Jurnal Gerakan Muhammdiyah
Jurnal Gerakan Muhammdiyah
Jurnal Gerakan Muhammdiyah
MULTIKULTURALISME
Sebuah Landasan Normatif-Institusional
Abstract
Thispaperexaminesthedebateandinternaldynamicsofthe Muhammadiyah’s da’wa
movement in Kotagede on easing the multiculturalism context. With the debate, how
did the Muhammadiyah of Kotagede understand the phenomenon of multiculturalism
as the reality real life ultimate? So, how is the involvement of Muhammadiyah
member institutionally in its role in addressing multiculturalism? Furthermore,
what methods and strategies are applied in easing the discourse of multiculturalism?
Departing from Nakamura’s early work, which examines the reformist- modernist
movement in anthropological perspective, this article is also based on a
phenomenological-naturalistic qualitative approach that reveals the truth of the facts in
the field until it is interpreted to be a novelty of meaning. It’s expected can contribute
positively to the development of multiculturalism in the framework of pluralism
(diversity) and Pancasila to meet a harmonious nation life. Thus, the facts in the field
found that the debate of Muhammadiyah member questioning the discourse of
multiculturalism was preceded by the congress Bali in 2002s when the advisory of
council (Dewan Tanwir) decided the meaning of amar ma’ruf nahi munkar (calling for
good, preventing evil) was not only interpreted as textuality, but how the progressive
movement that carried the issue of ‘cultural da’wa’ (dakwah kultural) was
implemented well. Based on the result of a decision, Muhammadiyah’s own member
internally can be mapped into three groups, namely puritan, moderate, and reformist.
Although the ‘cultural da’wa’ is much opposed by the Puritans, in fact is just few agree
with the group. The echoes of moderate and reformist group sare larger, the whole
multicultural movement can be implemented well to the grassroots.
وف َويَأ ْ ُم ُرونَْ ٱ ْل َخي ِّْْر إِّلَى يَ ْدعُونَْ أ ُ َّمةْ ِّمن ُك ْْم َو ْلتَكُن ِّْ ٱ ْل ُم ْف ِّل ُحونَْ ُه ُْم َوأ ُ ۟و ََٰٓلئِّكَْ ٱ ْل ُمنك َِّْر ع
ِّْ َن َويَ ْن َه ْونَْ ِّبٱ ْل َم ْع ُر
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Kedua, faktor obyektif di mana dapat dilihat secara internal dan eksternal. Secara
internal faktor berdirinya muhammadiyah adalah bercampur-adunknya ajaran
Islam dengan ajaran lain akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia, tidak
efisiennya lembaga-lembaga pendidikan agama Islam yang hanya mengajarkan
ilmu agama saja.Sebaliknya sekolah modern kala itu tidak mengajarkan ilmu
agama, sehingga hasil dari pendidikan ini adalah sarjana yang kurang
Melihat Kotagede saat ini sama dengan melihat Indonesia secara umum.
Pluralitas kebudayaan sebagai Indonesia dalam konteks luas menjadi hal biasa di
kawasan ini. Meskipun demikian, kepedulian
(caring) terhadap ragam budaya di Kotagede tidak boleh diabaikan. Sebab,
sebagaimana yang juga membayang-bayangi Indonesia saat ini, potensi konflik
yang berbau SARA dan semangat disintegratif tetap mengancam kawasan ini.
Kenyataan inilah yang kemudian disadari oleh berbagai kalangan, termasuk
Muhammadiyah. Pada faktanya, banyak masyarakat di Kotagede saat ini, tidak
terkecuali Muhammadiyah, memulai memupuk kesadaran multikulturalitas
warganya. Sikap ini boleh dibaca sebagai tindakan antisipatif terhadap segala
kemungkinan konflik sosial yang terus mengintai.
Tujuan Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia.
Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut
Nabi Muhammad SAW. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan
seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini
sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah
tertentu dengan alasan adaptasi.
Satu hal yang patut dicermati di sini sebagai pembeda dari kelompok
pertama yang melihat multikulturalitas semata-mata positif. Mereka tidak
menganggap bahwa entitas pluralitas sebagai kompetitor. Mereka justru
melihat entitas lain sebagai anggota keluarga dalam kekerabatan besar (kinship
of humanism). Asumsi kompetitor menyediakan spasi konflik. Sementara
asumsi kekerabatan meretas sense of belonging satu sama lain.
Tidak ada hasil yang dapat dipetik dari sebuah konflik kecuali anomali sosial.
Tidak ada satu pun yang bisa mengembangkan hidupnya dalam lingkaran
masyarakat yang demikian. Banyak sampel yang dapat ditampilkan terkait
dengan hal tersebut, semisal konflik antara Islam-Kristen di Darfur atau Israel-
palestina di Timur Tengah. Tatanan sosial yang melingkupi mereka mengalami
anomali. Karenanya, waktu yang hadir dalam keseharian mereka lantas tidak
ada lagi selain kemungkinan untuk mati. Masyarakat Kotagede yang masuk
dalam kategori ini menjaga betul potensi-potensi yang meretas ke arah sana.
Salah satunya adalah dengan menggalakkan dialog dan keterlibatan dalam
kegiatan sosial masyarakat, terutama yang menyangkut wilayah-wilayah
kegamaan. Misal Komaruddin, satu di antara berepa gelintir aktivis
Muhammadiyah Kotagede yang cukup kuat memegang prinsip moderatisme
ini.
“Muhammadiyah secara institusional memang menetapkan sejumlah
ketentuan tentang akidah dan kebudayaan secara tegas. Namun kader
Muhammadiyah dapat memiliki cara pandang atau tafsir yang berbeda atas
ketentuan tersebut, sebagaimana ketentuan yang memberi peluang untuk
dibaca dan ditafsirkan secara berbeda. Wong ketentutan itu sendiri dibuat
berdasarkan tafsir dan analisis para pembuatnya, yakni peserta muktamar,
atas apa yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan. Lantas di mana salahnya jika
saya punya tafsir yang berbeda pula. Ketentuan tersebut memang bersifat
otoritatif, tapi tafsir tidak boleh terjebak pada otoritarianisme.
Muhammadiyah ini kan dapat diibaratkan seperti bus. Para penumpang bus
ini, meski diwajibkan mengikuti prosedur sopir dan kondektur, tapi kan
berasal dari asal yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Apakah
itu salah?”.13
Dengan dakwah kultural yang dirilis pada tahun 2002 itu menjadikan
Muhammadiyah seakan ”lahir kembali” sebagai suatu ormas besar yang
energik dan menyimpan harapan besar baru bagi masyarakat Indonesia, baik
dalam konteks keislaman maupun kemanusiaan. Hal ini cukup membuat
stigma Muhammadiyah sebagai organisasi puritan yang eksklusif mulai luntur
secara perlahan. Image yang muncul justru, adalah Muhammadiyah baru yang
lebih dewasa dan bervisi kemajemukan.
Penutup