Usul Fiqih Transformatif
Usul Fiqih Transformatif
Sosial
Anjar Nugroho
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ا
, W
, J
!ن و4
!' اJa9#! -D WF
أ;ل ا01* #2$
اJ
اWF
ا-2&,
$
اWF
أ;ل ا-6#
درا ا>&د$
اh3 رس ه.ةa
اE@آ$
اE
اثH !' ا1M <$ Y $* WF
اE,a &
اE!ا,
! اE!* "> $"&$
ا
%
!' ا9 -_ ! ه أآ0
إWF
ا-/ ة- l
ح ا-&) .,)ا
ا
! - ا
ا
ا3I أW * رة2* وه.-9H اWF
0$9 ! * وه$&Yا
ا
&رc> " .#$"$
ا/19
وا>&د اF,%&9$
" وا/%$
اs
M
2
ا
-9H اWF
ا ا3ّن ه1 أن0- ./19
أ; ب ا$ 0
إE$ ي3
اWF1
9(-
ا
'! 9 W
S
ي3
اWF
ن اH T
ذ.$19$
ء ا$1,
" ا&"د اa(&> و1$*
! $& J
ذاV .وع-@$
ا-B
اGC ا
&ا0
دي إG أنW> ! >9> @?ت ا$
ا
$ آ02 W>ول أH ا:
$&Y ! اWF
> ا, ف9 >9> @?ت ا$
ا01* l1B&
ا
فh وا
_> أن دور،س#
اW& Y !ا2ه3! WF; 0
وH اW&
ه
J
وl9 % $
دة ا2,
أ!ر ا01* راM! أن ن0
إ-I
0
! إR%&
.>9> @?ت ا$
اE ! $&
Abstract
Classical fiqh, which is based on classical Us\u>l al-Fiqh, has often been
considered out of date and no longer has its effectiveness at handling new
problems. The article is a study critically addressed to the classical theory
of Us\u>l al-fiqh, which is commonly accused as a factor that made fiqh
Anjar Nugroho
static and has nothing to do with reality. The writer proposes, then, how to
develop a new model of fiqh that is more sensitive to the real issues of
society, left fiqh. The left fiqh is fiqh that takes side with oppressed,
impoverished people (mustad}‘afi>n) and demands criticism to a hegemonic
power. This is an antithesis to mainstream fiqh, which tends to be used to
protect people with the power. It is expected that left fiqh may colourize
both the process and the result of ijtiha>d of Muslim scholars. Fiqh that
is not sensitive to human problems will merely legitimate illegal collusion.
If fiqh does not insist on handling and overcoming human problems, it
will experience two problems: first, fiqh will indulge in its settled condition
as a well established doctrine and will be always considered unnecessary.
Second, fiqh will progressively narrow its role merely focused on ritual
and make its self powerless at solving daily human problems.
A. Pendahuluan
Dalam perspektif sejarah, terminologi kiri seringkali dikenakan
pada segala (pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan
pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh
kekuasaan dan kekuatan dominan.1 Dalam pengertian lain, kiri berarti
meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak yang patut dibela, dilindungi
dan diperjuangkan.2 Hassan Hanafi3 memaknai kiri sebagai pihak yang
berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, dan
kaum miskin. Kiri, masih menurut Hanafi, adalah sebuah istilah ilmu
politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak
antara realitas dan idealitas. Jelas, ia adalah istilah akademik yang tanpa
dibarengi pretensi politik dalam arti ideologi partai atau mobilitas massa,
tegas Hanafi.
–––––––––––––––––
1
Listiyono Santoso dan Sunarto, “Memberikan Wacana Bagi Epistemologti
Kiri: Sejumlah Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan”, dalam Listiyono
Santoso (ed.), Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm.15.
2
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal: dari Wacana Menuju Gerakan,
(Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 2002), hlm. xxxiii.
3
Hassan Hanafi, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam,
antara Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: LKiS, 2004), cet. VII, hlm. 81-82.
Kata “kiri” dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata “fikih” yang
secara istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam
mengenai perbuatan-perbuatan manusia, yang pengetahuan tersebut
diambil dari dalil yang bersifat tafs}i>liyya.4 Sehingga, Fikih Kiri yang
dimaksud adalah pengetahuan atau tuntunan syar‘i yang memihak
kepada rakyat yang tertindas, miskin (atau dimiskinkan, mustad}‘afi>n),
atau tuntutan syar‘i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap
kekuasaan hegemonik yang despotik. Fikih Kiri diposisikan sebagai
antitesis terhadap fikih mainstream yang selama ini cenderung memihak
kepada-atau dipakai untuk mengamankan– kekuasaan.
Fikih selalu dijadikan sebagai tolok ukur dalam melihat
persoalan-persoalan umat. Hanya saja, para ahli fikih atau lebih dikenal
sebagai fuqaha>’ (organisasi formal fuqaha>‘ Indonesia adalah MUI) dalam
melihat persoalan umat dalam banyak kasus cenderung memilih
persoalan yang tidak menyinggung atau menggoyang kemapanan
kekuasaan. MUI misalnya, hanya berkutat pada memberi label halal-
haram atau memberi fatwa sesat kepada kelompok yang dianggap
menyimpang dari tradisi keagamaan mainstream, tetapi enggan mengutuk
pabrik-pabrik yang menggaji rendah buruh atau mengutuk (kalau perlu
fatwa murtad) terhadap koruptor kelas kakap.
Fikih Kiri diharapkan akan mewarnai kerangka proses maupun
hasil ijtihad para ulama. Ketidakpekaan fikih dalam menyoroti masalah
kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi terhadap
pelanggaran kemanusiaan. Jika fikih terlambat dalam menangani dan
mengatasi masalah kemanusiaan, fikih akan mengalami dua masalah
bersamaan: Pertama, fikih akan manja dalam kemapanannya. Fikih akan
selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tidak perlu melihat
ke bawah. Kedua, peran fikih akan semakin sempit hanya pada masalah
ritual belaka. Masalah yang kedua ini menjadikan fikih tidak berarti
apa-apa dalam menjawab problem-problem riil rakyat.
Untuk menuju kepada Fikih Kiri, perlu dikoreksi berbagai
perangkat metodologis yang melahirkan fikih, yakni us}u>l al- fiqh. Jika
ilmu fikih merupakan ilmu yang bersifat praksis semata-mata, maka
ilmu us}u>l al-fiqh merupakan ilmu tentang “teoritisasi aktivitas praksis”
–––––––––––––––––
4
Abd al-Wahha>b Khalla>f, Us}u>l al-Fiqh, (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1978), hlm. 15.
–––––––––––––––––
5
Hasan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 7.
6
Wahbah al-Zuhayli>, Us\ul> al-Fiqh al-Isla>mi>,Juz II (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986),
hlm. 803-804
–––––––––––––––––
7
Lihat Hasan Hanafi, Islamologi I: dari Teologi Statis ke Anarkis, Miftah Faqih
(pertj.), (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 160-177.
Prof. K.H. Ali Yafie8 dan K.H. Sahal Mahfudz9 adalah ulama
fikih Indonesia yang pernah melontarkan pemikiran tentang fikih sosial.
Fikih sosial dalam bayangan mereka adalah fikih yang mempunyai
orientasi sosial, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kepada
masalah-masalah sosial. Fikih bukan saja seperangkat hukum yang
mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mah}d}a kepada Allah,
tetapi bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan
orang lain (mu‘a>mala) dengan berbagai macam dimensi: politik, ekonomi,
budaya, dan hukum.
Fikih sosial, begitu juga Fikih Kiri, memiliki asumsi bahwa fikih
adalah al-ah}ka>m al-‘amaliyya (hukum perilaku) yang bertanggungjawab
atas pernik-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor
kebajikan dan tidak mengganggu pihak lain, sehingga kemaslahatan
dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fikih diukur oleh
relevansinya dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih makmur,
dinamis, adil, dan beradab (mas}lah}a).
Fikih Kiri dalam konteks ini berseberangan dengan fikih yang
selama ini diasumsikan sebagai sesuatu yang statis untuk mendukung
stabilitas dalam masyarakat. Lagi-lagi, ini adalah sebagai akibat dari
bias kepentingan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan maupun pengetahuannya.
Fikih yang diposisikan sebagai medium harmoni macam ini, akan
terjebak pada arus yang tidak seirama dengan kepentingan rakyat
banyak.10
Penguasa memang mempunyai kepentingan yang kuat untuk
mengukuhkan hegemoni kekuasaannya, tanpa peduli apakah yang ia
lakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan
masyarakat. Tidak jarang penguasa melakukan kolaborasi dengan pihak
–––––––––––––––––
8
Lihat karya Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 10-15.
9
Lihat karya Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm.
1-9.
10
Mogok kerja, misalnya, dianggap sebagai tindakan yang melanggar akad antara
pekerja dan pihak manejemen perusahaan, sehingga perilaku pekerja ini tidak boleh
menurut ketentuan fikih. Mengapa demikian? Karena fikih diposisikan sebaqgai
seperangkat aturan untuk menjaga stabilitas tanpa harus melihat aspek-aspek
penindasan, penganiayaan, dan sebagainya.
–––––––––––––––––
19
al-Qur’an, al-Baqarah: 254.
20
al-Qur’an, Ali ‘Imran: 21.
21
Ali Shari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 45.
22
Lihat Hassan Hanafi, “Apa Arti Kiri Islam” , hlm. 128.
–––––––––––––––––
23
Syari’at pada awalnya adalah sekumpulan prinsip-prinsip moral, hukum dan
aqidah. Namun pada abad XIII Hijriyah, ketika reformulasi teologi Islam dikristalkan,
untuk pertama kali kata syari’at mulai dipakai dalam pengertian yang lebih sistematis.
Syari’at dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum (peraturan hukum) saja.
Sedangkan teologi dikeluarkan dari cakupannya. Lihat Abdul Hamid Abu Sulayman,
“Fikih Islam”, dalam Syamsul Anwar (ed.), Islam, Negara dan Hukum, Cet. I, (Jakarta:
INIS, 1993), hlm. 123. Ibrahim Hosen membedakan antara fikih dan syari’at.
Menurutnya, Syari’at adalah yang telah dijelaskan secara tegas oleh nas Al-Qur’an dan
Sunnah,sehingga bersifat qat’i, sedangkan fikih adalah yang tidak dijelaskan secara tegas
oleh nas Al-Qur’an dan Sunnah sehingga bersifat zanni. Lihat Ahmad Zakariya (peny),
Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembahasan Hukum Islam di Indonesia, cet.i (Jakarta: Pustaka
Harapan, 1990), hlm. 103 - 104.
24
Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Aziz Dahlan et.al., cet. i (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996), jilid 4, hlm. 1108.
25
Hukum di sini maksudnya adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Nabi
yang pada dasarnya adalah ayat dan hadis hukum.
26
Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at”,
dalam Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995, hlm. 95.
–––––––––––––––––
27
Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n, al-Mas}a>lih al-Mursala wa Maka>natuha> fi> al-Tashri>‘,
(Beirut: Da>r al-Kutub al-Jami’, t.t.), hlm. 12-13.
28
‘Abdulla>h ‘Abd al-Muh}sin al-Zaki>, Us\ul> al-Fiqh Madhhab al-Ima>m Ah}mad Dira>sat
Us}u>liyya Muqa>rana, cet. 2, (Riyad: Maktabat al-Riya>d} al-H{adi>tha, 1980), hlm. 513.
29
Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fukhu>l ila> Tah}qi>q al-H{aq min ‘Ilm al-
Us}u>l , cet. i (Surabaya: Shirka Maktaba Ah}mad ibn Sa’ad ibn Nabha>n, t.t.), hlm 242.
30
Muh}ammad Sa’id Ramad}an > al-Bu>ti\ ,> D{awa>bit\ al-Mas}lah}a fi> al-Shari>‘a al-Isla>mi>yya,
cet.2, (Beirut: Mu’assasat al-Risa>la, 1977), hlm. 23.
31
al-Sha>t\ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> al-Shari>‘a, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyya, t.t.) II,
hlm. 29.
32
al-Ghaza>li>, al-Mustashfa> min al-Usu>l , (Damaskus: Ba‘id al-H{usayn, t.t.), hlm. 251.
dan mafsada menurut ‘urf manusia dan ‘urf syar‘i. Dengan kata lain,
mas}lah}a dalam pandangan al-Ghaza>li> adalah memelihara tujuan syar‘i,
meskipun bertentangan dengan tujuan manusia. Karena tujuan manusia,
ketika bertentang dengan tujuan syari‘ dalam suatu kemaslahatan
tetentu bukanlah merupakan kemaslahatan, melainkan hawa nafsu yang
merasuk ke dalam jiwa.33 Karena itu, mas}lah}a tidak hanya dipandang
dari sudut manusia, tetapi harus melihat pada apa yang telah disebutkan
dalam nas/teks.34
Memperkuat pendapat al-Ghaza> l i, Wahbah al-Zuh} a yli>
memandang bahwa setiap mas} l ah} a dikembalikan kepada usaha
memelihara tujuan syara‘ yang berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan ijmak.
Apabila mas}lah}a dipahami seperti itu, maka tidak ada perbedaan
pendapat untuk memeganginya sebagai h} u jjah. 35 Al-Zuhaili lalu
menjelaskan dengan lebih jelas sebagai berikut:
Karena manusia berbeda-beda dalam menentukan kemaslahatan sesuai
dengan terwujudnya kemanfaatan dha>ti> (sesungguhnya), bukan menolak
kemaslahatan yang sudah disepakati, maka dalam pemberlakuan hukum
hendaknya ada keseimbangan keadilan antara manusia dalam
menentukan mas}lah}a dan manfaat. Dari sinilah menjadi jelas keperluan
untuk menentukan mas}lah}a berdasarkan ketentuan syara’, dengan tidak
boleh dibebankan kepada individu tertentu. Dengan demikian dapat
dipahami hukum yang sesuai dengan watak manusia.36
Hassan Hanafi dalam hal ini telah mengembangkan paradigma
fikih dan us} u > l al-fiqh Maliki, karena menggunakan pendekatan
kemaslahatan (mas}lah}a mursala) serta membela kepentingan umat Islam.
Paradigma ini dikuatkan Malikiyah berdasarkan tradisi Abdullah Ibn
Mas’ud yang dikembangkan dari Umar Ibn al-Khattab. Hanafi
berpendapat bahwa Malikiyah lebih dekat dengan realitas untuk
–––––––––––––––––
33
H{usayn H{ami>d H{asan, Naz}a>riyya al-Mas}lah}a fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, (Kairo: Da>r al-
Nahd}a al-‘Arabiyya, 1971), hlm. 6.
34
Mus}ta\ fa> Zayd, al-Mas}lah}a fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T}uf> i>, (t.t.p.: Da>r
al-Fi>kr al-‘Arabi>, 1954), hlm. 20.
35
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>, cet. 2, (Damaskus: Da>r al-Fi>kr, 1986),
hlm. 765.
36
Ibid., hlm. 750
–––––––––––––––––
37
H. Ridwan, Pemikiran Hasan Hanafi> tentang Rekonstruksi Tradisi Keilmuan Islam,
cet.I, (Yogyakarta: Ittiqa Press, 1998), hlm. 35-36.
38
Ibid., hlm. 36.
39
Lihat Ali Yafi>e, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam “, dalam
Jalaluddin Rahmat (ed), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 71 dan
121.
dan baya>n.40
Sementara itu, Masdar F. Mas’udi tidak memandang semua aturan
dalam nas dapat dirubah karena kemaslahatan, tetapi Masdar membatasi
pada aturan yang bersifat tehnis operasional. Karena bagi Masdar,
syari’at adalah sarana dan mas}lah}a adalah tujuannya. Al-T}u>fi> pun
berpendapat demikian, bahwa mas} l ah} a adalah sebab yang
mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan. Penegasan al-T}u>fi> ini
didasarkan kepada prinsip kemaslahatan yang lebih ditujukan pada
kemanfaatan manusia. 41 Sedangkan Must\afa> Zayd mendahulukan
mas}lah}a daripada nas}, apabila mas}lah}a itu bersifat qat}‘i> dan d}aru>ri>,
meskipun bukan mas}lah}a yang kulli>.42
Dalam kemaslahatan yang menyangkut orang banyak (sosial-
obyektif), otoritas yang berhak memberikan penilaian dan sekaligus
menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan,
melalui mekanisme syu>ra> untuk mencapai kesepakatan (ijma‘). Jadi, apa
yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian mas}lah}a
melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang
banyak, di mana kita merupakan bagiannya, itulah hukum yang
tertinggi.43
Kesepakatan orang banyak adalah hukum tertinggi yang
mengikat. Apabila kesepakatan hukum dicapai dalam musyawarah,
maka ia berfungsi sebagai hukum yang secara positif mengikat.
Sebaliknya, apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah,
maka daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang-orang yang
mempercayainya, yang hanya bersifat moral-subyektif, bukan formal
obyektif. Patut disayangkan, fikih Islam yang tidak menaruh perhatian
yang serius terhadap lembaga syu>ra> (musyawarah) sebagai mekanisme
untuk mencapai kesepakatan umat. Bahkan dikatakan, ijma‘ sudah tidak
ada lagi.
–––––––––––––––––
40
Lihat Abdul al-Wahha>b Khalla>f, Mas\a>dir al-Tashri>‘ al-Isla>mi> fi>ma> La> Nas\s} fi>h,
(Kuwait: Da>r al-Qalam, 1973), hlm. 97-98.
41
Ibid., hlm. 111. Lihat Muh}ammad Abu> Zahra, Us\u>l al-Fiqh, (Beirut: Da>r al-
Fi>kr, t.t.), hlm. 131.
42
Mus\t\afa Zayd, al-Mas\lah}a, hlm. 181.
43
Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat” , hlm. 99.
–––––––––––––––––
44
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Iqbal Abdurrauf
Saimina (Peny.), (Bandung: Mizan, 1994), lhm. 116.
45
Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, Cet. I, (Yogyakarta:
Shalahuddin Press, 1987), hlm. 114.
46
Lihat Busthami Muhammad Said, Gerakan Pembaharuan Agama: Antara
Modernisme dan Tajdiduddin, Cet. I, (Bekasi: Wala Press, 1995), hlm. 133-134 dan 169.
Sayyid Ahmad Khan memandang bahwa ayat-ayat muh}kamat bersifat asasi yang
mengandung dasar-dasar aqidah, sedangkan ayat-ayat mutasha>bihat bersifat simbolik
yang menerima lebih dari satu penafsiran. Di samping itu, Sayyid Ahmad Khan melihat
bahwa al-Qur’an memiliki makna pokok dan makna sampingan yang dipegaruhi oleh
kondisi lingkungannya. Lihat Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat”,
hlm. 99.
D. Penutup
Fikih Kiri adalah alternatif atas kebekuan ajaran Islam dewasa
ini, yang telah dikungkung oleh bentuk-bentuk pemikiran korservatif
yang selalu mempertahankan sesuatu yang sudah mapan. Fikih Kiri
merupakan bentuk progresivisme pemikiran Islam yang ingin
mengembalikan misi ajaran Islam pada otentisitasnya, yaitu semangat
pembebasan. Membebaskan umat dari bentuk-bentuk penindasan dan
kesewenang-wenangan yang telah membuat umat menjadi sengsara
dengan kemiskinanya dan keterbelakangannya.
Mungkin ada sedikit kemiripan antara Fikih Kiri dengan dengan
perspektif Marxisme, yakni sama-sama berangkat dari asumsi adanya
penindasan dalam masyarakat oleh kelompok tertentu dan perlu upaya
strategis untuk melawan dan mengakhiri penindasan itu. Tetapi Fikih
Kiri bukan fikih yang berbaju Marxisme atau Marxisme yang berbaju
fikih. Fikih Kiri adalah manifestasi dari semangat pembebasan Islam
yang ajaran normatifnya bisa dilacak dalam Kitab Suci (al-Qur’an)
maupun contoh dalam perilaku para Nabi dan Rasul (sunnah) yang
sempat terekam dalam sejarah.
BIBLIOGRAFI