Sultan Ternate Iskandar Djabir Syah Dan Petualangannya Dalam Negara Indonesia Timur, 1946-1950
Sultan Ternate Iskandar Djabir Syah Dan Petualangannya Dalam Negara Indonesia Timur, 1946-1950
Sultan Ternate Iskandar Djabir Syah Dan Petualangannya Dalam Negara Indonesia Timur, 1946-1950
e-ISSN. XXXX-XXXX
Diterima : 02-02-2018.
Direvisi : 10-03-2018
Dipublikasi : 05-04-2018
th
Abstract. This study aims to reconstruct the political participation of Iskandar Djabir Syah (the 47 Sultan of Ternate) in the
establishment of the State of Eastern Indonesia. The study focuses on outlining some political events involving Iskandar Djabir
Syah such as the Malino and Denpasar conferences and becaming the Minister of Home Affairs of the Eastern Indonesia State
for 1949 to 1950 periods. The method used in this paper is a heuristic method that is history, criticism, interpretation and
historiography. The results showed that: (1) the participation of Sultan of Ternate Iskandar Djabir Syah in the unitary state
started in the early independence of the Republic of Indonesia; it was characterized by conducting Malino and Denpasar
conferences in 1946. The establishment of the Eastern Indonesia State became the political inspiration for Iskandar Djabir
Syah to involve as the senate member of the Eastern Indonesia State/NIT representing North Maluku, as well as one of its
designers. (2) As one of the leaders who agreed to the idea of van Mook to form a federalist country in the Malino and
Denpasar conference, so that when the Eastern Indonesia State was formed, he was appointed as the Minister of Home
Affairs in the cabinet of J.E. Tatengkeng for 1949 to 1950 periods. (3) Malino to Denpasar Conference in 1946 initiated by H.J.
van Mook was the Dutch effort to establish the states in order to realize the United States of Indonesia (Republik Indonesia
Serikat/RIS) based on Linggarjati Agreement. At the conference, it was formed the Eastern Indonesia State (Negara Indonesia
Timur/NIT) covering the areas of Sulawesi, Small Sunda (Bali and Nusa Tenggara) and the Maluku Islands.
Keywords: Sultan of Ternate Iskandar Djabir Syah, Political History, Malino and Denpasar Conferences, the Minister of Home
Affairs of Eastern Indonesia State (NIT).
PENDAHULUAN
Iskandar Djabir Syah adalah Sultan Ternate ke-47, dilahirkan di Ternate pada tanggal 4 Maret 1902.
Iskandar Djabir Syah merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan Hi. Usman Syah
(Sultan Ternate ke-46) dan putri Mihir (bangsawan Susupu). Pendidikan formalnya dimulai pada tahun
1912 dengan memasuki Sekolah Melayu (Sekolah Dasar) di Ternate. Setelah tamat dari SD Melayu
pada tahun 1915, ia melanjutkan ke Europese Lagere School (SMP) di Ternate, namun tidak tamat
karena bersama ayahnya Sultan Usman di asingkan oleh Belanda ke Bandung karena dituduh terlibat
pemberontakan di Jailolo (Halmahera Barat) pada 1914. Pada tahun 1917 Iskandar Djabir melanjutkan
sekolahnya ke MULO di Batavia. Selama menimba ilmu di Batavia, banyak berteman dengan tokoh-
tokoh pergerakan, salah satunya Agus Salim yang mengajaknya untuk bergabung dengan organisasi
politik PSI pada tahun 1920-1925. Dari sinilah Iskandar Djabir Syah mengenal politik secara langsung
sehingga mempengaruhi pemikiran politiknya di kemudian hari.
Kiprah politik Iskandar Djabir Syah pada pentas politik nasional, dimulai pada awal kemerdekaan
Republik Indonesia. Sejarah menunjukkan partisipasi politik Iskandar Djabir Syah, ditandai dengan
berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT), pada tanggal 24 Desember 1946. Terbentuknya Negara
Indonesia Timur kemudian menjadi inspirasi politik bagi Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah
(Sultan Ternate ke-47), untuk melibatkan diri sebagai anggota senat NIT mewakili Maluku Utara,
sekaligus merupakan salah satu desainernya. Pada periode tersebut Iskandar Djabir Syah mengambil
47
Rustam Hasyim dan Faisal. 2018. Sultan of Ternate Iskandar Djabir Syah, Political History, Malino and Denpasar Conferences
sikap politik yang berbeda dengan Soekarno, dengan mengikuti konsep negara federal yang digagas
oleh van Mook. Perbedaan persepsi mengenai bentuk dan sistem pemerintahan Indonesia pasca
kemerdekaan yang akan menggantikan bentuk dan sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda
merepresentasikan kedua kubu yang berbeda. Pandangan kaum nasionalis meyakini bahwa keutuhan
Negara Indonesia adalah final dan merupakan kehendak suluruh rakyat Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945. Sementara hal berbeda disampaikan Sultan Iskandar Djabir Syah,
sebagai utusan yang mewakili Maluku Utara dalam konferensi Malino dan Denpasar 1946 mengenai
pembentukan Negara Indonesia Timur. Menurut Iskandar Djabir Syah, bahwa pembentukan negara
federal bukanlah disintegrasi tapi suatu sistem pemerintahan yang tidak berbeda dengan negara
kesatuan. Ide dasar negara federal yang paling subtansial agar terjamin keadilan dalam alokasi sumber
daya, disamping itu memungkinkan manajemen adiministrasi menjadi lebih efektif dan efisien, karena
lingkupnya lebih terbatas. Di samping itu, Negara Indonesia Timur akan menjelma menjadi sebuah
negara yang makmur dan dapat mengembangkan identitasnya sendiri, sebagaimana diinginkan semua
pihak.
Sikap konfrontatif Iskandar Djabir Syah tersebut, mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan
sejumlah kebijakan dalam membatasi peran politik mereka, seperti; pertama, pembubaran dewan raja-
raja (badan eksekutif), terdiri dari Sultan Ternate, Tidore dan Bacan dan Noord Molukken Raat (badan
legislatif) yang mendukung federalisme pada tahun 1950. Konsekuesinya, elite kesultanan tidak lagi
mempunyai instrumen legal-formal dalam mempengaruhi pemerintahan lokal. Kontrol mereka terhadap
birokrasi kemudin digantikan oleh bupati yang dipilih oleh DPRD. Kedua, penghapusan Karesidenan
Ternate dan pembentukan pemerintahan daerah tingkat II Maluku Utara, berdasarkan UU. No. 60 tahun
1958. Konsekuesinya penguasa di tingkat II (Bupati) tidak lagi harus dijabat oleh sultan dan
keluarganya, tetapi dipilih melalui pemilu dalam format politik modern. Ketiga, lahirnya Undang-
Undang Pokok Agraria 1960 tentang pembatasan dan kepemilikan tanah atau pengambil alihan oleh
negara terhadap tanah-tanah swapraja.
Ketika Negara Indonesia Serikat (RIS) bubar dan berganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintahan Presiden Soekarno mengasingkan Iskandar Muhammad
Djabir Sjah ke Jakarta sebagai tahanan politik. Ia dituduh sebagai salah satu tokoh federal. Selama di
Jakarta, ia ditempatkan sebagai salah satu pegawai Departemen Dalam Negeri sejak tahun 1951, hingga
wafat pada 1975. Selama pengasingannya di Jakarta, kesultanan Ternate mengalami kekosongan
pemerintahan. Seluruh kegiatan dan pelaksanaan pemerintahan dijalankan oleh dewan 18 (Gam Raha
dan Bobato Nyagimoi se Tufkange). Kekosongan itu berdampak pada merosotnya legitimasi kekuasaan
elite Kesultanan Ternate akibat hilangnya kontrol politik dan birokrasi di wilayahnya. Kapasitas mereka
hanya sebatas pelengkap struktur pemerintahan hingga berakhirnya pemerintahan Soekarno. Begitu
terbatas dan lemahnya kekuasaan elite Kesultanan Ternate, sehingga nyaris tidak banyak yang bisa
dilakukan. Hampir semua akses yang mengarah ke kepentingan kekuatan lokal, dipastikan terisolasi
selama tak adanya sultan.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan bagaimana strategi yang digunakan Sultan Iskandar Muhammad
Djabir Sjah dalam upaya mempertahankan kekuasaannya pada pemerintah Soekarno, maka alur kajian
akan dimulai dengan menelusuri terlebih dahulu bagaimana peta politik lokal pasca kemerdekaan
Republik Indonesia. Selanjutnya menelusuri aktivitas pendidikan Iskandar Muhammad Djabir Sjah
hingga dilantik menjadi Sultan Ternate ke-47dan Residen Maluku Utara pada 1945. Bagian selanjutnya
akan memaparkan beberapa peristiwa politik seperti; keterlibatan Sultan Iskandar Muhammad Djabir
Sjah dari konferensi Malino dan Denpasar, hingga terpilih menjadi Menteri Dalam Negeri Indonesia
Timur pada 1949. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan mengambarkan secara rinci peristiwa-
peristiwa politik tersebut.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan meliputi empat tahapan kerja yaitu; heuristik, kritik,
interpretasi, dan penulisan (historiografi). Heuristik, adalah upaya penelusuran dan pengumpulan
48
GeoCivic Jurnal Vol 1, Nomor 1, April 2018
sumber-sumber masa lampau. Sumber yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi dua, yaitu sumber
tertulis dan lisan. Sumber tertulis diperoleh dari sejumlah perpustakaan. Selain sumber tertulis juga
sumber lisan yang diperoleh dengan jalan melakukan interview mendalam (dept interview) terhadap
para informan kunci (key informan), yakni para pelaku atau saksi sejarah yang masih hidup hingga saat
ini. Pada tahap ini, dilakukan penelusuran para tokoh yang terlibat maupun saksi dalam perjuangan
kemerdekaan RI 1945. Tokoh-tokoh ini menjadi perhatian dikarenakan untuk mengetahui secara detail
dan juga tentang kejadian-kejadian terlupakan yang selama ini belum terungkap.
Setelah kedua jenis sumber diatas didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan
kritik sumber. Kritik sumber mempunyai dua aspek yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Metode ini
dimaksudkan untuk memberi penilaian mengenai otentik dan kredibilitas sumber-sumber yang dipakai
sebagai acuan. Penelitian ini akan lebih banyak menggunakan sumber-sumber surat kabar dan majalah.
Dalam hubungan ini, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap keterangan terkandung unsur subjektivitas.
Sehingga dalam menganalisa sumber, hendaknya harus selalu bersikap hati-hati karena bagaimanapun
bentuk laporan selalu mengandung unsur-unsur subjektivitas. Dengan demikian, selain mempertajam
metodologi, juga dilakukan uji silang (cross cek) dengan sumber-sumber lisan dan tulisan.
Tahap ketiga adalah interpretasi. Bagian ini berarti menetapkan makna yang saling berkaitan dari fakta
sejarah satu sama lain yang terdapat dalam sumber tertulis dan lisan. Dalam menginterpretasi dan
menganalisis fakta, digunakan metode hermeneutik atau tafsir teks. Metode ini digunakan untuk
menerjemahkan berbagai peristiwa yang terdokumentasi secara lebih mendalam dan menyeluruh
menjadi satu kesatuan yang logis dan harmonis. Interpretasi terhadap sebuah teks dilakukan dengan
menggunakan teori-teori dan konsep ilmu-ilmu politik agar dapat menjelaskan partisipasi masyarakat
Maluku Utara dalam kemerdekaan Republik Indonesia 1945.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konferensi Malino 16 Juli-24 1946: Embrio lahirnya NIT
Berdasarkan restu yang diperoleh dari Pemerintah Belanda, maka van Mook menyelenggarakan
Konferensi Malino 16-24 Juli 1946 di Makasar Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan dijadikan sebagai
tempat penyelenggaraan Konferensi Malino oleh van Mook, disamping pertimbangan politik tentu
sangat spekulatif dan konspiratif mengingat tempat ini secara geografis jauh dari jangkauan kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia. Dengan memanfaatkan wilayah bagian Timur Indonesia yang diduduki
Tentara Australia atas nama Sekutu, secara politik dan keamanan tentu menguntungkannya. Konferensi
ini dihadiri 39 orang anggota senat dari 15 daerah seperti; Bali, Lombok, Riau, Sulawesi Selatan,
Bangka Belitung, Borneo Barat, Borneo Timur, Maluku Utara, Minahasa, Sangir Talaud, Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Neuw Guinea (Irian), Flores, Timor, Sumba, Sumbawa, Borneo Selatan, dan Maluku
Selatan, dengan tujuan membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi
di Indonesia serta rencana pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur.
Pada Konferensi Malino, van Mook menawarkan sistem susunan ketatanegaraan federasi, dengan syarat
bahwa bagian-bagian yang akan merupakan komponen dari federasi itu haruslah merupakan wilayah-
wilayah yang luas dan mempunyai potensi ekonomi, sosial, dan politik yang kuat. Gagasan van Mook
tersebut mendapat tanggapan yang positif dari delegasi Maluku Utara Sultan Ternate Iskandar Djabir
Syah. Bagi Iskandar Muhammad Jabir Syah, pembentukan negara federal bukanlah disintegrasi tapi
suatu sistem pemerintahan yang tidak berbeda dengan negara kesatuan. Ide dasar negara federal yang
paling subtansial adalah terjaminnya keadilan dalam alokasi sumber daya, disamping itu memungkinkan
manajemen adiministrasi menjadi lebih efektif dan efisien, karena lingkupnya lebih terbatas. Di samping
itu Negara Indonesia Timur akan menjelma menjadi sebuah negara yang makmur dan dapat
mengembangkan identitasnya sendiri, sebagimana diinginkan semua pihak.
Secara konseptual, gagasan van Mook tentang negara federal bukanlah hal yang baru bagi Iskandar
Muhammad Jabir Syah. Konsep negara federal sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan sistem
49
Rustam Hasyim dan Faisal. 2018. Sultan of Ternate Iskandar Djabir Syah, Political History, Malino and Denpasar Conferences
pemerintahan yang dianut oleh Kesultanan Ternate. Dalam struktur kesultanan Ternate (Maloko Kie
Raha), masing-masing kerajaan mengurus urusan dalam negerinya sendiri-sendiri. Sementara urusan
keluar, khususnya militer dan keuangan, dibentuk oleh dewan delapan belas yang merupakan wakil-
wakil dari empat kerajaan yang terdiri dari wakil pemerintah dan wakil angkatan perang ditambah
utusan daerah-daerah kerajaan. Dengan mendapat pengakuan dan jaminan dari van Mook, bahwa
bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat menjadi garansi dalam menata harmonisasi dan
menjamin keadilan masyarakat. Sehingga pulau-pulau pinggiran dan daerah-daerah pedalaman yang
jauh dari pusat dapat lebih bebas memekarkan diri. Disamping itu, dengan adanya konsep negara federal
ini memberi ruang kepada para raja-raja di timur indonesia tetap berkuasa.
Konferensi Malino 16-24 Juli 1946 sebagai peletak dasar terbentuknya negara Indonesia Timur (NIT).
NIT merupakan yang tertua dan terbesar di antara negara-negara yang dibentuk oleh pemerintah Hindia
Belanda. Kuatnya kedudukan Belanda di Indonesia Timur menjadi alasan bagi Belanda untuk
memberikan otonomi yang luas kepada Negara Indonesia Timur yang terdiri dari ratusan pulau besar
dan kecil dan terbagi kedalam 13 daerah otonom. Indonesia Timur dipilih sebagai daerah tempat negara
bagian pertama akan dibentuk. Kekuatan militer Belanda relatif besar di daerah ini, lagi pula Belanda
benar dalam penilaiannya bahwa gagasan negara federal akan mempunyai daya tarik tersendiri bagi
rakyat di luar Pulau Jawa yang sudah agak cemas akan dominasi politik oleh orang-orang Jawa, yang
jumlahnya jauh lebih besar.
Dalam konferensi ini, beberapa keputusan yang hasilkan diantaranya; (1) Mengenai soal lagu
kebangsaan dan bendera. Konferensi mengambil suatu keputusan bahwa lagu kebangsaan Indonesia
Raya diterima sebagai lagu kebangsaan; (2) Dalam bidang politik dan ketatanegaraan, konferensi
Malino memutuskan dengan suara bulat dalam bidang pembangunan kembali ketatanegaraan di wilayah
Hindia Belanda, yakni pembentukan suatu federasi yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda dulu
bernama Negara Indonesia Serikat yang terdiri dari bagian-bagian (negara-negara) dengan daerah
kekuasaan yang besar dan wewenang kekuasaan memerintah sendiri yang luas mungkin; (3) Hubungan
dengan Belanda. Konferensi Malino menyatakan sebagai keyakinannya dianggap perlu untuk
ditetapkan secara teliti kurun waktu yang dianggap perlu untuk mengadakan kerjasama di lingkungan
kerajaan, yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Negara Indonesia Serikat untuk
mewujudkan organisasi dalam bidang ketatanegaraan, ekonomi, sosial dan kebudayaan, dan untuk
memperoleh perlengkapan-perlengkapan yang akan memberi kemungkinan-kemungkinan kepada
Negara Indonesia Serikat dengan segala kebebasan dan merdeka mengambil keputusan sendiri
mengenai kelanjutan hubungan antara Belanda dan Indonesia.
Dengan demikian, Konferensi Malino merupakan awal diletakkannya dasar-dasar pemecahan wilayah
Indonesia dalam daerah-daerah berdiri sendiri sebagai negara bagian dari suatu negara federal dan
memberikan kemungkinan kepada pihak Belanda untuk menguasai Indonesia. Konferensi Malino
merupakan langkah awal Belanda membentuk Negara Indonesia Serikat, berdasarkan konsep yang
disodorkan van Mook, yaitu The federal commonwealth of Indonesia. Konferensi yang diselenggarakan
kurang lebih 8 hari itu, akhirnya ditutup oleh Van Mook sebagai ketua konferensi dengan meminta
peserta memberikan persetujuannya. Ia mengemukakan niatnya untuk membangun negara di Jawa,
Sumatra, Kalimantan dan Timur Besar. Untuk pembentukan Negara Indonesia Timur akan dibicarakan
khusus dalam konfrensi Denpasar dan dilakukan bersama-sama dengan ARC. Tujuannya agar aparat
telah ada dipakai terus.
Gagasan untuk membentuk negara serikat (negara yang terdiri dari negara bagian) sebenarnya sudah
direncanakan oleh van Mook sebelum kemerdekaan RI. Maka tidaklah mengherankan apabila tokoh-
tokoh Republik yang sebagian besar merupakan pejuang pergerakan nasional menentang gagasan ini.
Karena federalisme yang diinginkan oleh van Mook itu harus dipimpin oleh Belanda. Oleh karena itu,
Konferensi Malino tidak mendapat sambutan yang baik dari kalangan Republik Indonesia. Konferensi
Malino dianggap sebagai suatu usaha pihak Belanda untuk mendapatkan dukungan dari wakil-wakil
daerah di luar Jawa sebagai strategi untuk memecah belah bangsa Indonesia.
50
GeoCivic Jurnal Vol 1, Nomor 1, April 2018
Sebelum dilaksanakannya Konferensi Denpasar pada tanggal 7-24 Desember 1946, pada tanggal 15
Nopember 1946 Pemerintah Belanda yang diwakili Schermerhorn dan Sutan Syahrir dari Indonesia
menandatanggani persetujuan penyelesaian masalah Indonesia-Belanda yang disebut “Persetujuan
Linggarjati” yang bersisi tentang; (1) Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan
berdirinya sebuah negara federal yang dinamakan Negara Indonesia Serikat (NIS); (2) NIS akan
berkerjasama dengan pemerintah kerajaan Belanda untuk membentuk sebuah uni Indonesia Belanda.
Konferensi Denpasar berlangsung setelah persetujuan Linggarjati pada tanggal 15 Nopember 1946.
Setelah naskah persetujuan disahkan pada tanggal 20 Desember 1946, maka van Mook dapat leluasa
bertindak membentuk Negara Indonesia Timur yang tidak bertentangan dengan semangat dan jiwa
persetujuan Linggarjati. Pihak peserta konferensi yang pro Republik pun ikut mendukung pembentukan
Negara Indonesia Timur karena naskah persetujuan Linggarjati itu menegaskan bahwa “Pemerintah
Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan
Sumatera. Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan
berangsur-angsur dan dengan kerja bersama antara kedua belah pihak akan dimasukan pula di dalam
atau ke dalam Daerah Republik.
Pada Konferensi Denpasar itu diikuti oleh 71 perwakilan dari seluruh daerah Indonesia Timur. Jumlah
utusan-utusan daerah yang dipilih oleh masing masing daerah dan ditetapkan oleh van Mook yang
terdiri dari 55 utusan daerah, kebanyakan diwakili oleh Raja ataupun Sultan dan 15 utusan dari
golongan minoritas (Cina dan Timur Asing lainnya) sehingga berjumlah 71 orang peserta. Untuk
wilayah Maluku Utara diwakili oleh Iskandar Djabir Syah (Sultan Ternate) dan Zainal Abidin Alting
(Sultan Tidore). Konferensi ini mempunyai wewenang berdasarkan keputusan Konferensi Malino untuk
menyusun tata pemerintahan dan ketatanegaraan baru di wilayah Timur Besar melalui perundingan-
perundingan dan pembicaraan-pembicaraan dengan wakil-wakil Pemerintah Belanda. Menurut Ide Anak
Agung Gde Agung, antara Konferensi Malino dan Konferensi Denpasar terdapat perbedaan nyata.
Dalam Konferensi Malino, pembicaraan-pembicaraan masih bersifat umum dan menyangkut masalah
politik, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia pada umunya. Sementara dalam Konferensi Denpasar,
pembicaraan telah dipusatkan pada satu masalah pokok, yaitu pembentukan susunan ketatanegaraan di
wilayah Timur Besar, dimana sudah tersedia suatu kertas kerja berupa rencana peraturan pembentukan
Negara Timur Besar yang disiapkan oleh Komisariat Umum untuk Kalimantan dan Timur Besar.
Pada konferensi itu, Sultan Ternate Iskandar Djabir Syah menentang kebijakan pemerintahan swapraja
yang diberlakukan pemerintah Belanda sejak tahun 1938, dimana wakil-wakil Pemerintah Hindia
Belanda seperti para kontrolir dan asisten residen diberi kekuasaan besar, sehingga raja hanya
merupakan boneka saja. Iskandar Djabir Syah menyampaikan ketidakpuasannya mengenai posisi dan
kedudukan para raja yang mengepalai pemerintahan swapraja. Menurutnya, posisi sebagai Sultan sering
disepelekan. Segala keputusan yang dibuat harus bergantung pada persetujuan yang dikeluarkan oleh
pihak Belanda. Hal ini membuat posisi Sultan hanya sebagai tempelan atau orang kedua, bahkan sering
terjadi benturan kepentingan sehingga seolah-olah terdapat pemerintahan daerah secara dualisme. Hal
itu sering membuat rakyatnya bingung. Sultan bagaikan boneka yang bisa dipermainkan oleh pihak
Belanda, kedudukannya sebagai seorang Sultan sering terasa sulit, wibawanya sebagai seorang Sultan
sering terabaikan demi kepentingan pihak Belanda.
51
Rustam Hasyim dan Faisal. 2018. Sultan of Ternate Iskandar Djabir Syah, Political History, Malino and Denpasar Conferences
Oleh karena itu menurut Iskandar Djabir Syah agar sifat pemerintahan dualisme di daerah-daerah
swapraja dihapuskan dan kepada raja sebagai kepala pemerintahan swapraja benar-benar diberikan
kekuasaan dan wewenang yang nyata, sungguh-sungguh dan berwibawa. Pandangan yang sama juga
disampaikan oleh L. Katoppo (utusan Minahasa), mengatakan bahwa Negara Indonesia Timur terdiri
atas lebih dari 75% daerah swapraja dan 115 pemerintahan swapraja. Kedudukan para kepala
pemerintahan swapraja itu diatur dengan apa yang dinamakan "korte verklaring” (pernyataan pendek)
dan "lange kontrakten" (kontrak panjang). sebagai suatu pengakuan Pemerintah Hindia Belanda
terhadap kedudukan istimewa para raja itu yang secara turun temurun memerintah suatu daerah
swapraja.
Pada Konferensi Denpasar, Sultan Ternate Iskandar Djabir Syah menyetujui keputusan tentang negara
federal, dan secara konsisten selalu mempertahankannya karena mirip dengan konsep dan paham
Moloko Kie Raha yang selama ini dianutnya. Menurutnya, situasi sosiologis-antropologis bangsa
Indonesia yang bersifat jamak-majemuk maka konsep federasi-lah yang cocok untuk bangsa Indonesia.
Dalam Konferensi tersebut, van Mook memaksakan ide federalismenya. Apa yang dilakukan tanpa
kerjasama dengan pihak Republik Indonesia seperti disetujuinya dalam perjanjian Linggarjati. Negara
Indonesia Timur ini sangat strategis bagi van Mook dalam mencapai cita-citanya menciptakan suatu
Negara Republik Indonesia Serikat yang masih tetap dalam lingkungan kerajaan Belanda.
Terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT), menurut Van Mook bahwa Indonesia Timur akan dapat
menjelma menjadi suatu negara yang mempunyai daya hidup yang kuat dan akan dapat
mengembangkan identitasnva sendiri sehingga akan berhasil merupakan suatu bagian yang berharga
dari federasi Indonesia yang akan diwujudkan sebagaimana yang diinginkan semua pihak. Pada akhir
Konferensi Denpasar 24 Desember 1946, terbentuklah negara baru yang dinamakan Negara Indonesia
Timur dalam wadah Negara Republik Indonesia Serikat ( RIS) meliputi wilayah Sulawesi, Sunda Kecil
(Bali dan Nusa Tenggara) dan Kepulauan Maluku.
Konferensi Denpasar itu terpilih Cokorda Gde Raka Sukawati sebagai Kepala Negara Indonesia Timur
pertama. Perdana Menteri adalah Nadjamoedin Daeng Malewa yang merangkap sebagai Menteri
Perekonomian, dan ketua DPRS terpilih Mr. Tadjoeddin Noer. Hanya kaum republikan berpendapat
bahwa pembentukan Negara Indonesia Timur dalam rangka pembentukan Negara Republik Indonesia
Serikat hanya merupakan satu tahap dalam proses perjuangan menuju Negara Republik Indonesia sesuai
dengan semangat proklamasi 1945. Sementara mereka yang mendukung federalisme, memang
menganggap Negara Indonesia Timur sebagai tujuan dalam rangka pembentukan Negara Federal yang
tetap berada dalam lingkungan kerajaan Belanda.
Menjadi Menteri Dalam Negeri NIT
Sejak awal pembentukan Negara Indonesia Timur yang digagas oleh van Mook atas nama Pemerintah
Belanda, Iskandar Djabir Syah telah menunjukan partisipasinya sebagai anggota NIT mewakili Maluku
Utara. Partisipasinya sungguh beralasan karena dari aspek sejarah dan politik Kesultanan Ternate
memiliki kedekatan dengan Pemerintah Belanda yang telah lama bercokol di Pulau Ternate hingga
Perang Dunia ke II, bahkan pada saat Jepang menduduki Pulau Ternate, Iskandar Djabir Syah bersama
keluarganya diungsikan ke Brisbane Australia pada September 1945. Setelah kepulangannya dari
Australia, Iskandar Djabir Syah diangkat sebagai kepala daerah (residen) dengan pangkat Kolonel
Tituler der Koninghen Orange van Nasau..
Selama menjadi anggota senat NIT mewakili Maluku Utara, Iskandar Djabir Syah selalu gigih
memperjuangkan konsep negara federal dalam konferensi Malino dan Denpasar. Dengan alasan itulah,
maka pada Kabinet Tatengkeng, Iskandar Djabir Syah diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri NIT
(27 Desember 1949-14 Maret 1950). Setelah dilantik oleh Presiden Negara Indonesia Timur (NIT),
Tjokorde Gde Rake Soekawati pada tanggal 27 Desember 1949, Iskandar Djabir Syah mulai
menjalankan tugasnya sebagai menteri dalam negeri. Kedudukannya sebagai Menteri Urusan Dalam
52
GeoCivic Jurnal Vol 1, Nomor 1, April 2018
Negeri, Iskandar Djabir Syah telah berhasil melimpahkan kekuasaan pemerintah pusat kepada kepala-
kepala daerah di seluruh wilayah Negara Indonesia Timur.
Kabinet J.E Tatengkeng merupakan kabinet darurat atau pemerintahan peralihan dan masa
kepemimpinannya hanya satu tahun.Walaupun demikian, Kabinet Tatengkeng bertekad untuk
menyusun tertib hukum baru dengan pembentukan susunan ketatanegaraan di Negara Indonesia Timur
sedemikian rupa sehingga dari tingkat bawah sampai susunan teratas dapat diwujudkan suatu bentuk
pemerintahan yang demokratis dan bercorak kebangsaan sesuai dengan azas federalisme. Pembentukan
daerah-daerah dengan otonomi yang luas dan kekuasaan serta wewenang yang mantap dimana
pemerintah swapraja memainkan peranan yang penting didampingi oleh dewan yang dipilih oleh rakyat.
Berdasarkan atas azas demokrasi dan dengan berpegang teguh bahwa Negara Indonesia Timur adalah
suatu negara hukum di mana ketertiban dan keamanan terjamin sehingga rakyat merasa dirinya
dilindungi oleh hukum sehingga dapat hidup aman dan tenteram. Kabinet Tatengkeng menjalankan
kebijaksanaan yang bersifat dwi-fungsi yang satu dengan yang lain mempunyai keseimbangan yang
harmonis.
Pada era kabinet Tatengkeng telah muncul benih-benih pemberontakan yang ingin melepaskan diri dari
Negara Indonesia Serikat dan bergabung dengan RI. Pertikaian antara APRIS dan TNI itu mendorong
sejumlah daerah otonom di wilayah NIT tampil memproklamasikan daerahnya keluar dai NIT dan
menggabungkan daerahnya menjadi bagian dari RI dengan kedudukan sebagai suatu provinsi. Misalnya
pada tanggal 26 April 1950, Andi Idjo Karaeng (Sulawesi Selatan), memproklamirkan Sulawesi Selatan
menjadi satu bagian provinsi RI. Hal yang sama juga dilakukan pula oleh Adjuba Wartabone untuk
daerah Sulawesi Utara.
Pergolakan dan pertentangan antara golongan federalis dan unitaris di Sulawesi Selatan dan terutama di
Makasar berkobar dengan hebat sehingga timbul suasana yang sangat gawat. Dari golongan unitaris
yang dipelopori oleh anggota-anggota parlemen Fraksi Kesatuan Nasional Indonesia, mendesak kepada
pemerintah untuk diijinkan mengadakan demonstrasi secara besar-besaran dengan tujuan agar Negara
Indonesia Timur segera di bubarkan dan dimasukan kedalam daerah kekuasaan Republik Indonesia.
Di samping itu pemberontakan Andi Aziz di Makasar awal April 1950 mengakibatkan terjadinya krisis
Kabinet NIT. Pada tanggal 20 April tokoh Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Pupella, mengajukan mosi
tidak percaya dalam parlemen NIT. Akibatnya, Perdana Menteri Tatengkeng mengundurkan diri dan
kabinet bubar. Dengan demikian, Kabinet J.E Tatengkeng tidak berusia panjang. Program kerjanya
hanyalah mengatasi masa peralihan menuju terbentuknya Negara kesatuan sebagai hasil peleburan RIS
dan Negara RI. Perkembangan demikian tentunya mempengaruhi suasana politik di Negara Indonesia
Timur dan memberi dorongan besar kepada golongan unitaris untuk mewujudkan tujuannya yakni
membubarkan Negara Indonesia Timur.
Bubarnya Negara Indonesia Timur pada tanggal 15 Agustus 1950 menimbulkan keheranan di banyak
kalangan tentang cepatnya sistem federasi terhapus dari Indonesia. Kurang lebih enam bulan sesudah
penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat bentuk Negara sudah berubah
menjadi suatu Negara kesatuan. Perubahan bentuk kenegaraan tersebut terutama di kalangan
Pemerintah Belanda perubahan asas Negara tersebut meninggalkan kesan yang sangat mendalam.
Pemerintah Hindia Belanda menuduh pihak Indonesia tidak jujur dalam pelaksanaan Konferensi Meja
Bundar dan berhubung dengan itu menyatakan kekecewaannya.
Sikap Pemerintah Belanda menjelma menjadi sikap anti Pemerintah Indonesia teraktualisasi dalam
kebijakan luar negerinya yang secara gigih menentang Indonesia dalam masalah Irian Barat di tahun
1960-an. Ketika Perdana Menteri W. Drees kembali terpilih yang keempat (1956-1958), dialah yang
menjadi pendorong utama untuk memasukkan Irian Barat (sekarang Papua) dalam wilayah Kerajaan
Belanda pada waktu diadakan perubahan Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda di tahun 1956.
53
Rustam Hasyim dan Faisal. 2018. Sultan of Ternate Iskandar Djabir Syah, Political History, Malino and Denpasar Conferences
Pada saat yang sama, beberapa kebijakan pemerintah Soekarno mengeluarkan sejumlah aturan dalam
membatasi ruang gerak para penguasa lokal. Misalnya, pembubabaran dewan raja-raja pada tahun 1950.
Contoh lain adalah UU Pokok Agraria 1960 tentang pembatasan dan kepemilikan tanah (pengambil
alihan oleh negara terhadap tanah-tanah swapraja), serta pembentukan pemerintahan daerah swatantra
tingkat 1 Maluku, berdasarkan UU No 60 tahun 1958, dengan menetapkan Ambon sebagai Ibukota
propinsi Maluku. Sebagai penguasa di tingkat II (Bupati) tidak lagi harus dijabat oleh sultan dan
keluarganya.Sehingga dalam perkembangan selanjutnya jabatan-jabatan publik lebih didominasi oleh
kelompok non kesultanan. Akhirnya status Ternate sebagai kotapraja dibubarkan dan direduksi menjadi
sebuah kabupaten tingkat II yang memiliki keterbatasan otoritas pemerintahan.
Beberapa kebijakan Soekarno tersebut sangat menekan kekuasaan elite Kesultanan Ternate, sehingga
nyaris tidak bisa berbuat banyak, karena hampir semua akses yang mengarah pada kepentingan
kekuatan lokal hampir dipastikan semuanya terisolasi oleh bentuk-bentuk kekuasaannya. Bahkan segala
aktifitas yang dilakukan hanya bersifat seremonial sehingga kekuatan dan pengaruh juga ikut
terpangkas. Begitu kuatnya intervensi negara terhadap kekuasaan tradisonal pada era kekuasan
Soekarno, sehingga keraton mengalami kemerosotan legitimasi.
Setelah pensiun dari dinas kementerian dalam negeri pada 1969, sisa hidup Sultan Iskandar Djabir Syah
dihabisakannya di Jakarta. Pada tanggal 4 Juli 1975 Sultan Iskandar Djabir Syah meninggal dalam usia
ke 75 tahun dan dimakamkan di pemakaman umum Pekuburan Karet. Terlepas sebagi tokoh federalis
yang mendukung pembentukan Negara Indonesia Timur dalam wadah Negara Indonesia Serikat.Salah
satu jasa besar dari Iskandar Djabir Syah adalah mengembalikan status Kesultanan Ternate dari
afdeling (setingkat kecamatan) menjadi Karesidenan (setingkat propinsi) dengan pangkat Kolonel
Tituler der Koninghen Orange van Nasau.. Dengan jabatan inilah Sultan Iskandar Djabir dipandang oleh
rakyat sebagai Raja Besar di wilayah Moloku Kie Raha.
KESIMPULAN
Sejarah menunjukan partisipasi politik elite Kesultanan Ternate dalam negara kesatuan telah dimulai
sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditandai dengan berdirinya Negara Indonesia Timur
(NIT), pada tanggal 24 Desember 1946. Terbentuknya Negara Indonesia Timur kemudian menjadi
inspirasi politik bagi Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah (Sultan Ternate ke-47), untuk melibatkan
diri sebagai anggota senat NIT mewakili Maluku Utara, dengan mengikuti konperensi Malino dan
Denpasar sebagai anggota senat mewakili Maluku Utara sekaligus merupakan salah satu desainernya.
Sebagai tokoh federalis yang memperjuangankan pembentukan Negara Indonesia Timur dari konferensi
Malino hingga Denpasar, maka dalam perkembangannya pada tahun 1949, Iskandar Jabir Syah diangkat
menjadi Menteri Dalam Negeri NIT pada kabinet J.E. Tatengkeng (27 Desember 1947-14 Maret 1950).
54
GeoCivic Jurnal Vol 1, Nomor 1, April 2018
Realitas politik menunjukan, tatkala rezim Soekarno berkuasa, elite Kesultanan Ternate mengalami
pembatasan. Pilihan politik Sultan Ternate ke-47 Iskandar Djabir Syah (1929-1975), dalam mendukung
pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) yang diprakarsai oleh Herbertus J. van Mook pada 1946,
berimplikasi diasingkannya ke Jakarta pada 1950, karena dituduh sebagai tokoh federalis. Perbedaan
persepsi mengenai bentuk dan sistem pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan inilah, mendorong
elite kesultanan tidak mendukung partai pemerintah Soekarno pada pemilu 1955. Pilihan politik tersebut
tentu tidak menguntungkan posisi mereka, karena harus menghadapi, tidak hanya rival politik lokal,
namun juga kekuatan nasional.
Selama pemerintahan Soekarno, elite Kesultanan mengalami krisis politik. Sikap konfrontatif mereka
dengan tidak mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (RI) dan partai pemerintah (PNI),
menimbulkan pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak menghancurkan eksistensi politik mereka
dalam ranah politik lokal di Ternate. Apakah beberapa kebijakan tersebut diatas, berpengaruh terhadap
eksitensi politik mereka di Ternate atau sebaliknya. Faktanya, walaupun eksistensi politik mereka
mendapatkan pembatasan. Namun secara kultural, tidak berdampak pada merosotnya kekuasaan elite
kesultanan. Salah satu nilai yang mengakar kuat dalam masyarakat Ternate adalah menjunjung tinggi
perkataan atau perintah sultannya dengan semboyan „jou kasa ngom kage’ („dimana ada sultan disitulah
kami‟).
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Amal. (2007). Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Gora
Pustaka Indonesia.
Arnold, Mononutu. (1981). Potret Seorang Patriot, Jakarta: Gunung Agung,
Arthur, A. Schillers. (1989). The Formation of Federal Indonesia 1945-1949. Bandung.
Audrey, Kahin. (1990). Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan.Jakarta: Grafiti.
Chasan, Bousoiri. (Tanpa Tahun). Sekulimit Derita Satu Edisi Kehidupan Seorang Dokter, Jakarta.
F.S.A. de Clercq. (2007). Ternate:Karesidenan dan Kesultanan.Terjemahan Noer Fitriyanti dari,Bijdragen tot de
kennis der Residentie Ternate, 1890. Ternate: Komunitas Uma Sania.
Herry, R.D. Nachrawy. (2003). Peranan Ternate Tidore Dalam Pembebasan Irian Barat. Ternate, Yayasan
KieRaha.
Ide Anak Agung GdeAgung, (1985). Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah
Mada.
Irza, Arnita Djafaar. (2005). Dari Moloku Kie Raha Ke Negara Federal: Biografi Sultan Iskandar Muhammad
Jabir Syah. Jakarta: Bio Pustaka.
L. Katoppo. (1972). Perdjoeangan Irian Kembali ke Dalam Wilayah RI. Bandung: Kilat Madju.
Leonard Y. Andaya. (1993). The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu:
University of Hawaii Press.
Sutrisno, Kutoyo. (1978). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Maluku. Jakarta: Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Syahril, Muhammad. (2006). Kesultanan Ternate: Sejarah Sosial Ekonomi & Politik. Yogyakarta: Ombak.
55