Toto Islamica GagasanPendidikanMuhamadiyahdanNU

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/286402193

Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai Potret Pendidikan Islam


Moderat di Indonesia

Article · September 2015


DOI: 10.15642/islamica.2014.9.1.81-109

CITATIONS READS

9 2,632

1 author:

Toto Suharto
State Islamic Institute Surakarta, Indonesia
38 PUBLICATIONS   46 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Paradigma keilmuan IAIN Surakarta View project

All content following this page was uploaded by Toto Suharto on 09 January 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Abstract: This article deals with the educational ideas of
Muhammadiyah and Nahdatul Ulama as representing the
portrait of moderate Islamic education in Indonesia. The
problems addressed includes whether both organizations
have certain moderate ideas regarding education to seed their
moderate character. Using actual philosophy approach, this
study reveals that educational institutions of Muhammadiyah
are characterized by a special subject matter called Al-Islam
dan Kemuhammadiyahan. With the concept of objective identity
of Muhammadiyah’s education, this subject matter is
designed to be an instrument for Muhammadiyah to seed the
moderate character of its students. Meanwhile, NU’s
educational institutions are characterized by subject matter
called Aswaja dan Ke-NU-an. Through the concept of SNP-
Plus, this institution serves as an instrument for NU to seed
the character of moderate Islam. Both organizations
therefore share the same ideas to strengthen a moderate
Islamic education in Indonesia on the basis of their own
cultural traditions.
Keywords: Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan, Aswaja dan Ke-NU-an.

Pendahuluan
Islam di Indonesia telah memerkuat dirinya dalam proses sejarah
yang sangat panjang.1 Secara keseluruhan, proses historis ini dilakukan
dengan damai, yang berbeda dengan Islamisasi di kawasan lain di

1 Paling tidak ada empat teori yang berbicara tentang proses masuknya Islam ke
Indonesia, yaitu teori Arab, teori India, teori Iran, dan teori Cina. Perdebatan
menarik tentang keempat teori ini. Lihat Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial
Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 31-43.

ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman


Volume 9, Nomor 1, September 2014; ISSN 1978-3183; 81-109
Toto Suharto

belahan dunia Islam. Islamisasi dengan damai ini dilukiskan Thomas


W. Arnold sebagai berikut:
“Sketsa di atas hanyalah merupakan bagian kecil daripada sejarah
dakwah Islam di kepulauan Nusantara…Tetapi cukup bukti-bukti
yang menunjukkan adanya pelaksanaan dakwah Islam yang
berjalan dengan penuh damai selama 600 tahun terakhir…ajakan
dan bujukanlah yang mewarnai gerakan dakwah itu”.2
Proses Islamisasi dengan damai itu segera berubah ketika
Indonesia memasuki era reformasi 1998. Menurut catatan Tim
PUSHAM UII, akhir masa Orde Baru merupakan momentum
penting bagi kebangkitan Islam di Indonesia, yang menjadi pra-
kondisi bagi munculnya berbagai kelompok gerakan Islam “baru”,
termasuk gerakan Islam radikal. Dalam atmosfer kebebasan inilah
bermunculan aktor gerakan Islam baru, yang berada di luar kerangka
mainstream Islam Indonesia yang dominan, semisal NU,
Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, al-Wasliyah, Jamiat Khair dan
sebagainya. Organisasi-organisasi semisal Gerakan Tarbiyah (yang
kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela
Islam (FPI), Laskar Jihad dan sebagainya merupakan representasi
generasi baru gerakan Islam di Indonesia itu.3
Oleh Ahmad Syafi’i Mufid beberapa gerakan yang berada di luar
mainstream Islam Indonesia itu disebut sebagai gerakan transnasional,
yaitu kelompok keagamaan yang memiliki jaringan internasional, yang
datang ke suatu negara dengan membawa paham keagamaan
(ideologi) baru dari negeri seberang (Timur Tengah), yang dinilai
berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih dahulu eksis.
Beberapa kelompok keagamaan Islam atau gerakan yang dianggap
transnasional adalah al-Ikhwân al-Muslimûn (Gerakan Tarbiyah) dari
Mesir, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dari Libanon (Timur Tengah),

2 Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, terj. A. Nawawi Rambe (Jakarta:


Widjaya, 1985), 352. Pandangan yang paling luas diterima menyatakan bahwa Islam
berhasil diterima secara damai oleh masyarakat Indonesia lewat ajaran-ajaran para
sufi. Jika dibandingkan dengan cabang-cabang disiplin Islam yang lain, tasawuf pada
umumnya diakui sebagai disiplin yang paling besar perannya dalam penyebaran
Islam di Indonesia. Lihat Alwi Shihab, “The Muhammadiyah Movement and Its
Controversy with Christian Mission in Indonesia” (Disertasi--Temple University,
1995), 18-19.
3 Tim PUSHAM UII, Bersama Bergerak: Riset Aktivis Islam di Dua Kota (PUSHAM

UII: Yogyakarta, Oktober 2009), 38.

82 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

Salafi dari Saudi Arabia, Shî‘ah dari Iran dan Jamaah Tabligh dari
India/Bangladesh. Keenam gerakan atau kelompok keagamaan Islam
tersebut, saat ini sudah ada di Indonesia, berupaya menancapkan
pahamnya melalui lembaga pesantren, perguruan tinggi atau kampus-
kampus, majelis-majelis ta‘lîm, lembaga-lembaga amil zakat, infak, dan
sedekah. Karena mereka membawa paham keagamaan (ideologi) baru,
maka dalam perkembangannya, acap kali mereka menimbulkan
gesekan dengan beberapa kelompok keagamaan Islam yang telah lebih
dahulu ada.4 Disadari atau tidak, para aktivis gerakan tersebut berhasil
menakhodai aktivitas beberapa masjid, terutama di wilayah perkotaan.
Akan tetapi, di beberapa tempat muncul kasus berupa letupan reaksi
masyarakat terhadap eksistensi mereka, disebabkan cara pandang yang
berbeda dalam memahami dakwah.5
Sejak itu, berbagai peristiwa yang disebut radikalisme dan
terorisme sering menghantui Indonesia, mulai Bom Bali dan bom-
bom lainnya di berbagai wilayah Indonesia. Untuk meresponsi hal ini,
untuk kali pertama diadakanlah konferensi ulama se-ASEAN, yaitu
The Jakarta International Islamic Conference, dengan tema “Strategi
Dakwah Menuju Ummatan Wasathon dalam Menghadapi
Radikalisme”, untuk menyiasati maraknya radikalisme di Indonesia.
Konferensi ini diselenggarakan atas prakarsa Majelis Tabligh dan
Dakwah Muhammadiyah bekerjasama dengan Lembaga Dakwah NU,
pada tanggal 13-15 Oktober 2003 di Gedung JCC Jakarta.6 Menurut
Hery Sucipto, konferensi inilah yang mengilhami kehadiran Center for
Moderate Moslem (CMM) yang dikomandoi Muhammadiyah dan
NU, untuk mengusung “Islam Jalan Tengah” bagi Islam Indonesia, di
tengah kerasnya tarik-menarik antara kelompok atau gerakan Islam
radikal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).7
Kemunculan CMM oleh Muhammadiyah dan NU dengan
mengusung Islam moderat kiranya perlu mendapat dukungan dari
4 Ahmad Syafi’i Mufid (ed.), Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama, 2011), 215-216.
5 Ibid., ix.
6 Lihat Nurul Badruttaman, “Dakwah Islam di Tengah Tantangan Globalisasi:

Pemikiran dan Kontribusi Tarmizi Taher” dalam Hery Sucipto (ed.), Islam Madzhab
Tengah: Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2007), 329.
7 Hery Sucipto, “Tarmizi Taher dan Islam Madzhab Tengah”, pengantar editor

dalam Hery Sucipto (ed.), Islam Madzhab Tengah: Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher
(Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), 17.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 83


Toto Suharto

seluruh elemen masyarakat Islam Indonesia, sebab bagaimanapun


juga, Indonesia adalah “negerinya kaum Muslim moderat”,8 demikian
penilaian Abdurrahman Wahid. Sejak masa pasca-Soeharto, Indonesia
sebagai negara Muslim terbesar dan negara demokrasi ketiga setelah
India dan Amerika Serikat, diharapkan dapat memainkan peran lebih
besar di dalam menyebarkan Islam wasat}îyah, yang oleh sebagian
kalangan diidentikkan dengan Islam moderat. Dalam konteks ini,
Kementerian Agama sebagai lembaga formal milik pemerintah telah
berupaya untuk menanamkan Islam moderat bagi Islam Indonesia.
Menteri Agama, yang saat itu dipegang oleh Suryadharma Ali pernah
menyatakan bahwa “Islam Indonesia adalah Islam moderat yang
mengutamakan toleransi dan kebhinekaan”.9 Kemudian Wakil
Presiden Jusuf Kalla pada saat membuka Konferensi ke-VI Umat
Islam Indonesia, di Pagelaran Keraton Yogyakarta, pada 9 Februari
2015 mengatakan: “Indonesia harus menjadi referensi pemikiran
Islam dunia yang moderat. Islam yang jalan tengah”.10
Secara khusus, Azyumardi Azra memandang Islam Indonesia
sebagai “Islam with a smiling face” yang penuh damai dan moderat,
sehingga tidak ada masalah dengan modernitas, demokrasi, HAM dan
kecenderungan-kecenderungan lain di dunia modern.11 Akan tetapi,
apakah karakter moderat bagi Islam Indonesia itu dapat
dipertahankan dewasa ini? Ini semua tergantung kepada pemeluk
agama ini. Di sinilah perlunya penyemaian dan penguatan Islam
moderat melalui jalur pendidikan, baik secara formal, informal dan
nonformal, baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya
masyarakat. Muhammadiyah dan NU yang sejak awal dicap sebagai
pengusung Islam moderat, diharapkan memiliki andil besar bagi
pemberdayaan Islam moderat bagi Indonesia.12 Menurut Muhammad

8 Penilaian ini diberikan Abdurrahman Wahid, ketika melihat perkembangan Islam


Indonesia. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama
Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 60.
9 Koran Sindo versi online, “Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset” dalam

http://m.koran-sindo.com/node/325385, (diakses pada 1 Juni 2014).


10 “Indonesia Diharapkan Jadi Barometer Islam Moderat” dalam
http://www.nu.or.id/ (diakses pada 29 Maret 2015).
11 Azyumardi Azra, “Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths” dalam

Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in
Southeast Asia (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2003), 45.
12 Lihat Azyumardi Azra, “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to

Learn” dalam Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in Indonesia:

84 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

Ali, sudah saatnya ormas-ormas agama seperti NU dan


Muhammadiyah yang bergaris moderat, untuk membimbing
kelompok-kelompok agama agar lebih mengedepankan kearifan
(wisdom), bukan teror dan kekerasan, dalam menyalurkan militansi
keagamaan mereka.13 Hal ini karena keberagamaan yang mampu
menolak terorisme selalu berawal dari sikap keberagamaan yang
moderat, yang berupaya mengembangkan penafsiran teks-teks
keagamaan dengan bahasa agama yang damai, santun, dan bijaksana,
sehingga orientasi keberagamaannya tidak berhenti pada to have a
religion, tetapi lebih penting dari itu adalah to be religious.14
Tulisan ini dengan analisis filsafat aktual15 bermaksud mengkaji
ulang sejauh mana lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah
dan NU itu mengusung gagasan pendidikan Islam moderat. Kajian
ulang terhadap gagasan pendidikan Islam moderat kedua organisasi ini
penting dilakukan, agar dapat dipastikan bahwa outcome dari lembaga
pendidikan kedua organisasi ini memiliki peran penting bagi
penyemaian dan penguatan Islam moderat di Indonesia, sehingga tesis
Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk yang berpandangan bahwa
dengan karakter modeat, Islam Indonesia dapat dijadikan model bagi
keberagamaan Islam di seluruh dunia Muslim,16 dapat diuji
keberadaannya.
Kerangka Kajian Ideologi Islam Moderat dan Ideologi Islam
Radikal
Menurut M. Sastrapratedja, ideologi secara umum dapat diartikan
sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada

Contrasting Images and Interpretations (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013),


73-74.
13 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin

Kebersamaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), 122.


14 Ibid., 115-116.
15 Pendekatan filsafat digunakan untuk membongkar struktur fundamental gagasan

pendidikan Muhammadiyah dan NU terkait muatan pendidikan Islam moderatnya.


Mengikuti pemikiran Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, kajian ini
merupakan model penelitian filsafat aktual, yaitu refleksi filosofis tentang salah satu
fenomena dalam situasi aktual, yang dalam hal ini adalah muatan Islam moderat
dalam gagasan pendidikan Muhammadiyah dan NU. Lihat Anton Bakker dan
Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1998),
107-113.
16 Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in Indonesia: Contrasting Images and

Interpretations (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013), 11

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 85


Toto Suharto

tindakan yang terorganisir menjadi suatu sistem yang teratur,17


sehingga Richard Pratte menyebut ideologi sebagai “a belief system”
yang berhubungan dengan “action”.18 Dengan ini, ideologi memiliki
tiga unsur. Pertama, adanya suatu penafsiran atau pemahaman
terhadap kenyataan masa lalu yang diimajinasikan ke masa depan.
Kedua, setiap ideologi memuat seperangkat nilai-nilai atau suatu
preskripsi moral yang menolak sistem lainnya. Ketiga, ideologi memuat
suatu orientasi pada tindakan, yaitu sebagai suatu pedoman untuk
mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya. Melalui ketiga unsur
ini ideologi berfungsi sebagai pemersatu di antara in group (kita) dan
pembeda dengan out group (mereka), karenanya ideologi dapat
membentuk identitas kelompok atau bangsa. Ideologi juga berfungsi
sebagai futuristik karena memberikan gambaran masa depan yang
utopis, di samping juga berfungsi sebagai orientasi pada tindakan.19
Di dalam bidang pendidikan, ideologi merupakan sumber
kekuasaan dalam mengarahkan pendidikan.20 Menurut Gerald L.
Gutek, pengarahan dalam pendidikan ini dapat diwujudkan dalam tiga
hal; yaitu di dalam menentukan kebijakan dan tujuan pendidikan, di
dalam penyampaian nilai-nilai yang tersembunyai (hidden curriculum),
dan di dalam formulasi kurikulum itu sendiri.21 Ketiga aspek ini
senantiasa dipengaruhi dan ditentukan bentuk dan formatnya oleh
ideologi pendidikan yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan.
Demikian juga di dalam pendidikan Islam, ideologi menjadi
sesuatu yang penting untuk memahami pendidikan Islam. Menurut
catatan Abdul Ghani ‘Abud, “tanpa memahami ideologi Islam, tidak
mungkin dapat memahami pendidikan Islam, dan tidak mungkin
dapat memahami ideologi Islam tanpa merujuk pada kedua
sumbernya, al-Qur’ân dan al-Sunnah.22 Jadi, di dalam pendidikan,
ideologi merupakan sistem kepercayaan, nilai, atau pandangan serta
17 M. Sastrapratedja, “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”, dalam
Oetojo Oesman dan Alfian (eds.), Pancasaila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (Jakarta: BP-7 Pusat, 1991), 142.
18 Richard Pratte, Ideology and Education (New York: David McKay Company, 1977),

26-37.
19 Sastrapratedja, “Pancasila sebagai Ideologi”, 143-144.
20 Lihat H.A.R. Tilaar, Pendidikan dan Kekuasaan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi

Kultural (Magelang: Indonesia Tera, 2003), 120.


21 Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Perspectives on Education (New Jersey:

Prentice Hall, 1988), 160-162.


22 ‘Abd al-Ghanî ‘Abûd, Fî al-Tarbîyah al-Islâmîyah (t.tp.: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1977),

104.

86 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

pemikiran yang menjadi landasan atau orientasi bagi sebuah lembaga


pendidikan untuk menentukan langkah-langkah ke mana pendidikan
itu mengarah.
Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini telah terfragmentasi
dalam beragam ideologi. Lembaga pendidikan di bawah naungan
pemerintah, baik berupa madrasah negeri ataupun sekolah negeri,
memiliki ideologi yang jelas, yaitu ideologi negara berdasarkan
Pancasila. Lain halnya dengan lembaga pendidikan swasta yang
dikelola oleh suatu organisasi atau yayasan tertentu, maka ideologi
pendidikannya mengikuti ideologi organisasi atau yayasan tersebut.
Dalam konteks ini, lembaga pendidikan swasta tak jarang menjadi
agen atau penyemai ideologi dari suatu organisasi atau yayasan
induknya. Diakui Mardiatmadja, lembaga perguruan swasta senantiasa
hadir dengan membawa identitas dan ciri khasnya sendiri. Identitas ini
merupakan simbol yang menunjukkan eksistensinya. Harga diri suatu
perguruan swasta sangat tergantung pada identitasnya; termasuk
segala kelebihan dan kekurangannya, serta keunikannya yang tidak
dimiliki oleh pihak mana pun, kecuali oleh dirinya sendiri.23 Identitas
kekhasan ini tentu saja dibalut oleh baju bernama ideologi. Oleh
karena itu, untuk melihat muatan pendidikan suatu lembaga
pendidikan Islam swasta, dapat dilacaknya melalui ideologi lembaga
induknya.
Sebuah lembaga pendidikan Islam dapat dikategorikan pengusung
Islam moderat, manakala organisasi atau lembaga induknya memiliki
ideologi Islam berpaham moderat. Sebaliknya, suatu lembaga
pendidikan Islam dapat dikategorikan pengusung Islam radikal,
manakala organisasi atau lembaga induknya memiliki ideologi Islam
berpaham radikal. Dari sini diperlukan pemahaman yang jelas antara
Islam berideologi moderat dengan Islam berideologi radikal.
Menurut KBBI Offline Versi 1.5,24 terma “moderat” memiliki dua
makna, yaitu: (1) selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan
yang ekstrem; dan (2) berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan

23 Mardiatmadja, “Peran Perguruan Swasta: Khususnya Perguruan Katolik dalam


Pendidikan Nasional” (dalam http://www.mardiatmadja.org/Tulisan Lepas
Perguruan Swasta.htm, diakses 20 Februari 2010).
24 KBBI Offline Versi 1.5 merupakan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Luar

Jaringan (Offline) lansiran 2010-2013, yang mengacu pada data dari KBBI Daring
(Dalam Jaringan atau Online) Edisi III yang diambil dari
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/. Software ini merupakan Freeware yang
dikembangkan oleh Ebta Setiawan.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 87


Toto Suharto

tengah.25 Oleh karena itu, paham moderat berarti paham yang tidak
ekstrem, dalam arti selalu cenderung pada jalan tengah. Al-Qur’ân
menyebut umat Islam sebagai ummah wasat}a (Q.S. al-Baqarah: 143),
yaitu umat “tengahan”, “moderat”, adil, dan “terbaik”. Oleh karena
itu, mengedepankan sikap moderat bukan hanya berkesesuaian
dengan anjuran ayat ini (dan ayat-ayat al-Qur’ân lainnya yang senafas),
tapi juga menjadi karakter utama umat ini. Dari sini, Muchlis M.
Hanafi memaknai moderat (al-wasat}) sebagai metode berpikir,
berinteraksi dan berperilaku secara tawâzun (seimbang) dalam
menyikapi dua keadaan, sehingga ditemukan sikap yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam dan tradisi masyarakat, yaitu seimbang dalam
akidah, ibadah dan akhlak.26
Dengan mengutip pandangan John L. Esposito, Masdar Hilmy
menyebutkan bahwa terma “moderat” dan “moderatisme”
merupakan nomenklatur konseptual yang sulit didefinisikan. Terma
ini diperebutkan oleh kelompok agama ataupun para ilmuwan,
sehingga dimaknai secara berbeda-beda, tergantung siapa dan dalam
konteks apa ia dipahami.27 Kesulitan pemaknaan ini disebabkan
karena khazanah pemikiran Islam Klasik tidak mengenal istilah
“moderatisme”. Penggunaan dan pemahaman atasnya biasanya
merujuk pada padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, di antaranya
al-tawassut} atau al-wasat} (moderasi), al-qist} (keadilan), al-tawâzun
(keseimbangan), al-i‘tidâl (keselarasan/kerukunan), dan semacamnya.28
Namun demikian, dalam konteks Indonesia, masih menurut Hilmy,
terdapat beberapa karakteristik moderatisme Islam. Hilmy
menyatakan:
“The concept of moderatism in the context of Indonesian Islam
has at least the following characteristics; 1) non-violent ideology
in propagating Islam; 2) adopting the modern way of life with its
all derivatives, including science and technology, democracy,
human rights and the like; 3) the use of rational way of thinking;
4) contextual approach in understanding Islam, and; 5) the use of
ijtihâd (intellectual exercises to make a legal opinion in case of the
25 “Moderat” dalam KBBI Offline Versi 1.5.
26 Muchlis M. Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama (Jakarta:
Ikatan Alumni al-Azhar dan Pusat Studi al-Qur’ân, 2013), 3-4
27 Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on

the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 07,
Number 01, June 2013, 25.
28 Ibid., 27.

88 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

absence of explicit justification from the Qur’ân and H}adîth).


Those characteristics are, however, can be expanded into several
more characteristics such as tolerance, harmony and cooperation
among different religious groups”.29
Sementara itu, untuk konteks Indonesia, Muhammad Ali
memaknai Islam moderat sebagai “those who do not share the hard-
line visions and actions”.30 Dengan pemaknaan ini, ia menyatakan
bahwa Islam moderat Indonesia merujuk pada komunitas Islam yang
menekankan pada perilaku normal (tawassut}) di dalam
mengimplementasikan ajaran agama yang mereka tegakkan; mereka
toleran terhadap perbedaan pendapat, menghindari kekerasan, dan
memrioritaskan pemikiran dan dialog sebagai strateginya. Dengan ini,
mereka adalah mainstream Islam Indonesia, meskipun gerakan
strategisnya untuk memoderasi keagamaan dan politik masih dinilai
terbatas. Gagasan-gagasan semisal “Islam Pribumi”, “Islam Rasional”,
“Islam Progresif”, “Islam Transformatif”, “Islam Liberal”, “Islam
Inklusif”, “Islam Toleran”, dan “Islam Plural”, yang muncul sejak
tahun 1970-an dapat dikategorikan sebagai Islam moderat Indonesia.
Kategori yang sama juga dapat disematkan pada gagasan-gagasan
reaktualisasi Islam, nasionalisasi Islam, desakralisasi budaya Islam,
atau ijtihad kontekstual.31
Berbeda dengan Muhammad Ali yang lebih menekankan pada
substansi karakter Islam moderat, Ahmad Najib Burhani memaknai
Islam moderat untuk Indonesia lebih pada makna bahasanya, yaitu
sebagai “mid-position between liberalism and Islamism”. Orang atau
organisasi yang berada di tengah-tengah antara liberalisme dan
Islamisme adalah moderat.32 Dengan demikian, bagi Burhani, Islam
moderat Indonesia adalah bukan liberal dan juga bukan Islamis.
Dari beberapa pandangan mengenai Islam moderat di atas, untuk
konteks Indonesia, penulis lebih setuju pada hakikat atau substansi
Islam moderat, yang oleh al-Qur’ân disebut sebagai rah}mah li al-‘âlamîn
(Q.S. al-Anbiyâ: 107). Dengan pemaknaan ini, Islam moderat bagi
29 Ibid., 28.
30 Muhammad Ali, “Moderate Islam Movement in Contemporary Indonesia” dalam
Rizal Sukma dan Clara Joewono (eds.), Islamic Thoughts and Movements in Contemporary
Indonesia (Jakarta: Center for Strategic and International Studies, 2007), 198.
31 Ibid., 199.
32 Ahmad Najib Burhani, “Pluralism, Liberalism and Islamism: Religious Outlook of

the Muhammadiyah Islamic Movement in Indonesia” (Tesis--Fakulty of


Humanities, University of Manchester, 2007), 16.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 89


Toto Suharto

Indonesia adalah Islam yang bukan ekstrem atau radikal, yang


senantiasa tidak menekankan pada kekerasan atau tidak menempuh
garis keras di dalam mengimplementasikan keberislamannya.
Kelompok Islam liberal atau kelompok Islamis, selama mereka
menempuh jalur yang bukan rah}mah, maka itu bukan dikategorikan
Islam moderat. Dengan ini, Islam moderat ditandai dengan beberapa
karakteristik, yaitu berperilaku normal (tawassut}) di dalam
mengimplementasikan ajaran agama; toleran terhadap perbedaan
pendapat, menghindari kekerasan, memrioritaskan dialog,
mengakomodir konsep-konsep modern yang secara substansial
mengandung maslahat, berpikir rasional berdasarkan wahyu,
menafsirkan teks secara kontekstual, dan menggunakan ijtihad di
dalam menafsirkan apa yang tidak termaktub di dalam al-Qur’ân atau
Sunnah. Dengan karakter ini, Islam moderat adalah mereka yang
memiliki sikap toleran, rukun dan kooperatif dengan kelompok-
kelompok agama yang berbeda. Inilah watak rah}mah bagi Islam
moderat Indonesia, yang lebih bermakna teologis, daripada politis
yang sering diwacanakan oleh Amerika Serikat ketika memaknai Islam
moderat.33
Dengan watak seperti itu, Islam moderat merupakan kebalikan
dari Islam radikal,34 yang untuk kemudian sering disebut sebagai
fundamentalisme, militanisme, fanatisme, Islamisme atau
35
ekstremisme. Menurut KBBI Offline Versi 1.5, terma “radikal” adalah
kata adjektif yang berarti “secara mendasar atau sampai kepada yang
prinsip”. Kata ini sering digunakan dalam bidang politik, yang
biasanya diartikan sebagai “amat keras menuntut perubahan undang-
undang atau pemerintahan”.36 Dari kata “radikal” ini muncul kata
“radikalisasi” yang mengandung arti “proses, cara atau perbuatan

33 Lihat pemaknaan Islam moderat yang teologis, bukan politis, oleh Ahmad Najib
Burhani, “Al-Tawassut} wa-l I‘tidâl: the NU and Moderatism in Indonesian Islam”,
Asian Journal of Social Science,Vol. 40, Issue 5-6 (2012), 564-581.
34 Dari sini kedua istilah ini sering dipersandingkan sebagai sebuah terma yang saling

diperlawankan. Informasi awal tentang Islam moderat versus Islam radikal, lihat
misalnya Nurjannah, Radikal vs Moderat: Atas Nama Dakwah, Amar Makruf Nahi
Mungkar dan Jihad Perspektif Psikologi (Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2013). Buku ini
berasal dari disertasi penulisnya di Fak. Psikologi UGM.
35 Lihat A. Rubaidi, Radikalisme Islam: Nahdlatul Ulama dan Masa Depan Moderatisme

Islam di Indonesia (Surabaya: PWNU Jawa Timur, 2010), 31-32.


36 “Radikal” dalam KBBI Offline Versi 1.5.

90 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

menjadikan radikal”,37 dan kata “radikalisme” dengan arti “paham


atau aliran yang radikal dalam politik yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau
drastis, sehingga dipandang sebagai sikap ekstrem dalam aliran
politik”.38 Dari pengertian-pengertian di atas, secara bahasa dapat
dikatakan bahwa paham keagamaan Islam radikal mengandung arti
aliran, haluan atau pandangan yang berhubungan dengan agama
Islam, yang secara politis amat keras menuntut perubahan undang-
undang atau pemerintahan.
Terkait dengan itu, KH. Hasyim Muzadi pada Seminar Nasional
bertema “Deradikalisasi Agama melalui Peran Muballigh di Jawa
Tengah” yang diselenggarakan oleh Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi, tanggal
20 Juli 2011 di Hotel Novotel Semarang, mengatakan bahwa pada
dasarnya seseorang yang berpikir radikal (yaitu berpikir mendalam,
sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, karena memang berpikir
sudah seharusnya seperti itu. Seseorang yang dalam hatinya
berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah, karena
Indonesia tidak menerapkan syariat Islam, karena itu dasar negara
Indonesia harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam (khilâfah
Islâmîyah) misalnya, maka pendapat radikal seperti ini sah-sah saja.
Sekeras apapun suatu pernyataan, jika hanya dalam wacana atau
pemikiran, tidak akan termasuk tindak pidana. Kejahatan adalah suatu
tindakan (omissi). Dalam pengertian ini, seseorang tidak dapat
dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu
tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Berpikir radikal seperti ini
akan meningkat menjadi radikalisme, yaitu radikal dalam paham atau
ismenya, yang biasanya akan menjadi radikal secara permanen.
Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal yang sudah menjadi
ideologi dan mazhab pemikiran. Sedangkan radikalisasi adalah
(seseorang yang) tumbuh menjadi reaktif, ketika terjadi ketidakadilan
di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan
ketikadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan hukum dan
seterusnya. Jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu
radikalisme hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum
terwujud, radikalisasi akan selalu muncul di masyarakat. Dengan

37 “Radikalisasi” dalam KBBI Offline Versi 1.5.


38 “Radikalisme” dalam KBBI Offline Versi 1.5.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 91


Toto Suharto

demikian, potensi berpikir, bersikap dan bertindak radikal, sehingga


menjadi ideologi radikal (radikalisme), kemudian tumbuh secara
reaktif menjadi radikal (radikalisasi), adalah modal awal seseorang
menjadi pelaku teror (teroris) atau orang yang berpaham teror
(terorisme). Tidak ada teror tanpa radikalisme, sebaliknya, penganut
radikalisme belum tentu menyukai jalan kekerasan (teror).39
Pandangan Muzadi di atas diamini oleh Arsyad Mbai, mantan
Kepala BNPT. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo,
Arsyad Mbai menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari
terorisme. Menurutnya, ideologi radikal adalah penyebab dari
maraknya aksi teror di Indonesia, sehingga pencegahan terorisme
harus diikuti oleh pemberantasan radikalisme. Secara spesifik, Mbai
melihat adanya ideologi tersebut dalam perilaku teror di masyarakat
sejak tahun 2000-an.40
Dalam pandangan Noorhaidi Hasan, sesuatu dikatakan radikal jika
mengabsahkan penggunaan metode kekerasan dalam upaya
mewujudkan perubahan radikal dalam sistem politik ataupun
masyarakat. Dengan demikian, ukuran radikalisme terletak pada
kecenderungan mengupayakan perubahan radikal terhadap sistem
yang ada dengan menggunakan kekerasan. Radikalisme bisa
dinisbatkan kepada pemikiran, gagasan, aksi, atau gerakan dari agama
apa saja. Ketika radikalisme itu didasari oleh semangat menggantikan
sistem yang ada dengan sistem baru yang bersumber dari sharî‘ah,
maka ini disebut radikalisme Islam. Apabila radikalisme itu dipoles
dengan doktrin-doktrin jihad, dalam arti pengesahan kekerasan itu
dengan dalih jihad, maka disebut jihadisme. Dari jihadisme inilah
berkembang terorisme Islam, atau lebih tepatnya, terorisme atas nama
Islam. Inilah puncak aksi kekerasan.41
Sementara itu, menurut Endang Turmudi dan Riza Sihbudi,
radikalisme keagamaan sebenarnya merupakan fenomena yang bisa
muncul dalam setiap agama, karena ia adalah semacam ideologi yang
menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun
individu. Fundamentalisme ini pada gilirannya akan diiringi
39 Dikutip dari Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham
Radikal”, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Volume 20, Nomor 1 (2012),
82-83.
40 Dikutip dari Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “Melacak Akar Radikalisme Islam

di Indonesia”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 2 (2010), 171.
41 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori

(Yogyakarta: Suka-Press, 2012), 23-26.

92 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

radikalisme dan kekerasan, apabila upaya semangat kembali pada


dasar-dasar agama tadi mendapat rintangan dari situsai politik yang
mengelilinginya. Radikalisme sebenarnya tidak menjadi masalah,
selama ia hanya bersarang dalam pemikiran yang bersifat ideologis
dalam diri penganutnya. Akan tetapi, ketika radikalisme ideologis itu
bergeser dari wilayah pemikiran ke wilayah gerakan, maka ia mulai
akan menimbulkan masalah, utamanya ketika semangat untuk kembali
pada dasar-dasar agama itu dihalangi oleh kekuatan politik lain. Dalam
situasi ini, radikalisme tak jarang akan diiringi kekerasan atau
terorisme.42 Dari pergeseran inilah orang sering memaknai radikalisme
dalam dua wujud, yaitu radikalisme dalam pikiran yang disebut
fundamentalisme; dan radikalisme dalam tindakan yang disebut
terorisme.43
Dalam konteks itu, menurut Rahimi Sabirin, radikalisme
merupakan pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai empat hal.
Pertama, sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan
keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar
sendiri, menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu
membedakan diri dari kebiasaan umat kebanyakan. Keempat, sikap
revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk
mencapai tujuan.44
Secara khusus dalam Islam, Greg Fealy dan Virginia Hooker
dalam pengantar editornya menyatakan bahwa:
“Radical Islam refers to those Islamic movements that seek
dramatic change in society and the state. The comprehensive
implementation of Islamic law and the upholding of “Islamic
norms”, however defined, are central elements in the thinking of
most radical groups. Radical Muslims tend to have a literal
interpretation of the Qur’ân, especially those sections relating to
social relations, religious behavior and the punishment of crimes,
and they also seek to adhere closely to the perceived normative
model based on the example of the Prophet Muhammad”.45
Sementara itu, Yûsuf al-Qarad}awî menyebut empat indikator bagi
religious extremism. Pertama, fanatisme dan intoleransi, sebagai akibat
42 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI
Press, 2005), 4-5.
43 Lihat Rahimi Sabirin, Islam dan Radikalisme (Yogyakarta: Ar-Rasyid, 2004), 6.
44 Ibid., 5.
45 Greg Fealy dan Virginia Hooker (eds.), Voices of Islam in Southeast Asia: A

Contemporary Sourcebook (Singapore: ISEAS, 2006), 4.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 93


Toto Suharto

dari prasangka (prejudice), kekakuan (rigidity), dan kepicikan pandangan


(lack of insight). Sikap ini menggiring mereka untuk memaksa orang
lain, baik dalam bentuk terorisme intelektual seperti fitnah dan
tuduhan terhadap penganut bid‘ah, dan sebagainya, maupun dalam
bentuk terorisme fisik yang lebih terrifying. Kedua, berlebih-lebihan atau
melampaui batas, sehingga cenderung mengambil garis keras (hard-line)
yang hobi berdemonstrasi dengan makian, hasutan dan bahkan
ancaman bom. Ketiga, membebani orang lain tanpa memertimbangkan
situasi dan kondisi. Keempat, keras dalam memerlakukan diri sendiri
dan orang lain, sehingga misalnya, asas praduga tak bersalah tidak
pernah dihiraukan. Semua ciri ekstremisme agama yang tiranik dan
tidak egaliter ini, jelas membahayakan hak-hak orang lain, yang dapat
melahirkan bahaya dan ketidakamanan.46
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa Islam radikal adalah
paham, ideologi, atau keyakinan keagamaan Islam yang bermaksud
melakukan perubahan masyarakat dan negara secara radikal, yaitu
mengembalikan Islam sebagai pegangan hidup bagi masyarakat
maupun individu. Oleh karena perubahan ini dilakukan secara radikal,
maka bagi paham ini, memungkinkan dilakukannya tindakan
radikalisme, apabila upaya semangat kembali pada dasar-dasar
fundamental Islam ini mendapat rintangan dari situsai politik yang
mengelilinginya. Dengan keyakinan yang kuat terhadap ideologinya
yang dianggapnya benar, paham keagamaan Islam radikal lahir sebagai
sebuah respons terhadap kondisi yang menurutnya bertentangan
dengan keyakinannya, bahkan sekuat tenaga akan merubahnya secara
terus-menerus apabila tatanan yang ada belum sepenuhnya sesuai
dengan tatanan yang diharapkannya.
Dengan demikian, kiranya dapat ditarik benang merah mengenai
karakteristik Islam radikal. Pertama, menghendaki pelaksanaan hukum
Islam dan penegakan norma-norma Islam secara komprehensif dalam
kehidupan individu dan masyarakat, sesuai apa yang dimodelkan oleh
Rasulullah, sehingga memiliki sikap keberagamaan yang fanatik.
Menurut Masdar Hilmy, karakter ini mengindikasikan bahwa paham
Islam radikal adalah totalitarian. Sebagai anti-tesis terhadap paham
Barat, paham Islam radikal menekankan adanya visi Islam sebagai
doktrin agama dan sebagai praktik sosial sekaligus. Paham integrasi ini
sering disebut sebagai “Tiga D”, yaitu bahwa Islam menyatukan
antara Dîn, Dunyâ, dan Dawlah, karena seluruh aspek kehidupan
46 Dikutip dari Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 107-108.

94 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

manusia sudah tercover oleh al-Qur’ân dan Sunnah. Puncak dari


keyakinan ini adalah pendirian “negara Islam” yang mengatur semua
kehidupan individu berdasarkan konsep sharî‘ah.47 Kedua, menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan dengan hubungan sosial, perilaku
keagamaan dan hukuman kejahatan secara literal-tekstual. Penafsiran
rasional-kontekstual terhadap al-Qur’ân tidak diperlukan sepanjang al-
Qur’ân telah menyatakannya secara eksplisit. Oleh karena itu, paham
ini tidak menyatakan apa yang tidak dimunculkan al-Qur’ân, yang
dinilainya sebagai bid‘ah, bahkan konsep-konsep Barat semisal
demokrasi, liberalisme dan kapitalisme adalah bid‘ah, karena itu haram
menurut Islam. Di sini, penggunaan simbol-simbol Islam menjadi
karakter determinan paham ini, pada saat yang sama pemurnian Islam
menjadi teologi yang dipertahankan.48 Ketiga, model penafsiran literal-
tekstual ini membawanya untuk bersikap intoleransi terhadap semua
paham atau keyakinan yang bertentangan dengannya, dan pada saat
yang sama bersikap eksklusif dengan membedakan diri dari orang
kebanyakan. Di dalam sikap seperti ini, dunia hanya berisi dua hal,
yaitu baik-buruk, halal-haram, iman-kufur, dan seterusnya, dengan
mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum lain, semisal sunnah,
makruh, dan mubah. Adapun sikap eksklusif muncul karena
“menutup” atas pengaruh luar yang dinyatakannya sebagai
ketidakbenaran. Kebenaran yang diyakininya ini akan dipertahankan,
sekalipun harus meneteskan darah.49 Keempat, intoleransi dan
eksklusivitas hasil dari penafsiran di atas menghasilkan pandangan
yang revolusioner, yaitu ingin merubah secara terus-menerus, sehingga
memungkinkan dilakukannya tindakan kekerasan, selama tujuan yang
diinginkan belum tercapai.
Pada dasarnya, keyakinan atau ideologi yang dimiliki oleh
kelompok Islam radikal mempunyai beberapa landasan konseptual,
seperti konsep tentang kebangkitan Islam, menyerukan kebaikan dan
memerangi kejahatan, berjuang di jalan Allah (jihad), membangun
kembali komunitas seperti zaman Nabi Muhammad, dan keinginan
menerapkan hukum Islam sebagai basis keadilan sosial dalam
bangunan teologi Islam. Berdasarkan cita-cita dan sikap keyakinan ini,
Islam radikal mempunyai banyak tema, yaitu pembuktian prasangka
47 Masdar Hilmy, “The Politics of Retaliation: the Backlash of Radical Islamists to
Deradicalization Project in Indonesia”, Al-Jâmi‘ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 51,
No. 1 (2013), 133.
48 Ibid., 134 dan 136.
49 Ibid., 134.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 95


Toto Suharto

global untuk mendirikan negara Islam, penyelesaian atas kesiapan


untuk menjalankan hukum Islam guna melawan penindasan Barat,
dan klaim sebagai satu-satunya Islam yang autentik dan genuine. Untuk
mewujudkan keyakinan ini, mereka senantiasa menyerukan dan
mengajak jihad ke segenap umat Islam, meski dengan jalan
kekerasan.50
Ideologi Islam di atas, baik yang moderat maupun yang radikal,
senantiasa disemaikan, dikuatkan dan dilestarikan melalui berbagai
media dan sarana. Salah satu media yang sangat startegis bagi
penguatan dan penyemaian ideologi Islam moderat atau radikal adalah
melalui jalur pendidikan. Menurut Syamsul Arifin, peran dunia
pendidikan dapat diplot sebagai salah satu institusi yang dapat
dioptimalisir untuk melakukan apa yang disebut dengan deradikalisasi.
Peran pendidikan terutama yang dikelola oleh umat Islam diharapkan
dapat melakukan peran tersebut, bersama institusi lainnya, sehingga
wajah Islam di Indonesia tetap terlihat ramah, toleran, moderat,
namun tetap memiliki martabat di mata dunia.51
Dengan demikian, untuk menakar ulang apakah Muhammadiyah
dan NU yang dicap sebagai “gembong” Islam moderat bagi Indonesia
itu, berusaha menyemaikan ideologi Islam moderatnya melalui
gagasan-gagasan pendidikan Islam moderatnya? Dalam konteks ini,
menarik untuk mengangkat pandangan Muhammad Ali yang
berpendapat bahwa ideologi Islam moderat dapat disemaikan melalui
model pendidikan pluralis-multikultural. Menurutnya, wawasan
pluralis-multikultural dalam pendidikan agama merupakan bekal
penting agar kalangan pelajar mampu menghargai perbedaan,
menghormati secara tulus, komunikatif, terbuka, dan tidak saling
curiga, selain untuk meningkatkan iman dan takwa. Pendidikan
pluralis-multikultural bukanlah mengajarkan anak didik untuk
menjalankan agama dengan seenaknya sendiri, tanpa tanggung jawab
dan ketulusan, tetapi justru mengajarkan untuk taat beragama, tanpa
menghilangkan identitas keagamaan masing-masing. Wajah agama
yang ditampilkan pendidikan pluralis-multikultural adalah agama yang
moderat dan ramah.52

50 Ahmad Fuad Fanani, “Akar Radikalisme dan Terorisme”, Suara Merdeka, Jum’at,
07 Oktober 2005.
51 Syamsul Arifin, “Membendung Arus Radikalisasi di Indonesia”, Islamica, Vol. 8,

Nomor 2 (2014), 416.


52 Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 102.

96 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

Dengan demikian, keberadaan pendidikan Islam moderat ini


menjadi penting untuk konteks Indonesia, di tengah-tengah maraknya
berbagai ideologi radikal yang masuk ke Indonesia melalui jaringan
transnasinal. Pada Rapat Terbatas tanggal 5 Juni 2015 di Istana Bogor,
Presiden Joko Widodo mengundang MUI, ormas-ormas Islam dan
rektor sejumlah UIN di Indonesia, untuk menggagas pendidikan
Islam moderat di Indonesia. Dalam kesempatan itu, Presiden
menegaskan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang moderat yang
rukun dan selalu rukun berdampingan dengan agama lainnya, dan ini
merupakan sebuah cermin Islam yang bukan hanya menimbulkan
citra yang baik terhadap bangsa Indonesia yang plural, tetapi juga
rah}mah li al-‘âlamîn. Untuk itu, diperlukan sebuah perguruan tinggi
Islam yang moderat. “Perguruan tinggi Islam moderat yang betul-
betul sebuah universitas yang besar, yang nanti akan menjadi kiblat
perguruan tinggi Islam,”53 demikian tegas Joko Widodo.
Gagasan Islam Moderat Lembaga Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 18
Dzulhijjah 1330 H, atau bertepatan dengan 12 Nopember 1912 M di
Yogyakarta,54 sering dicap banyak kalangan sebagai organisasi Islam
yang berwawasan Islam moderat. Pandangan moderatisme
Muhammadiyah ini misalnya terlihat dalam kajian yang dilakukan oleh
Ahmad Najib Burhani mengenai sikap religius Muhammadiyah
mengenai pluralisme, liberalisme dan Islamisme.55 Demikian juga
kajian Muhammad Ali yang telah memasukkan Muhammadiyah
sebagai komunitas Muslim Indonesia yang berwajah moderat.56 Dalam
konteks ini, Tafsir, Sekretaris PW. Muhammadiyah Jawa Tengah
mengungkapkan:
“Muhammadiyah ingin menampilkan wajah Islam yang murni
namun ramah, maju dan moderat sebagaimana digambarkan

53 Silakan akses “Jokowi Ingin Bangun Universitas Islam Moderat” dalam


http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2015/06/05/329989/jokowi-ingin-
bangun-universitas-islam-moderat (diakses pada 13 Juni 2015) dan “Jokowi Ingin
Pertahankan Pendidikan Islam Moderat” dalam http://nasional.news.viva.co.id
/news/read/634595-jokowi-ingin-pertahankan-pendidikan-islam-moderat (diakses
pada 13 Juni 2015).
54 Tentang sejarah pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan, lihat misalnya

Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 244-250.
55 Burhani, “Pluralism, Liberalism, and Islamism”, 49-55.
56 Ali, “Moderate Islam Movement”, 204-209.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 97


Toto Suharto

dalam al-Qur’ân, rahmat bagi sekalian alam. Di samping itu, ia


juga ingin bagaimana Islam menjadi tuan rumah di negeri ini di
mana Islam benar-benar menyatu dan mengakar dalam budaya
masyarakat Indonesia. Maka satu langkah yang ditempuhnya
adalah membangun dakwah yang lebih manusiawi dan mudah
diterima masyarakat”.57
Untuk itu, pada Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012,
telah diputuskan mengenai “Kristalisasi Ideologi dan Khittah
Muhammadiyah”, yang salah satu keputusannya menyebutkan bahwa
ideologi Muhammadiyah ialah “ideologi Islam yang berkemajuan yang
memandang Islam sebagai Dîn al-H}adârah. Ideologi berkemajuan ini
ditandai dengan beberapa karakter, yaitu tajdîd dalam rangka
pembaruan kembali kepada al-Qur’ân dan Sunnah dengan
mengembangkan ijtihâd; bercorak reformis-modernis dengan sifat
wasat}îyah (tengah, moderat) untuk membedakannya dari ideologi-
ideologi lain yang serba ekstrem; mengedepankan sikap prokemajuan
dan anti-kejumudan, properdamaian dan anti-kekerasan, prokeadilan
dan anti-penindasan, prokesamaan dan anti-dikriminasi; serta
menjunjung tinggi nilai-nilai utama yang autentik sesuai jiwa ajaran
Islam.58
Menurut Haedar Nashir, maksud dari “ideologi Islam yang
berkemajuan” adalah bahwa Muhammadiyah berupaya menampilkan
corak Islam yang memadukan antara purifikasi dengan dinamisasi, dan
bersifat moderat (wasat}îyah) dalam meyakini, memahami, dan
melaksanakan ajaran Islam. Muhammadiyah dengan watak ini berbeda
dengan karakter gerakan-gerakan Islam lain yang cenderung ekstrem,
baik yang bersifat radikal-fundamentalis ataupun radikal-liberal.
Ideologi moderat ini bukanlah paham yang tidak jelas, lembek dan
plin-plan, karena Muhammadiyah dalam paham dan sikap
keagamaannya memiliki prinsip yang tegas, lugas, dan kuat
sebagaimana manhaj gerakan Muhammadiyah.59 Ideologi dengan
karakter moderat ini mengindikasikan bahwa Muhammadiyah berbeda
dengan gerakan Islam radikal-liberal yang serba liberal dalam
melakukan dekonstruksi atas ajaran Islam sehingga serba relatif; dan

57 Tafsir, “Simpang Jalan-Simpang Jalan Muhammadiyah”, Maarif, Vol. 4, No. 2


(2009), 28.
58 Lihat Haedar Nashir, Memahami Ideologi Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara

Muhammadiyah, 2015), 183.


59 Ibid., 61-62.

98 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

pada saat yang sama berbeda dengan gerakan radikal-fundamentalis


semisal Salafi, Wahabi, Tarbiyah/al-Ikhwân al-Muslimûn, Taliban,
Jemaah Tabligh, Islam Jemaah, Jemaah Islamiyah, Hizbut Tahrir,
Majelis Mujahidin, Ansharut Tauhid, Islam Tradisional, Majelis Tafsir
al-Qur’ân, dan kelompok Shî‘ah.60
Itulah ideologi Muhammadiyah dengan watak moderat, dalam arti
tengahan antara liberalisme dan radikalisme. Pertanyaannya, apakah
ideologi moderat ini juga disemaikan dalam lembaga-lembaga
pendidikannya? Selain berdakwah, cita-cita utama Muhammadiyah
adalah mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan
ajaran Islam, baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun
pendidikan dalam masyarakat. Dalam bidang pendidikan, hingga
tahun 2010 Muhammadiyah memiliki 4.623 Taman Kanak-Kanak;
6.723 Pendidikan Anak Usia Dini; 15 Sekolah Luar Biasa; 1.137
Sekolah Dasar; 1.079 Madrasah Ibtidaiyah; 347 Madrasah Diniyah;
1.178 Sekolah Menengah Pertama; 507 Madrasah Tsanawiyah; 158
Madrasah Aliyah; 589 Sekolah Menengah Atas; 396 Sekolah
Menengah Kejuruan; 7 Muallimin/Muallimat; 101 Pondok Pesantren;
serta 3 Sekolah Menengah Farmasi. Dalam bidang pendidikan tinggi,
sampai tahun 2010, Muhammadiyah memiliki 40 Universitas, 93
Sekolah Tinggi, 32 Akademi, serta 7 Politeknik.61
Dari data di atas, tampak bahwa Muhammadiyah dewasa ini
memiliki sejumlah lembaga pendidikan, mulai dari jenjang PAUD,
dasar dan menengah, hingga jenjang pendidikan tinggi, mulai dari
madrasah hingga sekolah, mulai dari formal hingga nonformal.
Menurut Lampiran VI Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-46
tentang Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, sebagaimana dimuat
dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar
Muhammadiyah Ke-45, visi pendidikan Muhammadiyah adalah
“Terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia,
berkemajuan dan unggul dalam IPTEKS sebagai perwujudan tajdîd
dakwah amar ma‘rûf nahy munkar”.62

60 Ibid., 57.
61 Lihat Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar
Muhammadiyah Ke-45 (Yogyakarta: Pusat Pimpinan Muhammadiyah, 2010), 37.
62 Lampiran VI Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-46 tentang Revitalisasi

Pendidikan Muhammadiyah, sebagaimana dimuat dalam Tanfidz Keputusan Muktamar


Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar Muhammadiyah Ke-45 (Yogyakarta: Pusat
Pimpinan Muhammadiyah, 2010), 128.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 99


Toto Suharto

Untuk mewujudkan visi itu, ada enam nilai dasar yang dibangun
dalam pendidikan Muhammadiyah. Pertama, pendidikan
Muhammadiyah diselenggarakan merujuk pada nilai-nilai yang
bersumber pada al-Qur’ân dan Sunnah. Kedua, rûh} al-ikhlâs} untuk
mencari rida Allah menjadi dasar dan inspirasi dalam ikhtiar
mendirikan dan menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Ketiga,
menerapakan prinsip kerjasama (mushârakah) dengan tetap memelihara
sikap kritis, baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon (Jepang),
Orde Lama, Orde Baru hingga pasca Orde Baru. Keempat, selalu
memelihara dan menghidup-hidupkan prinsip pembaruan (tajdîd),
inovasi dalam menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Kelima,
memiliki kultur untuk memihak kepada kaum yang mengalami
kesengsaraan (d}u‘afâ dan mustad}‘afîn) dengan melakukan proses-proses
kreatif sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang terjadi pada
masyarakat Indonesia. Keenam, memerhatikan dan menjalankan prinsip
keseimbangan (tawassut} atau moderat) dalam mengelola lembaga
pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati.63
Dari enam nilai dasar pendidikan Muhammadiyah di atas,
khususnya nilai dasar keenam, tampak bahwa pendidikan
Muhammadiyah dilakukan untuk meneguhkan Islam moderat yang
menjadi salah satu ideologi bagi gerakannya. Untuk itu, kurikulum
pendidikan yang dikembangkan dalam pendidikan Muhammadiyah
juga mengakomodir watak Islam moderat ini. Penguatan Islam
moderat ini tampak dalam penajaman ciri pendidikan Muhammadiyah
yang termuat dalam kurikulum mata pelajaran al-Islam dan Ke-
Muhammadiyahan.
Menurut Mohamad Ali, mata pelajaran al-Islam dan Ke-
Muhammadiyahan merupakan ciri khas pendidikan Muhammadiyah,
yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Karena mata
pelajaran ini menjadi ciri khas, maka ia menjadi “identitas objektif”
yang diterima publik di luar Muhammadiyah. Dalam konteks ini, ada
lima identitas objektif sebagai elaborasi dari al-Islam dan Ke-
Muhammadiyahan ke dalam sistem pendidikan Muhammadiyah,
yakni; 1) menumbuhkan cara berfikir tajdîd/inovatif, 2) memiliki
kemampuan antisipatif, 3) mengembangkan sikap pluralistik, 4)
memupuk watak mandiri, dan 5) mengambil langkah moderat.64 Jika

Ibid., 130-131.
63
64Mohamad Ali, Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah (Jakarta: Al-Wasat Publishing
House, 2010), 34-35.

100 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

peserta didik hasil didikan pendidikan Muhammadiyah memiliki lima


identitas objektif di atas, maka menurut Mohamad Ali, nuansa
perbedaan lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan lembaga
pendidikan pemerintah atau perguruan Islam lainnya akan kentara.
Dalam keadaan demikian, pendidikan Muhammadiyah akan berdiri
tegak tatkala berdampingan dengan lembaga pendidikan lain.65
Berdasarkan identitas objektif pendidikan Muhammadiyah di atas,
memiliki sikap pluralistik dan mengambil langkah moderat merupakan
bukti bahwa pendidikan Muhammadiyah menjadi penyemai Islam
moderat bagi Muhammadiyah. Artinya, melalui konsep “identitas
objektif pendidikan Muhammadiyah” inilah pendidikan
Muhammadiyah mengandung gagasan pendidikan Islam moderat,
yang disemaikan kepada peserta didiknya, sehingga mereka memiliki
karakter Islam moderat, sebagaimana ideologi perjuangan
Muhammdiyah itu sendiri.
Gagasan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan NU
Sama dengan Muhammadiyah yang dicap sebagai organisasi Islam
Indonesia dengan watak moderat, NU (Nahdlatul Ulama) yang
didirikan di Surabaya pada 31 Januari 192666 pun dikategorikan tidak
jauh berbeda. Kajian Muhammad Ali,67 Masdar Hilmy,68 dan Ahmad
Najib Burhani,69 jelas menyebut NU merupakan Islam moderat,
bahkan merupakan bagian mainstream Islam Indonesia, sekelas dengan
Muhammadiyah. Dalam konteks ini, Muqaddimah Anggaran Dasar
Nahdlatul Ulama 2010 menyebutkan:
“Untuk mewujudkan hubungan antar-bangsa yang adil, damai dan
manusiawi menuntut saling pengertian dan saling memerlukan,
maka Nahdlatul Ulama bertekad untuk mengembangkan
ukhuwwah Islâmîyah, ukhuwwah Wat}anîyah, dan ukhuwwah Insânîyah
yang mengemban kepentingan nasional dan internasional dengan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-ikhlâs} (ketulusan), al-

65 Ibid., 35-36.
66 Informasi mengenai pendirian NU, lihat misalnya Suharto, Filsafat Pendidikan
Islam, 254-262.
67 Ali, “Moderate Islam Movement”, 209-214.
68 Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on

the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 07,
No 01, June 2013, 24-48.
69 Burhani, “Al-Tawassut} wa-l I‘tidâl”, 564-581.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 101


Toto Suharto

‘adâlah (keadilan), al-tawassut} (moderasi), al-tawâzun


(keseimbangan), dan al-tasâmuh} (toleransi)”. 70

Muqaddimah Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama 2010 di atas jelas


sekali menyatakan bahwa untuk kepentingan nasional dan
internasional, NU memegang prinsip-prinsip, yang salah satunya
adalah prinsip moderasi (tawassut}). Menurut KH. Achmad Shiddiq,
prinsip tawassut} merupakan karakeristik Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah,
di samping prinsip rah}mah li al-‘âlamîn. Kedua prinsip ini merupakan
karakter ajaran Islam yang paling esensial.71 Di dalam menafsirkan
prinsip tawassut} ini, KH. Achmad Siddiq mengatakan:
“Tawassut} (termasuk i‘tidâl dan tawâzun) bukanlah serba
kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur
(sinkretisma). Juga bukan mengucilkan diri dari menolak
pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter tawassut} bagi Islam
adalah memang sejak semula Allah sudah meletakkan di dalam
Islam segala kebaikan, dan segala kebaikan itu sudah pasti terdapat
di antara ujung tat}arruf, sifat mengujung, ekstremisma. Prinsip dan
karakter tawassut} yang sudah menjadi karakter Islam ini harus
diterapkan dalam segala bidang, supaya Agama Islam dan sikap
serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur
kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia
umumnya”.72
Dengan demikian, bagi NU, yang dimaksud moderat (tawassut)}
adalah lawan dari ekstrem (tat}arruf), sifat mengujung ke kanan-kanan
atau ke kiri-kirian. Moderat (tawassut}) dimaknai oleh NU sebagai
“pertengahan”, yang diambil dari kata “wasat}a” sebagaimana
disebutkan di dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 143.73 Prinsip ini harus
dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan sebaik-baiknya oleh
kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah dalam segala bidang, mencakup

70 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama 2010, sebagaimana dimuat dalam Pengurus


Besar Nahdlatul Ulama, Keputusan Muktamar XXXII Nahdlatul Ulama (Jakarta:
Sekretariat PBNU, 2011), 20.
71 KH. Achmad Shiddiq, Khittah Nahdliyyah (Surabaya: Khalista-LTN NU Jawa

Timur, 2006), 38. Buku ini merupakan tulisan KH. Achmad Shiddiq yang pernah
dibagi-bagikan pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, yang kemudian
diputuskan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo sebagai “Khittah Nahdlatul
Ulama”.
72 Ibid., 62.
73 Ibid., 60.

102 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

bidang akidah, sharî‘ah, akhlak, pergaulan antar-golongan, kehidupan


bernegara, kebudayaan, dakwah dan bidang-bidang lainnya.74
Oleh karena prinsip moderat itu diterapkan dalam segala bidang,
termasuk kehidupan bernegara, maka NU senantiasa “setia” dengan
NKRI, sama dengan Muhammadiyah, menolak pendirian negara
Islam. Terkait ini, Mark Woodward misalnya menilai: “Like
Muhammadiyah, NU rejects the concept of an Islamic state, arguing
that Islam, as a religion, places greater emphasis on piety than
politics”.75
Namun, pertanyaan pentingnya, apakah prinsip moderat NU itu
dapat disemaikan dalam lembaga pendidikannya? Pasal 3 Anggaran
Dasar Nahdlatul Ulama 2010 menyebutkan bahwa NU sebagai Badan
Hukum Perkumpulan bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan,
dan sosial.76 Untuk melaksanakan tugas-tugas kependidikan ini, NU
membentuk Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU yang bertugas
melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan formal, dan mendirikan
Rabithah Ma‘ahid al-Islamiyah (RMI) yang bertugas melaksanakan
kebijakan di bidang pondok pesantren dan pendidikan keagamaan,77
serta membentuk Lajnah Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama
(LPTNU) yang bertugas mengembangkan pendidikan tinggi NU.78
Data tahun 2010 menyebutkan bahwa LP Ma‘arif memiliki 12.000
madrasah/sekolah tingkat dasar dan menengah, yang jumlah ini
mayoritasnya tersebar di wilayah Jawa Timur.79 Apa yang dilakukan
LP Ma‘arif NU dengan ribuan madrasah/sekolah ini? Menurut
Zamzami, Bendahara Pengurus Pusat LP Ma‘arif NU, LP Ma‘arif NU
perlu merumuskan platform pendidikan Ma‘arif, sebagai karekteristik
dasar bagi pendidikan NU. Zamzami menulis:
“Di sini, LP Ma‘arif NU perlu merumuskan karekteristik dasar
dari pendidikan NU yang perlu diterapkan, sehingga menjadi
platform pendidikan Ma‘arif. Nilai-nilai Ahl al-Sunnah wa al-
Jamâ‘ah tidak hanya diperjuangkan melalui mata pelajaran Aswaja

74 Ibid., 63-68.
75 Mark Woodward, Java, Indonesia, and Islam (London: Springer Science dan
Business Media B.V., 2011), 194.
76 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama 2010, 22.
77 Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama 2010, sebagaimana dimuat dalam

PBNU, Keputusan Muktamar, 39.


78 Ibid., 41.
79 “7159 Madrasah NU Ada di Jawa Timur” dalam http://www.nu.or.id/ (diakses

pada 29 Maret 2015).

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 103


Toto Suharto

dan Ke-NU-an, tetapi secara kultural harus ditanamkan ke dalam


seluruh aspek yang ada di lingkungan satuan pendidikan NU”.80
Dengan demikian, selain mata pelajaran Aswaja dan ke-NU-an,
yang menjadi karakter LP Ma‘arif NU, nilai-nilai Ahl al-Sunnah wa al-
Jamâ‘ah yang merupakan ideologi NU81 perlu juga disemaikan melalui
kultur pendidikan yang dibangunnya. Oleh karena itu, menurut
pengakuan Masduki Baidlawi, Wakil Ketua Pengurus Pusat LP Ma‘arif
NU yang diwawancarai oleh Mahbib Khoiron dari NU Online, dengan
jumlah 12.000 sekolah/madrasah ini NU bermaksud mengembangkan
apa yang dikonsepsikan sebagai “SNP-Plus”, yaitu memiliki standar
nasional pendidikan (SNP) ditambah (plus) standar kearifan lokal ke-
NU-an, yaitu mencakup mata pelajaran Ke-Aswaja-an dan nilai-nilai
ke-NU-an, seperti konsep tasâmuh} (toleransi), tawassut} (moderat),
tawâzun (seimbang), dan i‘tidâl (tegak). Inilah “SNP-Plus” yang
menjadi kekhasan Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU, dan sekaligus
menjadi Standar Mutu Maarif-nya.82 Nilai-nilai kultural inilah yang
diinstalkan ke dalam LP Ma‘arif NU, selain mata pelajaran Aswaja dan
Ke-NU-an.
Untuk itu, model pendidikan moderat yang diusung LP Ma‘arif
NU adalah “SNP-Plus” yang merupakan integrasi antara mata
pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an dengan nilai-nilai kultural ke-NU-an
yang berbasis ideologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, yaitu
tasâmuh} (toleransi), tawassut} (moderat), tawâzun (seimbang), dan i‘tidâl
(tegak). Pendidikan moderat SNP-Plus inilah kiranya yang menjadi
instrumen NU untuk menyemaikan karakter Islam moderat kepada
ribuan lembaga pendidikannya, sehingga outcome dari lembaga ini
diharapkan memiliki paham Islam moderat yang menjadi karakter dan
ideologi NU.
Penutup

80 Zamzami, “LP Ma‘arif NU dan Satuan Pendidikan di Lingkungan NU” dalam


http://www.maarif-nu.or.id/Opini/tabid/157/ID/125/LP-Maarif-NU-dan-Satuan
-Pendidikan-di-Lingkungan-NU.aspx (diakses pada 29 Maret 2015).
81 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama 2010 Pasal 5 menegaskan bahwa:

“Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah


dalam bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abû H}asan al-Ash‘arî dan Imam
Abû Mans}ûr al-Mâturidî; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari mazhab empat
(H}anafî, Mâlikî, Shâfi‘î, dan H}anbalî); dan dalam bidang tasawuf mengikuti mazhab
Imam al-Junayd al-Baghdâdî dan Abû Hâmid al-Ghazâlî”.
82 “Maarif NU, Jembatan Sekolah dengan Pemerintah” dalam dalam
http://www.nu.or.id/ (diakses pada 29 Maret 2015).

104 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi Islam terbesar


di Indonesia yang karenanya sering dianggap sebagai mainstream Islam
Indonesia. Kedua ormas Islam ini, meskipun memiliki ideologi
keislaman yang berbeda, tapi keduanya memiliki watak dan karakter
yang sama, yaitu berjuang untuk mewujudkan Islam moderat di
Indonesia melalui jalur pendidikan, sehingga perjuangan keduanya
untuk mengukuhkan Islam moderat, lebih ditekankan pada tataran
teologis-kultural daripada politis.
Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga pendidikan dengan
ciri khas utamanya adalah adanya mata pelajaran al-Islam dan Ke-
Muhammadiyah-an. Dengan konsep “identitas objektif pendidikan
Muhammadiyah”, mata pelajaran ini dirancang untuk menjadi
instrumen bagi Muhammadiyah dalam rangka menyemaikan karakter
Islam moderat bagi peserta didiknya. Sementara NU mempunyai
Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU dengan ciri khas adanya mata
pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an. Melalui konsep “SNP-Plus”,
Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU merupakan wahana NU untuk
menyemaikan karakter Islam moderat bagi para peserta didiknya.
Dengan demikian, melalui kajian ulang ini, terbukti bahwa
Muhammadiyah dan NU memiliki gagasan untuk mencanangkan
pendidikan Islam moderat melalui perjuangan teologis-kulturalnya
masing-masing. Akan tetapi, pertanyaan penting yang perlu diajukan,
apakah kedua organisasi ini mampu untuk terus berjuang mengusung
Islam moderat melalui gagasan pendidikan Islam moderatnya?
Mengingat Islam Indonesia dewasa ini sudah memiliki banyak varian
ideologi radikal, yang tentunya varian ideologi radikal ini juga
mempunyai lembaga pendidikan sebagai wahana untuk menyemaikan
ideologi radikalnya. Oleh karena itu, Islam Indonesia saat ini sedang
mengalami semacam pertarungan ideologis antara Islam moderat
versus Islam radikal. Tragisnya, pertarungan ideologis ini terjadi dalam
kancah lembaga pendidikan Islam. Bagaimana pertarungan ini terjadi,
tentunya berada di luar jangkauan kajian ini.
Daftar Rujukan
‘Abûd, ‘Abd al-Ghanî. Fî al-Tarbîyah al-Islâmîyah. t.tp.: Dâr al-Fikr al-
‘Arabî, 1977.
Ali, Mohamad. Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Al-Wasat
Publishing House, 2010.
Ali, Muhammad. “Moderate Islam Movement in Contemporary
Indonesia” dalam Rizal Sukma dan Clara Joewono (eds.), Islamic

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 105


Toto Suharto

Thoughts and Movements in Contemporary Indonesia. Jakarta: Center for


Strategic and International Studies, 2007.
-----. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin
Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Arifin, Syamsul. “Membendung Arus Radikalisasi di Indonesia”,
Islamica, Vol. 8, Nomor 2, 2014.
Arnold, Thomas W. Sejarah Dakwah Islam, terj. A. Nawawi Rambe.
Jakarta: Widjaya, 1985.
Azra, Azyumardi. “Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the
Myths” dalam Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (eds.), After
Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia. Singapore: World
Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2003.
-----. “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn”
dalam Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in
Indonesia: Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2013.
Badruttaman, Nurul. “Dakwah Islam di Tengah Tantangan
Globalisasi: Pemikiran dan Kontribusi Tarmizi Taher” dalam
Hery Sucipto (ed.). Islam Madzhab Tengah: Persembahan 70 Tahun
Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.
Bakker Anton., dan Zubair, Achmad Charris. Metodologi Penelitian
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Burhani, Ahmad Najib. “Al-Tawassut} wa-l I‘tidâl: the NU and
Moderatism in Indonesian Islam”, Asian Journal of Social
Science,Vol. 40, Issue 5-6, 2012.
-----. “Pluralism, Liberalism and Islamism: Religious Outlook of the
Muhammadiyah Islamic Movement in Indonesia”. Tesis--Fakulty
of Humanities, University of Manchester, 2007.
Burhanudin, Jajat., dan Dijk, Kees van (eds.). Islam in Indonesia:
Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2013.
Fanani, Ahmad Fuad. “Akar Radikalisme dan Terorisme”, Suara
Merdeka, Jum’at, 07 Oktober 2005.
Fealy, Greg., dan Hooker, Virginia (eds.). Voices of Islam in Southeast
Asia: A Contemporary Sourcebook. Singapore: ISEAS, 2006.
Gutek, Gerald L. Philosophical and Ideological Perspectives on Education.
New Jersey: Prentice Hall, 1988.

106 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

Hanafi, Muchlis M. Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis


Agama. Jakarta: Ikatan Alumni al-Azhar dan Pusat Studi al-Qur’ân,
2013.
Hasan, Noorhaidi. Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi,
dan Teori. Yogyakarta: Suka-Press, 2012.
Hilmy, Masdar. “The Politics of Retaliation: the Backlash of Radical
Islamists to Deradicalization Project in Indonesia”, Al-Jâmi‘ah:
Journal of Islamic Studies, Vol. 51, No. 1, 2013.
-----. “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on
the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”, Journal of
Indonesian Islam, Vol. 07, Number 01, June 2013.
-----. “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on
the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”, Journal of
Indonesian Islam, Vol. 07, No 01, June 2013.
Huda, Nor. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Mardiatmadja. “Peran Perguruan Swasta: Khususnya Perguruan
Katolik dalam Pendidikan Nasional”, dalam
http://www.mardiatmadja.org /Tulisan Lepas Perguruan Swasta.
htm, diakses 20 Februari 2010.
Mufid, Ahmad Syafi’i (ed.). Perkembangan Paham Keagamaan
Transnasional di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama,
2011.
Nashir, Haedar. Memahami Ideologi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2015.
Nurjannah. Radikal vs Moderat: Atas Nama Dakwah, Amar Makruf Nahi
Mungkar dan Jihad Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Aswaja Presindo,
2013.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Keputusan Muktamar XXXII
Nahdlatul Ulama. Jakarta: Sekretariat PBNU, 2011.
Pratte, Richard. Ideology and Education. New York: David McKay
Company, 1977.
PUSHAM UII, Tim. Bersama Bergerak: Riset Aktivis Islam di Dua Kota.
PUSHAM UII: Yogyakarta, Oktober 2009.
Rokhmad, Abu. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham
Radikal”, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Volume 20,
Nomor 1, 2012.

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 107


Toto Suharto

Rubaidi, A. Radikalisme Islam: Nahdlatul Ulama dan Masa Depan


Moderatisme Islam di Indonesia. Surabaya: PWNU Jawa Timur, 2010.
Sabirin, Rahimi. Islam dan Radikalisme. Yogyakarta: Ar-Rasyid, 2004.
Sastrapratedja, M. “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Budaya”, dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.), Pancasaila
sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat, 1991.
Shihab, Alwi. “The Muhammadiyah Movement and Its Controversy
with Christian Mission in Indonesia”. Disertasi--Temple
University, 1995.
Sucipto, Hery. “Tarmizi Taher dan Islam Madzhab Tengah”,
pengantar editor dalam Hery Sucipto (ed.). Islam Madzhab Tengah:
Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo Khazanah
Ilmu, 2007.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam
dalam Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.
Tafsir. “Simpang Jalan-Simpang Jalan Muhammadiyah”, Maarif, Vol.
4, No. 2, 2009.
Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Muktamar
Muhammadiyah Ke-45. Yogyakarta: Pusat Pimpinan
Muhammadiyah, 2010.
Tilaar, H.A.R. Pendidikan dan Kekuasaan: Suatu Tinjauan dari Perspektif
Studi Kultural. Magelang: Indonesia Tera, 2003), 120.
Turmudi, Endang., dan Sihbudi, Riza. Islam dan Radikalisme di
Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. “Melacak Akar Radikalisme Islam
di Indonesia”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, Nomor 2,
2010.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama
Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Woodward, Mark. Java, Indonesia, and Islam. London: Springer Science
dan Business Media B.V., 2011.
Zamzami. “LP Ma‘arif NU dan Satuan Pendidikan di Lingkungan
NU” dalam http://www.maarif-nu.or.id/Opini/tabid/157
/ID/125/LP-Maarif-NU-dan-Satuan-Pendidikan-di-Lingkungan-
NU.aspx/diakses pada 29 Maret 2015.

108 ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014


Gagasan Pendidikan

Internet
Koran Sindo versi online, “Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset”
dalam http://m.koran-sindo.com/node/325385, (diakses pada 1
Juni 2014).
“7159 Madrasah NU Ada di Jawa Timur” dalam
http://www.nu.or.id/ (diakses pada 29 Maret 2015).
“Indonesia Diharapkan Jadi Barometer Islam Moderat” dalam
http://www.nu.or.id/ (diakses pada 29 Maret 2015).
“Jokowi Ingin Bangun Universitas Islam Moderat” dalam
http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2015/06/05/329989
/jokowi-ingin-bangun-universitas-islam-moderat (diakses pada 13
Juni 2015) dan “Jokowi Ingin Pertahankan Pendidikan Islam
Moderat” dalam http://nasional.news.viva.co.id/news /read
/634595-jokowi-ingin-pertahankan-pendidikan-islam-moderat
(diakses pada 13 Juni 2015).
“Maarif NU, Jembatan Sekolah dengan Pemerintah” dalam dalam
http://www.nu.or.id/ (diakses pada 29 Maret 2015).

Volume 9, Nomor 1, September 2014, ISLAMICA 109

View publication stats

You might also like