tasawuf terdapat
dalam kitab Anregurutta adalah corak tasawuf amali atau sunni, yaitu di mana di
dalam pengamalan ibadah-ibadah yang dilakukan adalah penggabungan antara dua
macam ibadah, yaitu ibadah dzahir dan batin tanpa mementingkan salah satunya.
Jadi, anregurutta melihat bahwa ketika seorang hamba melakukan sebuah usaha
dan perenungan terhadap keagungan dan kebesaran Allah dinilai sebagai ibadah.
Hal itu sejalan pendapat sebagian ulama bahwa ibadah adalah segala usaha yang
20
Lihat Abdurahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 13.
21
Lihat Abdurahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 15.
dilakukan oleh seorang hamba dengan niat karena Allah dan berlandaskan atau
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad itulah ibadah.
Pandangan Anrgurutta mengenai keterikatan hubungan antara ibadah dzahir
dan batin atau antara syariah dan hakikat secara global memiliki unsur kesamaan
dengan Imam al-Gazali dan Junaid al-Bagdadi. Al-Gazali dalam al-Munqiz min al-
Dhalalah” menyatakan pengalaman ruhaninya ketika sampai pada kesimpulan
akan pentingnya tasawuf setelah syariah. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa dengan
tasawuf akan dapat diperoleh hasil yang tidak dapat dicapai oleh ilmu lain.22
Sementara Junaid al-Bagdadi agak lebih ekstrim ketika seseorang mengabaikan
syariat. Hal itu terlihat ketika beliau mendapati sebuah cerita tentang seseorang
yang telah mencapai tingkat ma’rifat yang kemudian dibebaskan oleh Allah dari
amal ibadah. Lalu ia mengatakan bahwa orang-orang tersebut sebenarnya berada
dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahaya daripada pencuri dan pembuat
keonaran.23
Bahkan menurut Anregurutta, sama sekali tidak bisa dipisahkan antara
kedua ibadah tersebut (lahir dan batin), karena tidak ada suatu ibadah dzahir tanpa
diikuti oleh ibadah batin, misalnya ibadah shalat disamping ibadah yang dilakukan
oleh badan manusia tetapi juga mencakup ibadah batin yang merupakan kerja hati
yaitu berupa ingatan kepada Allah, karena inilah intinya ibadah (perGEreG
pokon pksiwiyeG/lisEn/ parengerangE pokona
pakkasiwiyangE/lisena). Bahkan disebutkan sebagai hakikat
24
seorang hamba bilamana dapat melakukan dua bentuk ibadah tersebut, maka itulah
yang dimaksud ungkapan sufi “barang siapa mengetahui dirinya berarti ia juga
mengetahui Tuahnnya”, yaitu mengetahui dirinya sebagai hamba dengan
melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.25 Bukan
paham tarekat yang memahami bahwa dirinya berasal dari asal-muwasal kejadian
manusia, yaitu “tanah-api-air-udara“ (tareka sulapa eppana lino), atau paham
tarekat tentang “tubu ksrn adm, tubu alusun muhm, ywn nur, nru poel ri puwaltal
(T ubu kassarana A dam, tubu alusu’na Muhammad,
nyawana nur, nur pole ri puwang
allata’ala).26
Dari ungkapan di atas, Anregurutta sangat tidak menyetujui paham-paham
tarekat yang tidak memiliki dasar dari al-Qur’an dan hadis Nabi swa., dan paham
seperti ini adalah suatu jalan yang dapat menyesatkan manusia, bahkan bisa
membawa sebuah kekafiran.
Kecenderungan pemikiran tasawuf Anregurutta di dalam kitabnya tidak
terlepas dari konteks masyarakat Bugis pada khususnya yang banyak
memperbincangkan masalah-masalah ibadah dengan paham-paham atau tarekat
yang salah, misalnya tarekat “suara yang tidak tersentuh lidah/sd tEnlEpea
22
Imam al-Gazali, al-Munqidz min al-Dhalalah,Abdul Halim Mahmud (ed), dar al-Kutub
al-Hadiah, 1385 H, h. 124.
23
Abu Nu’im , Hilyah al-Auliya’, Juz X, Beirut: tt, h. 278; lihat juga al-Qusyairiyah, al-
Risalah, 106
24
Abdu rrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 9.
25
Abdu rrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 6.
26
Abdu rrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 7
lil/sadda tennaleppa lila”, yaitu a – I – u ()أ – إ – أ.27 Demikian pula tidak lepas
dari kitab-kitab yang menjadi bacaan anregurutta ketika masih berguru dengan
Anregurutta Sade di Sengkang, yaitu kitab Fath al-Mu’in karangan Zainuddin al-
Malibary, kitab Syarh al-Hikam tulisan Ibn Atha’illah, kitab Tanwir al-Qulub
karangan Syekh Amin al-Kurdy. Pada kitab pertama dikemukakan hubungan
simbiotik antara syariat, tarikat, dan hakikat. Syariat berisi ketaatan pada agama
dalam bentuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, tarekat menghiasi diri
dengan sifat wara’ dan melaksanakan latihan rohani, dan hakekat diumpamakan
mutiara yang ada di dasar laut yang hanya akan dapat ditemukan kalau telah
menaiki perahu, berlayar di samudera, dan menyelam ke dasar laut. Seperti halnya
mutiara di dasar laut, hakikat tidak akan dapat diperoleh tanpa melalui syariat.28
27
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 27
28
Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurra al-‘Ain, Semarang: Maktabah al-
Munawwar, tth., h. 153.
29
Lihat Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, diterjemahkan oleh M. S.
Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, h. 84.
30
Michaela Ozelsel, 40 Hari Khalwat, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, h. 236.
31
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 18.
Terjemahnya :
“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila
kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana
biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman”.
Dalam ayat di atas menurut Anregurutta adalah menjelaskan tentang tempat
di mana seorang hamba untuk dapat mengingat atau berzikir kepada Allah, yaitu
pada tiga (3) tempat : 1) saat berdiri, 2) saat duduk, 3) saat berbaring. 34 Jadi
bilamana seseorang beranggapan bahwa ada tempat-tempat yang lain yang dapat
ditempati untuk mengingat kepada Allah sebagamana yang disebutkan di atas,
maka termasuk suatu paham yang salah, misalnya paham yang menyatakan bahwa
zikirnya (ingatannya) sampai kepada Allah ketika dirinya sudah sampai di ‘Arasy
nigi-nigi metkkEGi aEK aoRo lai rilainea aoRo
pur nptEtuea puw altal mjEpu sisaini aetk mrus.
Pd-pdn tometkkEeGGi aiyp nlEtu perGErn nerko naitpi
aeln kupi ri arsE. iyerg kuai riwEtu msitn sibw baienn.
yerg riwEtu mrEnEn.35
“nigi-nigi matekakengngi engka onrong laing ri lainnaE onrong pura
napattentuE puwang alatala majeppu saisai ateka marusa. Pada-padanna;
tomatekakengngI iyapa nalettu prengngeranna narekko naitapi alena kupi ri arase,
yarega riwettu massitana sibawa bainena,yarega riwettu marennenna”.
Mengenai sarana atau obyek zikir (dalam bahasa Anregurutta adalah jalan
yang dilalui untuk berzikir/llE riaolea merger/laleng riolaE marengngerang),
sebagaimana diuraikan di dalam kitabnya Anregurutta tidak seperti dengan ulama
tarekat yang lainnya dengan menguraikan lafaz-lafaz dan jumlah-jumlah zikirnya
32
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 21.
33
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 21,
34
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 25.
35
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 25.
yang harus dilakukan ketika berzikir. Misalnya zikir yang dilakukan oleh Tarekat
Khalwatiya Samman (suatu tarekat yang ada di Sulawesi Selatan), menurut tarekat
ini, zikir terbagi atas sikkiri telluratu, yakni zikir yang minimal 300 kali, dan sikkiri
seppulo, yakni zikir yang hanya terdiri atas sepulu kali. Dalam pelaksan±n zikir
tigaratus dimulai dengan zikir yang dinamai khalwatiyyh,36 (zikir yang mempunyai
empat arti), sebanyak tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan zikir afnawiyah,
yaitu zikir yang berarti la mawjuud illa Allah, sampai selesai zikir. Sedangkan
sikkiri seppulo kalau selesai zikir khalwatiyah sebanyak tiga kali, selanjutnya zikir
qadiriyah (zikir yang mempunyai tiga arti) sebanyak tujuh kali.37
Anregurutta Ambo Dalle dalam penjelasannnya tentang masalah ini bahwa
jalan yang harus dilalui seorang hamba ketika mengingat Allah, baik zikir yang
diucapkan lidah maupun yang digerakkan oleh hati adalah dengan bacaan-bacaan
yang berkaitan dengan asmaul Allah, (Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Misalnya lafaz :
هللا أكبر، ال إله إال هللا، الحمد هلل,سبحان هللا
Itulah bacaan-bacaan atau lafaz-lafaz yang dipakai untuk mengingat atau
berzikir kepada Allah, tetapi menurut Anregurutta bahwa lafaz zikir yang paling
afadhal untuk dipakai untuk berzikir adalah kalimat ال إله إال اهلل.
Demikian pula Anregurutta tidak menguraikan tata cara zikir kepada Allah
seperti halnya dengan kelompok-kelompok tarekat yang lainnya. Misalnya
pelaksanan zikir jahr yang dilakukan oleh tarekat Khalwatiah Samman sebelum
dimulai zikir, yaitu duduk seperti duduk tahiyat pertama dalam salat, menghadap
kiblat. Kemudian dibaca surah Al-Fatihah sebanyak tiga kali, dan diniatkan
pahalanya sampai kepada seluruh guru yang ada dalam silsilah tarekat Khalwatiah
Samman sampai kepada Nabi, sahabat dan, keluarganya, seluruh orang mukmin,
dan kedua orang tua. Kemudian dibaca salawat kepada Nabi. Selanjutnya dibaca
istigfar sebanyak tiga kali, dan murid meminta ampun dari segala dosa dan dosa
orang tua, baik dosa lahir maupuin dosa batin. Hal ini, dapat dipahami bahwa
Anregurutta di dalam pengajarannya tentang tasawuf kepada masayarakat tidak
memiliki suatu lembaga atau organisasi, seperti tarekat Khalawatiyah. Jadi
Anregurutta lewat kitabnya ini mengajarakan kepada umat Islam yang ingin
mencari pemahaman tentang bagaimana cara lebih dekat kepada Allah dengan jalan
yang diajarkan oleh al-Qur’an dan hadis Nabi saw.
Uraian-uraian di atas tentang konsep zikir yang dijalani oleh Anregurutta
Ambo Dalle adalah sebuah konsep zikir yang memadukan antara zikir dzahir dan
36
khalwatiyah, qadiriyah, dan afnawiyah. Khalwatiyah mempunyai empat arti, yaitu 1)
Tidak ada yang disembah selain Allah (la ma'buud illa Allah), 2) Tidak ada yang dimaksud kecuali
Allah (la maqshuud illa Allah ), 3) Tidak ada yang dicari kecuali Allah (la mathluub illa Allah),
4)Tidak ada yang ada kecuali Allah (la mawjuud illa Allah). Qadiriyah mempunyai tiga arti, yaitu
sama arti Khalwatiayyah kecuali yang nomor empat. Afnawiyyah hanya mempunyai satu arti, yaitu
tidak ada yang ada kecuali Allah (la mawjud illa Allah). Muhammad Shaleh, Zikir Khalwatiah
Samman, tulisan tangan, judul diberikan sesuai dengan isi naskah, bahasa Bugis dan Arab, aksara
lontara dan Arab, h. 2
37
Abd.Rauf, Ikhtishar fi Fadhiilat al-Zikr wa adabih wa kaifiyyat 'alaa thariiqat al-
sammaan, tulisan tangan, berbahasa Bugis dan Arab, aksara lontara dan Arab.
bathin atau sebuah konsep zikir yang tidak hanya mementingkan salah satunya.
Dengan demikian corak pemikiran tasawuf yang diajarkan oleh Anregurutta adalah
tipologi tasawufnya digolongkan kepada ulama yang bercorak neo-sifisme, yaitu
disamping sebagai ahli syariat dan juga sebagai ahli tarekat, sekaligus mereka
menguasai tidak hanya seluk beluk syariat tetapi juga mendalami hakekat atau
realitas mistis.38
Pernyataan di atas didasarkan kepada uraian-uraian yang dikemukakan
tentang konsep-konsep yang tasawufnya termasuk uraian tentang zikir kepada
Allah. Demikian juga didukung oleh latar belakang keilmuan Anregurutta Ambo
Dalle yang telah menguasai tentang ilmu-ilmu zhahir (eksoteris) dan ilmu-ilmu
batin (esoteris). Apalagi mengingat bahwa guru utama beliau adalah Anregurutta
Sade (As’ad) yang merupakan sosok ulama yang sangat gigih dalam memadukan
(rekonsiliasi) pengalaman ilmu syariat dan ilmu hakekat. Bahkan beliau ini hampir-
hampir tidak diketahui apa amalan-amalan zikir khsususnya yang diajarkan kepada
muridnya (santrinya).39
38
A. Rivai Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999, h. 245.
39
Termasuk pengalaman penulis ketika masih belajar dipondok Pesanteren As’adiyah yang
nota-bene adalah pesantern yang dididirikan oleh Anregurtta Sade, berbeda dengan misalnya
beberapa pesanteren yang mengajarkan zikir-sikir khusus atau amalan-amalan khsusus, misalnya
pada malam Jumat –baik sesudah magrib maupun sesudah shalat shubuh- adalah wiridan-wiridan
khusus termasuk pembacaan Yasin. Tetapi di Pesatren As’adiyah tidak semacam itu.
40
Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 35.
Jadi menurut Anregurutta bahwa sangatlah jelas akan selalu ada pemisahan
antara si penerima nikmat (hamba) dengan si pemberi nikmat ( Allah swt.). jelas
bahwa tidak bisa diklaim oleh seorang pencari kebenaran (Tuhan) menganggap
dirinya sudah menyatu dengan Tuhannya dan dirinyalah Allah. Hal itu sama sekali
suatu paham yang sangat keliru.
C. Kesimpulan
Anregurtta Ambo Dalle adalah sosok ulama yang tidak hanya sebagai
ulama yang mumpuni dalam bidang ilmu agama Islam (syariat) tetapi juga dikenal
sebagai ulama yang mumpuni dalam bidang tasawuf, meskipun Anregurutta tidak
memiliki kelompok tarekat sebagaiman kelompok tarekat yang ada dengan
memiliki nama sesuai dengan nama pendirinya. Kemampuan Anregurutta dalam
dunai tasawuf terlihat dari beberapa karyanya yang membahas tasawuf, salah satu
di antaranya adalah kitab “al-Qawl al-Shadiq fi Ma’rifat al-Khaliq. Kitab ini
adalah sebuah kitab yang tulis dalam bahasa aksara Lontara Bugis.
Adanya tasawuf selama ini –khususnya sebagian masyarakat Bugis-
terkadang hanya dinilai pada tataran hakikat saja, tetapi oleh Anregurutta
melakukan usaha pemahaman pada umat Islam bahwa hakikat dan syariat tidak
bisa dipisahkan antara keduanya, karena seseorang tidak bisa sampai kepada
hakikat sebagai sebuah cara untuk dapat lebih dekat dengan Allah hanya dengan
melalui kerja hati, bilamana tidak melalui dengan syariat sebagai sebuah amalan-
amalan yang bersifat jasmaniah. Misalnya dalam ibadah shalat, tidak bisa hanya
shalat dilakukan dalam bentuk gerakan-gerakan jasmani tetapi juga harus
beriringan dengan ingatan (zikir) kepada Allah.
Corak pemikiran tasawuf Anregurutta Ambo Dalle sebagaimana yang
terdapat di dalam bukunya „al-qawl al-Shadiq fi Ma’rifat al-Khali“, adalah sebagai
ulama yang bercorak neo-sufisme yaitu sebagai ulama yang mengkombinasikan
antara syariat dengan hakikat, segaligus menguasai seluk beluk syariat dan juga
mendalami hakekat atau realitas mistis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Johns, A. H. “The Qur’an in The Malay World; Reflection ‘Abd Rauf Singkel
(1615-1693)”, “Jurnal of Islamic Studies”, 1998.
Dalle, Abdurrahman Ambo, al-Qawl al-Shadiq fi Ma’rifat al-Khaliq, Pare-Pare,
41
Lihat Abdurrahman Ambo Dalle, al-Qawl al-Shadiq, h. 35-37.
1955 M/1375 H.
Khalid, Muhammad Yusuf, Biografi Kayai H. Abdurrahman Ambo Dalle dan
Sumbangannya dalam Dakwah di Sulawesi Selatan, Kuala Lumpur: KUIM,
cet. I, 2005
Ismail, Daud, al-Ta’rif Bi al-Alim al-Allamah al-Syedkh al-Haj Muhammad As’ad
al-Buqisi. Sengkang Wajo. Cet. I, 1956.
Hafid, Abd.Karim, KH. Muhammad As’ad dan peranannya Terhadap pemurnian
Aqidah Islamiyah di Wajo. Sengkang: Percetakan Tartika. Cet. I, 1997
Arsyad, Azhar, dkk., Ke-DDI-an, Sejarah dan Pandangan atas Isu-Isu
Kontemporer. Jogyakarta: LKiS. Cet. III, 2005
Al-Qusyairy, al-Risalah al-Qusyairiyah, Abdul Halim Mahmud ed., Dar al-Kutb
al-Haditsah, 1385 H.
Al-Gazali, Imam, al-Munqidz min al-Dhalalah,Abdul Halim Mahmud (ed), dar al-
Kutub al-Hadiah, 1385 H.
Abu Nu’im , Hilyah al-Auliya’, Juz X, Beirut: tt.
al-Malibary, Zainuddin, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurra al-‘Ain, Semarang:
Maktabah al-Munawwar, tth.
Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, diterjemahkan oleh M. S.
Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997
Ozelsel, Michaela, 40 Hari Khalwat, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
Siregar, A. Rivai, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999