Pergeseran Bahasa Dan Identitas Sosial Dalam Masyarakat Minangkabau Kota: Studi Kasus Di Kota Padang

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 25

PERGESERAN BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL

DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU KOTA:


STUDI KASUS DI KOTA PADANG1
Rina Marnita AS
Universitas Andalas, Padang

ABSTRACT

Minangkabau is a bilingual diglossic community where the Indonesian


and Minangkabau languages live side by side with its own communicative
function. However, during the last three decades, the Indonesian language has
been increasingly used not only in public places for formal purposes but also
at home among family members in daily communication. Working under the
framework of Hymes’ (1964) sociolinguistic ethnography and implementing
Fishman’s (1970) domain theory, a study is conducted in Minangkabau speech
community in Padang, the capital city of West Sumatra Province. The study
aims to investigate language choice and language attitude of the Minangkabau
as well as to examine the socio-cultural determinants motivating the choice
and the attitude. It reveals that different age group perform different pattern
of language choice; adoloscents speak more Indonesian than teenagers,
adults and older speakers. This indicates the language shifting, that is from
Minangkabau to Indonesia, to some degree has been in progress in the speech
community. People’s positive attitude toward Indonesian as the language of
the educated people has motivated most young families in Padang to choose
Indonesian as the first language of their children. The prestige of nonformal
Jakartan Indonesian languages has attracted the youth to use the variety of
these languages in their social interaction.
Keywords: language choice, language attitude, language shift, social identity,
Minangkabau and Padang

1
Tulisan ini adalah satu bagian dari hasil penelitian untuk disertasi penulis untuk program doktoral
di ATMA, Universitas Kebangsaan Malaysia. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada para pembimbing, yaitu: Prof. Teo Kok Seong, Dr. Chong Shin, dan Prof. James
T. Collins.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 139


PENDAHULUAN

Pada saat ini, bahasa Indonesia telah memperoleh status sebagai


bahasa yang berprestise, yaitu sebagai bahasa golongan menengah
berpendidikan serta menjadi bahasa kaum elit Indonesia (Sneddon 2003:
140-142). Dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia telah mencapai
fungsi simboliknya sebagai bahasa pemersatu, pemberi identitas, dan
pembawa kewibawaan (lihat Alwi dan kawan-kawan 1993:14-21).
Seperti yang dijelaskan oleh Sneddon (2003: 140-147) dan Smith-
Hefner (2009: 57), tercapainya status ini erat sekali hubungannya
dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru (1968-1998) dalam bidang
bahasa, khususnya, dan bidang pembangunan ekonomi secara umum.
Landasan dasar kebijakan pemerintah Orde Baru dalam perencanan
bahasa nasional didasarkan pada keyakinan bahwa standarisasi,
modernisasi dan intelektualisasi bahasa Indonesia memainkan peranan
yang penting dalam menciptakan inovasi dan komunikasi informasi
sebagai komponen dari pembangunan ekonomi Indonesia. Pusat Bahasa
memiliki peranan yang sangat sentral dalam mengimplementasikan
undang-undang tentang pembakuan bahasa Indonesia sehingga
penguasaan pada bahasa Indonesia yang benar identik dengan bahasa
orang yang terdidik dan profesional. Kebijakan bahasa pemerintah
yang menjadikan bahasa sebagai simbol nasionalisme telah membawa
bahasa Indonesia ke status yang tinggi dan fungsi komunikatif sebagai
bahasa bangsa di dunia modern, dan yang sekaligus juga memperoleh
nilai-nilai sebagai simbol dari sesuatu yang dapat disebut identitas,
yaitu Indonesia asli (Sneddon 2003).
Terlepas dari kritikan beberapa pihak terhadap kebijakan pemerintah di
bidang bahasa yang dipandang telah menempatkan bahasa Indonesia
secara ekslusif sebagai bahasa kaum elite, bukan bahasa orang
kebanyakan, pengetahuan masyarakat terhadap bahasa Indonesia
mengalami peningkatan. Emmerson (2005, dalam Simpson 2007)
melaporkan bahwa jumlah penutur bahasa Indonesia meningkat tajam
dari 40,5% pada tahun 1971 menjadi 60,8% pada tahun 1980, dan
mencapai 82,8% pada tahun 1990. Kenaikan ini juga sangat terkait
dengan kebijakan pemerintah Orde Baru dalam bidang pendidikan
dasar (Smith-Heifner 1989) yang memberikan kesempatan pendidikan
yang luas kepada rakyat. Bahasa yang merupakan bahasa ibu sekitar 5%
penduduk Indonesia pada awal-awal abad ke-20 (Sneddon 2003:140),

140 | Masyarakat Indonesia


sekarang digunakan oleh lebih dari 90% orang Indonesia (Sneddon
2003:11; Errington 1998:2).
Sementara itu, bahasa Indonesia ragam informal yang dikenal dengan
bahasa Jakarta telah berkembang menjadi bahasa generasi muda di
kota-kota besar di Indonesia. Varian bahasa Indonesia ini telah menjadi
bahasa informal yang berprestise dan digunakan sehari-hari dalam
hampir semua situasi informal di Jakarta, sebagaimana dinyatakan oleh
(Sneddon 2006:288). Ragam bahasa ini banyak menggunakan kata-
kata pinjaman dari bahasa Melayu Betawi (lihat Muhajir 1984), seperti
kata nggak atau enggak, kok, banget, kangen atau partikel sih, deh, nih,
tuh dan dong maupun kata ganti diri lu dan gue.
Selain ragam informal ini, berkembang pula bahasa ABG (Anak Baru
Gede) di kalangan anak-anak remaja (ABG) dan “bahasa gaul” di
kalangan remaja dan mahasiswa. “Bahasa gaul”, yang awalnya, sekitar
tahun 1970, merupakan bahasa para bromocorah ini semakin luas
digunakan setelah dipopulerkan oleh artis Debby Sahertian yang menulis
Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1992. Pengetahuan dan kemampuan
menggunakan bahasa atau istilah yang baru dikaitkan dengan derajat
pergaulan seseorang dalam komunitas perkotaan modern. Seseorang
akan dianggap tidak “gaul” jika dia tidak mengetahui arti dari istilah
tertentu (Kurnia 2011). Smith-Heifner (2007:184) menjelaskan bahwa
bahasa gaul menekankan pada identitas sosial yang dimiliki bersama
dan rasa kebersamaan di antara penggunanya.
Sikap positif bangsa terhadap bahasa Indonesia, bagaimana pun telah
memberikan kontribusi pada melemahnya posisi bahasa daerah di
berbagai daerah di Indonesia. Banyak penelitian membuktikan bahwa
telah terjadi pergeseran bahasa di berbagai daerah di Indonesia (Gunarwan
2006; Poedjosudarmo 2006; Smith-Hefner 2009). Membandingkan
data sensus dari tahun 1980 dan 1990, Hein Steinhauer (1994:768,
dalam Smith-Hefner (2009:57)) melaporkan bahwa jumlah orang muda
yang menyatakan bahwa bahasa sehari-hari mereka bahasa Jawa turun
16,3% secara konsisten periode itu, sedangkan jumlah yang menyatakan
menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari meningkat sebesar 38,9
persen. Poedjosudarmo (2006) mengamati bahwa kebanyakan anak
muda Jawa memiliki kompetensi yang sangat rendah dalam bahasa
Jawa, sebuah bahasa yang penggunaannya bergantung pada status sosial
lawan tutur. Dalam berbicara dengan seseorang yang dianggap lebih

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 141


tinggi kelas sosialnya, banyak mereka yang memilih menggunakan
bahasa Indonesia untuk tujuan komunikasi sosiolinguistik yang aman.
Smith-Hefner (2009) menemukan bahwa varian formal bahasa Jawa
kini semakin terbatas penggunaannnya pada komunikasi antara orang-
orang tua di lingkungan tempat tinggal, pada acara-acara ritual formal,
dan pertunjukan-pertunjukan seni tradisional.
Di Bali, meskipun bahasa Bali masih berfungsi sebagai simbol identitas
lokal dari orang Bali (Suastra 2006), secara sosiolinguistik bahasa Bali
berada di bawah ancaman, baik secara internal maupun eksternal, seperti
demokratisasi bahasa (Suandi 2006; Ardika 2006) dan meningkatnya
pengenalan dan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
(Suastra 2006).
Fenomena bahasa yang sama juga ditemukan dalam masyarakat Minang
di perkotaan. Bahasa Indonesia telah memasuki domain keluarga dan
menggunakan bahasa di tempat umum telah menjadi tren di kalangan
anak muda (Marnita dan Oktavianus 2006; Marnita dan Suraiya
2008). Kebanyakan anak-anak dari keluarga muda kelas menengah
berpendidikan menggunakan bahasa Indonesia, atau menggunakan
kedua-dua bahasa, yaitu Minang dan bahasa Indonesia, sebagai bahasa
keluarga di rumah.
Tidak sebagaimana pada beberapa dekade yang lalu di mana orang
Minang dewasa merasa malu dan aneh berbicara sesama mereka dalam
bahasa Indonesia (Anwar 1980), sekarang orang Minang dari segala
kelompok umur dan latar belakang sosial merasa nyaman dan biasa
berbicara dalam bahasa Indonesia. Fenomena ini dapat dengan mudah
ditemukan pada tempat-tempat umum terutama tempat yang berkaitan
dengan gaya hidup modern, seperti pasar swalayan, restoran fast-food,
supermarket, salon, kolam renang dan lobi-lobi hotel. Banyak orang
Minang di rantau yang pulang ke kampung juga merasa nyaman
berbicara dalam bahasa Indonesia dengan keluarganya, sanak saudara,
dan teman-teman mereka yang tinggal di kampung.
Diperkirakan berbagai pengaruh sosial-budaya telah berkontribusi
terhadap perubahan pola penggunaan bahasa masyarakat Minangkabau.
Meningkatnya paparan bahasa Indonesia di media masa, bersama
dengan ragam bahasa Melayu Jakarta dan bahasa gaul, serta

142 | Masyarakat Indonesia


meningkatnya penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, adalah
beberapa kemungkinan faktor eksternal. Faktor-faktor internal seperti
sikap masyarakat terhadap bahasa ibu dan budaya lokal mereka serta
perubahan dalam cara hidup dan berpikir masyarakat diperkirakan
ikut berkontribusi terhadap perilaku bahasa ini. Asumsi-asumsi ini
memerlukan sebuah penelitian untuk mendapatkan bukti-bukti empiris.

METODE KAJIAN

Penelitian ini dilakukan di kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera


Barat, dan menggunakan pendekatan sosiolinguistik etnografi Hymes
(1964). Penelitian yang mengimplementasikan teori domain atau
ranah Fishman (1970) ini menerapkan metode survei, observasi,
dan wawancara. Responden adalah orang Minangkabau yang dipilih
berdasar metode purposive sampling. Mereka adalah orang Minang
yang tinggal di berbagai jenis perumahan (kelas menengah atas,
menengah, dan perumahan umum) dari jenis kelamin dan usia yang
berbeda. Responden yang terlibat dalam penelitian di kota Padang
berjumlah 350 orang (dari 500 angket yang disebarkan) terdiri dari 70
orang anak-anak, 110 orang remaja, 110 orang dewasa dan 60 orang
tua. Dari keseluruhan responden, terdapat 150 orang laki-laki dan 200
orang perempuan.

PADANG SEBAGAI WILAYAH KAJIAN

Padang adalah ibukota provinsi Sumatera Barat. Dalam hal populasi,


Padang merupakan yang terbesar ketiga (986.000) setelah Medan
(1.770,000) dan Palembang (1.277.000), dari sepuluh daerah perkotaan
di Sumatera. Jumlah penduduk kota Padang termasuk besar yaitu
880.190 terdiri dari 406.368 pria dan 431.822 wanita (BPS 2009), dengan
luas wilayah 694.960 km persegi yang terbagi menjadi 11 kecamatan.
Penduduk mayoritas kota Padang adalah orang Minangkabau. Etnis lain
adalah dari suku Nias, Jawa, Keling atau Tamil, Cina, dan kelompok
etnis lainnya. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk Padang bervariasi
dari satu kecamatan ke kecamatan lain. Daerah yang berkembang
dan tumbuh lebih cepat adalah kecamatan sekitar pusat kota. Laju
pertumbuhan penduduk adalah 2,09% per tahun (Padang Dalam Angka
2008).

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 143


Padang adalah pusat komersial regional yang berkembang dari hanya
sebuah nagari atau perkampungan di abad ke-14 menjadi sebuah
kota dengan karakteristik perkotaan di sekitar abad ke-17. Menurut
Colombijn (1994), Padang memperoleh ciri-cirinya sebagai sebuah
kota dengan adanya pembentukan pos perdagangan Perusahaan Hindia
Timur Belanda (VOC) pada tahun 1663. Kota Padang berkembang
pesat setelah pemerintah kolonial Belanda mengambil alih kota
pada tahun 1819 dan menjadikannya sebagai pangkalan militer serta
pelabuhan ekspor untuk produk-produk dari dataran tinggi. Dengan
pembangunan kereta api dan pelabuhan, yang diselesaikan pada tahun
1892, dan pembangunan jalan lintas Sumatera pada tahun 1920, Padang
memperoleh fungsinya sebagai pusat transportasi. Pembukaan lapangan
udara Tabing pada tahun 50-an memperkuat fungsi ini. Pendirian pabrik
semen di Indarung pada tahun 1910 menambah fungsi kota Padang
sebagai kota industri. Sampai hari ini, kota Padang tetap menjadi pusat
kegiatan ekspor impor komoditi lokal seperti semen, batu bara dan
gambir.
Padang juga merupakan pusat pendidikan, terutama pendidikan tinggi,
untuk wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya. Universitas Andalas dan
Universitas Negeri Padang, telah menarik minat siswa dari berbagai
daerah di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Riau untuk belajar
dan tinggal di Padang. Di samping dua universitas tua tersebut, ada 67
perguruan tinggi (negeri dan swasta) lainnya di Padang. Dilihat dari
daya tampung perguruan tinggi ini, dapat diperkirakan bahwa lebih
dari 20.000 lulusan sekolah menengah datang ke Padang setiap tahun
untuk belajar di berbagai perguruan tinggi tersebut. Beberapa sekolah
menengah atas terbaik di Sumatera Barat terdapat di Kota Padang.
SMA 1, 2, 3, dan 10 adalah beberapa dari sekolah terbaik di antara di
antara 88 sekolah menengah atas yang ada di Padang. Sekolah-sekolah
favorit ini juga menjadi tujuan pelajar-pelajar daerah yang prestasi
akademiknya bagus.

LANDASAN TEORITIS

Penelitian ini menggunakan analisis domain Fishman (1964) sebagai


landasan teoritis utama untuk melihat pola pilihan bahasa orang Minang
di kota Padang. Beberapa konsep dasar terkait dengan pilihan bahasa
dijadikan sebagai batu pijakan dalam melihat variabel pilihan bahasa,

144 | Masyarakat Indonesia


motivasi dibalik pilihan bahasa dan konsekuensi dari pilihan bahasa
masyarakat. Konsep-konsep dan teori-teori yang terkait dengan pilihan
dan sikap bahasa seperti kedwibahasaan, pergeseran bahasa serta usia,
sebagai salah satu variabel dalam pilihan bahasa, dibicarakan di bawah
ini.
Analisis Domain
Analisis domain atau ranah adalah konsep yang dikemukakan pertama
kali oleh Joshua Fishman (1964) dalam studi sosiologis terhadap
pilihan bahasa. Domain adalah konteks tertentu di mana satu varian
bahasa dianggap lebih tepat untuk digunakan daripada yang lain
(Fasold 1993:183). Domain dipahami sebagai kumpulan aspek-aspek
seperti lokasi, topik, dan peserta tutur. Seorang dikatakan dalam domain
keluarga jika ia berbicara kepada anggota keluarganya tentang topik
sehari-hari. Domain lain yang digunakan oleh Fishman adalah transaksi
dan persahabatan.
Analisis domain terkait dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat
bilingual dengan diglosia (Fishman 1986). Dalam masyarakat
dengan diglosia (Ferguson 1959 dalam Fasold 1984), bentuk L (Low)
‘rendah’ digunakan dalam situasi informal seperti di rumah, sedangkan
bentuk H (High) ‘tinggi’ digunakan untuk situasi yang lebih formal
seperti pendidikan, agama, dan pemerintah. Fishman menggunakan
pengumpulan data penyelidikan sosial dengan skala besar termasuk
kuesioner laporan diri, (self-reported questionnaires), tes asosiasi kata,
berserta analisis faktor dan analisis varian. Dalam penelitian ini, pilihan
bahasa diamati pada domain-domain rumah, umum dan agama.

Bilingualisme dan Pilihan Bahasa


Masyarakat Minangkabau secara umum adalah masyarakat yang
bilingual atau dwibahasa. Menurut Saville-Troike (2003), komunikasi
dalam komunitas bilingual dapat diungkapkan melalui bahasa
yang berbeda, atau dialek dan ragam bahasa yang berbeda, saluran
komunikasi yang berbeda, dan register yang berbeda. Sifat dan tingkat
keragaman ini berkaitan dengan institusi sosial masyarakat yang ada,
yang ada kalanya memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat besar
dalam, hal jenis kelamin, usia dan status sosial, serta perbedaan dalam
hubungan antara pembicara, tujuan interaksi, dan situasi bicara pada
saat berlangsungnya percakapan.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 145


Dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa, selalu ada pilihan
bahasa atau ragam bahasa untuk digunakan. Coulmas (2005)
menyatakan bahwa orang membuat pilihan bahasa untuk berbagai
tujuan. Seseorang memilih kata-kata, ragam bahasa, gaya bahasa,
dan bahasa untuk memenuhi berbagai tujuan komunikasi yang terkait
dengan penyampaian ide, keanggotaan atau pemisahan diri dari suatu
kelompok atau komunitas, dan pembentukan atau pembelaan dominasi
diri.
Leiberson (1964, dalam Fishman 1986) menyatakan bahwa pilihan
terhadap bahasa jauh dari suatu kecenderungan sesaat yang bersifat
acak. Pilihan bahasa adalah sebuah fenomena bahasa yang dapat
diamati dan dijelaskan serta dapat ditentukan oleh berbagai faktor atau
motivasi (Coulmas 2005). Stratifikasi sosial (Labov 1966; 1972), jenis
kelamin atau gender (Eckert 2000; Chamber and Trudgill 2004; Labov
1966, 2001), usia (Romaine 1984; Milroy 1976; Holmes 1992) dan
variasi dalam bahasa yang sama (Bloom dan Gumperz 1972) adalah di
antara faktor yang mempengaruhi pilihan bahasa seseorang. Pemilihan
bahasa juga dapat ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang
terkait dengan persepsi seseorang atau kelompok terhadap penutur atau
kelompok-kelompok di lingkungan yang lebih luas (Herman 1977).
Kajian-kajian tentang masyarakat bilingual telah membuktikan bahwa
pilihan bahasa sering merupakan aspek kunci dari pembentukan
identitas. Studi yang dilakukan oleh Fuller (2007) terhadap murid-murid
di kelas bilingual Spanyol-Inggris di Meksiko-Amerika menunjukkan
bahwa pilihan bahasa berperan sebagai mekanisme untuk membangun
identitas sosial. Smith-Hefner (2007) berpendapat bahwa “bahasa gaul”
yang digunakan oleh kebanyakan remaja di Jakarta merupakan media
penyampaian aspirasi pemuda sebagai kelompok sosial baru melalui
hubungan-hubungan yang lebih egaliter, dan secara interaksi lebih
mudah, secara personal lebih ekspresif dan secara psikologis lebih
individual.

Pergeseran Bahasa dan Variabel Usia


Istilah language shift atau pergeseran bahasa ini pertama kali
diperkenalkan oleh Joshua Fisman pada tahun 1964 (dikutip dalam
Fishman et al. 2006) dan kemudian dipelajari para ahli dari berbagai
sudut pandang dan pendekatan. Apple dan Muysken (1987) menjelaskan

146 | Masyarakat Indonesia


bahwa pergeseran bahasa dinyatakan telah berlangsung jika suatu
masyarakat secara bersama-sama meninggalkan bahasa mereka demi
bahasa kelompok yang dominan. Pergeseran bahasa secara paksa terjadi
apabila suatu bahasa dipaksakan kepada kelompok yang dominan.
Hal ini kemudian akan menghasilkan monolingualisme karena bahasa
kelompok yang dominan akan hilang atau mati. Matinya berbagai
bahasa lokal sering disebabkan oleh kontrol para penjajah atau oleh
kontrol ekonomi.
Arah pergeseran bahasa dapat dibedakan atas dua: yaitu pergeseran
ke arah bahasa mayoritas atau bergengsi (Apple dan Muysken 1987)
atau ke arah bahasa kelompok kuat yang dominan (Holmes 1992:60).
Menurut Holmes, bahasa yang dominan adalah bahasa yang biasanya
dikaitkan dengan status, prestise, dan kesuksesan sosial serta digunakan
oleh komunitas yang luas untuk pembicaraan resmi dan seremoni.
Bahasa dominan juga bahasa orang muda terutama bintang-bintang
populer, bintang film, dan model.
Coulmas (2005: 158-159) menjelaskan bahwa pilihan bahasa seseorang,
keluarga, dan seluruh masyarakat adalah salah satu penyebab terjadinya
pergeseran bahasa. Sebagaimana halnya manusia, menurut Coulmas,
bahasa adalah hidup dan dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Namun, setiap generasi akan melakukan inovasi-inovasi
terhadap bahasa yang diwarisinya dari generasi sebelumnya.
Selanjutnya Coulmas mengidentifikasi bahwa jenis kelamin, usia dan
kelas sosial merupakan variabel-variabel lain yang menyebabkan
terjadinya variasi dalam pilihan bahasa. Usia merupakan variabel
dalam pilihan bahasa suku minoritas Ikwerre di Port Harcourt City,
Nigeria. Dalam studinya tentang pilihan dan sikap bahasa Ihemere
(2007) menemukan bahwa pilihan bahasa orangtua (83 tahun) sangat
berbeda dari pilihan bahasa anak-anak (13 tahun). Ihemere mengaitkan
perbedaan ini dengan sikap bahasa penutur yang berbeda dari satu
generasi ke generasi lainnya.

Sikap Bahasa
Sikap merupakan gagasan yang penting dalam studi bilingualisme dan
multilingualisme. Sikap bahasa adalah sikap terhadap bahasa itu sendiri
(Ferguson 1959 dalam Fasold 1993). Fasold (1993) berpendapat bahwa

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 147


tingkat akurasi perilaku seseorang terhadap sikap bahasanya dapat
diprediksi dan sering mencerminkan sikap terhadap anggota-anggota
kelompok etnis tertentu.
Menurut Fasold (1984), motivasi di balik sikap bahasa bervariasi.
Kalau pengetahuan terhadap suatu bahasa merupakan suatu penanda
prestise, maka motif pemerolehan terhadap bahasa itu disebut bersifat
instrumental. Kalau seseorang ingin belajar bahasa dalam rangka untuk
mengidentifikasi dirinya dengan anggota masyarakat penutur, motif
ini disebut integratif. Namun, motivasi juga bisa muncul dari rasa
keberhasilan akademis atau dari rasa keberhasilan komunikatif. Semua
ini memotivasi sikap seseorang untuk belajar dan berbicara bahasa
asing atau bahasa kedua.
Beberapa penelitian tentang sikap bahasa terbatas pada sikap penutur
terhadap bahasa itu sendiri. Subyek penelitian biasanya ditanya tentang
persepsi mereka terhadap bahasa tertentu, apakah bahasa itu 'kaya',
'miskin', 'indah'​​, ‘jelek’ dan seterusnya (Fasold 1993). Di sini, peneliti
hanya melakukan tabulasi dan analisis perilaku riil subjek. Beberapa
studi lain juga mencakup tanggapan atau persepsi responden terhadap
penutur dari bahasa atau varian bahasa tertentu. Pandangan yang
moderat, seperti yang disarankan oleh Fasold, mencakup pandangan
terhadap varian bahasa dan juga pandangan terhadap pengguna bahasa
atau varian bahasa tersebut.
Selanjutnya Fasold menyebutkan bahwa studi sikap bahasa dapat
dilakukan melalui metode langsung (direct method) atau tidak langsung
(indirect method). Dalam metode langsung, subjek diminta menanggapi
pertanyaan kuesioner atau wawancara mendalam berkaitan dengan
pendapat mereka tentang bahasa tertentu (Agheyesi dan Fishman
1970). Pada metode tidak langsung subjek tidak diberitahu bahwa sikap
bahasa mereka sedang diamati.
Ihemere (2006) menyatakan bahwa sikap bahasa merupakan salah
satu penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Masyarakat di beberapa
negara bekas jajahan Eropa berpandangan bahwa penguasaan terhadap
bahasa bekas penjajah akan meningkatkan kesempatan mereka untuk
memperoleh promosi sosial dan kemajuan ekonomi. Sikap bahasa
suku Ikwerre terhadap bahasa mayoritas terkait dengan keuntungan-
keuntungan sosio-politik dan ekonomi sehingga para orangtua

148 | Masyarakat Indonesia


membiarkan anak-anak mereka mempelajari bahasa Inggris dan
mengabaikan bahasa ibu mereka (Ihemere 2007, dalam Ihemere 2007:
252)
PENGGUNAAN BAHASA DALAM VARIABEL USIA

Usia menjadi variabel sosial yang signifikan dalam fenomena


penggunaan bahasa di Minangkabau; kelompok usia yang berbeda
menampilkan perilaku bahasa yang berbeda. Hal ini dapat diamati
dari adanya perbedaan persentase responden dari kelompok usia
berbeda yang menggunakan bahasa Minang dan bahasa Indonesia
dalam komunikasi mereka dengan anggota keluarga inti (ayah-ibu) dan
keluarga luas (kakek/nenek) di rumah.

Tabel 1.
Pilihan Bahasa dalam Komunikasi Anak-Orangtua

Terdapat perbedaan kecenderungan penggunaan bahasa berdasar usia


dalam komunikasi antara anak dengan orangtua mereka di rumah.
Sebagaimana yang tampak pada tabel 1, persentase responden yang
menggunakan bahasa Minang (BM) dalam berkomunikasi dengan
orangtua mereka semakin kecil dengan semakin mudanya usia.
Persentase jumlah responden anak-anak yang menggunakan bahasa
Minang lebih kecil (59%) dibandingkan persentase jumlah responden
orang tua (71%). Begitu juga halnya dengan persentase pengguna dialek
Minang. Sebaliknya, anak-anak merupakan kelompok usia yang paling
banyak (28%) menggunakan bahasa Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam
pola penggunaan bahasa antara generasi tua dan muda dalam komunikasi
mereka dengan orangtua mereka di rumah, seperti yang digambarkan
dalam diagram 1.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 149


Gambar 1.
Penggunaan BI dan BM dalam Komunikasi Anak dengan Orangtua

Diagram 1 menunjukkan bahwa pilihan bahasa orang Minang


berkorelasi dengan usia: penggunaan bahasa Minang semakin menurun
seiring semakin mudanya usia responden. Merujuk Coulmas (2005),
dapat diartikan bahwa telah terjadi pergeseran dalam pola penggunaan
bahasa dalam komunikasi antara orangtua dan anak dalam ranah
keluarga.
Fenomena yang sama juga ditemukan dalam komunikasi antara cucu
dan kakek atau nenek. Seperti yang tampak pada tabel 2, orang tua
merupakan responden yang paling banyak (69%) menggunakan bahasa
Minang sedangkan anak-anak adalah yang paling rendah (54%). Hal
sebaliknya terjadi dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Tabel 2.
Pilihan Bahasa dalam Komunikasi Cucu dengan Kakek/Nenek

Hal ini menggambarkan adanya perbedaan tingkat penggunaan bahasa


Minang dan bahasa Indonesia dalam komunikasi antara cucu dengan
kakek/nenek oleh kelompok usia yang berbeda (Gambar 2).

150 | Masyarakat Indonesia


Gambar 2.
Penggunaan BI dan BM dalam Komunikasi Cucu dengan Kakek/Nenek

Sebagaimana yang disampaikan Chambers et al (2004: 358), perbedaan


dalam variasi bahasa berdasarkan perbedaan usia memberikan indikasi
sedang terjadinya perubahan bahasa dalam suatu komunitas bahasa.
Perbedaan dalam pilihan bahasa oleh kelompok usia berbeda (Tabel 1)
juga dapat menjadi indikasi sedang terjadinya perubahan pola penggunaan
bahasa dalam masyarakat Minangkabau. Kecenderungan menggunakan
bahasa Indonesia oleh anak-anak dan remaja dalam komunikasi sehari-
hari di rumah tangga menjadi pertanda bahwa keluarga-keluarga muda
Minangkabau mulai dengan sadar meninggalkan bahasa ibu mereka dan
beralih pada bahasa Indonesia. Fenemona yang sama juga ditemukan
oleh Smith-Hefner (2009) dalam studinya terhadap penggunaan
bahasa dalam masyarakat Jawa di Yogyakarta. Mahasiswa UGM dan
UIN di Yogyakarta lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia
dengan anak-anak mereka dibandingkan menggunakan bahasa Jawa.
Dalam pandangan mereka, bahasa Indonesia dipandang lebih simpel,
komunikatif dan partisipatif dari bahasa Jawa.

SIKAP BAHASA DAN MOTIVASI SOSIAL

Preferensi linguistik generasi muda masyarakat Minangkabau terhadap


Bahasa Indonesia bagaimanapun juga sangat terkait dengan persepsi
atau pandangan orang Minang terhadap Bahasa Indonesia dan bahasa
ibunya sendiri. Seperti yang disampaikan Ihemere (2006), sikap
bahasa merupakan salah satu penyebab terjadinya pergeseran bahasa.
Respon responden terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam angket yang
berkaitan dengan status, keindahan dan keberadaan bahasa Indonesia
dan bahasa Minang beragam.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 151


Tabel 3 menunjukkan pandangan responden terhadap status dan
eksistensi Bahasa Indonesia. Responden dari semua kelompok umur,
terutama anak-anak, setuju dengan pernyataan bahwa ‘bahasa Indonesia
penting untuk pendidikan dan pekerjaan’. Artinya, masyarakat Minang
dari segala kelompok umur memiliki pandangan yang positif terhadap
status dan fungsi bahasa Indonesia.

Tabel 3.
Respon terhadap Pernyataan ‘BI Penting untuk Pendidikan dan Pekerjaan’

Responden memiliki dua pandangan utama terhadap pengguna atau


penutur bahasa Indonesia, yakni sebagai orang terdidik atau orang biasa
saja (Tabel 4). Namun begitu, terlihat adanya persepsi yang berbeda
antara kelompok usia. Sejumlah responden dewasa (6%) dan remaja
(7%) memandang penutur bahasa Indonesia sebagai orang modern,
sedangkan sejumlah (3%-6%) responden anak-anak memandang
penutur bahasa Indonesia sebagai orang pintar, elite atau metropolitan.
Persepsi ini tidak dimiliki oleh orang tua, bahkan sebagian kecil (6%)
orang tua memandang penutur bahasa Indonesia sebagai orang yang
sombong.

Tabel 4.
Persepsi terhadap Pengguna Bahasa Indonesia

152 | Masyarakat Indonesia


Sikap orang Minang terhadap bahasa Indonesia dan penuturnya secara
umum tidak bertentangan dengan sikap mereka terhadap eksistensi
bahasa Minang dan penutur bahasa Minang. Tabel 5 memperlihatkan
bahwa responden dari seluruh kelompok umur cenderung setuju dengan
pernyataan ‘bahasa Minang harus dipertahankan’.
Tabel 5.
Respon terhadap Eksistensi Bahasa Minang

Pandangan responden terhadap pengguna atau penutur bahasa Minang


umumnya netral (Tabel 6). Namun demikian, anak-anak dan remaja
memiliki pandangan yang agak beragam. Sebagian (6-9%) dari mereka
memandang penutur bahasa Minang sebagai orang yang terpelajar atau
modern, meskipun sebagian (3-7%) memandangnya sebagai orang
kampung.

Tabel 6.
Persepsi terhadap Pengguna Bahasa Minang

Dapat disimpulkan bahwa pandangan bahasa orang Minang berbeda


berdasar kelompok usia. Orang tua memiliki pandangan yang
positif terhadap bahasa Minang dan pandangan yang netral terhadap
penuturnya. Hal ini merupakan suatu temuan yang umum dalam kajian
sosiolinguitik (lihat Ihemere 2007 dan Smith-Hever 2009) dimana
generasi tua ingin mempertahankan bahasa sebagai identitas budaya
mereka. Pandangan mereka yang positif terhadap bahasa Indonesia
dan penuturnya merefleksikan pandangan mereka yang positif terhadap
pendidikan.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 153


Meskipun orang dewasa adalah kelompok usia yang paling mendukung
keberlangsungan eksistensi bahasa Minang, pandangan positif
mereka terhadap fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan
dan bahasa orang terpelajar mendorong mereka untuk menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak-anak mereka. Hal ini
juga didorong oleh pandangan sebagian masyarakat kota terhadap
keindahan bahasa Minang; bahasa Minang dipandang kurang halus
untuk interaksi sosial. Seperti yang disampaikan oleh seorang dosen
Universitas Andalas, bahasa Minangkabau adalah penting sebagai
‘lambang identitas budaya’ (Kramsch: 1998), namun bahasa Minang
kurang halus atau agak kasar untuk digunakan dalam interaksi sosial
orang berpendidikan. Pandangan ini juga berkembang di kalangan
remaja. Beberapa siswa kelas 2 SMA 1 Padang dan mahasiswa FISIP
Universitas Andalas Padang menilai bahasa Indonesia sebagai bahasa
yang lebih halus dan sopan dibandingkan bahasa Minang. Kemungkinan
pandangan ini pula yang menyebabkan bahasa Indonesia semakin luas
digunakan di tempat-tempat umum terutama ditempat-tempat yang
identik dengan kehidupan kota yang modern.
Meskipun remaja juga memiliki sikap yang positif terhadap bahasa
Minang dan pengguna bahasa Minang cukup beragam, pandangan
positif mereka terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa kelompok
orang kota yang “gaul” mendorong mereka menggunakan bahasa
Indonesia dalam interaksi sosial mereka, terutama bila mereka berada
di tempat-tempat kehidupan yang modern seperti pusat perbelanjaan.
Bahasa Minang umumnya digunakan terutama untuk fungsi ekspresif,
yaitu untuk mengekspresikan rasa marah atau senang, serta untuk
bercanda dan mengejek teman.
Anak-anak memiliki pandangan bahasa yang paling berbeda. Meskipun
mayoritas dari mereka memiliki pandangan positif terhadap eksistensi
bahasa Minang, namun sebagian kecil dari mereka memandang
pengguna bahasa Minang sebagai orang kampung. Anak-anak memiliki
sikap yang lebih positif terhadap bahasa Indonesia dan penuturnya
dibandingkan dengan remaja dan generasi sebelumnya. Mereka
mengasosiasikan bahasa dengan latar balakang sosial penuturnya.

154 | Masyarakat Indonesia


BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL

Preferensi terhadap bahasa Indonesia di kalangan generasi muda ini


erat kaitannya dengan pandangan positif orang Minangkabau terhadap
pendidikan dan pandangan hidup modern. Pendidikan merupakan
variabel utama penentu status sosial seseorang di samping profesi.
Dalam masyarakat Minang, urang basikolah ‘orang yang bersekolah’
adalah label yang digunakan untuk orang yang berpendidikan dan
untuk membedakannya dari orang awam. Dalam memotivasi anak-anak
mereka bersekolah, kata sikola ‘sekolah’ sering dikontraskan dengan
kata manggaleh ‘berdagang’ sebagai pilihan lain untuk masa depan.
Status sosial orang yang basikolah dipandang lebih tinggi dari orang
manggaleh meskipun orang manggaleh sering lebih makmur secara
ekonomi.
Sejarah juga menunjukkan bahwa orang Minangkabau memandang
tinggi pendidikan. Seperti yang ditulis oleh Graves (2007), pandangan
positif terhadap pendidikan mulai berkembang dalam masyarakat
Minangkabau sejak Belanda melakukan kebijakan khusus untuk
meningkatkan pendidikan masyarakat Minangkabau pada tahun
1870. Belanda membantu dana pendidikan sekolah-sekolah negeri
dan mengubah Sekolah Radja menjadi sentra pendidikan yang setara
dengan sekolah-sekolah di Hindia Belanda. Masyarakat, terutama
keluarga yang ingin maju, keluarga bangsawan, dan kelas menengah,
memandang bersekolah sebagai sebuah prestise. Kota Gadang, negeri
asal Haji Agus Salim, adalah negeri yang paling banyak mengirim
anak-anak mereka bersekolah di kota Bukittinggi di akhir abad ke-
19 sehingga negeri ini sekarang sepi karena ditinggal penduduknya
merantau.
Sebelum zaman Pemerintahan Orde Baru, daerah Sumatera Barat
dikenal sebagai daerah yang maju dalam bidang pendidikan, bahkan
mengungguli kebanyakan daerah-daerah di Indonesia. Banyak anak-
anak dari luar Sumatera Barat datang untuk belajar ke ranah Minang
(Naim 2009). Sampai sekarang minat masyarakat terhadap pendidikan
tidak pernah menurun. Hal ini didukung oleh data dari Dinas Pendidikan
Kota Padang (Diknas 2008) yang menujukkan terjadinya peningkatan
jumlah siswa sekolah yang belajar di berbagai sekolah di kota Padang
dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 155


Pada zaman sekarang masyarakat Minang lebih bersifat pragmatis
materialistis; pendidikan dijadikan sebagai jalan untuk mencapai
tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Pendidikan yang tinggi diyakini
akan menjamin pekerjaan dengan pendapatan yang lebih baik pula serta
kehidupan yang lebih baik. Menurut Bahar (2006), berdasar cara hidup
dan profesinya, 29% orang Minangkabau, dari 5.475.145 total jumlah
populasi, memiliki orientasi kehidupan yang modern.
Pandangan bahwa bahasa menunjukkan identitas sosial berkembang
luas di kalangan generasi muda Minang yang tinggal di kota. Keluarga
muda berpendidikan memiliki kecenderungan menggunakan bahasa
Indonesia di rumah dengan anak-anak mereka. Pandangan ini juga
ditemukan pada keluarga-keluarga muda kelas bawah yang sering
mengkondisikan anak-anak mereka untuk berbahasa Indonesia di
tempat umum.
Remaja mengidentifikasi diri mereka sebagai orang kota yang modern
dan “gaul” tidak hanya melalui cara berpakaian dan gaya hidup tetapi
juga melalui penggunaan ragam bahasa Indonesia Jakarta. Meskipun
dari hasil survei hanya 1% responden yang menggunakan bahasa Jakarta
dengan orangtua atau kakek/nenek mereka, pengamatan menunjukkan
bahwa ragam ini banyak digunakan di luar rumah oleh pelajar-pelajar
sekolah favorit dan mahasiswa. Pada umumnya siswa SMP 1 dan SMA
1 Padang, sekolah favorit yang terletak di pusat kota, menggunakan
ragam bahasa ini di sekolah. Mereka mengaku menggunakan bahasa
Indonesia terkesan lebih sopan. Hal ini berbeda dengan siswa SMP
8 dan SMA 4 Padang, sekolah favorit yang terletak relatif di pinggir
kota; umumnya siswa menggunakan bahasa Minang sesama mereka di
sekolah.
Mahasiswa mengasosiasikan bahasa dengan status sosial. Sekelompok
mahasiswa FISIP Universitas Andalas mengaku menggunakan bahasa
Indonesia untuk berbicara kepada mahasiswi yang belum mereka
kenal yang dari penampilannya, seperti pakaian, sepatu, handphone,
mobil, mereka anggap termasuk dalam golongan kelas menengah atau
menengah atas. Mereka juga mengaku menggunakan “bahasa gaul”,
yaitu dengan menggunakan kata sapaan gue, lu, coi dan bro sesama
mereka. Sekelompok mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas juga ditemukan menggunakan Bahasa Indonesia dialek Jakarta
sesama mereka di sebuah kantin kampus. Beberapa di antaranya adalah

156 | Masyarakat Indonesia


orang Minang yang selama ini tinggal di Jakarta. Mereka mengaku bahwa
hampir semua mahasiswa di fakultas mereka berbicara dalam bahasa
Indonesia sesama mereka dan dosen untuk semua topik pembicaraan.
Hal ini mungkin sekali terkait dengan image yang dibangun masyarakat
terhadap dokter sebagai profesi yang berprestise.
Umumnya remaja kota Padang berusaha mengklasifikasikan diri
mereka sebagai anak “gaul”, yaitu anak muda yang cool dan uptodate
(Smith-Heifner 2007) dan membedakan diri dari kelompok remaja yang
mereka sebut alay (anak layangan). Sekelompok mahasiswa Jurusan
Sastra Inggris Universitas Andalas menjelaskan bahwa “anak alay”
diidentifikasi dari cara berpakaian yang norak dan tingkah laku yang
over-acting. Biasanya mereka menggunakan bahasa Minang dengan
aksen lokal atau bahasa Jakarta dengan intonasi Minang yang kentara.
Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak daerah yang datang
belajar di kota Padang yang mencoba menjadi orang kota. “Alay”
juga bisa dinilai dari gaya bahasa tulis seseorang yang menggunakan
kombinasi huruf besar dan kecil secara suka-suka, tanda-tanda baca
yang melebihi kebutuhan, kombinasi tanda baca untuk menunjukkan
emosi, dan sebagainya. Tulisan ini ditemukan pada pesan singkat
(SMS) seorang pegawai toko komputer kepada seorang dosen senior
Universitas Andalas: Trm’s kasih s’bLoem&s’sdhNye, dan pada tulisan
seorang mahasiswi di jejaring sosial Facebook: BissMiLLah.....HarI
inI kU pertaRuhkan dan pasrah padaMu ...
Persepsi masyarakat bahwa bahasa Indonesia, formal atau nonformal,
terkait dengan kelas sosial dan modernitas dapat kita lihat dari
kecenderungan pilihan bahasa responden dalam komunikasi mereka
dengan para pelayan di pusat perbelanjaan modern. Gambar 3
memperlihatkan bahwa responden dari seluruh kelompok umur
cenderung menggunakan bahasa Indonesia berbicara kepada pelayan
toko.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 157


Shooping Centres
Bahasa Minang
Dialek Minang
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia Jakarta
B.Minang dan B. Indonesia

Pengamatan selama belanja di Matahari Department Store Padang


menjelang lebaran juga menunjukkan bahwa hampir semua keluarga
muda, dari beragam latar belakang pendidikan dan ekonomi,
menggunakan bahasa Indonesia dengan anak-anak mereka. Banyak di
antara mereka yang tampak memaksakan diri melakukan hal ini karena
anak-anak mereka sering merespon ibunya dengan bahasa Minang.
Dalam hal ini bahasa Indonesia dijadikan alat untuk menunjukkan atau
mengangkat kelas sosial penuturnya.

PUSTAKA ACUAN

Keberhasilan pemerintah dalam menjadikan bahasa Melayu sebagai


bahasa Indonesia dan sebagai bahasa nasional Indonesia sering menjadi
rujukan dalam buku-buku teks dan artikel-artikel ilmiah sosiolinguistik
di dunia. Namun, keberhasilan ini juga menjadi ‘ancaman’ bagi
eksistensi bahasa daerah, bukan saja bahasa bahasa-bahasa minoritas
di daerah timur Indonesia tetapi juga bahasa yang jumlah penuturnya
besar seperti bahasa Jawa, Bali dan Sunda.
Perbedaan dalam pola penggunaan bahasa atau pilihan bahasa oleh
penutur bahasa Minangkabau dari generasi yang berbeda dapat diartikan
sebagai telah atau sedang terjadinya pergeseran bahasa. Meskipun
tidak dapat dikatakan bahwa keberadaan bahasa Minang sekarang
sedang dalam keadaan terancam, kecenderungan keluarga muda
untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keluarga akan
membawa bahasa Minang pada posisi terancam dalam tiga generasi ke
depan.

158 | Masyarakat Indonesia


Persepsi yang positif terhadap bahasa Indonesia dan terhadap penutur
Bahasa Indonesia serta penghargaan yang tinggi terhadap pendidikan
dan orang-orang yang berpendidikan, serta gaya hidup modern di kota
merupakan faktor-faktor yang memotivasi keluarga-keluarga muda
untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam keluarga. Sementara itu,
prestise bahasa Jakarta sebagai bahasa nonformal warga kota Jakarta
yang modern dan trendy atau “gaul” mendorong anak-anak dan remaja
untuk tidak berbicara dalam bahasa Minang.
Keadaan ini mestilah mendapat perhatian dinas pendidikan pemerintah
daerah Sumatera Barat dan pengamat serta pencinta bahasa dan budaya
Minang. Perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan agar bahasa
Minang tidak ditinggalkan oleh penuturnya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Alwi, H , Sonjono Darnowidjojo. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (3rd ed).
Jakarta; Balai Pustaka

Apple, R. and Muysken, P. 1987. Language Contact and Bilingualism. London:


Edward Arnold.

Anwar, K. 1980. Indonesia: the Development and Use of a National Language.


Yokjakarta: Gajah Mada Univ. Press.

Chambers, J.K and P. Trudgill.1980. Dialectology (2nd. edn.). Cambridge Cambridge


University Press.

Chambers, J.K, P. Trudgill and Natalie Schilling-Estes. 2004. The Handbook of


Language Variation and Change (2nd). Victoria: Blackwell Publishing

Colombijn, F. 1994. Patches of Padang: The History of An Indonesia Town in The


Twentieth Century and The Use of Urban Space. Leiden: Research School
CNWS.

Coulmas, F. 2005. Sociolinguistics: The Study of Speakers’ Choice. Cambridge


University Press.

Eckert, P. 2000. Linguistic Variation as Social Change. Oxford Blackwell

Eerdmans, S., Carlo Prevignano, Paul J. Thibault . 2003. Language and Interaction:
Discussions with John J. Gumperz. John Benjamins Publishing Company.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 159


Errington, J.J. 1998. Shifting Languages: Interaction and Identity in Javanese
Indonesia. United Kingdom: Cambridge University Press.

Fasold, R. 1984. Introduction to Sociolinguistics: The Sociolinguistics of Society.


England: Basil Blackwell Publisher Ltd.

Fasold, R. 1993. The Sociolinguistics of Society (5th edition). Oxford: Blackwell


Publishers.

Fasold, R. 2003. The Sociolinguistics of Language. Oxford Blackwell Publisher Ltd.

Fishman, J. and Warshauer, M.E.1964. Language Loyalty in the United States: The
Maintenance and Perpetuation of non-English Mother Tongues by American
Ethnic and Religious Groups. Yeshiva University Press

Fishman, J. 1986. “Domains and the Relationship between Micro and Macrolinguistics”,
in Gumperz and Hymes (Eds) Direction in Sociolinguistics:The Ethnography
of Communication. UK: Basil Blackwell Ltd. UK

Fishman, J. (ed). 1999. Handbook of Language and Ethnic Identity. Oxford University
Press.

Fishman, J.A, Nancy H. Hornberger and Martin Pütz. 2006. Language Loyalty,
Language Planning, and Language Revitalization: Recent Writings and
Reflections from Joshua A. Fishman. United Kingdom: Multilingual Matters
Ltd.

Gumperz, J.J and Dell H. Hymes. 1972. Direction in Sociolinguistics: The Ethnography
of Communication. UK: Basil Blackwell Ltd. UK

Graves, E.E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon terhadap Kolonial
Belanda Abad 19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Herman, S.R. 1977. Exploration in the social psychology of language choice: in J.


A Fishman (ed.) Readings in the Sociology of Language (4th ed.). Mountain
Publisher, The Hague.

Holmes, J.1992. An Introduction to Sociolinguistics. London. Longman.

Hymes, D.1964. Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and


Anthropology. New York: Harper International Edition.

Hymes, D. 1972. “Toward Etnography of Communication: The Analysis of


Communication Events”, in Giglioli 1972 : 22-24.

Hymes, D. 1977. “The Etnography of Speaking”, in Fishman (ed) Readings in The


Sociology of Language (4th ed.). The Hague: Mounton Publisher.

160 | Masyarakat Indonesia


Ihemere, K.U. 2007. A Tri-Generational Study of Language Choice & Shift in Port
Harcourt. USA: Universal Publishers.

Kramsch, c.1998. Languange and Culture. Oxford Univ. Press.

Kurnia, K. (2009). Gaul, in Bahasa Kita. Indonesia Language Online Resouces.

Labov, W. (1966). The Social Stratification of English in New York City. Washington
DC: Centre for Applied Linguistics

Labov, W. 1972. “The Study of Language in Social Context”, in Socio-linguistic


Patterns. Philadelphia: University of Pensylvania Press.

Labov, W. 2001. Principles of Linguistc Change: Social Factors. Oxford: Basil


Blackwell.

Masinambow , E.K.M. & Paul Haenen. 2002. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah.
Jakarta: Yayasana Obor Indonesia.

Milroy, L. 1976. “Investigating linguistic variation in three Belfast working-class


communities”, in Procceding of the Third Annual Conference. Belfast:
Sociological Association of Ireland.Muhajir, 1984. Morfologi Dialek Jakarta:
Afiksasi dan Reduplikasi. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Oetomo, D. 1996. “Bahasa Indonesia dan Kelas Menengah Indonesia”, dalam Yudi
Latif (ed) Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru.
Bandung : Penerbit Mizan

Padang Dalam Angka 2008. BPS Website.

Romaine, S. 1984. The Language of Children and Adoloscents: the acquisation of


communicative competence. New York, NY: Basil Blackwell.

Sahertian, Debby. 1992. Kamus Bahasa Gaul. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Saville-Troike, M. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction. John


Wiley and Sons, 2003 - 336 halaman

Simpson, A. 2007. Language and National Identity in Asia. Oxford: Oxford University
Press.

Smith-Heifner, N.J. 1989. “A Social History of Language Change in Highland East


Java”, in Journal of Asian Studies. 48(2):257–271.

Smith-Heifner, N.J. 2007. “Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesia
Middle Class”, in Journal of Linguistics Antrophology. Volume 17, Issue 2,
pages 184–203.

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 161


Smith-Heifner, N.J. 2009. “Language Shift, Gender, and Ideologies of Modernity in
Central Java, Indonesia”, in Journal of Linguistic Antrophology. Vol. 19. Issue
1. p. 57-77.

Sneddon, J.N, 2003. The Indonesia Language: its History and Role in Modern
Society. Australia: University of South Wales

Sneddon, J.N. 2006. “Colloquial Jakartan Indonesia”, in Pacific Linguistics, 581.


Canberra Austalian National University Press.

Jurnal dan Makalah


Ardika, I Gede. 2006. “Kebijakan, Strategi Dan Revitalisasi Bahasa Bali”. Makalah
yang disampaikan dalam Kongres bahasa Bali VI di Denpasar.

Agheyisi, R. N and Fishman, J. A. 1970. “Language Attitude Studies: A Brief Survey


of Methodology”, in Anthropological Linguistics, 12 (5), 137-157.

Fishman, J. 1965. “Who speak what language to whom?”, in Linguistics Vol. 2, p.


67-88.

Fishman, J. 1967. “Bilingualism with and without diglosia; diglosia with and without
bilingualism”, in Journal of Social Issues. 32:29-38.

Fuller, J.M. 2007. “Language Choice as a Means of Shaping Identiy”, in Journal of


Linguistic Antrophology, Vol. 17. Pp. 105-129.

Gee, J.P., Allen, Anna-Ruth and Clinton, K. 2001. Language, Class and Identity:
Teenagers Fasioning Themselves Through Language, in Linguistics and
Education. No. 12. Vol 2. p. 174-194.

Pearson, B.Z. 2007. “Social Factors in Childhood Bilingualism in The United States”,
in Applied Psycholinguistics 28 (2007), 399–410. Printed in the United States
of America.

Poedjosudarmo, G, 2006. “The Effect of Bahasa Indonesia As A Lingua France on


The Javanese System of Speech Levels and Their Functions”, in International
Journal of Sociology of Language. Vol. 2006/177.

Suandi, Nengah I. 2006. “Potensi Siaran Berbahasa Bali Melalui Media Elektronik
dalam Upaya Pemertahanan Bhasa Bali”. Makalah yang disampaikan dalam
Kongres bahasa Bali VI di Denpasar.

Suastra, I Made. “Bahasa Bali Sebagai Simbol Identitas Manusia Bali” dalam LITERA,
Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 5, Nomor 1,
Januari 2006. ISSN: 1412-2596.

162 | Masyarakat Indonesia


Gunarwan, A. 2006. “Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: akibat persaingan
dengan bahasa Indonesia”, dalam Jurnal Ilmiah MLI, 24, Nomor 1, p. 96-112.

Holmes, J. 1997. “Woman, Language and Identity”, in Journal of Sociolinguistics.


Vol. 1 No 2. p. 195-223,

Marnita, R & Oktavianus. 2008. “Perilaku Berbahasa Masyarakat Minangkabau


Dan Pengaruhnya Terhadap Pemakaian Ungkapan Sebagai Media Pendidikan
informal keluarga”, dalam Jurnal Ilmiah MLI. 26, Nomor 1.

Marnita, R & Suraiya, Lucy. 2011.“Indonesia Language Performance of Minangkabau


Children”, in The Proceeding of the International Scientific Conffrence 2011.
University Kebangsaan Malaysia.

Website
Dinas Pendidikan Kota Padang. www.diknas.padang.org.

Naim, M. 2009. Dengan Buku Menyelamatkan Pendidikan di Sumatera Barat. http://


mochtarnaim.wordpress.com

EDISI XXXVII / NO.1 / 2011 | 163

You might also like