Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
Bambang Dradjat
ABSTRACT
Global financial crisis (GFC) occurred in 2008 turned out to undue risk and
uncertainty for the development of the palm oil industry. In the very short term, the palm
oil price was much affected. Importers from the U.S., Western European countries, China,
India and Pakistan - who suffered and were affected by GFC - delayed even canceled the
contract such that the Indonesian palm oil export was disturbed. Assessment of this policy
aims: (i) to identify the impact of GFC against palm oil industry, and (ii) to evaluate the
effect of anticipatory government policies and external factors on the palm oil industry.
The study shows that a variety of GFC impacts on the oil palm industry are shrinks of
palm oil price, exports and production. Between October 2008 to March 2009, the lowest
prices of CPO and FFB were each of U.S. $ 483 per tons and USD. $ 584 per kg. Price
pressure during the GFC had an impact on the reduction in the monthly export volume of
palm oil, i.e. it fell to 937,000 tons only. The monthly production of palm oil decreased to
815,000 tons only. International lobby combined with government policy (G) and Business
(B), BK policy adjustments, expansion policy of FFB price formula, increased access to
price information, and rejuvenation is the key to anticipatory policies recommended from
this study. This policy is necessary so that if the crisis occurs repeatedly or longer, the
palm oil industry is able to survive the crisis wrought. If the government does not
implement this policy, the risks incurred will be more severe in connection with the
growing of self-supporting (smallholding) oil palm plantations. Its negative impact is the
contribution of the oil palm industry in the national economy may be disrupted.
ABSTRAK
Krisis finansial global (KFG) yang terjadi pada tahun 2008 ternyata menimbulkan
resiko dan ketidakpastian bagi pengembangan industri kelapa sawit. Dalam jangka yang
sangat pendek, harga minyak sawit terpukul. Importir dari AS, negara-negara Eropa Barat,
DAMPAK KRISIS FINANSIAL GLOBAL DAN KEBIJAKAN ANTISIPATIF PENGEMBANGAN INDUSTRI
KELAPA SAWIT Bambang Dradjat
237
Cina, India dan Pakistan - yang mengalami dan terkena dampak KFG – menunda bahkan
membatalkan kontrak sehingga ekspor minyak sawit Indonesia terganggu. Pengkajian
kebijakan ini bertujuan untuk : (i) mengidentifikasi dampak KFG terhadap industri kelapa
sawit, dan (ii) mengevaluasi pengaruh berbagai kebijakan antisipatif pemerintah dan faktor
eksternal pada industri kelapa sawit. Dampak yang ditimbulkan dari KFG pada industri
kelapa sawit Indonesia berupa tekanan harga, ekspor dan produksi. Antara bulan Oktober
2008 hingga Maret 2009, harga CPO dan TBS terendah dan sempat menyentuh US$ 483
per ton dan Rp. 584 per kg. Tekanan harga selama KFG membawa dampak pada
penurunan volume ekspor bulanan minyak sawit jatuh hingga hanya 937.000 ton.
Sedangkan produksi bulanan minyak sawit sempat hanya mencapai 815.000 ton.
Kebijakan lobi internasional kombinasi Government (G) dan Business (B), penyesuaian
kebijakan BK, kebijakan perluasan formula harga TBS, peningkatan akses informasi
harga, dan peremajaan merupakan kebijakan antisipatif utama yang direkomendasikan dari
kajian ini. Kebijakan ini diperlukan supaya jika krisis berulang atau terjadi lagi, industri
kelapa sawit mampu bertahan dari tempaan krisis. Jika pemerintah tidak menerapkan
kebijakan ini, resiko yang ditanggung akan lebih parah sehubungan dengan makin
berkembangnya perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya/mandiri. Dampak negatifnya
adalah kontribusi industri kelapa sawit dalam perekonomian nasional dapat terganggu.
PENDAHULUAN
Perkebunan merupakan salah satu bagian dari sektor riil yang potensial
untuk dikembangkan. Basis sumber daya alam yang terbarukan dan ketersediaan
sumber daya manusia di perdesaan merupakan modal utama pengembangan
perkebunan. Perkebunan telah terbukti berperan dalam perekonomian nasional
yaitu sebagai salah satu andalan perekonomian melalui penyediaan lapangan kerja,
pembentukan PDB, sumber devisa, pengembangan wilayah, pengentasan
masyarakat miskin dan konservasi dan pelestarian lingkungan
Peran perkebunan ke depan diharapkan masih akan terus meningkat
seiring dengan perkembangan bisnis komoditas perkebunan yang telah
berkembang menjadi industri. Dalam kaitannya dengan industri kelapa sawit,
Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) memproyeksikan bahwa pada tahun 2025
produksi minyak sawit akan mencapai 30 juta ton. Produksi tersebut diharapkan
dapat dicapai dengan berbagai kebijakan pemerintah dan tindakan pelaku usaha
dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit, khususnya melalui penerapan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas.
Proyeksi produksi di atas ditetapkan dengan asumsi perubahan-perubahan
lingkungan strategis industri kelapa sawit bersifat normal, tidak dipengaruhi oleh
perubahan yang drastis. Dengan kata lain, proyeksi tersebut belum
238
memperhitungkan bisnis minyak sawit di pasar komoditi yang tidak lepas dari
perubahan-perubahan di pasar uang dan pasar saham. Krisis finansial global
(KFG) yang terjadi pada tahun 2008 setidaknya menguatkan pandangan tersebut.
Konsekuensi dari situasi di atas adalah bahwa dalam era globalisasi yang penuh
dengan resiko dan ketidakpastian, saat ini dan ke depan, pengembangan industri
kelapa sawit menjadi bertambah rumit.
Dalam situasi krisis finansial dan resesi ekonomi global, pertumbuhan
output global akan melambat bahkan turun, dan permintaan bahan baku turun.
Dengan tingkat pasokan yang relatif konstan, bahkan mungkin naik, ekses
pasokan akan terjadi sehingga harga output akan turun. Dradjat (2008)
menguraikan KFG yang dalam jangka pendek tidak terkendali dan justru
mengarah ke resesi global tentunya merupakan ancaman serius bagi kelangsungan
pengembangan perkebunan di Indonesia Konsekuensi dari situasi krisis adalah
permintaan terhadap minyak sawit akan turun yang indikasi awalnya terlihat dari
penurunan tajam harga produk-produk primer kelapa sawit.
Sebagai contoh, industri kelapa sawit Indonesia tidak dapat bebas dari
dampak negatif KFG yang menyebar dari Amerika Serikat ke sebagian besar
negara mitra dagangnya pada bulan September 2008. Dalam jangka yang sangat
pendek, harga komoditi perkebunan, terutama minyak sawit, terpukul. Sebagai
gambaran, harga CPO Cif Rotterdam pada bulan Juli 2008 sempat mencapai US$
1.200 per ton menjadi hanya US$ 700 per ton pada minggu kedua bulan Oktober
2008. Dampaknya langsung dirasakan petani, yaitu harga Tandan Buah Segar
(TBS) saat itu hanya sekitar Rp. 600-700 per kg.
Kesulitan bertambah lagi ketika perdagangan minyak sawit mengalami
penundaan bahkan pembatalan kontrak karena importir mengalami masalah
likuiditas sebagai imbas dari KFG. Dampak negatif yang nyata adalah
perdagangan minyak sawit Indonesia dengan negara-negara partner dagang,
seperti AS, negara-negara Eropa Barat, Cina, India dan Pakistan - yang mengalami
dan terkena dampak KFG – menjadi terganggu.
Pengkajian kebijakan ini dilakukan dengan melihat kebijakan sebagai
kebijakan publik, yaitu tindakan-tindakan pemerintah untuk kepentingan umum di
bidang tertentu, sesuai pemikiran Ekowati (2009) dan bertujuan untuk : (i)
mengidentifikasi dampak KFG terhadap industri kelapa sawit, (ii) mengevaluasi
pengaruh berbagai kebijakan antisipatif pemerintah dan faktor eksternal pada
industri kelapa sawit, dan (iii) mengajukan rekomendasi kebijakan kepada
pemerintah jika terjadi krisis global yang berdampak negatif pada industri kelapa
sawit. Untuk kepentingan analisis, pengkajian ini juga didasarkan pada pengertian
analisis kebijakan yang disampaikan oleh Eriyatno dan Sofyar (2007), yaitu
pengembangan pemikiran dengan fokus pada masalah yang telah terjadi masa lalu
dengan tujuan memperbaiki sistem lama.
DAMPAK KRISIS FINANSIAL GLOBAL DAN KEBIJAKAN ANTISIPATIF PENGEMBANGAN INDUSTRI
KELAPA SAWIT Bambang Dradjat
239
STRUKTUR INDUSTRI KELAPA SAWIT 2005-2009
240
Pola Harga Minyak Sawit (CPO)
Mulai tahun 2008 kisaran fluktuasi harga mengalami perubahan dari tahun
sebelumnya. Harga tertinggi mencapai di atas US$ 1.200 per ton dan terendah US$
sekitar US$ 500 per ton. Setelah mengalami harga puncak pada tahun 2008 sebesar
USD 1.249 per ton, harga CPO dunia kini mencapai keseimbangan harga baru yaitu
berkisar USD 650-750 dengan tren yang meningkat (Gambar 1).
Volume Nilai
CPO Turunan CPO Total CPO Turunan CPO Total
Tahun
Juta Juta Juta US$ US$ US$
ton % ton % ton Juta % Juta % Juta
2005 4,566 44 5,811 56 10,377 1,593 42 2,163 58 3,756
2006 5,199 43 6,902 57 12,101 1,994 41 2,824 59 4,818
2007 5,701 48 6,174 52 11,875 3,739 48 4,130 52 7,869
2008 7,904 38 6,387 62 14,291 6,557 37 5,845 63 12,402
2009 8,799 37 5,006 63 15,529 5,006 37 4,138 63 9,144
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010), diolah.
Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa volume ekspor CPO dan turunan
CPO pada tahun 2009 menunjukkan kenaikan dibandingkan dengan tahun 2008,
tetapi nilai ekspornya mengalami penurunan. Sesuai dengan perkembangan harga
pada Gambar 1, penurunan nilai ini dapat dijelaskan sebagai dampak dari turunnya
harga CPO selama KFG.
242
Peraturan Menteri Keuangan No.9/PMK.011/2008 (Tabel 3) diubah menjadi
Peraturan Menteri Keuangan No.223/PMK.011/2008 (Tabel 4). Perubahan tersebut
mencakup struktur dan besaran tarif serta tingkat harga patokan ekspor (HPE)
terkena BK. Pengenaan BK mulai harga CPO Cif Rotterdam di atas USD 700 per
ton dan dengan tarif BK serta selang harga yang relatif kecil.
Sebagai contoh, jika harga CPO di Rotterdam USD 750-850 per ton, maka
tarif BK sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.9/PMK.011/2008 adalah
7,5%. Pada tingkat harga yang sama, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
No.223/PMK.011/2008, maka tarif BK adalah 3% untuk harga CPO di Rotterdam
USD 751-800 per ton atau 4,5% untuk harga CPO di Rotterdam USD 801-850 per
ton. Dengan tingkat harga CPO terkena BK di atas US$ 700 per ton, besaran BK
praktis 0% hingga kini karena harga CPO Cif Rotterdam masih di bawah US$ 700
per ton. Penurunan BK ini juga dialami oleh berbagai produk turunan CPO karena
harga yang berlaku juga masih di bawah harga batas terkena BK.
244
Lobi Perdagangan Minyak Sawit
Pemerintah, setelah mempelajari permasalahan penundaan dan
pembatalan kontrak dalam ekspor minyak sawit, melakukan lobi-lobi dengan
pemerintah negara-negara pengimpor melalui pendekatan G to G (Government to
Government). Materi lobi meliputi keringanan tarif impor di negara-negara
pengimpor agar harga lebih murah (India), membuka akses pasar untuk produk-
produk impor Indonesia (Pakistan), dan hal-hal lain yang terkait dengan
kepercayaan dalam perdagangan, seperti penerapan Letter of Credit (L/C) untuk
ekspor ke Cina, India dan Pakistan. Salah satu contoh lobi perdagangan adalah
lobi bilateral antara Indonesia dan Pakistan. Pakistan menawarkan tarif impor
CPO di Pakistan akan diturunkan, tetapi Pakistan juga meminta disediakan akses
pasar untuk jeruk kino di Indonesia. Penawaran pemerintah Pakistan ini belum
disetujui oleh pemerintah Indonesia karena pemerintah Indonesia ingin
melindungi petani jeruk nasional.
Informasi Harga
Dalam situasi KFG, pergerakan harga menjadi sangat penting untuk
diketahui oleh para pelaku bisnis kelapa sawit. Pelaku usaha besar (perusahaan
perkebunan dan pengekspor) pada umumnya menguasai informasi harga dari
berbagai pasar di luar negeri, Rotterdam dan Kuala Lumpur. Namun pelaku usaha
yang lebih kecil, khususnya petani, pada umumnya tidak mengetahui pergerakan
harga. Dalam situasi seperti ini kebijakan pemerintah tentang sistem informasi
harga dapat diakses atau diterima pelaku usaha, khususnya petani. Sistem
informasi harga ini disediakan oleh Kementerian Pertanian dan telah
menggunakan teknologi informasi.
Revitalisasi Perkebunan
Program Revitalisasi Perkebunan mengandung beberapa hal, yaitu (i)
sebagai upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan,
246
peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan (ii) dukungan kredit investasi
perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah, dan (iii) melibatkan perusahaan
dibidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan
kebun, pengolahan dan pemasaran hasil.
Kebijakan pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi
perkebunan didasarkan dan didukung dengan beberapa peraturan sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Pertanian No 33/Permentan/OT.140/7/2006, tentang
Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan;
2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 117/PMK.06/2006 Tentang Kredit
Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP);
3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.26/MENHUT-II/2007 tentang Perubahan
Kedua atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 292/KPTS-II/1995, tentang
Tukar Menukar Kawasan Hutan;
4. Surat Menteri Keuangan Nomor. S-313/MK.05/2007 tentang subsidi bunga
KPEN-RP;
5. Perjanjian Kerjasama Antara Bank Pelaksana (sepuluh Bank Pelaksana)
dengan Pemerintah Republik Indonesia (Menteri Keuangan) Dalam Rangka
Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan Tahun
2007;
6. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor : 3817-310.21-D.II,
tanggal 6 Desember 2007 tentang Standar Satuan Biaya Sertifikat Hak Milik
Program Revitalisasi Perkebunan;
Faktor Eksternal
Faktor eksternal memberikan kontribusi penting dalam pemulihan
perekonomian dari situasi KFG, termasuk perekonomian kelapa sawit.
Perekonomian kelapa sawit langsung terpengaruh oleh perubahan yang terjadi di
produksi industri pangan dan energi serta otomotif di negara-negara pengimpor
minyak sawit olahan. Selain itu, tindakan-tindakan yang dilakukan negara-negara
produsen dan pengekspor minyak sawit juga berpengaruh. Kelapa sawit juga
dipengaruhi oleh faktor alam seperti iklim, sehingga membaik atau memburuknya
harga juga tidak lepas dari kondisi alam yang dimaksud. Beberapa faktor kunci
lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kelapa sawit adalah sebagai
berikut:
(i) Perekonomian negara-negara pengimpor, seperti Cina dan India, telah
menunjukkan tren yang membaik sehingga permintaan minyak nabati akan
tetap tinggi. Minyak sawit adalah yang paling siap mengisi pasar India dan
Cina2.
248
Pergerakan harga ini searah dengan pergerakan harga minyak mentah jenis Brent
(Gambar 2). Pelemahan harga ini tidak sempat jatuh sampai kembali ke harga
pada periode Oktober 2008 – Maret 2009. Hal ini menunjukkan bahwa harga
sebagai kinerja industri kelapa sawit sudah cukup baik. Artinya, kebijakan
pemerintah dan faktor eksternal secara bersama bekerja dengan cukup efektif
dalam mengatasi dampak KFG.
Pergerakan harga internasional yang positif di atas juga ditransmisikan ke
pasar domestik, yaitu pasar TBS, walaupun perubahan harga TBS di Sumatera
Utara relatif lebih cepat dibandingkan dengan di Sumatera Selatan dan Kalimantan
Barat. Hal ini terjadi karena adanya kendala struktural, yaitu produsen/pengekspor
di Sumatera Utara merupakan “induk” atau “penentu” perilaku produsen/
pengekspor di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
3.000 2.000
1.800
2.500
1.600
1.400
2.000
1.200
US$/ton
Rp/kg
1.500 1.000
800
1.000
600
400
500
200
- -
ov
Fe 8
Fe 9
n
n
A l
A l
Ja e s
Su
ep
gu
Mr
Mr
ar
ar
ei
ei
b
b
Nt
Ju
Ju
p
p
k
Ju
Ju
0
0
g
A
A
M
M
n-
n-
D
Ja
Gambar 2. Pergerakan Harga Bulanan CPO dan TBS Tahun 2008 – 2009
Sumber: Oil World (2009), Dinas Perkebunan Provinsi Sumater Utara, Sumatera Selatan dan
Kalimantan Barat (2009).
500
150 400
100 300
200
50
100
- -
m r
M ar i
M ar i
br 8
br 9
pt stu i
Ag J i
ni
Ap t
Ap t
Ja be r
M l
M l
ei
ei
No kto er
De vem er
em s
n
se be
Se u ul
ri
ri
e
e
Fe n-0
Fe n-0
Ju
Ju
ar
ar
O b
b
u
u
Ja
Cina selama ini menyerap sekitar 13 persen dari total ekspor CPO
Indonesia dan India memanfaatkan sekitar 33 persen. Selain itu, CPO Indonesia
juga mengalir ke sejumlah pasar lain seperti Eropa, Pakistan, dan Banglades.
Selain pangsa ekspor, pertumbuhan ekspor CPO Indonesia ke India dan Cina juga
tinggi. Pertumbuhan yang tinggi juga dialami untuk ekspor ke Belanda, Italia dan
Spanyol (Tabel 5).
Ekspor Pertumbuhan
Pertumbuhan 2007- Pangsa
Tujuan Ekspor 2008 2004-2008
2008 (%/tahun) Ekspor (%)
(000 ton) (%/tahun)
Dunia 14.612 12,9 15,5 100,0
Jerman 405 8,0 (22,1) 2,8
Italia 467 31,2 121,9 3,2
Belanda 1.296 10,6 41,8 8,9
Spanyol 219 5,7 92,0 1,5
Ukraina 290 71,4 (17,2) 2,0
Mesir 496 56,7 (9,7) 3,4
Kenya 448 14,9 44,6 3,1
Banglades 598 23,0 2,8 4,1
Cina 1.953 15,8 13,8 13,4
India 4.813 14,6 45,3 32,9
Malaysia 749 3,9 86,3 5,1
Pakistan 410 (6,5) (51,1) 2,8
Arab Saudi 209 228,3 49,3 1,4
Lainnya 2.260 5,7 (37,1) 15,5
Sumber: Oil World, 2009
250
CPO di Eropa Barat banyak digunakan untuk biodiesel dan hanya
sebagian kecil untuk minyak makan, yang hingga kini perkembangannya juga
belum menjanjikan. Negara-negara Eropa Barat masih mengandalkan minyak
rapeseed, bunga matahari dan kedelai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Sebaliknya, minyak sawit dihambat masuk ke Eropa Barat untuk melindungi
produsen minyak-minyak nabati di atas. Eropa, khususnya Eropa Barat bukan
pasar utama minyak sawit Indonesia. Ekspor Indonesia ke Eropa pada tahun 2008
hanya sekitar 16,3 persen dan yang cukup besar hanya ke Belanda, walaupun
ekspor ke Eropa Barat dalam periode 2004-2008 cenderung naik. Belanda dan
Jerman termasuk dalam 10 besar pengimpor minyak sawit Indonesia.
Dengan demikian, maka untuk jangka pendek ke depan, petani dan
perusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia tidak perlu risau tentang pasar
ekspor. Pembeli dari Eropa Barat saat ini juga masih membeli CPO tidak
bersertifikat, dan pasar lain, seperti Cina, India, Pakistan bahkan negara-negara
Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur juga sedang tumbuh.
1400 1.400
1200 1.200
US$ per Ton
1000 1.000
800 800
Ton
600 600
400 400
200 200
0 -
m r
M ri
M ri
br 8
br 9
Se us li
ni
Ap t
et
Ja e r
ril
ei
ve er
No to b r
em s
se be
e
Ag J u
O be
ua
ua
Fe n-0
Fe -0
pt tu
Ju
ar
ar
M
b
De m
n
Ja
252
tetap didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian. Di Sumatera Selatan, formula
harga dilengkapi dengan indeks K “minimum” yang disepakati 80 persen. Di
Kalimantan Barat, indeks K “minimum” disepakati sebesar 75 persen. Produsen
CPO di Sumatera Selatan merespon lebih serius dibandingkan dengan di Sumatera
Utara dan Kalimantan Barat yaitu dengan meningkatkan frekuensi penetapan
harga menjadi seminggu sekali selama KFG.
Dalam kaitan dengan harga rujukan, para produsen/pengekspor minyak
sawit sepakat untuk menggunakan harga dalam dan luar negeri sesuai dengan
kemana mereka menjual. Harga yang diberlakukan adalah harga rata-rata
penjualan sesuai dengan periode penjualan minyak sawitnya. Apabila dijumpai
harga penjualan yang ekstrim ke atas atau ke bawah maka harga tersebut tidak
dimasukkan ke dalam penghitungan rata-rata harga penjualan.
Menurut informasi Dinas Perkebunan di provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, petani sebagai penjual TBS pada
umumnya merespon dengan baik hasil penghitungan harga TBS berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian. Namun demikian, keluhan produsen CPO akan
adanya petani yang menjual TBS nya di luar perusahaan intinya tetap dijumpai.
Perilaku petani ini dipercaya sebagai reaksi atas hal-hal yang dianggap
merugikannya atau keinginannya untuk mendapatkan tambahan keuntungan
karena peluang untuk itu ada. Sebaliknya, penguasaan informasi harga yang
asimetris antara produsen (pembeli) dan petani (penjual) memungkinkan
terjadinya manipulasi harga.
254
Perusahaan pengekspor minyak sawit mengharap agar Bank penyedia
kredit memberi penilaian terhadap reputasi perusahaan dalam perkreditan. Jika
mempunyai reputasi positif, maka perusahaan dimaksud dapat menjadi avalis.
Informasi dari Dinas Perkebunan di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan
dan Kalimantan Barat tentang peremajaan ini adalah positif dalam arti terdapat
motivasi atau keinginan untuk meremajakan. Perusahaan pengekspor minyak
sawit mengharapkan agar pemerintah pusat menyediakan dana untuk sertifikasi
lahan sehingga dapat memenuhi persyaratan melakukan peremajaan melalui
program revitalisasi. Perusahaan pengekspor minyak sawit juga menyambut
positif adanya pemerintah daerah yang bersedia menjadi avalis jika tidak ada
perusahaan perkebunan yang bersedia atau memenuhi syarat.
5 Tetap tingginya volume ekspor minyak sawit Indonesia selama terkena dampak KFG karena mulai
bulan Juni hingga Desember adalah masa produksi tinggi dengan puncak produksi terjadi antara
bulan Agustus, September dan Oktober.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 9 No. 3, September 2011 : 237-260
256
G to G diperlukan dengan melibatkan pemerintah dan dunia usaha negara-
negara pengekspor dan pengimpor kelapa sawit yang dianggap penting.
(iii) Penggunaan instrumen formula harga TBS perlu ditingkatkan dan diperluas
pengaturannya. Penguatan SK Gubernur pada formula harga menyangkut
nilai minimum K tetap diperlukan. Perluasan dimaksud mencakup untuk
petani kelapa sawit di wilayah non-plasma. Perhatian terhadap petani non-
plasma tidak boleh diabaikan mengingat luas areal kebun non-plasma saat
ini sudah mencapai sekitar 2,8 juta ha, sedangkan kebun plasma hanya
sekitar 400 ribu ha.
(iv) Penggunaan L/C untuk kegiatan ekspor dan berfungsi sebagai instrumen
untuk mengatasi ketidakpercayaan pasar tidak perlu dilanjutkan karena
masalah pasar bukan masalah kepercayaan. Penggunaan L/C harus untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas L/C bukan justru menambah biaya
transaksi dan kontrol devisa.
(v) Dalam rangka peningkatan akses terhadap sistem informasi harga,
pemerintah pusat perlu menerapkan sistem IT berbasis komputer. Opsi
kebijakan pengembangan IT tersebut perlu diperkuat dengan kebijakan
perluasan akses melalui media komunikasi personal agar informasi harga
dapat diakses langsung secara gratis melalui SMS ke HP yang saat ini sudah
banyak dimiliki juga oleh petani.
(vi) Pemerintah sudah saatnya menerapkan kebijakan terobosan untuk
menghilangkan kendala klasik revitalisasi perkebunan (sertifikasi lahan dan
ketentuan kolateral yang diterapkan perbankan) sehingga peremajaan kelapa
sawit dalam rangka meningkatkan harga pada situasi krisis efektif.
Sebagian dana BK kelapa sawit sudah saatnya dialokasikan untuk
kepentingan pendanaan program revitalisasi kelapa sawit.
PENUTUP
258
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan Arah Pembangunan
Agribisnis Kelapa Sawit. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Perkebunan : Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Jakarta.
Bisnis Indonesia. 2009. Eksportir Tolak Kewajiban L/C. Bisnis Indonesia, 25 Februari
2009. Jakarta.
Bisnis Indonesia. 2009. Volume Ekspor Sawit Naik 16% : Harga Sawit Tahun Depan
Diperkirakan Kian Menguat. Bisnis Indonesia, 4 Juni 2009. Jakarta.
Departemen Perindustrian. 2009. Road Map Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit Nasional.
Paper disampaikan pada Workshop Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa
Sawit di Provinsi Riau, tanggal 24 Juni 2009. Jakarta.
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. 2009. Laporan Monitoring Harga Komoditi
Perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Dinas Perkebunan Provinsi Sumater Utara. 2009. Laporan Monitoring Harga Komoditi
Perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi Sumater Utara, Medan.
Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan. 2009. Laporan Monitoring Harga Komoditi
Perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, Palembang.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Percapaian Program Revitalisasi Perkebunan. Paper
disajikan pada Rapat Koordinasi Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor 28
Februari 2008.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009. Kebijakan Pengembangan Komoditi Perkebunan
Menuju Pasar Global. Makalah disajikan dalam Diskusi Panel Strategi
Memperkuat Daya Saing Perkebunan di Pasar Global, diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor, 13 Juli 2009.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Dradjat, B. 2009. Krisis Finansial Global, Dampak Bagi Perkebunan dan Opsi Kebijakan
Jangka Pendek. Agrimedia, Vol. 13, No. 2 Desember 2008.
Dunn, W.N. 1994. Public Policy Analysis : An Introduction. Second Edition, Prentice
Hall, Inc. A. Simon & Schuster Company, Englewood Cliff. New Jersey.
Ekowati, M.R.L. 2009. Perencanaan, Implementasi & Evaluasi Kebijakan atau Program
(Suatu Kajian Teoritis dan Praktis). Pustaka Cakra, Surakarta.
Eriyatno, dan Sofyar, F. 2007. Analisis dan Sintesis Kebijakan. IPB Press, Bogor.
Kartasasmita, S. 2009. Peran Pengusaha Dalam Menerobos Pasar Perkebunan
Internasional (dan Domestik). Makalah disajikan dalam Diskusi Panel Strategi
Memperkuat Daya Saing Perkebunan di Pasar Global, diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor, 13 Juli 2009.
260