Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik
Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik
Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik
HOLISTIK
NYOMAN SUPARTA
PS. Sosek dan Agribisnis, Fakultas Peternakan Universitas Udayana
ABSTRACT
The rising issues nowadays related to the existence of chicken broiler business and
agribusiness system are low added value obtained for farmers, disharmonic relationship among
agribusiness system agents, and low competitive ability. On the other hand, the business and
agribusiness system improvement need dynamic, creative and innovative human recourses with strong
business instinct, and the ability in understanding the ethics of agribusiness system relationship well
for achieving better business results. The reason of this gap might be caused by the fact that the
farmers or other agribusiness sub-system agents do not fully understand the business and agribusiness
system. The research has been carrying out to obtain depiction of agribusiness behavior with
industrial culture, and its extension approach. The result of the research shows that application of the
holistic extension of agribusiness was needed. The extension‘s objective exactly to the change of
agribusiness behavior with industrial culture. The extension materials include all of production
technical aspect, agribusiness management aspect, and agribusiness system relationship management
aspect with industrial’s perception, so the agribusiness system businessmen’s could have the same
perception and attitude about: vision, missions, business ethics, objective, goal and cooperative plan
witch formulated with open way. The extension methods must be more varieties. The extension
agribusiness system needs professionalism extensionists too, but usually base on the basic philosophy
and principles of the extension.
Key words: Agribusiness Behavior,Eextension of Agribusiness System, Holistic
ENDAHULUAN
Pembangunan pertanian pada dasarnya merupakan upaya sadar yang sengaja
direncanakan untuk melakukan perubahan-perubahan yang dikehendaki, dengan
menggunakan inovasi dan teknologi tertentu yang sesuai dengan potensi agroekosistem
setempat agar dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidup petani. Pembangunan
pertanian telah berhasil meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Salah satu
prestasi terbaiknya adalah dibidang tanaman pangan khususnya padi, yang telah mampu
mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada
beras pada tahun 1984. Keberhasilan tersebut didukung oleh penyuluhan pertanian dengan
pendekatan sistem BIMAS (sejak 1963/1964), sistem LAKU (1976) sistem INSUS (1979)
dan sistem SUPRA INSUS (1986), melalui inovasi teknologi Sapta Usaha Pertanian secara
lengkap (Abbas, 1995), serta telah dibangunnya prasarana transportasi, tersedianya sarana
produksi, kemajuan teknologi, berkembangnya pasar hasil usahatani, serta adanya insentif
bagi usaha tani, yang disebut lima faktor pokok pembangunan pertanian oleh Mosher (1966).
Berbagai pendekatan penyuluhan tersebut telah mengubah profil petani Indonesia,
yakni lebih meningkat tingkat pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan
harapan-harapannya juga lebih baik, dan telah mampu berkomunikasi secara impersonal.
1
Jarmie (1995) menandaskan bahwa perilaku petani telah berubah menjadi petani komersial,
yakni petani yang merencanakan usahatani dan berani mengambil risiko dalam menerima dan
menetapkan ide baru perbaikan usahatani dengan berorientasi kepada kebutuhan pasar.
Namun demikian, perubahan perilaku yang positif itu belum diikuti oleh perubahan
sikap rasional sebagai pengusaha usahatani yang mandiri dan tangguh. Kesejakhteraan petani
juga belum banyak meningkat, padahal salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan karena
paradigma petani yang memandang bahwa usahatani adalah usaha produksi, yakni petani
berfungsi hanya untuk memproduksi sebanyak-banyaknya. Pasar, pemasaran, dan
pengolahan hasil pertanian berada di luar jangkauan perhatian bisnisnya. Kondisi seperti itu,
secara tidak disadari telah diciptakan oleh sistem dan program pembangunan pertanian pada
waktu itu. Perencanaan penyuluhan yang top down telah mengubah penyuluh menjadi corong
pemerintah, sehingga petani hanya menjadi obyek yang harus mengikuti kemauan penyuluh.
Akibatnya, sangat kecil peluang petani untuk berkreativitas dan berinisiatif dalam mengambil
keputusan, seharusnya petani dan usahataninyalah yang menjadi sentral dalam pembangunan
pertanian.
Konsep perusahaan dan sistem agribisnis dimunculkan untuk mengubah paradigma
petani bahwa petani bukanlah hanya sebagai pekerja tani atau pengusaha usahatani, tetapi
pengelola atau “manajer perusahaan agribisnis,” yang berkedudukan setara dengan
perusahaan agribisnis lainnya yang berada di subsistem agribisnis hulu maupun di subsistem
agribisnis hilir. Petani seharusnya senantiasa berorientasi kepada kebutuhan pasar, bersama-
sama perusahaan agribisnis lainnya bersinergi untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
Kebersamaan dan saling ketergantungan antar perusahaan agribisnis dalam menghasilkan
produk yang berkualitas sesuai permintaan pasar itulah disebut dengan “sistem agribisnis.”
Apabila kondisi seperti itu benar-benar berhasil diciptakan oleh mereka, maka otomatis
peningkatan pendapatan dan kesejehtaraan petani akan terwujud. Untuk mewujudkan
perilaku agribisnis itulah diperlukan “penyuluhan sistem agribisnis,” yang berbeda dengan
penyuluhan sistem Bimas atau LAKU dan semacamnya.
Subsistem Subsistem
Subsistem Subsistem Perusahaan
Perusahaan Perusahaan
Perusahaan Pemasaran
Pengadaan dan Pengolahan Hasil
Produksi Hasil:
Penyaluran (Agroindustri):
Usahatani:
Sarana Produksi: *Penanganan *Perdagangan
*Pangan Pasca Panen domestik
*Bibit *Pengolahan
*Hortikultura *Perdagangan
*Pupuk Lanjutan
*Ternak ekspor
*Pakan
*Obat-obatan
*Alat dan Mesin
*Teknologi
3
FUNGSI SUBSISTEM AGRIBISNIS DALAM SISTEM AGRIBISNIS
Masing-masing komponen pelaku perusahaan agribisnis biasanya membagi diri dalam
fungsi dan peran atau tugasnya, namun tetap bersinergi untuk menghasilkan produk yang
berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar. Integrasi vertikal antar perusahaan agribisnis
yang berbeda pemilikannya sering diwujudkan dalam bentuk “kemitraan usaha” atau jika
pemilikannya sama disebut “perusahaan terintegrasi”.
Subsistem perusahaan agribisnis hulu berfungsi menghasilkan dan menyediakan
sarana produksi pertanian terbaik agar mampu menghasilkan produk usahatani yang
berkualitas. Dalam hubungan kemitraan inti plasma, maka perusahaan agribisnis hulu dapat
melakukan perannya, antara lain: memberikan pelayanan yang bermutu kepada usahatani,
memberikan bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen dan hubungan
sistem agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran atau perlatihan bagi petani, menyaring
dan mensintesis informasi agribisnis praktis untuk petani, mengembangkan kerjasama bisnis
(kemitraan) untuk dapat memberikan keuntungan bagi para pihak.
Subsistem perusahaan usahatani sebagai produsen pertanian berfungsi melakukan
kegiatan teknis produksi agar produknya dapat dipertanggung jawabkan baik secara kualitas
maupun kuantitas. Mampu melakukan manajemen agribisnis secara baik agar proses
produksinya menjadi efisien sehingga mampu bersaing di pasar. Karena itu, petani umumnya
memerlukan penyuluhan dan informasi agribisnis, teknologi dan inovasi lainnya dalam
proses produksi, bimbingan teknis atau pendampingan agar petani dapat melakukan proses
produksi secara efisien dan bernilai tambah lebih tinggi. Dalam hubungan kemitraan inti
plasma, petani berperan sebagai plasma.
Subsistem perusahaan agribisnis hilir berfungsi melakukan pengolahan lanjut (baik
tingkat primer, sekunder maupun tersier) untuk mengurangi susut nilai atau meningkatkan
mutu produk agar dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen, serta berfungsi
memperlancar pemasaran hasil melalui perencanaan sistem pemasaran yang baik. Dalam
hubungan kemitraan inti plasma, maka perusahaan agribisnis hilir itu sering berfungsi sebagai
inti yang mempunyai kewajiban untuk mendorong berkembangnya usahatani.
Subsistem jasa penunjang (penyuluhan, penelitian, informasi agribisnis, pengaturan,
kredit modal, transportasi, dll) secara aktif ataupun pasif berfungsi menyediakan layanan bagi
kebutuhan pelaku sistem agribisnis untuk memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem
agribisnis. Masing-masing komponen jasa penunjang itu mempunyai karakteristik fungsi
yang berbeda, namun intinya adalah agar mereka dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi
beban dan meningkatkan kelancaran penyelenggaraan sistem agribisnis.
4
PERILAKU AGRIBISNIS
Perilaku merupakan cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan
merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis (Kast
dan Rosensweig, 1995), refleksi dari hasil sejumlah pengalaman belajar seseorang terhadap
lingkungannya yang dapat dilihat dari aspek pengetahuan (cognitive), sikap (affective),
keterampilan (psychomotoric), dan tindakan nyata (action) (Rogers, 1969).
Menurut Suparta, (2001) perilaku agribisnis dapat diukur dari: (1) aspek perilaku
teknis produksi, yakni: unsur panca usaha peternakan; (2) aspek perilaku manajemen
agribisnis, yakni: perencanaan agribisnis, pemanfaatan sumber daya agribisnis, meningkatkan
efisiensi, meningkatkan produktivitas, senantiasa memperbaiki mutu hasil, melakukan
perekayasaaan teknis produksi, melakukan fungsi kelembagaan agribisnis, dan selalu
mengutamakan ketepatan dan kecepatan pelayanan; dan (3) aspek perilaku hubungan sistem
agribisnis, yakni: melakukan hubungan kebersamaan dan saling ketergantungan dengan
perusahaan agribisnis lainnya, melakukan kerjasama secara harmonis, dan aktif melakukan
komunikasi informasi agribisnis.
Suatu hasil penelitian pada perusahaan agribisnis ayam ras pedaging yang dilakukan di
propinsi Jawa Timur dan Bali oleh Nyoman Suparta (2002) menunjukkan bahwa sebagian
besar (74,89%) peternak termasuk katagori perilaku agribisnis tinggi, namun demikian salah
satu pendukung perilaku agribisnis yakni aspek perilaku hubungan sistem agribisnisnya
termasuk katagori rendah sampai sedang (Tabel 1). Keadaan ini disebabkan karena penyuluh
atau sumber informasi dan peternak selama ini masih saja berorientasi kepada produksi dan
produktivitas. Hal ini terbukti dari sebagian besar (69,12 %) peternak menyatakan menerima
materi penyuluhan tentang teknis produksi; 34,93 % tentang manajemen agribisnis; dan hanya
6,12 % tentang sistem agribisnis. Materi informasi agribisnis yang diterima peternak juga
menunjukkan kecenderungan serupa, yakni: sebagian besar (94,04%) peternak menyatakan
menerima materi informasi tentang teknis produksi; 51,96% tentang manajemen agribisnis;
dan hanya 29,68% tentang hubungan sistem agribisnis.
Berdasarkan indikator ciri, ternyata: (a) peternak belum mampu menerapkan teknologi
untuk mengendalikan pengaruh alam yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan ayam, (b)
belum mempunyai kebiasaan untuk membuat perencanaan secara tertulis, (c) hasil usaha
belum digunakan untuk pemupukan modal, (d) belum sepenuhnya mampu menggunakan
kemajuan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi karena biaya
teknologi masih dianggap terlalu mahal, dan (e) belum melakukan hubungan koordinasi
vertikal secara baik dan benar (Nyoman Suparta, 2002).
5
Sikap dan perilaku seperti itulah yang menjadi penghalang besar untuk keberhasilan
pengembangan agribisnis. Sayangnya sikap dan perilaku seperti itu tidak hanya terjadi pada
peternak tetapi juga pada pelaku agribisnis lainnya, padahal untuk kemajuan suatu agribisnis
diperlukan sikap dan perilaku yang seimbang antara perusahaan peternakan dengan
perusahaan agribisnis lainnya. Karena itu, diperlukan penyuluhan sistem agribisnis.
Tabel 1. Perilaku Agribisnis pada Peternak Ayam Ras Pedaging (dalam Persen)
Jenis Katagori Kisaran Klasifikasi responden Uji χ2 Uji χ2 Pola
Peubah Nilai Lokasi Pola Usaha Lokasi Usaha
Bali Jatim K NK K+NK
6
hubungan sistem agribisnisnya; (2) para penyuluh kita telah terjebak di dalam lingkaran
sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) disadari
atau tidak para pejabat pertanian kita telah membentuk opini masyarakat bahwa tingkat
produksi dan produktivitas merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian; dan (4)
para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan agribisnis yang berada di hulu dan di
hilir sebagai pengusaha yang sudah professional dan memahami sistem agribisnis, padahal
mereka belum tentu mampu memahami maupun melakukan konsep sistem agribisnis secara
baik. Jika para pejabat pertanian atau penyuluh masih mempunyai cara pandang seperti itu,
bagaimana jadinya dengan petani kita kedepan?
Kesalahan cara pandang seperti itu menyebabkan para pejabat pemerintahan kita
selalu sibuk mengurusi petani atau peternak, melakukan penyuluhan yang tidak tepat sasaran
kepada petani, dan memberikan fasilitas yang juga keliru kepada petani. Hal inilah yang
dapat menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada para pejabat pemerintahan maupun
petani peternak kita. Petani hanyalah merupakan salah satu komponen perusahaan agribisnis.
Jika keberhasilan agribisnis tidak bisa dilakukan oleh petani saja, maka komponen perusahaan
agribisnis lainnya haruslah menjadi fokus perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan
petani peternak itu sendiri. Karena itu, setiap kebijakan pemerintah di bidang pembangunan
pertanian haruslah bersifat holistik, yakni menyentuh semua komponen pelaku sistem
agribisnis dan mengkoordinasikannya untuk memberdayakan agribisnis. Kebijakan dan
tindakan seperti itu harus dilakukan secara terus menerus hingga menjadi budaya bagi
masyarakat agribisnis di Indonesia.
Apabila semua komponen pelaku sistem agribisnis sudah dapat memahami hakekat
sistem agribisnis dan menjadikannya sebagai budaya dalam mengelola perusahaan agribisnis
maka otomatis pendapatan dan kesejahteraan petanipun akan meningkat. Menurut Soekanto
(1990) kebudayaan diartikan sebagai garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan
peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan. Pertanian
“berbudaya industri” adalah pengelolaan kegiatan pertanian secara industri, yakni membuat
kebudayaan industri menjadi kebudayaan milik pertanian, yang secara fundamental berarti
membangun sikap mental dan budaya masyarakat pertanian sebagaimana sikap mental dan
budaya yang hidup dalam masyarakat industri (Solahuddin, 1999). Kondisi yang berlawanan
dengan budaya idustri adalah “budaya agraris” yang dicirikan oleh sifat komunal, diikat oleh
kesadaran kolektif, terdapat ikatan emosional, hubungan dan orientasi primordial, keterkaitan
dengan alam tinggi, dan teknologi masih sederhana.
Ciri perilaku agribisnis berkebudayaan industri yang diharapkan terbentuk adalah: (1)
tekun, ulet, kerja keras, hemat, cermat, disiplin dan menghargai waktu; (2) mampu
7
merencanakan dan mengelola usaha; (3) selalu memegang teguh asas efisiensi dan
produktivitas, (4) menggunakan teknologi terutama teknologi tepat guna dan akrab
lingkungan, (5) mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil, (6) berorientasi kepada
kualitas produk dan permintaan pasar, (7) berorientasi kepada nilai tambah, (8) mampu
mengendalikan dan memanfaatkan alam, (9) tanggap terhadap inovasi, (10) berani
menghadapi risiko usaha, (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi integrasi
secara vertikal, (12) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam sehingga
produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar, dan (13)
professional serta mandiri dalam menentukan keputusan.
Apabila ciri yang menjadi prinsip industri itu sudah dipahami, dihayati dan dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas para pelaku sistem agribisnis, maka perilaku
agribisnis dikatakan sudah menjadi “budaya industri”. Menurut Council on Food,
Agricultural and Resource Economics (Simatupang, 1995) industri dalam agribisnis dapat
pula dipahami sebagai struktur agribisnis industrial, yakni konsolidasi usahatani yang disertai
dengan koordinasi vertikal diantara seluruh tahapan agribisnis dalam satu alur produk melalui
mekanisme non pasar sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan
disesuaikan dengan pilihan konsumen akhir.
Suparta (2001) menandaskan bahwa, perilaku agribisnis peternak ayam ras pedaging
belum kondusif ke arah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, karena: (a) kurang
didukung oleh aspek perilaku hubungan sistem agribisnis, (b) terlalu berorientasi kepada on
farm agribusiness, pola pikir dan etika kesisteman untuk mencapai tujuan bersama masih
kurang, sehingga peternak belum mampu merumuskan visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran
dan rencana kerja baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan perusahaan agribisnis
lainnya yang seharusnya dapat didiskusikan dan dirumuskan secara terbuka oleh para pihak.
Kondisi yang hampir serupa juga tampak pada pelaku sistem agribisnis lainnya. Jika perilaku
agribisnis pada peternak ayam ras pedaging yang nota bena karakteristik usahanya sudah
bersifat industri serta dikenal pula dengan sebutan “industri peternakan rakyat” belum juga
kondusif kearah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, bagaimana halnya dengan pelaku
agribisnis pada komoditas pertanian lainnya?
Untuk meningkatkan perilaku agribisnis itu, dapat direkomendasikan penyuluhan
dengan pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis”, yang: (a) tujuan penyuluhannya jelas
kearah peningkatan perilaku agribisnis, (b) metode dan media komunikasi harus lebih
beragam dan jelas polanya untuk memenuhi kebutuhan sasaran, (c) materi penyuluhannya
lengkap mencakup aspek teknis produksi, aspek manajemen agribisnis, dan aspek hubungan
sistem agribisnis dengan wawasan industri.
8
Penyuluhan sistem agribisnis tidak hanya ditujukan kepada petani atau peternak, tetapi
hendaknya ditujukan pula kepada pelaku sistem agribisnis lainnya, agar masing-masing
perusahaan agribisnis mampu memahami dengan baik dan benar hakekat sistem agribisnis,
selanjutnya sangat diharapkan akan mampu membangun kesamaan sikap, perilaku dan etika
bisnis dalam kebersamaan dan saling ketergantungan.
10
spesifik sasaran (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan sosial budaya), dan (6)
penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan partisipatif.
Peran penyuluh adalah mengembangkan kekondusifan lingkungan belajar bagi sasaran
penyuluhan untuk belajar secara mandiri, dan memberikan konsultasi bagi petani peternak
atau pengusaha agribisnis lain yang memerlukan. Penyuluh berkewajiban menyadarkan
sasaran penyuluhan tentang adanya kebutuhan yang nyata (real need atau unfelt need)
menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need). Penyuluh harus mampu mengajak sasaran
penyuluhan berpikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak
bersama-sama sehingga terjadi pemecahan masalah dari mereka, oleh mereka, dan untuk
mereka.
Penyuluh akan semakin mampu menerapkan “pendekatan penyuluhan sistem
agribisnis” yang makin efektif apabila mampu menghayati secara sungguh-sungguh materi
penyuluhan sistem agribisnis, dan makin berkemampuan tinggi dalam menerapkan
keanekaragaman metode penyuluhan dan media komunikasi kepada sasarannya secara tepat
dan bijak.
Untuk keberhasilan penyuluhan sistem agribisnis di masa depan, maka penyuluhan
sistem agribisnis agar dilakukan oleh “penyuluh profesional,” yang dapat berasal dari
penyuluh dinas ataupun penyuluh swasta, yang mempunyai kompetensi dan komitmen diri
yang tinggi untuk menjaga profesionalisme penyuluh. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia
(1999), profesional diartikan sebagai memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya
serta mengharuskan adanya pembayaran atas jasa profesi. Profesionalisme penyuluh
disamping mencerminkan keahliannya, juga harus mampu menunjukkan mutu layanannya,
kemandirin dan kewirausahaan.
Menurut Anoraga (1998), seorang profesional harus mampu memadukan unsur
kemampuan teknis (kompetensi) dan kematangan etik, moral dan akal. Penguasaan teknik
saja tidak membuat seseorang menjadi profesional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa,
beberapa ciri profesionalisme, yaitu: (1) mengejar kesempurnaan hasil, (2) memerlukan
kesungguhan dan ketelitian kerja yang dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan, (3)
sifat keteguhan dan ketabahan untuk mencapai hasil hingga tercapai, (4) mempunyai
integritas tinggi, (5) memerlukan kebulatan pikiran dan perbuatan untuk mencapai efektivitas
kerja yang tinggi.
Menurut Slamet et al. (1996), profesionalisasi penyuluhan dapat dilakukan dengan
mengacu kepada penerapan manajemen mutu terpadu, yakni pola manajemen penyuluhan
yang memuat prosedur agar setiap orang dalam organisasi penyuluhan terus menerus
memperbaiki jalan menuju sukses, dan dengan penuh semangat berpartisipasi dalam
11
perbaikan pelaksanaan kerja. Penyuluhan dikatakan bermutu baik jika dapat memenuhi atau
melebihi kebutuhan dan harapan pihak yang disuluh (sasaran). Agar penyuluhan dapat
bermutu baik maka seluruh sumber daya harus dapat dipergunakan dengan baik, dan proses
penyuluhan harus tetap berpegang pada falsafah dan prinsip penyuluhan.
Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka ciri-ciri penyuluh professional adalah
sebagai berikut: (a) mempunyai latar belakang keahlian dibidang agribisnis, (b) memahami
betul posisi dan peranan dirinya sebagai penyuluh agribisnis, (c) menguasai betul semua
aspek agribisnis, seperti: teknis produksi, manajemen agribisnis, hubungan sistem agribisnis,
dan etika bisnis (keadilan, kejujuran, kewajaran, kepercayaan, dan keuletan), (d) selalu
mengejar kesempurnaan hasil melalui penerapan manajemen mutu terpadu dalam
penyelenggaraan penyuluhan, (e) biasa belajar dan bekerja dengan penuh kesungguhan hati
dan ketelitian, (f) mempunyai sifat teguh dan tabah serta tekad yang kuat untuk mencapai
hasil, (g) mampu mengatasi kesulitan permodalan usaha petani peternak melalui perusahaan
inti atau lembaga keuangan lainnya, (h) mampu meyakinkan petani bahwa materi penyuluhan
yang disampaikan akan membawa perbaikan bagi peningkatan produksi dan produktivitas
usahataninya, (i) mampu melindungi petani peternak dari kemungkinan kerugian total dengan
cara mengupayakan biaya kompensasi pemeliharaan minimal dari perusahaan
intinya/mitranya, dan (y) simaptik, jujur, tekun, dan disiplin dalam bekerja, dinamis dan
progresif dalam menyesuaikan diri dengan peternak.
Informasi yang dikemukakan menunjukkan bahwa strategi pendekatan “penyuluhan
sistem agribisnis” memerlukan beberapa prakondisi, yakni: syarat keharusan (necessary
condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat keharusan, merupakan kondisi
minimum yang harus ada agar penyuluhan sistem agribisnis dapat berjalan dengan baik, yaitu:
(1) penyuluh profesional agar memiliki kompetensi keahlian dan etika profesionalisme; (2)
penyuluh agar tetap berpegang pada falsafah penyuluhan dan prinsip-prinsip penyuluhan; (3)
visi dan misi penyuluhan agar menempatkan petani peternak dan usahataninya sebagai sentral
dalam penyelenggaraan penyuluhan; (4) tujuan penyuluhan agar jelas dan dapat dipahami
bersama petani peternak yakni meningkatkan perilaku agribisnis yang berbudaya industri; (5)
memanfaatkan sumber daya penyuluhan semaksimal mungkin dalam penyelenggaraan
penyuluhan untuk mencapai tujuan; (6) sasaran perubahan perilaku harus jelas dan terukur
yakni mampu memahami dan melakukan hubungan sistem agribisnis dan etika kesisteman
yang baik; (7) materi penyuluhan menyangkut semua aspek sistem agribisnis, yakni: aspek
teknis produksi, manajemen agribisnis, hubungan sistem agribisnis berwawasan industri, etika
kesisteman, kewirausahaan; (8) metode dan media komunikasi penyuluhan harus lebih
beragam agar mampu meningkatkan perubahan aspek psikologis yang lebih dekat kepada
12
perubahan perilaku, yakni: persepsi, sikap, keterampilan dan sifat kewirausahaan petani
peternak; dan (9) fasilitas dan pendapatan yang memadai bagi penyuluh.
Syarat kecukupan merupakan lingkungan yang memperlancar mekanisme kerja
“penyuluhan Sistem Agribisnis”, yakni: (1) kebijakan pemerintah tentang pembangunan
pertanian melalui pendekatan agribisnis, serta kebijakan pemerintah tentang fungsi dan peran
penyuluhan dalam pembangunan pertanian, (2) situasi perekonomian makro yang stabil dan
dinamis dan memberikan iklim yang baik bagi berkembangnya usaha pertanian, (3) situasi
sosial politik yang stabil sehingga tidak mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan ekonomi
secara makro, (4) kondisi infra struktur yang memadai sehingga memudahkan dan
memperlancar pelaksanaan proses produksi dan proses pemasaran hasil, (5) dukungan fungsi-
fungsi lain, seperti: lembaga penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pasar yang
kuat untuk menjual hasil produksi dan hasil olahannya, pelayanan informasi agribisnis,
lembaga keuangan dan asuransi. Agar fungsi-fungsi itu dapat bersinergi dengan baik maka
fungsi-fungsi itu agar memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang sistem agribisnis.
Model penyuluhan sistem agribisnis disusun atas dasar fungsi dan perananan masing-
masing komponen sistem yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan penyuluhan sistem
agribisnis (Gambar 2). Hubungan antar subsistem tersebut tidak ada kedudukan yang
tersubordinasi, hubungan antar subsistem merupakan hubungan kolegial, hubungan
fungsional, koordinasi vertikal yang saling membutuhkan, saling mengutungkan dan saling
memperkuat. Peran dari masing-masing fungsi subsistem terlihat dalam keterangan yang
menyertai setiap garis yang menunjukkan hubungan antar subsistem.
13
Industri Lingkup
Informasi kebijakan
Pembibitan, Dinas Terkait
Pakan ternak,
Obat hewan dan
Peralatan Lembaga Penelitian
Pelatihan, Informasi kebijakan
inovasi,
Koordinasi fasilitas,
Teknologi Teknologi
Asosiasi Teknologi
Pelaku Perusahaan
Agribisnis Inti/ Poultry Teknis prod., manajemen,
Shop dan sistem agribisnis. Etika
sistem, dan informasi pasar
Koordinasi
Koordinasi
Penyuluh
Koordinasi
Informasi Profesional
Koordinasi Informasi
Agribisnis (Konsultan) kebijakan
Sistem agribisnis,
Informasi pasar
Inovasi teknologi, manajemen,
PETERNAK dan sistem agribisnis. Etika
sistem, dan kewirausahaan
AYAM RAS
Teknologi, manajemen, sistem
agribisnis, Kewirausahaan ,etika PEDAGING
hubungan sistem agribisnis, dan Informasi kebijakan dan
Informasi pasar keamanan lingkungan
Informasi pasar
Pedagang Informasi kebijakan, dan mutu produk
Sistem agribisnis, Ayam
mutu produk
Kebutuhan konsumen,
permintaan pasar
14
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Rendahnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak selama ini,
karena terlalu berorientasi kepada produksi dan produktivitas, kurang berorientasi kepada
kebutuhan pasar dan hubungan sistem agribisnis, sehingga perolehan nilai tambah rendah.
Sinergi antara perusahaan usahatani dengan perusahaan agribisnis lainnya kurang solid.
Akibatnya, permintaan produk pertanian menjadi tidak jelas dan harganya cenderung kurang
menguntungkan petani.
Rendahnya perilaku agribisnis tidak hanya terjadi pada petani tetapi juga terjadi pada
pelaku perusahaan agribisnis lainnya. Karena itu, wajib bagi masyarakat agribisnis untuk
menyadarinya, selanjutnya sesegera mungkin harus dapat memperbaikinya. Kegiatan
penyuluhan juga ditujukan kepada para pelaku perusahaan agribisnis lainnya serta lembaga
tertentu yang berada di subsistem jasa penunjang. Kebersamaan dan saling ketergantungan
diantara semua perusahaan agribisnis akan menghasilkan visi, misi, etika bisnis, tujuan dan
sasaran serta rencana kerja bersama yang harmonis untuk menghasilkan produk yang sesuai
dengan kebutuhan pasar.
Untuk meningkatkan perilaku agribisnis itu diperlukan pendekatan penyuluhan sistem
agribisnis, yang materi penyuluhannya mencakup keseluruhan aspek teknis produksi, aspek
manajemen agribisnis dan aspek manajemen hubungan sistem agribisnis dengan wawasan
industri, terutama etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan keperibadian sebagai
pengusaha agribisnis agar para pelaku sistem agribisnis dapat memiliki persepsi dan sikap
yang sama tentang: visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama yang
dirumuskan dengan cara terbuka. Tujuan penyuluhan sistem agribisnis harus jelas kearah
terbentuknya perilaku agribisnis yang berkebudayaan industri. Metode penyuluhannya
maupun media komunikasi yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan agar lebih beragam,
inovatif dan kreatif sesuai dengan kebutuhan sasaran penyuluhan.
Penyuluhan sistem agribisnis juga memerlukan perubahan perilaku penyuluh, menjadi
penyuluh sistem agribisnis yang professional. Penyuluh akan semakin efektif apabila secara
sungguh-sungguh mampu menghayati materi penyuluhan sistem agribisnis, dan makin
berkemampuan tinggi dalam menerapkan keanekaragaman metode penyuluhan dan media
komunikasi kepada sasaran penyuluhan secara tepat dan bijak. Strategi pendekatan
“penyuluhan sistem agribisnis” juga memerlukan beberapa prakondisi, yakni: syarat
keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition).
15
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. 1995. “Sembilan Puluh Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia (1905-1995)” Di dalam:
Dinamika dan Persektif Penyuluhan Pertanian pada Pembangunan Pertanian Jangka Panjang
Tahap Kedua. Prosiding Lokakarya; Bogor, 4-5 Juli 1995. Bogor: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. hlm 39-134.
Amirin, T.M. 1996. Pokok-Pokok Teori Sistem. Ed. Ke-1, Cet. Ke-6. Rajawali Pers. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. Cet Ke-2. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Dahama, O.P., dan O.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. New
Delhi: Oxford & IBH Publishing CO.
Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Sistem agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional.
Edisi Pertama. Jakarta.
Downey, W.D., dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Ed. Ke-2, Cet. Ke-3. R. Ganda.S.
dan A. Sirait, Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Agribusiness Management.
Jarmie, M.Y. 1994. “Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian Indonesia.” [Disertasi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana.
Kast, F.E., dan J.E. Rosenzweig. 1995. Organisasi dan Manajemen. Jilid 1, Ed. Ke-4, Cet. Ke-4. A.
Hasyani Ali Penerjemah. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Terjemahan dari:
Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. New York: Fredrick A. Praeger. Inc.Publishers.
Rogers, E.M. 1969. Modernization Among Peasant: The Impact Of Communication. New York: Holt,
Rinehart, and Winston, Inc.
Samsudin, U.,1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Cet. Ke-3. Bandung:
Binacipta.
Slamet, M., dan P.S. Asngari. 1969. Penyuluhan Peternakan. Jakarta: Dirjen Peternakan.
________, D.P. Tampubolon, M. J. Hanafiah, dan A. Hamim. 1996. Manajemen Mutu Terpadu di
Perguruan Tinggi. Jakarta: HEDS Project.
Simatupang, P., 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai strategi Agribisnis dan Pembangunan
Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Bogor: Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.
Soekanto, S. 1990. sosiologi suatu Pengantar. Edisi Baru Ke empat. Cetakan Keduabelas. Penerbit
CV. Rajawali, Jakarta.
Solahuddin, S. 1999. Visi Pembangunan Pertanian Abad 21. Cet. Ke-1. Diedit oleh: Arief Satria dan
Amirudin Saleh. ISNB: 979-493-066-0/tahun 1999. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suparta, N. 2001. Perilaku Agribisnis dan Kebutuhan Penyuluhan Peternak Ayam Ras Pedaging.
[Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana.
16