The Induction of Shoots, Multiplication, and Rooting of Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke by in Vitro
The Induction of Shoots, Multiplication, and Rooting of Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke by in Vitro
The Induction of Shoots, Multiplication, and Rooting of Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke by in Vitro
1 2 2 3
Aziz Akbar M , Eny Faridah , Sapto Indrioko , dan Toni Herawan
1
Program Magister Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
email: [email protected]
2
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
3
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakart, Indonesia
Tanggal diterima: 18 Desember 2015, Tanggal direvisi: 14 Februari 2016, Disetujui terbit: 20 Maret 2017
ABSTRACT
Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke is including one of superior agarwood-producing plants and naturally
growing in Eastern Indonesia as Nusa Tenggara and Papua. Indonesia has been trading agarwood products
both domestically and overseas which one of them is agarwood produced by G. versteegii. The purpose of this
study was to develop an in vitro culture method for mass propagation of G. versteegii. Shoot induction
conducted on MS medium supplemented with Benzyl Amino Purine (BAP) 0.7; 1.0; 1.5; and 2.0 mg/l. The
multiplication of shoots conducted on MS medium supplemented with the best concentration of hormones Benzyl
Amino Purine (BAP) from shoot induction phase. The rooting of shoots conducted on half strength MS medium
supplemented with interaction of hormones Napthalene Acetic Acid (NAA) 0.01 mg/l with concentration of
hormones Indole-3-Butyric Acid (IBA) 1.0; 2.0; 3.0; and 4.0 mg/l. Epicotyl explant with a given concentration
level of the hormones BAP 0.7 mg/l produce the highest rates number of shoots and shoot length compared to
other explant respectively 4.8 shoots and 0.41 cm within 6 weeks. The best explant developments in the best
medium able to promote the growth of the length and number of shoots are 0.28 shoots and 0.3 cm within 4
weeks. Explants easiest, quickest and most high- sprouting ability as a factor of success in terms of
multiplication is epicotyl. The combination treatment of material explant with concentration of BAP only affect
to growth of shoots length. The combination treatment of hormone NAA with concentration of hormones IBA
has no effect against root formation and growth root length.
Keywords: induction of shoot, multiplication, rooting, in vitro, Gyrinops versteegii
ABSTRAK
Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke termasuk salah satu tumbuhan penghasil gaharu superior dan hanya terdapat
di Indonesia bagian timur yaitu Nusa Tenggara dan Papua. Indonesia telah memperdagangkan produk gaharu
dimana salah satunya dihasilkan oleh G. versteegii baik dalam negeri ataupun luar negeri. Tujuan penelitian ini
adalah pengembangan metode budidaya in vitro untuk perbanyakan massal dari jenis ini. Penelitian ini
dilaksanakan secara tiga tahap yaitu induksi tunas, multiplikasi, dan perakaran. Tahap induksi tunas dilakukan
pada media MS yang diberi tambahan hormon BAP (Benzyl Amino Purine) dengan konsentrasi 0,7; 1,0; 1,5; dan
2,0 mg/l. Tahap multiplikasi dilakukan pada media MS yang diberi hormon BAP dengan konsentrasi terbaik
dari tahap induksi tunas. Tahap perakaran dilakukan pada media ½ MS yang diberi tambahan hormon NAA
(Naphthalene Acetic Acid) 0,01 mg/l dengan hormon IBA (Indole-3-Butyric Acid) konsentrasi 1,0; 2,0; 3,0; dan
4,0 mg/l. Materi eksplan epikotil dengan diberi tingkat konsentrasi hormon BAP 0,7 mg/l menghasilkan jumlah
tunas dan panjang tunas tertinggi dibandingkan eksplan lainnya yaitu berturut-turut 4,8 tunas dan 0,41 cm dalam
waktu 6 minggu. Perkembangan eksplan terbaik dalam media terbaik dapat meningkatkan jumlah tunas dan
pertumbuhan panjang tunas berturut-turut yaitu 0,3 tunas dan 0,28 cm dalam waktu 4 minggu. Eksplan yang
paling mudah, cepat dan paling tinggi kemampuan bertunasnya sebagai faktor keberhasilan dalam hal
multiplikasi adalah epikotil. Kombinasi perlakuan antara materi eksplan dengan konsentrasi BAP hanya
mempengaruhi pertumbuhan panjang tunas. Kombinasi perlakuan hormon NAA dengan konsentrasi hormon
IBA tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap pembentukan akar dan pertumbuhan panjang akar.
Kata kunci: induksi tunas, multiplikasi, perakaran, in vitro, Gyrinops versteegi
1
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 11 No. 1, Juni 2017, p. 1 - 13
2
Induksi Tunas, Multiplikasi dan Perakaran Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke secara in vitro
Aziz Akbar M, Eny Faridah, Sapto Indrioko, dan Toni Herawan
masih belum banyak dilakukan. Begitu pula ruang kultur dengan kelembaban 52 % dan
dengan penelitian induksi akar pada eksplan photoperiodic 16 jam terang dengan 20-40 µ
G. versteegii yang belum pernah dilakukan. E/m2 (8 jam gelap pukul 17.00-24.00), dan suhu
Oleh karena itu, perlu adanya penelitian o o
22 C-26 C. Penelitian ini dilaksanakan tiga
mengenai penentuan penggunaan metode tahap, pertama yaitu tahap induksi tunas.
propagasi mikro yang sesuai seperti konsentrasi Perlakuan yang digunakan berupa bagian
atau kombinasi antar zat pengatur tumbuh agar eksplan dan konsentrasi hormon BAP. Eksplan
dapat mendukung pertumbuhan serta yang digunakan adalah bagian dari kecambah
perkembangan baik tunas dan akar pada eksplan G. versteegii, antara lain bagian epikotil,
G. versteegii dan pemilihan bagian eksplan G. kotiledon, hipokotil, dan radikula. Eksplan
versteegii yang sesuai untuk mendukung tersebut kemudian dikulturkan secara in vitro ke
kemampuan eksplan dalam memproduksi tunas dalam botol kultur pada laminar air flow
dan akar. Hal tersebut diupayakan agar dapat cabinet. Botol kultur menggunakan media dasar
mendukung keberhasilan propagasi mikro jenis MS dan ditambah hormon BAP dengan
G. versteegii. konsentrasi 0,7; 1,0; 1,5; dan 2,0 mg/l. Tahap
awal ini menggunakan 10 kali ulangan,
II. METODE PENELITIAN
sehingga totalnya adalah 160 unit penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Pengamatan induksi tunas dilakukan selama 6
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan minggu.
Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH), Tahap kedua adalah multiplikasi, eksplan
berlokasi di daerah Purwobinangun, Pakem, yang digunakan yaitu eksplan terbaik hasil
Sleman, Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan tahap induksi tunas. Eksplan kemudian
pada bulan Februari hingga bulan Agustus 2015. disubkultur secara in vitro selama 4 minggu
Bahan tanaman adalah biji G. versteegii yang pada media dasar MS yang diberi konsentrasi
berasal dari daerah Mataram, Nusa Tenggara hormon terbaik dari tahap sebelumnya. Pada
Barat. Biji G. versteegii kemudian disterilisasi tahap ini tidak terdapat perlakuan, hanya
dua kali yaitu pertama, di luar laminar air flow mengetahui perkembangan lanjutan dari tahap
cabinet menggunakan campuran larutan pertama. Total unit penelitian yang digunakan
surfaktan anionik 16,38 % dengan natrium adalah eksplan yang masih hidup selama tahap
salisilat 0,15% dan benomyl 1 gr/ 500 ml. pertama (tahap induksi tunas).
Kedua, sterilisasi di dalam laminar air flow Tahap ketiga adalah induksi perakaran.
cabinet menggunakan larutan alkohol 70% Eksplan yang digunakan adalah tunas pada
selama 1 menit dan sodium hypochlorite 2% eksplan dari hasil tahap multiplikasi. Tunas
selama 15 menit. Biji yang telah steril kemudian pada eksplan terlebih dahulu diseleksi dengan
dikecambahkan secara in vitro pada media dasar kriteria minimal panjang tunas 0,5 cm dengan
White hingga muncul 2 daun (6 minggu). batang tunas yang gemuk dan kuat. Eksplan
Selanjutnya, kecambah di potong bagian kemudian disubkultur secara in vitro selama 4
epikotil, kotiledon, hipokotil, dan radikula untuk minggu pada media dasar ½ MS dan diberi
digunakan sebagai eksplan. kombinasi perlakuan antara hormon NAA 0,01
Penelitian ini secara umum menggunakan mg/l dengan konsentrasi IBA 1,0; 2,0; 3,0; dan
metode rancangan acak lengkap (RAL). Setelah 4,0 mg/l. pada tahap ini terdapat perlakuan
dilakukan kultur, botol kultur kemudian berupa variasi pemberian kombinasi konsentrasi
diinkubasi di rak kultur yang dilengkapi lampu hormon NAA dan IBA. Tahap ketiga (induksi
fluorocent pada ruang kultur dengan kondisi perakaran) ini menggunakan 9 kali ulangan,
lingkungan yang sama yaitu kondisi lingkungan sehingga totalnya adalah 36 unit penelitian.
3
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 11 No. 1, Juni 2017, p. 1 - 13
III. HASIL DAN PEMBAHASAN pada media tumbuh yang baru. Hendaryono dan
Wijayani (2012) menjelaskan kondisi browning
A. Tahap induksi tunas
dikarenakan kehabisan nutrisi dan
1. Persentase eksplan hidup, pertumbuhannya berhenti sehingga pada
terkontaminasi, dan mati interval waktu tertentu eksplan harus
Persentase hidup eksplan tertinggi dipindahkan ke dalam media tumbuh yang
terdapat pada perlakuan eksplan epikotil dengan baru. Konsentrasi BAP 1,5 mg/l pada tiap
konsentrasi BAP 0,7 mg/l (M1E1) yaitu 100%. materi eksplan mengalami kontaminasi terbesar.
Beberapa eksplan mengalami kematian pada Kontaminasi yang terjadi tersebut
minggu ke-5. Persen kematian eksplan adalah dimungkinkan karena oleh faktor teknis dan
beragam pada tiap perlakuan. Beberapa eksplan faktor eksternal. Faktor teknis yaitu pengalaman
warna tunasnya berubah menjadi coklat dan keterampilan dalam mengkulturkan eksplan
(browning) sebelum mengalami kematian. ketika di laminar air flow cabinet. Faktor
Browning pada eksplan dimungkinkan karena eksternal yaitu lama penyimpanan dan kondisi
eksplan tersebut terlambat untuk dipindahkan penyimpanan botol kultur tersebut.
Keterangan : Konsentrasi BAP 0,7 mg/l (M1), Konsentrasi BAP 1,0 mg/l (M2), Konsentrasi BAP 1,5 mg/l (M3),
Konsentrasi BAP 2,0 mg/l (M4), Epikotil (E1), Kotiledon (E2), Hipokotil (E3), dan Radikula (E4).
Gambar 1. Persentase eksplan yang hidup, terkontaminasi, dan mengalami kematian hingga pengamatan ke-
18 (selama 6 minggu)
2. Kondisi tunas tunas hanya epikotil (E1) dan kotiledon (E2),
Tunas adalah proliferasi massa jaringan sedangkan hipokotil (E3) dan radikula (E4)
yang belum terdiferensiasi. Tunas yang muncul hanya sampai membentuk kalus saja.
pada eksplan merupakan fase respon Kombinasi perlakuan konsentrasi BAP 0,7 mg/l
perkembangan eksplan akibat perlukaan saat dengan eksplan epikotil (M1E1) memiliki rerata
melakukan kultur dan pengaruh perlakuan yang waktu muncul tunas tercepat dibandingkan yang
diberikan untuk beregenerasi menjadi tanaman lain yaitu sekitar 7 hari setelah kultur, sementara
lengkap (Ochat & Power, 1992; Hendaryono & lainnya sekitar 9-11 hari. Kecepatan waktu
Wijayani, 2012). Pembentukan tunas muncul tunas pada eksplan kotiledon lebih lama
merupakan salah satu indikator keberhasilan dibanding epikotil yaitu sekitar 33 hari setelah
dalam kultur jaringan. Eksplan yang terbentuk kultur.
4
Induksi Tunas, Multiplikasi dan Perakaran Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke secara in vitro
Aziz Akbar M, Eny Faridah, Sapto Indrioko, dan Toni Herawan
(A)
(B)
Keterangan : Konsentrasi BAP 0,7 mg/l (M1), Konsentrasi BAP 1,0 mg/l (M2), Konsentrasi BAP 1,5 mg/l (M3),
Konsentrasi BAP 2,0 mg/l (M4), Epikotil (E1), Kotiledon (E2), Hipokotil (E3), dan Radikula (E4)
Gambar 3. Dinamika Pertumbuhan Rerata Jumlah Tunas selama Pengamatan Berdasarkan A) Tingkat
Konsentrasi Hormon BAP dan B) Materi Eksplan
Gambar 3 menjelaskan bahwa rerata (M1E1) adalah 4,8 tunas dalam waktu 6 minggu.
jumlah tunas tertinggi pada perlakuan eksplan Rerata jumlah tunas terendah pada perlakuan
epikotil dengan konsentrasi BAP 0,7 mg/l eksplan kotiledon dengan konsentrasi BAP 2
5
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 11 No. 1, Juni 2017, p. 1 - 13
mg/l (M4E2) yaitu 0,1 tunas. Tetapi, bila dilihat hipokotil dan radikula sehingga lebih mudah
secara sendiri-sendiri baik materi eksplan dalam proses pembelahan sel dan pembentukan
maupun media hormon BAP, rerata jumlah tunas (Wulandari, 2002). Ketiga, eksplan
tunas yang dihasilkan oleh materi eksplan hipokotil dan radikula kekurangan cadangan
epikotil (E1) memiliki rata-rata jumlah tunas makanan, sehingga eksplan hanya
tertinggi yaitu 3,125 tunas (Gambar 3B). mengandalkan penyerapan nutrisi hara dari
Sedangkan, rerata jumlah tunas tertinggi yang media tumbuh saja tanpa adanya pembentukan
dihasilkan oleh media hormon BAP adalah tunas (Wulandari, 2002). Terlebih lagi, tidak
hormon BAP 0,7 mg/L (M1) yaitu 1,2 tunas adanya daun pada eksplan hipokotil dan
(Gambar 3A). Bila dilihat dari jumlah tunas radikula untuk proses fotosintesis meskipun
yang muncul berdasarkan materi eksplannya pada bagian tersebut sudah terbentuk kalus dan
(Gambar 3B), Eksplan epikotil (E2) memiliki mengandung klorofil. Proses fotosintesis lebih
jumlah tunas yang muncul tertinggi kemudian banyak dilakukan melalui daun dalam
kotiledon. Jumlah tunas yang muncul pada mendukung metabolisme suatu tanaman
eksplan kotiledon rata-ratanya adalah 0,1 tunas, dibanding organ tanaman lainnya.
sehingga pada grafik (Gambar 3B) garis untuk Jumlah tunas yang dihasilkan oleh
eksplan kotiledon sama dengan eksplan eksplan epikotil lebih banyak dibandingkan
hipokotil (E3) dan radikula (E4). Sedangkan pada eksplan kotiledon. Hal ini dimungkinkan
eksplan hipokotil dan radikula tidak ada tunas pada eksplan epikotil telah terdapat daun yang
yang muncul. Ada dan tidaknya tunas yang mampu membantu secara optimal dalam proses
muncul pada materi Eksplan dapat dilihat pada fotosintesis untuk menghasilkan energi. Energi
Gambar 4. tersebut sebagai sumber tenaga untuk keperluan
metabolisme eksplan. Selain itu, eksplan
epikotil telah memiliki bentuk awal meristem
yang nantinya mengalami proliferasi dan
menjadi tunas ketika distimulasi oleh zat
pengatur tumbuh (George & Sherrington, 1984).
Eksplan kotiledon menghasilkan jumlah tunas
A B
yang sedikit dapat dimungkinkan hal tersebut
dimungkinkan karena posisi eksplan kotiledon
yang vertikal saat kultur, sehingga inisiasi kalus
dan pembentukan tunas hanya terpusat pada
permukaan bawah eksplan dan terendam oleh
media dasar. Menurut Pierik (1997) posisi
C D eksplan horisontal waktu kultur dapat
Gambar 4. Eksplan yang telah Membentuk Tunas mendukung pembentukan tunas pada beberapa
A) Epikotil (E1), B) Kotiledon (E2), C) tanaman.
Hipokotil (E3), dan D) Radikula (E4) Bila dilihat dari pertumbuhan jumlah
Eksplan hipokotil dan radikula belum tunas, hasil ini serupa dengan penelitian
mampu dalam membentuk tunas. Hal tersebut Sudharson, Anbazhagan, Balachandran dan
dimungkinkan karena antara lain : pertama, zat Arumugam (2014) pada Hybanthus
pengatur tumbuh yang diberikan belum cukup enneaspermus dan Bhusale, Dubashi, Mali dan
optimal bagi eksplan untuk beregenerasi. Rathod (2011) pada berbagai varietas tanaman
Kedua, eksplan epikotil dan kotiledon lebih pisang, menyebutkan dimana semakin
bersifat meristematik dibandingkan eksplan meningkat konsentrasi BAP jumlah tunas dan
panjang tunasnya menurun. Hal tersebut
6
Induksi Tunas, Multiplikasi dan Perakaran Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke secara in vitro
Aziz Akbar M, Eny Faridah, Sapto Indrioko, dan Toni Herawan
dimungkinkan bahwa konsentrasi sitokinin yang sehingga perlu adanya analisis lanjut mengenai
tinggi atau BAP yang melebihi kadar optimum materi eksplan apa yang paling berpengaruh
dapat menyebabkan jumlah tunas menurun dan dalam hal pembentukan tunas (Tabel 2).
terhambatnya perkembangan tajuk dan tunas Sedangkan, pada analisis keragaman
(Tiwari, Tiwari, & Singh, 2000). Penyebab pertumbuhan panjang tunas menyebutkan
lainnya adanya perbedaan jumlah tunas pada bahwa pertumbuhan panjang tunas hanya
tiap eksplan, mungkin bisa dikarenakan ukuran dipegaruhi secara nyata oleh kombinasi materi
eksplan, semakin kecil ukuran eksplan maka eksplan dengan konsentrasi hormon BAP (Tabel
waktu insiasi tunas pun akan butuh waktu yang 3). Analisis lanjut mengenai kombinasi materi
lama (Harahap, et al., 2014). Hasil analisis eksplan dengan konsentrasi hormon BAP apa
keragaman menyebutkan bahwa hanya materi yang paling berpengaruh dalam hal
eksplan yang memiliki pengaruh yang nyata pertumbuhan panjang tunas (Tabel 4).
terhadap pembentukan jumlah tunas (Tabel 1),
Tabel 2 menunjukan hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa pemilihan materi eksplan
materi eksplan terhadap pembentukan tunas yang tepat akan lebih efektif dan mudah
pada eksplan. Tabel 2 memperlihatkan bahwa digunakan dalam kultur jaringan untuk
materi eksplan epikotil (E1) adalah eksplan yang pembentukan tunas.
paling tinggi dalam hal pembentukan tunas
yaitu sebanyak 4,36 tunas. Hal tersebut
7
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 11 No. 1, Juni 2017, p. 1 - 13
8
Induksi Tunas, Multiplikasi dan Perakaran Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke secara in vitro
Aziz Akbar M, Eny Faridah, Sapto Indrioko, dan Toni Herawan
pada plantlet. Sebelum mengkulturkan eksplan tersebut bertujuan agar tunas eksplan dapat
hasil tahap induksi ke botol kultur baru, kalus mengalami pertumbuhan dan perkembangan
pada eksplan dikurangi terlebih dahulu. Hal nantinya, bukan pada kalus.
Gambar 5. Dinamika Pertumbuhan A) Rerata Jumlah Tunas dan B) Rerata Panjang Tunas pada Eksplan
Terbaik dalam Media yang Terbaik Selama Pengamatan Subkultur
Peningkatan jumlah tunas pada eksplan lainnya yaitu karena kesesuaian zat pengatur
terjadi sekitar 16 hari atau 2 minggu setelah yang diberikan saat tahap multiplikasi.
kultur. Rerata Jumlah tunas mengalami
C. Tahap perakaran
peningkatan menjadi 5,1 tunas dalam waktu 4
Kondisi perakaran yang baik yaitu
minggu. Rerata Jumlah tunas ini meningkat 0,3
ditinjau dari segi jumlah akar dan panjang akar,
tunas dari tahap induksi tunas sebelumnya.
karena dapat mempengaruhi keberhasilan hidup
Pertumbuhan panjang tunas mengalami
eksplan ketika ditumbuhkan diluar botol kultur
peningkatan sekitar 3-5 hari atau 1 minggu
saat proses aklimatisasi. Eksplan yang
setelah kultur dilakukan. Rerata panjang tunas
digunakan adalah tunas dari eksplan hasil
meningkat menjadi 0,58 cm dalam waktu 4
pengamatan akhir tahap multiplikasi. Tunas
minggu. Rerata panjang tunas meningkat 0,28
kemudian diseleksi dengan kriteria minimal
cm dari tahap induksi tunas.
panjang tunas 0,5 cm. Tahap perakaran ini
Perbedaan perkembangan tiap eksplan
diberikan perlakuan berupa kombinasi hormon
dalam hal panjang dan jumlah tunas pada
NAA 0,01 mg/l dengan konsentrasi hormon
penelitian ini dimungkinkan karena faktor
IBA (1,0 mg/l, 2,0 mg/l, 3,0 mg/l, dan 4,0 mg/l).
respon eksplan terhadap media baru subkultur
Tahap ini menunjukkan keberhasilannya
dalam menyerap hara. Sebagian eksplan
menggunakan kombinasi IBA dan NAA dalam
kemungkinan kandungan hara dalam tubuhnya
memacu tumbuhnya akar pada eksplan. Aplikasi
menurun sehingga ketika disubkulturkan ke
kombinasi IBA dan NAA bisa menginduksi
media baru, eksplan tersebut merespon dalam
pembentukan akar saat kultur jaringan dan
bentuk pertumbuhan tunas baru dan panjang
auksin eksogen ini bisa berikteraksi dengan
tunas. Sebagian tunas eksplan lainnya yang
auksin internal yang mana tidak bisa bersintesis
tidak mengalami pertumbuhan tunas baru dan
akibat jaringan/organ yang terbatas dan kecil
panjang tunas dimungkinkan karena pada tubuh
sehingga kemampuan auksin internal dalam
eksplan masih memiliki kandungan hara yang
membentuk perakaran terbatas. Terlebih lagi
cukup dari kultur sebelumnya. Kemungkinan
kemampuan IBA yang superior dibanding
auksin lainnya karena sifatnya yang stabil dan
9
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 11 No. 1, Juni 2017, p. 1 - 13
tidak mudah dalam memecah enzim yang mendukung pembentukan akar (Salih, Shmarey,
penting digunakan dalam metabolisme atau & Dabagh, 2016).
Keterangan: Hormon NAA 0,01 mg/l (NA), Konsentrasi IBA 1,0 mg/l (IB1), Konsentrasi IBA 2,0 mg/l (IB2),
Konsentrasi IBA 3,0 mg/l (IB3), dan Konsentrasi IBA 4,0 mg/l (IB4)
Gambar 6. Persentase Eksplan Hidup, Berkalus, Berakar, Mati, dan Terkontaminasi Hingga Pengamatan Ke-
12 (Selama 4 Minggu)
Keterangan: Hormon NAA 0,01 mg/l (NA), Konsentrasi IBA 1,0 mg/l (IB1), Konsentrasi IBA 2,0 mg/l (IB2),
Konsentrasi IBA 3,0 mg/l (IB3), dan Konsentrasi IBA 4,0 mg/l (IB4)
Gambar 7. Dinamika Pertumbuhan A) Rerata Jumlah Akar dan B) Panjang Akar Tiap Perlakuan hingga
Pengamatan Ke-12 (Selama 4 minggu)
Rerata jumlah akar tertinggi terdapat pada Sharma (2013) pada tanaman Catharanthus
kombinasi perlakuan hormon NAA 0,01 mg/l roseus yaitu meningkatnya konsentrasi IBA
dengan konsentrasi hormon IBA 2,0 mg/l lebih dari 6 mg/l menyebabkan perkembangan
(NAIB2) yaitu 1,11 akar (Gambar 7A). Gambar jumlah akar pada eksplan menurun. Hal itu
7A juga memaparkan bahwa peningkatan dimungkinkan pemberian dosis auksin yang
konsentrasi IBA lebih dari 2,0 mg/l dapat tinggi akan menyebabkan pertumbuhan eksplan
menurunkan jumlah akar yang terbentuk. menjadi terhambat, baik itu tunas maupun
Hasiljumlah akar yang menurun seiring perakaran (Rostiana & Seswita, 2007; Rajora, et
meningkatnya penambahan konsentrasi auksin al., 2013). Beberapa eksplan ada yang tidak
sesuai dengan penelitian Rajora, Sharma dan mengalami pembentukan perakaran. Hal
10
Induksi Tunas, Multiplikasi dan Perakaran Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke secara in vitro
Aziz Akbar M, Eny Faridah, Sapto Indrioko, dan Toni Herawan
tersebut kemungkinan kurangnya konsentrasi dihambat oleh etilen yang dipicu akibat kinerja
NAA yang diberikan, karena menurut Fuchs hormon auksin di dalam sel tumbuhan, terutama
(1986) hormon NAA juga memiliki peran dalam jika auksin eksogen ditambahkan akan
meningkatkan jumlah akar. kemungkinan meningkatkan akumulasi etilen tersebut (George
lainnya adalah pembentukan akar pada eksplan & Sherrington, 1984).
11
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 11 No. 1, Juni 2017, p. 1 - 13
masing-masing eksplan yang berbeda-beda tesis penulis yang menjadi persyaratan dalam
terhadap auksin yang diberikan dan waktu yang mencapai jenjang strata 2.
dibutuhkan eksplan dalam memacu
pertumbuhan dan perpanjangan akar karena DAFTAR PUSTAKA
NAA dan IBA memiliki sifat translokasi auksin Ashraf, M.F., Aziz, M.A., Kemat, N., & Ismail, I.
(2014). Effect of cytokinin types,
yang agak lambat dan aktivitasnya juga lambat concentrations and their interactions on in
(Harahap, et al., 2014). Ketiga, eksplan masih vitro shoot regeneration of Chlorophytum
memiliki kandungan auksin endogen yang borivilianum Sant. & Fernandez. Electronic
Journal of Biotechnology, 17, 275-279.
tinggi didalam tubuhnya sehingga pemberian
Bhusale, U.P., Dubhashi, S.V., Mali, N.S., &
auksin eksogen bisa menyebabkan perpanjangan
Rathod, H.P. (2011). In vitro shoot
akar terhambat. multiplication in different species of banana.
Asian Journal of Plant Science and Research,
IV. KESIMPULAN 1(3), 23-27.
CITES. (2004). Cop 13 prop. 49: Consideration of
Penelitian yang dilakukan terbatas pada
proposals for amendment of appendices i and
penentuan penggunaan metode propagasi ii, 1-9.
G. versteegii yang sesuai dengan hasil yaitu Fuchs, H.W.M. (1986). Root regeneration of rose
bahwa materi eksplan epikotil dengan plants as influenced by applied auxins. Acta
konsentrasi BAP 0,7 mg/l (M1E1) memiliki Horticulture,189, 13-19.
jumlah tunas dan panjang tunas tertinggi untuk George, E.F. & Sherrington, P.D. (1984). Plant
tahap induksi tunas. Epikotil merupakan materi propagation by tissue culture. London:
Eastern Press.
eksplan yang paling mudah, cepat dan paling
Harahap, F., Poerwanto, R., Suharsono, Suriani, C.,
tinggi kemampuan bertunasnya untuk
& Rahayu S. (2014). In vitro growth and
multiplikasi subkultur tunas gaharu (G. rooting of mangosteen (Garcinia mangostana
versteegii). Pemberian hormon BAP pada tiap L.) on medium with different concentrations
materi eksplan hanya berpengaruh terhadap of plant growth regulator. HAYATI Journal of
Biosciences, 21(4), 151-158.
pertumbuhan panjang tunas eksplan saat tahap
Hartmann, H.T., Kester, D. E., & Davies, F.T.
induksi tunas. Penambahan kombinasi hormon (1990). Plant Propagation: Principles and
NAA dan IBA terhadap eksplan tunas gaharu Practices (5th ed.). New Jersey: Prentice-Hall
(G. versteegii) tidak berpengaruh pada International Inc.
pembentukan jumlah akar dan pertumbuhan Hendaryono, D.P.S., & Wijayani, A. (2012). Teknik
panjang akar saat tahap perakaran. kultur jaringan: Pengenalan dan petunjuk
perbanyakan tanaman secara vegetatif
modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
UCAPAN TERIMA KASIH
Herawan, T., & Hendrati, R.L. (1996). Petunjuk
Penulis mengucapkan banyak terima teknik kegiatan kultur jaringan. Yogyakarta:
kasih kepada Balai Besar Penelitian dan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Tanaman Hutan (BBPPBPTH) Purwobinangun, Jensen, A. (2003). Domestication of aquilaria spp.
and rural poverty-socio-economic and genetic
Yogyakarta khususnya Laboratorium Kultur
aspect of the planting boom in the “wood of
Jaringan atas segala usaha dan dukungan yang the gods”. NAFRI Workshop Proceedings
diberikan baik finansial, moral, tenaga, Shifting Cultivation and Poverty Eradication
In The Uplands Of The Lao PDR, 233-239.
administrasi, serta sarana dan prasarana
laboratorium kultur jaringan pada penelitian ini Moncalean, P., Rodriguez, A., & Fernandez, B.
(2001). In vitro response of actinidia
sehingga dapat terlaksana dengan baik dan deliciosa to different BA incubation periods.
lancar. Penelitian ini merupakan bagian dari Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 67(3),
257-266. New York : Springer
12
Induksi Tunas, Multiplikasi dan Perakaran Gyrinops Versteegii (Gilg.) Domke secara in vitro
Aziz Akbar M, Eny Faridah, Sapto Indrioko, dan Toni Herawan
Mucharrohmah. (2011). Pengembangan Teknologi Salih, M.I., Shmarey, I.A.A., & Dabagh, F.M.K.A.
Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan (2016). Indole-3-Butyric Acid and
Masyarakat. Pengembangan Gaharu di Naphthalene Acetic Acid impact on in vitro of
Sumatera, 1-30. Mariana and Nemaguard rootstocks. IOSR
Journal of Agriculture and Veterinary
Mulyaningsih, T., & Yamada, I. (2007). Notes on
Science, 9(7), 50-53.
Some Species of Agarwood in Nusa
Tenggara, Celebes, and West Papua. Salisbury, F.B., & Ross, C.W. (1995). Fisiologi
tumbuhan jilid 3: Perkembangan tumbuhan
Muswita. (2011). Pengaruh konsentrasi bawang
dan fisiologi lingkungan (4th ed.). Bandung:
merah (Alium cepa L.) terhadap pertumbuhan
ITB Bandung.
stek gaharu (Aquilaria malaccensis OKEN).
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sidiyasa, K., & Mira, K.N. (2009). Beberapa sifat
Sains, 13(1), 15-20. dasar dari benih pohon penghasil gaharu
(Aquilaria microcarpa) di KHDTK Kamboja,
Ochat, S.J., & Power, J.B. (1992). Plant regeneration
Kalimantan Timur. Mitra Hutan Tanaman,
from cultured protoplast of higher plant.
4(2), 69-79.
Plant Biotechnology: Comprehensive
Biotechnology, (Suppl. 2). Oxford: Pergamon Sumarna, Y. (2012). Budidaya pohon penghasil
Press. gaharu. Bogor: Pusat Litbang Produktivitas
Hutan.
Pierik, R.L.M. (1997). In Vitro Culture of Higher
Plants. Dordrech: Kluwer Academic Shudarson, S., Anbazhagan, M., Balachandran, B., &
Publishers. Arumugam, K. (2014). Effect of BAP in vitro
propagation of Hybanthus enneaspermus (L.)
Rajora, R.K., Sharma, N. Kr., & Sharma, V. (2013).
Muell, an important medicinal plant.
Effect of plant growth regulators on
International Journal of Current
micropropagation of Catharanthus roseus.
Microbiology and Applied Sciences, 3(8),
International Journal of Advanced
397-402.
Biotechnology and Research, 4(1), 123-130.
Tiwari, V., Tiwari, K.N., & Singh, B.D. (2000).
Rostiana, O., & Seswita, D. (2007). Pengaruh Indole
Comparative studies of cytokinins on in vitro
Butyric Acid dan Naphtaleine Acetic Acid
propagation of Bacopa monniera. Plant Cell,
terhadap induksi perakaran tunas piretrum
Tissue and Organ Culture, 17, 435-459.
(Chrysanthemum cinerariifolium
(Trevir.)Vis.) klon Prau 6 secara in vitro. Wulandari, R.S. (2002). Pengaruh pemberian auksin
Buletin Littro, XVIII(1), 39-48. dan sitokinin terhadap pertumbuhan eksplan
kultur jaringan pada Gmelina arborea Linn.
Sabdin, Z.H.M., Muid, S., & Sani, H. (2011).
Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas
Micropropagation of Aquilaria malaccensis
Gadjah Mada.
Lamk. and Aquilaria microcarpa Baill.
Research Bulletin Faculty of Resource Zulkarnain. (2014). Kultur jaringan tanaman: Solusi
Science and Technology, 2, 3-5. perbanyakan tanaman budidaya (3th ed.).
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Salguero, J. (2000). Exogenous Effect on Root
Growth and Ethylene Production in Maize
Primary Roots.
13
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 11 No. 1, Juni 2017, p. 1 - 13
14