Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Email: [email protected]
Abstract
Rene Descates, August Comte and Thomas Kuhn are the three pioneers of philosophy science during their carreers. Rene
Descartes is known as “the father of the modern philosophy” regarding his “cogito ergo sum” theory, which successfully
attracted huge attention in cosmic and teology world.. Auguste Comte and his “law of three stages” theory that once
shaked the philosophy world during the positivism period. His theory and thoughts have been great inspiration until
recently. However, his theory about the truth was neglected by Thomas Kuhn with his new theory which is known as “the
structure of scientific revolution”. Thomas Kuhn saidd :”Those scientists despite their knowledge could not solve the
meaning of the truth, but only solving the puzzle pieces”. This theory surely lead to reactions from many parties. According
to those scientists, the development in philosophy science is a development in every fields, whereas including law science.
Through the library studies method and analogy method, we could find out that eventhough those scientists came from
different eras, and produced different theories and opinions, the result of it is in fact they have similar views : “ Science is
not just limited to science only, but also includes law science dedicated to humans and the communities in their daily life.
This true fact about law science is the real paradigm that still is debatable”.
Abstrak
Rene Descartes, Auguste Comte, dan Thomas Kuhn adalah tiga nama ujung tombak dan pelopor filsafat ilmu pada zamannya.
Rene Descartes sampai mendapat julukan “bapak filsafat modern” karena berhasil menjungkir-balikkan perhatian lama pada
dunia kosmos dan teologi, dengan “cogito ergo sum”-nya. Auguste Comte hadir dengan “law of three stages”-nya sempat
menggemparkan dunia filsafat pada zaman positivisme dan resonansinya masih terasa bergetar hingga saat ini, sebagai
tokoh pembaru “masa kini”. Namun semua kebenaran, bahkan sampai kebenaran masa kini pun ditolak oleh Thomas Kuhn
dengan teori “the structure of scientific revolutions”-nya. Ia mengatakan “para ilmuwan dengan ilmu pengetahuannya tidak
menjawab apa itu kebenaran, melainkan hanya berkutat menjawab teka-teki.” Maka tak pelak lagi mengundang reaksi
dari bebagai penjuru. Perkembangan paradigmatis di bidang filsafat ilmu menurut ketiga tokoh itu, adalah perkembangan
filsafat untuk semua bidang ilmu, termasuk bidang ilmu hukum. Melalui metode pendekatan studi kepustakaan dan metode
perbandingan, maka diketemukan bahwa betapapun mereka berbeda zaman, berbeda pandangan, tetapi hasil akhirnya
mereka sama pendapatnya yaitu ilmu tidak untuk ilmu, melainkan ilmu termasuk ilmu hukum untuk pengabdian bagi
manusia dan masyarakat dalam praktik kehidupannya sehari-hari. Kebenaran ilmu hukum inilah paradigma hukum yang
diperdebatkan.
c. Fungsional: maksudnya bahwa semua balik, namun setiap ilmu dibatasi oleh dua
gejala di dunia ini tidak terlepas satu sama faktor, yaitu faktor yang lebih tinggi (genus),
lain, selalu ada hubungan timbal balik, atau dan faktor yang lebih rendah (species). Satu
interdependensi. Misalnya ilmu hukum species tidak dapat disejajarkan dengan satu
tidak mungkin terlepas dari ilmu sosial, genus, dan species dari satu genus tidak
ilmu ekonomi, ilmu budaya, ilmu jiwa, dan dapat dicampur dengan species dari genus
ilmu sejarah. lain. Sebagai contoh digambarkan genus
d. Dialektis: maksudnya bahwa walaupun unggas dan genus mamalia berikut ini:
semua gejala selalu ada hubungan timbal
species
genus mamalia
species
e. Dinamis: maksudnya bahwa semua bahan Kembali kepada empat unsur manusia
atau gejala yang dihadapi tidak statis, sebagaimana telah diutarakan di atas yaitu,
tidak konstan, tetapi selalu berubah dan raga, rasio (kognitif), rasa (afektif), dan rukun
berkembang mengikuti perkembangan (hubungan harmoni baik dengan sesama
masyarakat. Misalnya, ketika masyarakat maupun dengan alam sekitar), maka dengan
belum memasuki dunia komputer, ilmu menggunakan pikiran dan perasaannya, manusia
mengajarkan bagaimana menulis elok, menjadi transenden, artinya mampu bertindak
tetapi setelah memasuki dunia komputar melampaui keadaan alamiah. Pada awalnya
semua font huruf sudah tersedia, jadi tidak memang manusia hanya hidup sebagai individu,
perlu lagi pelajaran menulis elok. sama dengan makluk hidup lainnya, yaitu hidup
f. Pragmatis: maksudnya ilmu harus praktis bergantung pada alam. Melalui perkembangan
artinya dapat digunakan untuk kehidupan pikiran dan perasaan, manusia tidak hidup
sehari-hari. Misalnya Ilmu Negara bergantung pada alam, melainkan mampu
yang mempelajari teori-teori demokrasi mengubah alam untuk kebutuhan hidupnya.
dipraktikkan untuk kehidupan berdemokrasi Saat inilah manusia tidak lagi sebagai individu,
di suatu negara. melainkan sebagai pribadi.12 Manusia berpikir
Paradigma Hukum:
Perspektif Filsafat Ilmu Rene Descrates, Aguste Comte, Thomas S Kuhn 7
artinya manusia melakukan kegiatan untuk korespondensi (correspondence theory of truth)
menemukan pengetahuan yang benar. Apa dan kebenaran koherensi (coherence theory of
yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak truth).19 Tetapi keduanya ini hanyalah suatu
sama, karena kegiatan proses berpikir untuk anggapan, artinya hanyalah suatu kemungkinan
menghasilkan pengetahuan itu berbeda-beda. kebenaran tertiggi. Oleh karena itu pula berkali-
Hanya saja jalan pikiran itu mempunyai cara- kali Yesus berkata tentang kebenaran, “Aku lahir
cara tertentu, yang merupakan landasan bagi dan datang ke dunia untuk satu maksud, yaitu
proses penemuan kebenaran tersebut.13 memberi kesaksian tentang kebenaran. Orang
Di dalam filsafat ilmu, paling tidak dikenal yang diberi kebenaran itu mendengarkan Aku.”
lima cara untuk mencapai kebenaran, sebagai Tetapi Pilatus masih saja terus bertanya kepada
berikut: Yesus, “Apa artinya kebenaran”?20
a. Penalaran, yaitu kebenaran yang dicapai
melalui hasil pemikiran baik secara 2. Lintasan Sejarah
rasional dengan menggunakan metode Dalam sejarah filsafat biasanya dibedakan
deduktif, maupun secara empiris dengan atas tiga tradisi besar, yaitu Filsafat India,
menggunakan metode induktif (dapat juga Filsafat Cina, dan Filsafat Barat.21 Meskipun
disebut “atomistik”); demikian, pada bagian lintasan sejarah ini hanya
b. Intuisi, yaitu kebenaran yang dicapai akan diberikan gambaran umum tentang sejarah
melalui wahyu;14 Filsafat Barat, tidak diuraikan sejarah Filsafat
c. Falsifikasi, yaitu kebenaran yang dicapai India dan sejarah Filsafat Cina. Pembatasan ini
melalui kesalahan;15 dilakukan karena ketiga tokoh tersebut, baik Rene
d. Verifikasi, yaitu kebenaran yang dicapai Descartes, Auguste Comte, maupun Thomas S
melalui perbaikan, atau tambal sulam teori- Kuhn adalah tokoh-tokoh Filsafat Barat.
teori yang ada/yang sedang digunakan Bertalian dengan sejarah Filsafat Barat, K.
sebagai normal science.16 Bertens membagi babakan sejarah Filsafat Barat
e. Paradikmatis, yaitu kebenaran yang atas tiga zaman, yaitu: Zaman Yunani Kuno,
berkaitan dengan paradigma, yaitu Zaman Patristik dan Abad Pertengahan, serta
kebenaran baru yang dicapai setelah Zaman Modern. Zaman terakhir ini, yaitu Zaman
kebenaran yang sedang berlaku sebagai Modern, dihitung sejak Zaman Renaissance.22
normal sience mengalami anomaly dan Dengan demikianlah semua tokoh filsafat yang
crisis.17 hidup setelah Zaman Renaissance tergolong
dalam Zaman Modern. Rene Descartes, Auguste
Melalui cara-cara kerja untuk mencapai
Comte, dan Thomas S Kuhn adalah tokoh-tokoh
kebenaran ini diharapkan para ilmuwan dapat
filsafat yang hidup setelah Zaman Renaissance,
menggunakannya dalam penelitiannya untuk
jadi mereka tergolong dalam tokoh-tokoh filsafat
memperoleh kebenaran yang sejatinya.
Zaman Modern.
Meskipun demikian, sejauh apapun
Berbeda dengan K Bertens, Poedjawijatna
kebenaran yang dicapai, hanyalah mencapai
membagi babakan sejarah Filsafat Barat atas
tingkat “kemungkinan kebenaran tertinggi”,18
empat zaman, yaitu: Zaman Abad Permulaan,
karena kebenaran tertinggi atau kebenaran mutlak
Zaman Abad Pertengahan, Filsafat Modern, dan
hanya ada pada Tuhan. Manusia hanya dapat
Filsafat Dewasa Ini.23 Berdasarkan pembagian ini,
bertanya dan terus bertanya apa itu kebenaran.
Rene Descartes termasuk zaman filsafat modern,
Pada abad ke-19 muncul dua anggapan dasar
yaitu zaman Rasionalisme. Auguste Comte
sebagai dua teori kebenaran, yaitu kebenaran
8 Max Boli Sabon
termasuk zaman filsafat dewasa ini yaitu pada Comte pada zaman Positivisme, dan Thomas S
zaman positivisme. Sedangkan Thomas S Kuhn Kuhn pada zaman Post-Positivisme. Meskipun
rupanya masih terlalu muda untuk digolongkan demikian dengan menggunakan metode
dalam babakan sejarah filsafat. Memang banyak perbandingan antar gagasan-gagasan mereka
literatur belum memasukkannya ke dalam satu dan dengan analisis versetehen untuk saling
babakan sejarah tertentu. Dengan demikian memahami melalui konsensus antar para ahli
maka dapat dikatakan Thomas S Kuhn termasuk filsafat, diharapkan dapat menemukan benang-
babakan sejarah filsafat abad ke-20. benang merah hubungan hasil karya ketiga tokoh
Sementara Auguste Comte membagi itu untuk membangun manusia dan masyarakat
babakan sejarah filsafat atas tiga babakan, yaitu dewasa ini.
Masa Teologi atau Fiktif, Masa Metafisik atau a. Rene Descartes
Abstrak, dan Masa Positif. Apabila Masa Positif,
atau dengan kata lain Masa Positivisme diangkat
sebagai titik sentral sejarah filsafat, khususnya
sejarah Filsafat Ilmu, maka ditarik ke belakang
menjadi Masa Pra-Positivisme, dan diterik ke
depan menjadi Masa Post-Positivisme. Dengan
demikian maka dalam rentangan sejarah Filsafat
Ilmu, Rene Descartes adalah tokoh Filsafat
Ilmu pada zaman Pra-Positivisme, Auguste
Comte adalah tokoh Filsafat Ilmu pada zaman
Positivisme, dan Thomas S Kuhn adalah tokoh
Filsafat Ilmu pada zaman Post-Positivisme.
Inilah tiga tokoh tiga zaman yang akan berbicara
tentang Filsafat Ilmu sebagaimana diuraikan Rene Descartes, yang terkadang dipanggil
pada bagian berikut ini. Cartesius,24 adalah putra kelahiran Perancis yang
hidup tahun 1596-1650. Dalam bukunya berjudul
3. Pokok Dan Tokoh Dalam Zamannya “Discours de la Method” (1637) ia melukiskan
Pokok yang dimaksud pada bab ini adalah perkembangan intelektualnya, setelah ia belajar
hal-hal pokok tentang Filsafat Ilmu. Adapun tiga filsafat di Kolese Pater-pater Yesuit di La Fleche.
hal pokok dalam Filsafat Ilmu adalah ontologi, Ia mengatakan bahwa tidak merasa puas dengan
epistemologi, dan aksiologi. Oleh karena itu filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi
seluruh uraian pada bagian ini akan lebih bahan pendidikannya. Dalam bidang ilmiah
ditekankan kepada ketiga aspek pokok tersebut tidak ada satu pun hal yang dianggap pasti.
daripada aspek-aspek lainnya. Mereka yang Semuanya dapat dipersoalkan, dan memang
punya gagasan brilian tentang ketiga aspek pokok kenyataannya dipersoalkan orang. Kecuali ilmu
tersebut adalah Rene Descartes, Auguste Comte, pasti. Sebelum meninggal dunia tahun 1650 di
dan Thomas S Kuhn dalam rentangan waktu yang Stocholm (Swedia), ia menulis satu buku lainnya
cukup lama, yaitu masing-masing + 200 tahun. berjudul “Mediationes de Prima Philosophia”
Dengan demikian maka materi pembicraan (1641) selama menetap 20 tahun lamanya di
mereka jelas sangat berbeda satu sama lain Negeri Belanda.
menurut zamannya masing-masing, yaitu Rene Dalam ajarannya ia mengatakan bahwa
Descartes pada zaman Pra-Positivisme, Auguste perlu ada metode yang baik untuk memperbarui
Paradigma Hukum:
Perspektif Filsafat Ilmu Rene Descrates, Aguste Comte, Thomas S Kuhn 9
filsafat dan ilmu pengetahuan. Metode yang dia secara numeral dapatlah dirumuskan sebagai
tawarkan adalah “cogito ergo sum” (saya sedang berikut:
menyangsikan ada)25 yang berarti bahwa segala 1. Ontologi: bahwa objek yang ditelaah ilmu
sesuatu harus disangsikan adanya, termasuk berawal dari tiga “ide bawaan” yaitu: Allah,
sangsi tentang dunia material, sangsi tentang jiwa (pemikiran), dan materi termasuk
tubuh (badan) sendiri, juga sangsi bahwa Tuhan badan manusia (keluasan);
itu ada. Jika ada kebenaran yang sanggup 2. Epistemologi: bahwa prosedur yang
bertahan dalam kesangsian itu, itulah kebenaran ditempuh untuk mencapai objek ilmu itu
yang sesungguhnya dan harus dijadikan pedoman haruslah melalui kesangsian yang radikal;
bagi seluruh ilmu pengetahuan. dan
Lalu bagaimana proses dan prosedur untuk 3. Aksiologi: bahwa kebenaran yang diperoleh
mencari kebenaran? Menurut Rene Descartes, dari semua hasil penelitian haruslah
oleh karena pengetahuan apa pun dari luar harus digunakan sebagai dasar bagi semua ilmu
disangsikan, artinya tidak dapat dipercaya, maka pengetahuan, yang sekaligus memperbarui
kebenaran harus dicari di dalam diri sendiri. ajaran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Di dalam diri setiap orang terdapat tiga “ide
bawaan” sejak lahir, yaitu: pemikiran, Allah, dan b. Auguste Comte
keluasan. Ada pemikiran, karena Rene Descartes
memahami dirinya sendiri sebagai makluk yang
berpikir, dan itulah hakikat manusia. Selain itu
ia juga memahami bahwa ia mempunyai “ide
sempurna”, tetapi ide itu hanyalah sebagai
akibat dari suatu sebab. Penyebabnya harus lebih
sempurna daripada idea sempurna itu. Penyebab
itu adalah Allah sebagai wujud yang maha-
sempurna. Selanjutnya tentang ide keluasan
adalah eksistensi sebagaimana hal itu dilukiskan
dan dipelajari oleh ahli ilmu ukur.26
Dengan demikian menurut Rene Descartes
hanya ada tiga substansi27 asal, yaitu Allah Ahli filsafat mana pun yang mengetahui
sebagai wujud yang mahasempurna, jiwa yang istilah “positivisme” pasti terbayang
hakikatnya adalah pemikiran, dan materi atau nama Auguste Comte karena dialah yang
badan yang pada hakikatnya adalah keluasan. mengintrodusir istilah itu dalam perbendaharaan
Dari ketiga substansi itu, justru dua substansi ada kata filosofis. Setanah tumpah darah dengan Rene
pada manusia, yaitu substansi jiwa dan substansi Descartes, Auguste Comte pun putra kelahiran
badan. Itulah paham dualisme yang dianut Perancis, 200 tahun lebih muda daripada Rene
oleh Rene Descartes. Paham ini merupakan Descartes, pada tahun 1978, dan hidup sampai
batu sandungan bagi Rene Descartes dalam tahun 1857. Dua tahun sebelum meninggalnya,
memecahkan persoalan hubungan antara jiwa ia menerbitkan bukunya yang terkenal berjudul
dan badan. “Cours de Philosophie Positive” (1855) yang
Kembali kepada tiga persoalan pokok: terdiri atas enam jilid.28 Pendekatan Auguste
ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam Comte terhadap kajian filsafat ilmu melalui “law
ajaran Rene Descartes tentang filsafat ilmu, of three stages” (hukum tiga tahap) sebagai teori
10 Max Boli Sabon
baru hasil ciptaannya sendiri. Hukum tiga tahap untuk tujuan kemajuan. Sebab dalam tahap
tersebut terdiri atas: positif itu, moral selalu cenderung ke arah
1. Tahap teologis atau fiktif; cinta kasih yang universal.33
2. Tahap metafisik atau abstrak; dan Khusus mengenai ajaran Filsafat Ilmu
3. Tahap positif atau riel, atau ilmiah. Auguste Comte yang bertalian dengan ketiga
Hukum ini berlaku baik bagi perkembangan materi pokok Filsafat Ilmu, melalui teori hukum
umat manusia seluruhnya, juga perkembangan tiga tahapnya, dapatlah diuraikan sebagai berikut:
perorangan, maupun perkembangan ilmu 1. Ontologis: bahwa ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan itu sendiri. 29 bebas nilai, tanpa dikuasai oleh mite-
Pada tahap teologis, suasana pemikiran mite adikodraati, atau pun prinsip-prinsip
manusia dikuasai oleh mite-mite. Masyarakat abstrak;
saat itu bukanlah merupakan kesatuan para 2. Epistemologis: bahwa untuk mencapai
warganya, melainkan sebagai subjek tersendiri, ilmu yang positif, dalam arti pasti, jelas,
dengan segala kekuasaan yang menakjubkan, dan bermanfaat,34 segala upaya dilakukan
serta segala macam mujizat yang menentukan melalui observasi, penelitian, eksperimen,
hidup manusia. Pada zaman metafisik, segala perbandingan baik dengan metode deduktif
kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep (kualitatif) maupun dengan metode induktif
dan prinsip-prinsip abstrak misalnya: “kodrat” (kuantitatif);
dan “penyebab”. Pada saat inilah istilah ontologi 3. Aksiologis: bahwa segala ilmu pengetahuan
mulai dipergunakan.30 Pada tahap positif, yang diperoleh harus digunakan untuk
pengetahuan tidak lagi abstrak, melainkan: pasti, kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk
jelas, dan bermanfaat. Sebagai seorang sosiolog, mencapai masyarakat positif yaitu
dan pencipta istilah “sosiologi”,31 Auguste Comte masyarakat yang berdasarkan cinta kasih.
menghadapkan makna teori hukum tiga tahap
tersebut kepada tiga masalah sebagai berikut: c. Thomas S Kuhn
1. Bagaimana suatu masyarakat dapat diatur
kembali dengan hadirnya sistem industri
yang pasti membawa perombakan besar-
besaran?
2. Bagaimana kesatuan pendapat bisa dicapai
karena dibutuhkan sebagai dasar kehidupan
masyarakat selanjutnya?
3. Bagaimana ketertiban, sekaligus kemajuan
dapat dicapai sebagai jaminan bagi
kelestarian32 kehidupan masyarakat pada
masa-masa yang akan datang?
Bertalian dengan ketiga aspek pokok adalah pengetahuan yang objektif, dan bebas
Filsafat Ilmu, tampaknya para ahli filsafat nilai yang ditempuh secara revolusioner melalui
abad ke-20 tidak lagi terlalu mempersoalkan konsensus para ahli, dan hasil yang dicapai
ontologi sebagai objek ilmu pengetahuan. adalah untuk pembangunan masyarakat.43
Mereka lebih banyak membicarakan masalah Demikianlah pandangan ketiga tokoh
epistemologi daripada ontologi. Filsafat Ilmu filsafat ilmu dalam tiga zaman yang masing-
dipandang sebagai logika ilmu (the logic of masing berselang + 200 tahun (1600, 1800, dan
science), sehingga tidak ada konteks penemuan 2000). Mereka semua tergolong sebagai tokoh
(context of discovery), melainkan hanya ada ahli filsafat modern, yang membaktikan ilmunya
konteks pengujian dan pembenaran (context of tidak semata-mata untuk ilmu tetapi juga untuk
justification) terhadap ilmu pengetahuan yang perkembangan dan pembangunan masyarakat.
sudah ada.42 Kuhn sendiri, walaupun berbeda Inilah aspek aksiologisnya.
pendapat dengan Popper, ia tidak menyangkal Berdasarkan uraian-uraian tersebut di
bahwa sains memang bentuk pengetahuan yang atas, maka jawaban atas permasalahan tentang
objektif dan rasional, namun objektivitas dan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis
rasionalitas ilmu lebih banyak terletak pada menurut perspektif ketiga orang tokoh tersebut di
konsensus para ahli, daripada metode penelitian atas, yaitu Rene Descartes, Auguste Comte, dan
yang serba logis, objektif, dan mengikuti hukum Thomas S Kuhn, dapat disusun dalam bentuk
yang sudah baku. Meskipun demikian, Kuhn tabel, sebagai berikut:
tetap mengakui bahwa ontologi Filsafat Ilmu
Studi hukum “sollen–sein” disebut tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup
juga studi hukum yuridis, sebaliknya studi secara damai. Akan tetapi kemudian dijelaskannya
hukum “sein-sollen” disebut juga studi hukum bahwa yang dimaksud dengan damai adalah
empiris. Perpaduan studi hukum yuridis dan tertib. Jadi sesungguhnya tujuan hukum menurut
empiris merupakan suatu keharusan karena Apeldoorn adalah ketertiban, bukan kedamaian.
bagaimanapun juga kehdiran hukum harus untuk R. Soeroso47 menulis bahwa fungsi hukum
manusia dan masyarakat, bukan sebaliknya adalah untuk mengatur tata tertib hubungan
manusia dan masyarakat dikorbankan demi masyarakat, untuk mewujudkan keadilan
hukum. Manusia dan masyarakat selalu berubah sosial lahir dan batin, untuk menggerakkan
setiap saat. Segala kebutuhannya pun turut pembangunan, dan untuk mengkritisi dalam arti
berubah bersamanya, maka hukum pun selalu mengawasi baik aparatur pemerintah maupun
diubah atau dibatalkan muncul norma hukum aparatur penegak hukum. Berdasarkan teori etis,
baru yang sesuai dengan kebutuhan hidup hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan.
manusia. Inilah paradigma hukum yang berubah Keadilan dalam arti “iustitia est constans et
secara revolusioner baik terhadap objek studi perpetua voluntas ius suum cuique tribuere”
maupun metode studinya. (memberikan kepada setiap orang apa yang
Sekarang bagaimana dengan aksiologi menjadi bagian atau haknya). Dalam konteks
filsafat ilmu hukum Indonesia? Ilmu hukum ini keadilan dapat dibedakan atas keadilan
berfungi memandu kehidupan suatu bangsa komutatif, yaitu kesenilaian antara prestasi
melalui hukumnya. Ilmu hukum tidak berdiri dan kontra prestasi (antara jasa dan imbalan
sendiri dan untuk kepentingan sendiri, melainkan jasa) dalam hubungan antar warga masyarakat;
senantiasa dalam hubungan korespondensi keadilan distributif, yaitu kewajiban pimpinan
dengan masyarakatnya. Dalam perpektif ini, organisasi masyarakat untuk memberikan
maka ilmu hukum berfungsi memberikan kepada warga masyarakat beban sosial, fungsi-
panduan tentang bagaimana cara berhukum yang fungsi, imbalan, balas jasa, dan penghormatan
sebaiknya, agar hukum yang berlaku mampu secara proporsional; keadilan vindikatif, yaitu
menyelesaikan persoalan-persoalan dalam memberikan ganjaran yang dapat berupa hadiah
masyarakat dengan baik. Hukum positif yang (reward) sesuai nilai lebih yang dilakukan, atau
berlaku tidak selalu memberikan kebahagiaan bisa juga berupa hukuman (punishment) sesuai
kepada masyarakat. Untuk itulah ilmu hukum dengan kesalahan yang dilakukan; dan keadilan
harus memberikan kritik, koreksi, petunjuk arah, protektif, yaitu memberikan perlindungan kepada
membuat konstruksi dan dekonstruksi terhadap setiap manusia agar tidak memdapat perlakuan
hukum yang sedang berlaku. yang sewenang-wenang. Keadilan terakhir ini
Beberapa pakar hukum menulis bahwa juga merupakan tujuan hukum berdasarkan
tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan teori pengayoman. Sementara berdasarkan teori
hidup manusia supaya tertib. Apeldoorn46 menulis utilitas tujuan hukum untuk mewujudkan sesuatu
Paradigma Hukum:
Perspektif Filsafat Ilmu Rene Descrates, Aguste Comte, Thomas S Kuhn 15
yang berfaedah atau berguna (doelmatig) demi rakyat, namun campur tangan tersebut harus
kebahagiaan umat manusia sebanyak mungkin berdasarkan undang-undang yang sudah
dengan tekanan pada faktor kepastian hukum, diadakan sebelumya. Paradigma ini mengalami
sehingga berlaku ungkapan “lex dura, sed tamen anomaly dan crisis ketika ternyata bahwa
scripitta” (hukum dirasa kejam, kaku, dan keras; undang-undang selalu terlambat, sementara
namun memang begitulah keadaannya).48 Dari banyak urusan sosial negara yang tidak
dua tradisi besar di dunia yaitu hidup berhukum tercakup di dalam undang-undang. Lalu muncul
menurut pola civil law system atau common law paradigma ketiga yang disebut negara hukum
system, hingga saat ini belum ada penetapan yang kesejahteraan dengan metode pembangunan
pasti tentang Indonesia memilih pola yang mana. top down, atau trickley down effect. Metode
Satjipto Rahardjo49 menulis sebagai berikut: trickle down effect ternyata juga tidak membawa
Saya tidak melihat, bahwa pada suatu dampak kesejahteraan bagi rakyat, melainkan
saat dalam sejarah, para ilmuwan justru sebaliknya menimbulkan apatisme bagi
hukum Indonesia duduk di satu meja rakyat karena ketergantungan rakyat kepada
dan membicarakan pola berhukum
bagaimana sebaiknya dijalankan di pemerintah, sementara di pihak lain pemerintah
negeri ini. Yang terjadi adalah rutinitas justru kewalahan melayani rakyatnya.
menjalankan hukum seperti di masa
Kenyataan ini yang membuat paradigma negara
kolonial dan secara diam-diam diteruskan
ke masa kemerdekaan. Sindrom kolonial hukum kesejahteraan mengalami anomaly
diteruskan, kendati kita sudah menjadi dan crisis. Paradigma baru selaku paradigma
bangsa yang merdeka. Pola berhukum di
Indonesia menjadi berat ke legislasi atau tandingan muncul dengan nama negara hukum
ke geleerd recht. pembangunan. Teori ini mengajarkan bahwa
pembangunan nasional harus dimulai dari bawah
Kutipan ini kiranya cukup menjelaskan
alias bottom up. Pembangunan harus dimulai
bahwa aksiologi hukum Indonesia masih secara
dari organisasi terkecil yaitu keluarga melalui
diam-diam mengikuti aksiologi hukum kolonial
perkawinan by design jangan by accident. Bahkan
yaitu untuk ketertiban dan kesejahteraan
harus dimulai dari pacaran by design. Selain itu
masyarakat, bukan untuk kebahagiaan umat
pembangunan juga harus dimulai dari wilayah
manusia dan masyarakat.
perbatasan ke wilayah pusat. Melalui metode
Jika dilihat dari perkembangan paradigma
ini rakyat sungguh-sungguh melaksanakan hak
tipe negara hukum, paradigma pertama
asasinya, terutama hak atas pembangunan (right
adalah tipe negara hukum liberte liberal yang
to development), yaitu hak untuk berpartisipasi
mengajarkan bahwa tujuan ilmu hukum semata-
(right to participate), hak untuk berkontribusi
mata demi ketertiban sebagai normal science.
(right to contribute), dan hak untuk menikmati
Untuk itu, negara tidak boleh ikut campur
(right to enjoy) hasil pembangunan sosial,
tangan terhadap urusan kesejahteraan rakyat.
ekonomi, politik, dan kebudayan.
Akan tetapi teori ini mulai mengalami anomaly
dan crisis ketika dampak teori ini menimbulkan C. Penutup
jurang pemisah antara pihak yang kaya dan
Berdasarkan uraian-uraian mulai dari bagian
pihak yang miskin semakin lama semakin lebar.
pertama sampai dengan bagian ketiga tersebut
Paradigma kedua muncul sebagai paradigma
di atas, beberapa simpulan dapat ditarik sebagai
tandingan dengan menganjurkan teori baru yang
berikut:
dikenal dengan nama negara hukum formal.
1. Objek yang ditelaah oleh ilmu hukum adalah
Teori ini mengajarkan bahwa negara harus turut
norma dan norma hukum dalam ranah studi
campur tangan terhadap urusan kesejahteraan
16 Max Boli Sabon
yuridis (das Sollen) serta perilaku manusia model pengabdian ilmu bagi masyarakat
dan masyarakat dalam ranah studi empiris dewasa ini.50 Dengan demikian maka
(das Sein). Kedua ranah studi ini tidak dapat ilmu pengetahuan tidaklah berkembang
dipisahkan satu sama lain karena hukum menjulang tinggi laksana menara gading,
tergantung pada masyarakat, sebaliknya melainkan tetap kembali pada fungsi
masyarakat juga tergantung pada hukum pengabdiannya, yaitu untuk pembangunan
sehingga objek studi ilmu hukum menjadi masyarakat. Pembangunan masyarakat
sollen-sein atau sein-sollen. Inilah ontologi berarti pembangunan manusia seutuhnya.
hukum. Pembangunan manusia seutuhnya
2. Dari sudut epistemologi hukum, studi berarti mengubah segala potensi yang
yuridis (sollen-sein) dianalisis dengan cara ada pada manusia menjadi kompetensi,
deduktif, sebliknya studi empiris (sein- dan mengubah peradaban manusia
sollen) dianalisis dengan cara induktif. dari “individu” menjadi “pribadi” dan
Cara induktif tidak selalu dengan analisis “kepribadian”.51 Dengan “kepribadian”
kuantitatif, melainkan juga bisa analisis inilah peradaban manusia dianggap telah
kualitatif, atau bisa pula analisis kuantitatif berhasil mengembangkan talenta yang
sekedar mempertajam analisis kualitatif. diberikan Tuhan sebagai panggilannya
3. Dari sudut aksiologi hukum, pengetahuan (calling) tentang untuk apa manusia
berupa ilmu hukum itu digunakan untuk diciptakan, dan dipertanggungjawabkan
sebanyak-banyaknya umat manusia kepada Tuhan, yang adalah “alpha” (=
merasakan kebahagiaan dalam hidupnya awal) dan “omega” (= akhir).52
sehari-hari. 2.
Secara paradigmatis, revolusi
perkembangan tipe negara hukum
Selain hasil-hasil kajian sebagaimana
menampilkan paradigma satu tipe negara
telah disampaikan di atas, penelitian ini
hukum liberte liberal, pardigma dua tipe
pula memperoleh hasil-hasil lain yang perlu
negara hukum formal, paradigma tiga tipe
dilaporkan berikut ini:
negara hukum kesejahteraan, dan paradigma
1. Dalam konteks aksiologi filsafat ilmu
empat tipe negara hukum pembangunan
pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan
adalah sungguh-sungguh merupakan
hukum, betapapun ketiga tokoh (Rene
perkembangan ilmu hukum secara
Descartes, Auguste Comte, dan Thomas
revolusioner. Tidak tampak perkembangan
Kuhn) hadir dalam tenggat waktu yang
ilmu pengetahuan secara kumulatif.
cukup jauh, dalam selang waktu yang
+ 200 tahun, mereka tidak membangun
Daftar Pustaka
ilmu sebagai “menara gading”, artinya
ilmu hanya mempunyai nilai ilmu, tidak Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
Penerbit Pradnya Paramita, 1971.
mempunyai nilai praktis. Mereka justru
membangun ilmu yang memenuhi keenam Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1975.
syarat ilmu pengetahuan modern sesuai
kategori Herman Heller, yaitu: empiris, Dahler, Frans, Asal dan Tujuan Manusia, Yogyakarta:
Kanisius, 1970.
imanent, fungsional, dialektis, dinamis,
Djajaatmadja, E., Etika Pembangunan Masyarakat,
dan pragmatis. Aksiologi Rene Descartes
Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma
agaknya ekstrim, ilmu untuk ilmu, namun Jaya, 1987.
justru ajaran dia yang berkembang menjadi
Paradigma Hukum:
Perspektif Filsafat Ilmu Rene Descrates, Aguste Comte, Thomas S Kuhn 17
Djokosutono, Kuliah Hukum Tata Negara, Dihimpun Setjoatmodjo, Pranjoto, Filsafat Ilmu Pengetahuan,
oleh Harun Alrasid. Jakarta: Ind. Hill. Co, edisi Jakarta: Depdikbud, 1988.
revisi Maret 2006.
Sudarminta, J., Beberapa Catatan atas Buku Thomas
Dua, Mikhael, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah S Kuhn: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,
Analitis, Dinamis, dan Dialektis. Maumere: Makalah dalam Seminar Nasional, Yogyakarta:
Penerbit Ledalero, 2009. Fisipol UGM, 3 November 1990.
Garna, Judistira, Tinjauan Buku: Peran Paradigma Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah
dalam Revolusi Sains, Makalah dalam Seminar Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Nasional, Yogyakarta: Fisipol UGM, 3 November Harapan, 1988.
1990.
Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum Unpar, Pengantar
Hamersma, Harry, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Ilmu Hukum, Bandung: Universitas Katolik
Yogyakarta: Kanisius, 1989. Parahyangan, Fakultas Hukum, 1995.
Kartohadiprodjo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Verhaak, C., et al., Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah
Indonesia: 1. Hukum Perdata, Jakarta: PT atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakrta: Gramedia,
Pembangunan dan Ghalia Indonesia, cetakan ke- 1989.
12, Desember 1993.
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut
Kuhn, Thomas S., Peran Paradigma dalam Revolusi Filsafat Positivime Auguste Comte, Yogyakarta:
Sains, Bandung: Remaja Karya, 1989. Gajah Mada University Press, 1983.
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Al-Ghazali, Sang Sufi Sang
Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Filosof: Sebuah Perbandingan Metode Filsafat
Binacipta, 1970. Antara Al-Ghazali dengan Descartes, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1987.
Nasikun, J., Struktur Revolusi Keilmuan Thomas
Kuhn: Beberapa Catatan atas Buku Peran ___________ Tahu dan Pengetahuan, Jakarta: Obor,
Paradigma dalam Revolusi Sains, Makalah 1967.
dalam Seminar Nasional, Yogyakarta: Fisipol
UGM, 3 November 1990.
Endnotes
Philips, D.C., Philosophy, Science, and Social Inquiry,
1. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta:
Pergamon Press, 1987. Kanisius, 1975, hlm. 45.
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Kearah Alam 2. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali, Sang Sufi Sang
Filsafat, Jakarta: Bina Aksara, 1986. Filosof: Sebuah Perbandingan Metode Filsafat Antara
Al-Ghazali dengan Descarte, Bandung: Penerbit Pustaka,
Purbacaraka, Purnadi, et al., Renungan Tentang 1987, hlm. 72.
Filsafat Hukum, Jakarta: CV Rajawali, 1982. 3. Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivime Auguste Comte, Yogyakarta: Gajah Mada
Rahardjo, Satjipto, et al., Refleksi dan Rekonstruksi University Press, 1983, hlm. 6.
Ilmu Hukum Indonesia, Bantul Yogyakarta: 4. Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat,
Thafa Media bekerja sama dengan Asosiasi Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 41.
Sosiologi Hukum Indonesia dan Bagian Hukum 5. Lili Rasjidi, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu pada Mahasiswa
dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, Oktober Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung: 3-12-1990.
2012. 6. Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 35.
Ritzer, G., Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma 7. Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis,
Ganda, Jakarta: Rajawali, 1985. Dinamis, dan Dialektis, Maumere: Penerbit Ledalero, 2009,
hlm. 203.
Sabon, Max Boli, Ilmu Negara: Bahan Pendidikan
8. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Jakarta: Obor, 1967,
Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Penerbit hlm. 5.
Uiversitas Atma Jaya, 2012.
9. Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Penerbit Indonesia: 1. Hukum Perdata, Jakarta: PT Pembangunan
dan Ghalia Indonesia, cetakan ke-12, Desember 1993, hlm.
PT Sinar Grafika, 1993.
21-25.
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cetakan 10. Max Boli Sabon, Ilmu Negara: Bahan Pendidikan Untuk
Kesepuluh, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986. Perguruan Tinggi, Jakarta: Penerbit Uiversitas Atma Jaya,
2012, hlm. 2.
18 Max Boli Sabon
11. Djokosutono, Kuliah Hukum Tata Negara, Dihimpun oleh 37. Menurut George Ritzer, Kuhn menggunakan istilah
Harun Alrasid, Jakarta: Ind. Hill. Co, edisi revisi Maret paradigma tidak kurang dari 21 cara yang berbeda (G.
2006, hlm. 6-13; 27-30. Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
12. E. Djajaatmadja, Etika Pembangunan Masyarakat, Jakarta: Jakarta: Rajawali, 1985, hlm. 100). Demikian juga DC
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 1987, hlm. 2. Philips. Philosophy, Science, and Social Inquiry, Pergamon
Press, 1987, hlm. 90 “Kuhn wrote that the proponents
13. Jujun S Suriasumantri, op.cit., hlm. 42.
of copeting paradigmas practis their trades in different
14. Achmad Sanusi, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu pada Mahasiswa words.”
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung: 23-11-
38. C. Verhaak, et al., op.cit., hlm. 165.
1990; Bandingkan pula dengan Jujun S Suriasumantri,
Op.cit., hlm. 43-45. 39. Mikhael Dua, op.cit., hlm. 114.
15. Teori falsifikasi adalah teori dari Karl Reimund Popper. 40. J. Nasikun, Struktur Revolusi Keilmuan Thomas Kuhn:
Lihat C. Verhaak, et al., Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Beberapa Catatan atas Buku Peran Paradigma dalam
dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. Revolusi Sains, Makalah dalam Seminar Nasional.
159. Yogyakarta: Fisipol UGM, 3 November 1990, hlm. 1.
16. Thomas S Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, 41. Judistira Garna, Tinjauan Buku: Peran Paradigma
Bandung: Remaja Karya, 1989, hlm. 25. dalam Revolusi Sains, Makalah dalam Seminar Nasional.
Yogyakarta: Fisipol UGM, 3 November 1990, hlm. 5.
17. Ibid. hlm. 27.
42. J. Sudarminta, Beberapa Catatan atas Buku Thomas S
18. Achmad Sanusi, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu pada
Kuhn: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Makalah
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung:
dalam Seminar Nasional, Yogyakarta: Fisipol UGM, 3
23-11-1990.
November 1990, hlm. 2.
19. C Verhaak, et al., op.cit., hlm. 122.
43. J. Sudarminta, loc.cit.
20. Injil Yohanes: Bab 18, Ayat 37 dan 38.
44. Istilah “bahan hukum primer” diintrodusir oleh Soerjono
21. Harry Hamersma, op. cit., hlm. 26. Soekanto dalam bukunya berjudul: Pengantar Penelitian
22. K. Bertens, op.cit., hlm. 5. Hukum, cetakan ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas
23. IR Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, Indonesia, 1986, hlm. 52.
Jakarta: Bina Aksara, 1986, hlm. viii. 45. R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cetakan
24. IR Poedjawijatna, op.cit., hlm. 99. Kesepuluh. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1986, hlm. 35.
25. K Bertens, op.cit., hlm. 45, selain memeberikan terjemahan 46. L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
bebas terhadap istilah “cogito ergo sum” seperti tertulis di Penerbit Pradnya Paramita, 1971, hlm. 20.
atas, ia juga memberikan terjemahan secara harafiah dari 47. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Penerbit PT
bahasa Latin “saya berpikir, jadi saya ada”. Sinar Grafika, 1993, hlm. 53-55.
26. Ibid, hlm. 46. 48. Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum Unpar, Pengantar
27. Substansi adalah sesuatu yang dapat berdiri dalam diri Ilmu Hukum, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan,
sendiri dan tidak dapat berdiri dalam sesuatu yang lain Fakultas Hukum, 1995, hlm. 36-38.
sebagai subjek (E Djajaatmadja, Op.cit. hlm. 1) 49. Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum di Indonesia Dalam
28. K. Bertens, op.cit., hlm. 72. Bandingkan pula dengan Lintasan Perkembangan Sains” dalam Satjipto Rahardjo,
Koento Wibisono. Op.cit. hlm. 126. et al., Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia,
Bantul Yogyakarta: Thafa Media bekerja sama dengan
29. K. Bertens, op.cit., hlm. 73.
Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia dan Bagian Hukum
30. Koento Wibisono, op.cit., hlm. 14. dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, Oktober 2012,
31. K. Bertens, op.cit., hlm. 74. hlm. 611.
32. Istilah kemajuan dan kelestarian yang digunakan di atas 50. Pranjoto Setjoatmodjo, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
merupakan antinomy dalam Filsafat Hukum. Kemajuan Depdikbud, 1988, hlm. 96; menulis bahwa secara sederhana
berarti perubahan, kelestarian berarti stabilitas. Paradigma doktrin yang mengajar peranan ilmu sebagai model bagi
lama mengatakan bahwa hukum berfungsi mengadakan masyarakat sebenarnya merupakan perkembangan dari
stabilitas, bukan sebagai sarana untuk mengadakan “metode” yang diketengahkan oleh Rene Descartes.
perubahan. (Purnadi Purbacaraka, et al. Renungan Tentang 51. Individu, pribadi, dan kepribadian merupakan aspek
Filsafat Hukum. Jakarta: CV Rajawali, 1982, hlm. 35). perkembangan mnusia secara gradual, mulai tahap individu,
Akan tetapi paradigma ini telah ditumbangkan oleh yaitu mampu berdiri sendiri sebagai hasil alam, sama dengan
paradigma baru “law as a tool of social engineering” makluk hidup yang lain; berkembang menjadi pribadi yaitu
Roscoe Pound (Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan subjek yang mampu menggunakan pikiran dan perasaannya
Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, secara bebas sehingga ia disebut subjek hukum, penyandang
Bandung: Binacipta, 1970, hlm. 11) hak dan kewajiban, sadar untuk mengembangkan dirinya
33. Koento Wibisono, op.cit., hlm. 17. guna mencapai kepribadian yaitu manusia yang berhasil
34. Koento Wibisono, loc.cit. memenuhi panggilannya (calling)-nya. E Djajaatmadja,
Op.cit., hlm. 4.
35. Thomas S Kuhn, op.cit., hlm. vii.
52. Frans Dahler, Asal dan Tujuan Manusia, Yogyakarta:
36. C Verhaak, et al. op.cit., hlm. 164. Kanisius, 1970, hlm. 102.