0% found this document useful (0 votes)
101 views30 pages

Usul Fiqih Transformatif

This document discusses the concept of "Left Fiqh" (Fikih Kiri), which aims to develop a new model of Islamic jurisprudence (fiqh) that is more sensitive to real social issues and takes the side of oppressed and impoverished people. It proposes revitalizing the foundations of usul al-fiqh to support this new framework of Left Fiqh. Left Fiqh is positioned as the antithesis to mainstream fiqh, which tends to protect those in power. The document argues that if fiqh does not insist on handling human problems, it will become irrelevant. It aims to critically examine classical theories of usul al-fiqh and incorporate the ideas of contemporary leftist Muslim
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
101 views30 pages

Usul Fiqih Transformatif

This document discusses the concept of "Left Fiqh" (Fikih Kiri), which aims to develop a new model of Islamic jurisprudence (fiqh) that is more sensitive to real social issues and takes the side of oppressed and impoverished people. It proposes revitalizing the foundations of usul al-fiqh to support this new framework of Left Fiqh. Left Fiqh is positioned as the antithesis to mainstream fiqh, which tends to protect those in power. The document argues that if fiqh does not insist on handling human problems, it will become irrelevant. It aims to critically examine classical theories of usul al-fiqh and incorporate the ideas of contemporary leftist Muslim
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 30

FIKIH KIRI: Revitalisasi Ushul Fiqh untuk Revolusi

Sosial

Anjar Nugroho
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto

‫ا‬
 
, W
, J
‫!ن و‬4
‫ !' ا‬Ja9#! -D WF
‫ أ;ل ا‬01* #2$
‫ ا‬J
‫ ا‬WF
‫ ا‬-2&,
$
‫ ا‬WF
‫ أ;ل ا‬-6#
‫
 درا ا>&د‬$
‫ ا‬h3‫ رس ه‬.‫ة‬a
‫ ا‬E‫@آ‬$
‫ ا‬E
‫اث‬H‫ !' ا‬1M <$ Y $* WF
‫ ا‬E,a &
‫ ا‬E!‫ا‬,
‫ ! ا‬E!* "> $"&$
‫ا‬
%
‫ !' ا‬9 -_‫ ! ه أآ‬0
‫ إ‬WF
‫ ا‬-/ ‫ة‬- l
‫ح ا‬-&) .,)‫ا
ا‬
! -‫ ا
’ ا
ا‬3I‫ أ‬W * ‫رة‬2* ‫ وه‬.-9H‫ ا‬WF
 0$9 ! ‫* وه‬$&Y‫ا‬
‫ ا
&ر‬c> " .#$"$
‫ ا‬/19
‫ وا>&د ا‬F,%&9$
‫" وا‬/%$
‫ ا‬s
M
 2
‫ا‬
-9H‫ ا‬WF
‫ا ا‬3‫ّن ه‬1 ‫ أن‬0- ./19
‫ أ; ب ا‬$ 0
‫ إ‬E$ ‫ي‬3
‫ ا‬WF1
9(-
‫ا‬
'! 9 W
S
‫ي‬3
‫ ا‬WF
‫ن ا‬H T
‫ ذ‬. $19$
‫ء ا‬$1,
‫" ا&"د ا‬a(&>‫ و‬1$*
! $& J
‫ذا‬V .‫وع‬-@$
‫ ا‬-B
‫ ا‬GC‫ ا
&ا‬0
‫دي إ‬G ‫ أن‬W> ! >9> ‫@?ت ا‬$
‫ا‬
$‫ آ‬02 W>‫ول أ‬H‫ ا‬: 
$&Y‫ ! ا‬WF
‫> ا‬, ‫ف‬9 >9> ‫@?ت ا‬$
‫ ا‬01* l1B&
‫ا‬
‫ ف‬h‫ وا
_> أن دور‬،‫س‬#
‫ ا‬W&  Y ‫ !ا‬2‫ه‬3! WF; 0
‫و‬H‫ ا‬W&
  ‫ه‬
J
‫ و‬l9  % $
‫دة ا‬2,
‫ أ!ر ا‬01* ‫را‬M! ‫ أن ن‬0
‫ إ‬-I… 0
‫ !  إ‬R%&
.>9> ‫@?ت ا‬$
‫ ا‬E ! $&

Abstract
Classical fiqh, which is based on classical Us\u>l al-Fiqh, has often been
considered out of date and no longer has its effectiveness at handling new
problems. The article is a study critically addressed to the classical theory
of Us\u>l al-fiqh, which is commonly accused as a factor that made fiqh
Anjar Nugroho

static and has nothing to do with reality. The writer proposes, then, how to
develop a new model of fiqh that is more sensitive to the real issues of
society, left fiqh. The left fiqh is fiqh that takes side with oppressed,
impoverished people (mustad}‘afi>n) and demands criticism to a hegemonic
power. This is an antithesis to mainstream fiqh, which tends to be used to
protect people with the power. It is expected that left fiqh may colourize
both the process and the result of ijtiha>d of Muslim scholars. Fiqh that
is not sensitive to human problems will merely legitimate illegal collusion.
If fiqh does not insist on handling and overcoming human problems, it
will experience two problems: first, fiqh will indulge in its settled condition
as a well established doctrine and will be always considered unnecessary.
Second, fiqh will progressively narrow its role merely focused on ritual
and make its self powerless at solving daily human problems.

Key words: Revolution, Mustad}‘afin, Mas}lah}a.

A. Pendahuluan
Dalam perspektif sejarah, terminologi kiri seringkali dikenakan
pada segala (pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan
pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh
kekuasaan dan kekuatan dominan.1 Dalam pengertian lain, kiri berarti
meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak yang patut dibela, dilindungi
dan diperjuangkan.2 Hassan Hanafi3 memaknai kiri sebagai pihak yang
berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, dan
kaum miskin. Kiri, masih menurut Hanafi, adalah sebuah istilah ilmu
politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak
antara realitas dan idealitas. Jelas, ia adalah istilah akademik yang tanpa
dibarengi pretensi politik dalam arti ideologi partai atau mobilitas massa,
tegas Hanafi.
–––––––––––––––––
1
Listiyono Santoso dan Sunarto, “Memberikan Wacana Bagi Epistemologti
Kiri: Sejumlah Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan”, dalam Listiyono
Santoso (ed.), Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm.15.
2
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal: dari Wacana Menuju Gerakan,
(Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 2002), hlm. xxxiii.
3
Hassan Hanafi, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam,
antara Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: LKiS, 2004), cet. VII, hlm. 81-82.

426 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

Kata “kiri” dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata “fikih” yang
secara istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam
mengenai perbuatan-perbuatan manusia, yang pengetahuan tersebut
diambil dari dalil yang bersifat tafs}i>liyya.4 Sehingga, Fikih Kiri yang
dimaksud adalah pengetahuan atau tuntunan syar‘i yang memihak
kepada rakyat yang tertindas, miskin (atau dimiskinkan, mustad}‘afi>n),
atau tuntutan syar‘i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap
kekuasaan hegemonik yang despotik. Fikih Kiri diposisikan sebagai
antitesis terhadap fikih mainstream yang selama ini cenderung memihak
kepada-atau dipakai untuk mengamankan– kekuasaan.
Fikih selalu dijadikan sebagai tolok ukur dalam melihat
persoalan-persoalan umat. Hanya saja, para ahli fikih atau lebih dikenal
sebagai fuqaha>’ (organisasi formal fuqaha>‘ Indonesia adalah MUI) dalam
melihat persoalan umat dalam banyak kasus cenderung memilih
persoalan yang tidak menyinggung atau menggoyang kemapanan
kekuasaan. MUI misalnya, hanya berkutat pada memberi label halal-
haram atau memberi fatwa sesat kepada kelompok yang dianggap
menyimpang dari tradisi keagamaan mainstream, tetapi enggan mengutuk
pabrik-pabrik yang menggaji rendah buruh atau mengutuk (kalau perlu
fatwa murtad) terhadap koruptor kelas kakap.
Fikih Kiri diharapkan akan mewarnai kerangka proses maupun
hasil ijtihad para ulama. Ketidakpekaan fikih dalam menyoroti masalah
kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi terhadap
pelanggaran kemanusiaan. Jika fikih terlambat dalam menangani dan
mengatasi masalah kemanusiaan, fikih akan mengalami dua masalah
bersamaan: Pertama, fikih akan manja dalam kemapanannya. Fikih akan
selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tidak perlu melihat
ke bawah. Kedua, peran fikih akan semakin sempit hanya pada masalah
ritual belaka. Masalah yang kedua ini menjadikan fikih tidak berarti
apa-apa dalam menjawab problem-problem riil rakyat.
Untuk menuju kepada Fikih Kiri, perlu dikoreksi berbagai
perangkat metodologis yang melahirkan fikih, yakni us}u>l al- fiqh. Jika
ilmu fikih merupakan ilmu yang bersifat praksis semata-mata, maka
ilmu us}u>l al-fiqh merupakan ilmu tentang “teoritisasi aktivitas praksis”
–––––––––––––––––
4
Abd al-Wahha>b Khalla>f, Us}u>l al-Fiqh, (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1978), hlm. 15.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 427


Anjar Nugroho

yang memberikan teoritisasi perbuatan, logika perilaku, dan metodologi


aktivitas praksis.5 Mengkoreksi atau mengkaji ulang us}u>l al-fiqh berarti
mengkaji ulang berbagai teori yang terdapat dalam us}u>l al-fiqh, termasuk
di dalamnya kaji ulang terhadap teori qat}‘i>-z}anni>, muh}kam-mutasha>bih,
na>s}ikh-mans}u>kh, dan yang lebih penting adalah mengembalikan seluruh
bangunan fikih kepada landasan fundamentalnya, yaitu mas} l ah} a
(kepentingan rakyat). Sebagaimana kata al-T}u>fi, mas}lah}a merupakan
sesuatu yang qat}‘i>, sementara teks bersifat z}anni>.6
Tulisan ini akan mencoba melakukan kaji ulang secara kritis
terhadap teori-teori us}u>l al-fiqh yang selama ini telah memasung fikih
menjadi sekedar kumpulan hukum statis yang tidak bisa berbicara apa-
apa terhadap problem dan nasib rakyat. Banyak pemikir muslim
kontemporer yang dalam tulisan ini pemikirannya akan diramu
sedemikian rupa, sehingga terwujud sebuah konstruksi pemikiran fikih
baru yang disebut Fikih Kiri. Para pemikir itu tentunya yang selama
ini dikenal sebagai para pemikir Islam kiri, misalnya Ali Syariati dan
Hassan Hanafi.
Dalam tulisan ini akan dielaborasi lebih lanjut tentang konsep
Fikih Kiri dengan berangkat dari pokok-pokok masalah sebagai berikut:
Pertama, tentang apa yang menjadi tujuan dan orientasi Fikih Kiri. Kedua,
tentang bagaimana revitalisasi us}u>l al-fiqh untuk mendukung bangunan
Fikih Kiri, dan ketiga, tentang apa yang menjadi proyek strategis revolusi
sosial dalam rangka menggerakkan Fikih Kiri dalam dataran praksis.

B. Tujuan dan Orientasi Fikih Kiri


Fikih dalam agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk
pemikiran ulama yang mencoba melakukan interpretasi atas
normativitas teks/nas} dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan zaman.
Dalam khasanah fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang
mencerminkan kecenderungan para fuqaha>’ dalam melakukan ijtihad
(intellectual exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam

–––––––––––––––––
5
Hasan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 7.
6
Wahbah al-Zuhayli>, Us\ul> al-Fiqh al-Isla>mi>,Juz II (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986),
hlm. 803-804

428 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihad.


Ada aliran fikih yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih
besar kepada akal untuk terlibat dalam proses ijtihad, ada aliran yang
cenderung literal karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor
dominan dalam proses ijtihad.
Berbagai ragam aliran fikih pada era klasik lebih mencerminkan
kebutuhan masyarakat atau umat saat itu ketimbang sekedar adu
argumen berbasis metodologi tertentu yang tidak memiliki nilai praksis
apa pun. Imam Hanafi lebih liberal dalam berijtihad, karena ia
dihadapkan pada dinamika Bashrah yang ting gi, sementara
perbendaharaan teks (Qur’an dan Hadis) jumlahnya terbatas. Inilah
kondisi yang memberi peluang kepada Imam Hanafi untuk lebih kreatif
dalam memainkan eksperimen intelektualnya.
Tetapi, dari sekian corak dan ragam pemikiran fikih yang muncul
pada zamannya, pemikiran itu mencerminkan bentuk solusi konkret
problem masyarakat yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam
menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud oleh Hassan
Hanafi dengan nilai praksis pemikiran keagamaan,7 sebuah segmen yang
sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan
wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.
Fikih Kiri yang menjadi diskursus inti dalam tulisan ini tentu
saja memiliki tujuan dan orientasi sebagai bagian dari upaya
mengarahkan Fikih Kiri ke arah pemikiran keagamaan yang memiliki
nilai praksis. Wacana Fikih Kiri sewarna dengan wacana Islam Kiri
yang sudah digagas luas oleh Hassan Hanafi maupun beberapa pemikir
lain yang menempatkan Islam sebagai kekuatan kritik sosial dan
revolusi. Fikih Kiri pun diarahkan kepada bentuk pemikiran fikih yang
mempunyai keberpihakan yang jelas kepada pihak yang teraniaya dan
tertindas. Fikih Kiri di sini harus dapat memberi panduan kepada umat
untuk dapat memformulasikan bentuk-bentuk perlawanan kepada
kezaliman sebagai manifestasi perjuangan menegakkan keadilan dan
kemaslahatan di muka bumi.

–––––––––––––––––
7
Lihat Hasan Hanafi, Islamologi I: dari Teologi Statis ke Anarkis, Miftah Faqih
(pertj.), (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 160-177.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 429


Anjar Nugroho

Prof. K.H. Ali Yafie8 dan K.H. Sahal Mahfudz9 adalah ulama
fikih Indonesia yang pernah melontarkan pemikiran tentang fikih sosial.
Fikih sosial dalam bayangan mereka adalah fikih yang mempunyai
orientasi sosial, yaitu senantiasa memberi perhatian penuh kepada
masalah-masalah sosial. Fikih bukan saja seperangkat hukum yang
mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mah}d}a kepada Allah,
tetapi bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan
orang lain (mu‘a>mala) dengan berbagai macam dimensi: politik, ekonomi,
budaya, dan hukum.
Fikih sosial, begitu juga Fikih Kiri, memiliki asumsi bahwa fikih
adalah al-ah}ka>m al-‘amaliyya (hukum perilaku) yang bertanggungjawab
atas pernik-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor
kebajikan dan tidak mengganggu pihak lain, sehingga kemaslahatan
dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fikih diukur oleh
relevansinya dalam membawa masyarakat ke arah yang lebih makmur,
dinamis, adil, dan beradab (mas}lah}a).
Fikih Kiri dalam konteks ini berseberangan dengan fikih yang
selama ini diasumsikan sebagai sesuatu yang statis untuk mendukung
stabilitas dalam masyarakat. Lagi-lagi, ini adalah sebagai akibat dari
bias kepentingan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan maupun pengetahuannya.
Fikih yang diposisikan sebagai medium harmoni macam ini, akan
terjebak pada arus yang tidak seirama dengan kepentingan rakyat
banyak.10
Penguasa memang mempunyai kepentingan yang kuat untuk
mengukuhkan hegemoni kekuasaannya, tanpa peduli apakah yang ia
lakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan
masyarakat. Tidak jarang penguasa melakukan kolaborasi dengan pihak
–––––––––––––––––
8
Lihat karya Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 10-15.
9
Lihat karya Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm.
1-9.
10
Mogok kerja, misalnya, dianggap sebagai tindakan yang melanggar akad antara
pekerja dan pihak manejemen perusahaan, sehingga perilaku pekerja ini tidak boleh
menurut ketentuan fikih. Mengapa demikian? Karena fikih diposisikan sebaqgai
seperangkat aturan untuk menjaga stabilitas tanpa harus melihat aspek-aspek
penindasan, penganiayaan, dan sebagainya.

430 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

penguasa agama (ulama), agar kebijakan yang ia telorkan memiliki bobot


legitimasi yang kuat. Aneka kebijakan pembangunan dengan
menggusur rumah-rumah kumuh yang notabene dimiliki oleh rakyat
jelata dan papa, diamini oleh ulama rezim dengan dalih untuk
kemaslahatan umum, yaitu ketertiban tata kota.11 Tentu saja, ini
fenomena yang sangat mencengangkan, dilihat dari perspektif peran
ulama yang semestinya lebih berpihak kepada rakyat kecil, ketimbang
penguasa yang sering menindas rakyatnya. Fikih yang keluar dari
pemikiran ulama model ini sarat dengan kepentingan kelas tertentu,
dan sama sekali tidak menyentuh akar kebutuhan rakyat.
Fikih Kiri mempunyai orientasi dan misi pembebasan,
sebagaimana yang menjadi cita-cita Islam progresif. Pembebasan dan
Fikih Kiri bermakna melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi
terhadap tatanan sosial yang penuh penyimpangan dan ketidakadilan,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul dahulu.
Masing-masing Nabi dan Rasul mendapat tugas risalah yang muaranya
adalah pembebasan manusia dari belenggu kezaliman dan tirani.
Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak pula pada
diri Nabi Muhammad saw., Nabi dan Rasul pamungkas dari kesekian
Nabi dan Rasul yang pernah diutus Allah di muka bumi. Pada zamannya,
Makkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya, tetapi
banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan
mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang
yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul,
menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan
mereka dapat dikubur hidup-hidup.12 Ada banyak budak, para janda,
dan anak yatim yang diabaikan, tanpa ada yang peduli terhadap nasib
mereka. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun
bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari
kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri
dari Makkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak dan dia
kembali dengan pasukan pembebas untuk menagakkan keadilan.
Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan
–––––––––––––––––
11
Lihat Eko Prasetyo, Islam Kiri…, hlm. xxv-xlv.
12
Gambaran sadis dan biadab itu dapat dilihat dalam al-Qur’an, al-Takwi>r: 8-9.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 431


Anjar Nugroho

diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari


kerajaan Romawi dan Persia yang menindas.13 Dari praksis inilah tradisi
pembebasan Islam muncul.
Rasulullah saw., yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji,
adalah nabi terakhir dan merupakan sang revolusioner pertama di zaman
ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan,
kaum yang miskin dan lemah. Perkataannya yang mengandung wahyu
menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang
sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama
dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan, dan
persaudaraan manusia.14
Rasul mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana
alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan
oleh semua orang secara kolektif, karena semua komunitas yang
berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal
penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air,
tambang-tambang, dan kebun buah-buahan, yang kepadanya
masyarakat menggantungkan hidup untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar mereka.
Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan
manusia, Muhammad saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong
emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama
terutama adalah budak-budak, mawa>li> (budak yang telah dimerdekakan),
para wanita, dan anak-anak yatim, sehingga banyak sahabat yang
dulunya adalah seorang budak. Di antaranya adalah Bilal, Syu’aib,
Salman, Zaid ibn Harithah, Abdulla>h ibn Mas’u>d, dan ‘Ammar ibn
Yassir.15
Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani
membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh
orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para
bangsawan, para pemilik budak, dan para ahli agama. Ia mengangkat
–––––––––––––––––
13
Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Bandung: Mizan,
1999), hlm. 28-30; bandingkan dengan Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi (Yogyakarta:
LKiS, 2000), hlm. 23-29.
14
Lihat Ziaul Haque, Wahyu, hlm. 216.
15
Ibid., hlm. 226.

432 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

harkat manusia dari jurang takhayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan


yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme,
arogansi, dan nafsu kebendaan.16
Nabi-nabi sebelum Muhammad, seperti Musa, Isa, dan Ibrahim
adalah pula para pemberontak dan revolusioner yang melakukan
revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan
kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang
sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan
kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan perjuangan
mereka adalah menghapuskan penindasan dalam segala bentuknya:
Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri
wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu.
Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan
makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi
janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapa pun yang Kami sukai;
tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah
mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang berisi pelajaran
bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah beberapa banyak
penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang
sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain !
Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari
menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada
kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat
ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-
wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan
mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.17
Secara harfiyah, z}ulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu
atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut
sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi
z}ulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni,
penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni atau
equilibrium segala sesuatu.18
Al-Qur’an mendefinisikan za>limun, para penindas, adalah orang-
orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan
–––––––––––––––––
16
Ibid., hlm. 45.
17
al-Qur’an, al-Anbiya>’: 7-15.
18
Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984), hlm. 255.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 433


Anjar Nugroho

kesetaraan).19 Mereka adalah”yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan


membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang
menyuruh orang berbuat adil....”20 Al-Qur’an mengumpamakan keadaan
para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa
yang membeku (III:116 – 117).
Ali Shari’ati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx,
menyatakan bahwa dalam sejarah selalu ada pertarungan antara dua
pihak, penguasa yang z}a>lim dengan Islam yang membela kaum tertindas.
Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum
lemah dan tertindas (mustad}‘afi>n), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan
Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus
agama untuk berlindung di bawah kemapanan kekuasaan yang zalim,
dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat
menghancurkan kezaliman dan membela orang kecil.21
Tetapi, yang perlu mendapat cacatan tebal di sini adalah bahwa
Fikih Kiri, sebagaimana pula Islam kiri, bukanlah fikih yang dibungkus
Marxisme, karena hal itu berarti menafikkan makna revolusioner Islam
dan fikihnya serta mengingkari tuntutan kaum muslimin terhadap
kemerdekaan, persamaan, dan keadilan sosial. Fikih Kiri – sebagaimana
pula Islam kiri – bukan pula Marxisme yang berbaju Islam, karena hal
itu berarti pengecut, dan bukan pula pertautan ekletik keduanya, karena
pertautan yang demikian itu mencerminkan pemikiran yang tidak
mengakar dan tercerabut dari realitas rakyat. Tidak ada sedikit pun
pengaruh Marxisme dalam Fikih Kiri, baik dalam bentuk maupun
substansi. Ia murni merefleksikan kebutuhan kaum Muslimin yang
selama ini tertindas, dengan menggali akar-akar revolusioner dalam
ajaran Islam melalui upaya revitalisasi teori-teori yang selama ini
digunakan sebagai landasan pijak pemikiran Islam.22
Itulah yang menjadi tujuan dan orientasi Fikih Kiri, fikih yang
selalu berpihak kepada mereka yang ditindas, teraniaya, miskin (atau
termiskinkan, mustad}‘afi>n). Melalui formulasi Fikih Kiri, problem-

–––––––––––––––––
19
al-Qur’an, al-Baqarah: 254.
20
al-Qur’an, Ali ‘Imran: 21.
21
Ali Shari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 45.
22
Lihat Hassan Hanafi, “Apa Arti Kiri Islam” , hlm. 128.

434 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

problem mendasar dalam kehidupan masyarakat dapat diselesaikan


melalui rumusan-rumusan hukum dan fatwa agama yang selalu
membela kepentingan rakyat banyak. Mas}lah}a>t al-‘a>mma (kemaslahatan
umum) menjadi barometer dan landasan asasi dalam merumuskan Fikih
Kiri. Untuk itu, dalam analisis selanjutnya akan diuraikan bagaimana
us}u>l al-fiqh direvitalisasi untuk menghasilkan landasan teoritik fikih yang
tidak statis tetapi dinamis, tidak konservatif tetapi progresif.

C. Revitalisasi Us}u>l al-Fiqh


Problem mendasar ketika fikih hendak diposisikan pada tataran
yang lebih progresif dan dinamis adalah problem metodologi. Pada
problem ini, us}u>l al-fiqh sebagai landasan teoritik bangunan pemikiran
fikih, terjebak pada pergulatan kaidah-kaidah bahasa, seolah-oleh para
pakar yang terlibat dalam pergulatan itu sedang mencoba untuk
memahami maksud nas yang di dalamnya ada pikiran Tuhan. Inilah
terdapat paradoks yang sulit dimengerti. Bagaimana pikiran Tuhan
dipahami pada tataran bahasa yang notabene adalah ciptaan manusia.
Pertanyaan filosofis lebih lanjut adalah: apakah fikih yang bersumber
kepada kemaslahatan, harus sesuai dengan mas} l ah} a -nya Tuhan?
Bukankah ukuran kemaslahatan itu ada di bumi, karena pada
hakekatnya manusia yang merasakan sesuatu itu mas}lah}a atau bukan?
Pada intinya, Fikih Kiri membutuhkan revitalisasi us}u>l al-fiqh,
agar fikih kiri tidak terjebak pada kungkungan us}u>l al-fiqh klasik yang
languange-oriented, tetapi mengabaikan fakta-fakta empirik di lapangan.
Pendekatan us}u>l al-fiqh yang lebih condong ke deduktif, misalnya,
direorientasi kepada pendekatan induktif dan empiris yang lebih dekat
pada problem-problem riil masyarakat, bukan masyarakat yang terus-
menerus dipaksa sesuai dengan teks.
Ada dua proyek revitalisasi yang akan dibahas dalam tulisan ini,
yaitu menempatkan mashlahat sebagai landasan syari’at, dan
rekonstruksi teori qat\‘i>@–z}anni> atau muh}kama>t-mutashabiha>t. Berangkat
dari dua proyek revitalisasi ini, dicoba untuk diproyeksikan bangunan
fikih yang mempunyai keberpihakan yang jelas dan otentik pada rakyat
banyak, tanpa harus terjebak pada problem-problem metodologis.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 435


Anjar Nugroho

1. Kemaslahatan Sebagai Landasan Syari’at


Syari’at 23 pada prinsipnya mengacu kepada kemaslahatan
manusia. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama Us}u>l al-
fiqh, dalam setiap hukum itu terkandung kemaslahatan bagi hamba
Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun
ukhrawi. Oleh karena itu, setiap mujtahid dalam meng-istinba>t}-kan
(menyimpulkan) hukum dari suatu kasus yang dihadapi, harus
berpatokan kepada tujuan-tujuan syara’ dalam mensyari’atkan hukum,
sehingga hukum yang akan ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan
umat manusia.24
Masdar Farid Mas’udi adalah salah satu pemikir muslim Indonesia
yang menempatkan kemaslahatan dan keadilan sebagai landasan
syari’at, baik landasan filosofi maupun epistemologinya. Masdar
berpendapat bahwa hukum (legal) haruslah didasarkan kepada sesuatu
yang tidak disebut hukum,25 akan tetapi didasarkan kepada yang lebih
mendasar dari sekadar hukum, yaitu sebuah sistem nilai yang dengan
sadar diambil sebagai sebuah keyakinan yang harus diperjuangakan,
yakni kemaslahatan, keadilan.26 Untuk selanjutnya, di bawah ini adalah
pembahasan tentang mas}lah}a secara lebih detil dan konprehensip.

–––––––––––––––––
23
Syari’at pada awalnya adalah sekumpulan prinsip-prinsip moral, hukum dan
aqidah. Namun pada abad XIII Hijriyah, ketika reformulasi teologi Islam dikristalkan,
untuk pertama kali kata syari’at mulai dipakai dalam pengertian yang lebih sistematis.
Syari’at dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum (peraturan hukum) saja.
Sedangkan teologi dikeluarkan dari cakupannya. Lihat Abdul Hamid Abu Sulayman,
“Fikih Islam”, dalam Syamsul Anwar (ed.), Islam, Negara dan Hukum, Cet. I, (Jakarta:
INIS, 1993), hlm. 123. Ibrahim Hosen membedakan antara fikih dan syari’at.
Menurutnya, Syari’at adalah yang telah dijelaskan secara tegas oleh nas Al-Qur’an dan
Sunnah,sehingga bersifat qat’i, sedangkan fikih adalah yang tidak dijelaskan secara tegas
oleh nas Al-Qur’an dan Sunnah sehingga bersifat zanni. Lihat Ahmad Zakariya (peny),
Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembahasan Hukum Islam di Indonesia, cet.i (Jakarta: Pustaka
Harapan, 1990), hlm. 103 - 104.
24
Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Aziz Dahlan et.al., cet. i (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996), jilid 4, hlm. 1108.
25
Hukum di sini maksudnya adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Nabi
yang pada dasarnya adalah ayat dan hadis hukum.
26
Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at”,
dalam Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995, hlm. 95.

436 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

Mas}laha> secara terminologi adalah sesuatu yang bermanfaat,


baik dengan menarik sesuatu atau menghasilkan sesuatu, seperti
menghasilkan manfaat dan kebahagiaan atau dengan cara menolak,
seperti menjauhkan dari kemadharatan dan penyakit.27
Mashlaha> menurut Abdullah ‘Abd al-Muh}sin al-Za>ki>, adalah suatu
ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat
dan menolak mafsada dari manusia.28 Sementara itu, al-Shawka>ni>>
mendefinisikan mas}lah}a sebagai memelihara maqa>sid al-shari>‘a dengan
menolak mafsada dari umat.29 Al-Bu>t\i> memandang mas}laha sebagai
manfaat yang dikehendaki oleh sya> r i‘ untuk hamba-Nya dengan
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.30 Al-Sha>t\ibi>
mendifinisikan mas}lah}a sebagai sesuatu yang merujuk atau dikembalikan
kepada tegaknya kehidupan manusia.31
Sementara al-Ghaza>li> mengatakan:
...yang dimaksud dengan mas}lah}a adalah memelihara tujuan syara’. Dan
tujuan syara’ kepada makhluq ada lima, yakni memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta mereka. Dengan demikian, semua yang
mencakup pemeliharaan dasar-dasar yang lima ini adalah mas}lah}a dan
semua yang tidak mencakup dasar-dasar ini adalah mafsadah dan
menolak mafsada adalah suatu kemaslahatan.32
Dalam pengertian tersebut, al-Ghaza>li> tidak memaknai mas}lah}a
secara ‘urf, yang dimaksud adalah menarik manfaat atau menolak
kesulitan menurut maqa>s}id al-shari>‘a, bukan kemanfaatan dan kesulitan
itu sendiri. Dalam hal ini, terkadang manusia memandang sesuatu
bermanfaat, sedang menurut pandangan syar‘i> adalah merusak (mafsada)
atau sebaliknya. Dengan demikian, tidak ada kepastian antara mas}lah}a

–––––––––––––––––
27
Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n, al-Mas}a>lih al-Mursala wa Maka>natuha> fi> al-Tashri>‘,
(Beirut: Da>r al-Kutub al-Jami’, t.t.), hlm. 12-13.
28
‘Abdulla>h ‘Abd al-Muh}sin al-Zaki>, Us\ul> al-Fiqh Madhhab al-Ima>m Ah}mad Dira>sat
Us}u>liyya Muqa>rana, cet. 2, (Riyad: Maktabat al-Riya>d} al-H{adi>tha, 1980), hlm. 513.
29
Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Shawka>ni>, Irsha>d al-Fukhu>l ila> Tah}qi>q al-H{aq min ‘Ilm al-
Us}u>l , cet. i (Surabaya: Shirka Maktaba Ah}mad ibn Sa’ad ibn Nabha>n, t.t.), hlm 242.
30
Muh}ammad Sa’id Ramad}an > al-Bu>ti\ ,> D{awa>bit\ al-Mas}lah}a fi> al-Shari>‘a al-Isla>mi>yya,
cet.2, (Beirut: Mu’assasat al-Risa>la, 1977), hlm. 23.
31
al-Sha>t\ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> al-Shari>‘a, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyya, t.t.) II,
hlm. 29.
32
al-Ghaza>li>, al-Mustashfa> min al-Usu>l , (Damaskus: Ba‘id al-H{usayn, t.t.), hlm. 251.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 437


Anjar Nugroho

dan mafsada menurut ‘urf manusia dan ‘urf syar‘i. Dengan kata lain,
mas}lah}a dalam pandangan al-Ghaza>li> adalah memelihara tujuan syar‘i,
meskipun bertentangan dengan tujuan manusia. Karena tujuan manusia,
ketika bertentang dengan tujuan syari‘ dalam suatu kemaslahatan
tetentu bukanlah merupakan kemaslahatan, melainkan hawa nafsu yang
merasuk ke dalam jiwa.33 Karena itu, mas}lah}a tidak hanya dipandang
dari sudut manusia, tetapi harus melihat pada apa yang telah disebutkan
dalam nas/teks.34
Memperkuat pendapat al-Ghaza> l i, Wahbah al-Zuh} a yli>
memandang bahwa setiap mas} l ah} a dikembalikan kepada usaha
memelihara tujuan syara‘ yang berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan ijmak.
Apabila mas}lah}a dipahami seperti itu, maka tidak ada perbedaan
pendapat untuk memeganginya sebagai h} u jjah. 35 Al-Zuhaili lalu
menjelaskan dengan lebih jelas sebagai berikut:
Karena manusia berbeda-beda dalam menentukan kemaslahatan sesuai
dengan terwujudnya kemanfaatan dha>ti> (sesungguhnya), bukan menolak
kemaslahatan yang sudah disepakati, maka dalam pemberlakuan hukum
hendaknya ada keseimbangan keadilan antara manusia dalam
menentukan mas}lah}a dan manfaat. Dari sinilah menjadi jelas keperluan
untuk menentukan mas}lah}a berdasarkan ketentuan syara’, dengan tidak
boleh dibebankan kepada individu tertentu. Dengan demikian dapat
dipahami hukum yang sesuai dengan watak manusia.36
Hassan Hanafi dalam hal ini telah mengembangkan paradigma
fikih dan us} u > l al-fiqh Maliki, karena menggunakan pendekatan
kemaslahatan (mas}lah}a mursala) serta membela kepentingan umat Islam.
Paradigma ini dikuatkan Malikiyah berdasarkan tradisi Abdullah Ibn
Mas’ud yang dikembangkan dari Umar Ibn al-Khattab. Hanafi
berpendapat bahwa Malikiyah lebih dekat dengan realitas untuk

–––––––––––––––––
33
H{usayn H{ami>d H{asan, Naz}a>riyya al-Mas}lah}a fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, (Kairo: Da>r al-
Nahd}a al-‘Arabiyya, 1971), hlm. 6.
34
Mus}ta\ fa> Zayd, al-Mas}lah}a fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T}uf> i>, (t.t.p.: Da>r
al-Fi>kr al-‘Arabi>, 1954), hlm. 20.
35
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>, cet. 2, (Damaskus: Da>r al-Fi>kr, 1986),
hlm. 765.
36
Ibid., hlm. 750

438 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

mengambil keputusan hukum berdasarkan kemaslahatan umum.37


Kiri Islam Hassan Hanafi mengkaji secara kritis seluruh tradisi
legislasi (tasyri>‘) dengan menerima apa yang terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah yang sahih, karena syari’at pada dasarnya berdiri di atas
landasan kemaslahatan.Kemaslahatan merupakan prinsip kajian atas
teks al-Qur’an dan sunnah, ijma’, dan ijtihad para fuqaha>‘.38
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang fundamental dari
bangunan pemikiran hukum Islam (fikih) adalah kemaslahatan.
Kemaslahatan manusia yang universal atau dalam ungkapan yang lebih
operasional, keadilan sosial. Karena sejak semula, syariat Islam tidak
memiliki basis (tujuan) lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan
standar bahwa syari’at Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia,
lahir batin, duniawi maupun ukhrawi, semuanya mencerminkan prinsip
kemaslahatan.
Munawir Sjadzali dan Ali Yafie memandang bahwa ketentuan-
ketentuan dalam bidang mu‘amalah terbuka kesempatan bagi pemikiran
atau penalaran intelektual dalam mencari pelaksanaan syari’at dengan
kepentingan masyarakat dan prinsip keadilan sebagai dasar
pertimbangan dan tolok ukur utama. Karena, aspek mu‘amalah
diberikan oleh nas} dalam bentuk ketentuan yang bersifat umum, yang
dapat dikembangkan lebih lanjut guna mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin
hak dan kewajiban yang berkepentingan secara adil.39
Al-T}u>fi>> sendiri memandang bahwa ibadah adalah hak Allah,
sehingga tidak mungkin dapat diketahui kecuali dari Allah sendiri.
Berbeda dengan mu‘amalah, yang merupakan hak manusia yang
diberlakukan untuk kemaslahatan manusia sendiri. Penegasan al-T|u>fi>
bahwa mas}lah}a lebih didahulukan daripada nas, apabila keduanya saling
bertentangan, karena al-T|u>fi> sendiri menyelesaikannya dengan takhs}i>s}

–––––––––––––––––
37
H. Ridwan, Pemikiran Hasan Hanafi> tentang Rekonstruksi Tradisi Keilmuan Islam,
cet.I, (Yogyakarta: Ittiqa Press, 1998), hlm. 35-36.
38
Ibid., hlm. 36.
39
Lihat Ali Yafi>e, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam “, dalam
Jalaluddin Rahmat (ed), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 71 dan
121.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 439


Anjar Nugroho

dan baya>n.40
Sementara itu, Masdar F. Mas’udi tidak memandang semua aturan
dalam nas dapat dirubah karena kemaslahatan, tetapi Masdar membatasi
pada aturan yang bersifat tehnis operasional. Karena bagi Masdar,
syari’at adalah sarana dan mas}lah}a adalah tujuannya. Al-T}u>fi> pun
berpendapat demikian, bahwa mas} l ah} a adalah sebab yang
mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan. Penegasan al-T}u>fi> ini
didasarkan kepada prinsip kemaslahatan yang lebih ditujukan pada
kemanfaatan manusia. 41 Sedangkan Must\afa> Zayd mendahulukan
mas}lah}a daripada nas}, apabila mas}lah}a itu bersifat qat}‘i> dan d}aru>ri>,
meskipun bukan mas}lah}a yang kulli>.42
Dalam kemaslahatan yang menyangkut orang banyak (sosial-
obyektif), otoritas yang berhak memberikan penilaian dan sekaligus
menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan,
melalui mekanisme syu>ra> untuk mencapai kesepakatan (ijma‘). Jadi, apa
yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian mas}lah}a
melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang
banyak, di mana kita merupakan bagiannya, itulah hukum yang
tertinggi.43
Kesepakatan orang banyak adalah hukum tertinggi yang
mengikat. Apabila kesepakatan hukum dicapai dalam musyawarah,
maka ia berfungsi sebagai hukum yang secara positif mengikat.
Sebaliknya, apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah,
maka daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang-orang yang
mempercayainya, yang hanya bersifat moral-subyektif, bukan formal
obyektif. Patut disayangkan, fikih Islam yang tidak menaruh perhatian
yang serius terhadap lembaga syu>ra> (musyawarah) sebagai mekanisme
untuk mencapai kesepakatan umat. Bahkan dikatakan, ijma‘ sudah tidak
ada lagi.

–––––––––––––––––
40
Lihat Abdul al-Wahha>b Khalla>f, Mas\a>dir al-Tashri>‘ al-Isla>mi> fi>ma> La> Nas\s} fi>h,
(Kuwait: Da>r al-Qalam, 1973), hlm. 97-98.
41
Ibid., hlm. 111. Lihat Muh}ammad Abu> Zahra, Us\u>l al-Fiqh, (Beirut: Da>r al-
Fi>kr, t.t.), hlm. 131.
42
Mus\t\afa Zayd, al-Mas\lah}a, hlm. 181.
43
Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat” , hlm. 99.

440 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

Dalam masalah ini, Fazlur Rahman pun menyayangkan sikap


kaum muslimin yang telah dikuasai otokrat-otokrat politik yang
menyatakan bahwa musyawarah bersama (syu>ra>) yang diajarkan oleh
al-Qur’an tidak pernah dilembagakan. Padahal, menurut Rahman,
dalam wawasan egaliternya mengenai badan sosial dan badan politik
Islam, misalnya al-Qur’an telah menetapkan bahwa kaum muslimin
harus memutuskan urusan-urusan mereka lewat musyawarah bersama
atas pijakan yang sama.44 Rahman memandang kelompok dalam ahl as-
syu>ra> adalah ahl al-h}all wa al-‘aqd sampai akhirnya disebut ahl al-shauka,
yakni orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Jika dilihat dari jarak
antara perkembangan politik yang sesungguhnya di dalam sejarah Islam
dan tuntutan al-Qur’an akan ditemukan jurang yang benar-benar
menganga. Al-Qur’an menuntut diskusi timbal balik dalam pengambilan
keputusan. Tetapi, pengertian syu>ra> tersebut dalam praktek mengalami
distorsi makna, yakni dengan cara kepala negara mengangkat dan
memilih orang-orang tertentu yang mampu berpikir dan berpengaruh.45

2. Rekonstruksi Teori Muh}kama>t dan Mutasha>biha>t atau Qat\‘i>> dan Z{anni>


Setelah menjelaskan bahwa kemaslahatan atau keadilan menjadi
muara dari diberlakukannya hukum Islam, untuk kepentingan
membangun fikih kiri, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad
Asad, kajian selanjutnya adalah menempatkan ayat muh}kama>t dan
mutasha> b iha> t atau qat} ‘ i> dan z} a nni> sebagai kunci pembuka dalam
memahami al-Qur’an.46

–––––––––––––––––
44
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Iqbal Abdurrauf
Saimina (Peny.), (Bandung: Mizan, 1994), lhm. 116.
45
Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, Cet. I, (Yogyakarta:
Shalahuddin Press, 1987), hlm. 114.
46
Lihat Busthami Muhammad Said, Gerakan Pembaharuan Agama: Antara
Modernisme dan Tajdiduddin, Cet. I, (Bekasi: Wala Press, 1995), hlm. 133-134 dan 169.
Sayyid Ahmad Khan memandang bahwa ayat-ayat muh}kamat bersifat asasi yang
mengandung dasar-dasar aqidah, sedangkan ayat-ayat mutasha>bihat bersifat simbolik
yang menerima lebih dari satu penafsiran. Di samping itu, Sayyid Ahmad Khan melihat
bahwa al-Qur’an memiliki makna pokok dan makna sampingan yang dipegaruhi oleh
kondisi lingkungannya. Lihat Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat”,
hlm. 99.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 441


Anjar Nugroho

Dalam kitab-kitab us}u>l al-fiqh, telah disepakati para ulama us}u>l,


bahwa qat\‘i> adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nas. Dalam
pengertian yang lebih sesuai, qat\‘i> dalam hukum Islam adalah sesuatu
yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat
fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan, yang notabene
adalah jiwanya hukum. Ajaran qat\‘i> adalah ajaran yang bersifat prinsip
dan absolut, sebutlah misalnya ajaran-ajaran tentang kebebasan dan
pertanggungjawaban individu, kesetaraan manusia (tanpa memandang
jenis kelamin, warna kulit, dan suku bangsa) di hadapan Allah. Juga
ajaran tentang keadilan, persamaan manusia di hadapan hukum, tidak
merugikan diri sendiri dan orang lain, kritik dan kontrol sosial, menepati
janji dan menujunjung tinggi kesepakatan, tolong-menolong untuk
kebaikan, yang kuat melindungi yang lemah, musyawarah dalam urusan
bersama, kesetaraan suami-istri dalam keluarga, dan saling
memperlakukan yang ma’ruf (mu‘a>shara bi’l-ma‘ru>f) di antara mereka
berdua. Semua ajaran ini bersifat prinsip dan fundamental. Kebenaran
dan keabsahannya pun tidak memerlukan argumen di luar dirinya. Nilai-
nilai tersebut di atas membenarkan dan mengabsahkan dirinya sendiri.
Ayat-ayat qat\‘i> ini kandungannya bersifat prinsip dan menjadi
kekuatan moral-etik yang tidak diperselisihkan oleh berbagai kelompok
atau menjadi lintas madzab dan agama. Karena itu, kebenarannya tidak
dapat diperselisihkan. Dengan mendasarkan kepada ayat ini, tentu tidak
kehilangan referensi tekstual sebagai dasar, sehingga tidak lepas dari
kerangka acuan dalam merumuskan hukum.47
Dalam bahasa lain, istilah qat\‘i> dan z}anni> disebut juga muh}kama>t
dan mutasha>biha>t.48 Dengan pendekatan transformatif, mengkaji ulang
–––––––––––––––––
47
Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih
Pemberdayaan, Cet. 2, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 28.
48
Ada banyak perbedaan pendapat dalam mendefi>nisikan muh}kam dan mutasha>bih.
Pertama, muh}kam adalah yang dala>lah-nya jelas dan tidak mengandung nasakh. Mutasha>bih
adalah yang dala>lah-nya tidak jelas, yang tidak diketahui maknanya secara ‘aqli> dan naqli>.
Kedua, muh}kam adalah yang diketahui maksudnya, baik dengan penjelasan maupun
dengan pentakwilan. Mutasha>bih adalah yang telah dibakukan oleh Allah, seperti hari
kiamat. Ketiga, muh}kam adalah yang hanya satu takwilnya dan mutasha>bih adalah yang
takwilnya banyak. Keempat, muh}kam adalah yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan
penjelasan, sedangkan mutasha>bih adalah yang tidak berdiri sendiri dan bahkan
memerlukan penjelasan. Kelima, muh}kam adalah yang benar dan teratur yang

442 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

konsep muh}kama>t dan mutasha>biha>t adalah penting sebagai pembuka


bagi seluruh bangunan pemahaman terhadap ayat-ayat, yang berarti
pemahaman ayat-ayat itu sendiri secara keseluruhan. Bertitik tolak dari
mempersepsikan ayat sebagai “perlambang dari kebenaran” yang
dipesankannya; pendekatan transformatif mendefinisikan ayat
muh}kama>t dan mutasha>biha>t bukan dari sudut verbal bahasa, melainkan
dari sudut substansi makna yang dikandungnya. Ayat muh}kama>t adalah
ayat yang menegaskan prinsip-prinsip secara eksplisit maupun implisit
oleh setiap manusia demi fitrahnya sendiri sebagai manusia.
Sementara z} a nni> secara harfiyah berarti persangkaan atau
hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang qat}‘i> (kategoris), yakni
ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur’an maupun hadis Nabi
yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal.
Ajaran z}anni> tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya
sendiri, tidak self- evident dalam bahasa filsafatnya. Karena itu, berbeda
dengan yang qat}‘i>, ajaran z}anni> terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi
dan kondisi. Termasuk dalam kategori z}anni> adalah seluruh ketentuan
batang tubuh atau teks, ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai
upaya untuk menerjemahkan yang qat} ‘ i> (nilai kemaslahatan atau
keadilan dalam kehidupan nyata).
Ketentuan-ketentuan agama yang dalam fikih disebut sebagai
ketentuan hukum (kecuali ketentuan etik-normatif tentang baik-buruk,
halal-haram) adalah z}anni>. Karena sifatnya z}anni>, relatif, ia terikat oleh
dimensi ruang dan waktu. Karena itu, hukum potong tangan bagi
pencuri, lempar batu bagi pezina, prosentase pembagian waris, monopoli
hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-
ketentuan teknis lain yang bersifat non-etis, masuk kategori yang z}anni>.
Dengan demikian, ajaran z}anni> bisa dimodifikasi.
––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
menghantarkan kepada makna yang lurus. Mutasha>bih adalah yang tidak bisa diketahui
maknanya dari aspek bahasa kecuali dikaitkan dengan tanda dan qarinah. Keenam,
muh}kam adalah yang maknanya jelas yang tidak menemukan kesulitan untuk
memahaminya. Mutasha>bih adalah sebaliknya. Ketujuh, muh}kam adalah yang dala>la-nya
ra>jih}, sedang mutasha>bih adalah yang dala>la-nya tidak ra>jih}. Lihat Muh}ammad ‘Abd al-
Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Us\u>l al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fi>kr, t.t.), hlm. 271-
274. Bandingkan dengan Muh}ammad ibn ‘Ali ibn Muh}ammad al-Shawka>ni>, Irsya>d al-
Fukhu>l ila> Tah}qi>q al-H{aq min ‘Ilm al-Us}u>l , cet. I, Surabaya: Shirka Maktaba Ahmad ibn
Sa’ad ibn Nabha>n, t.t.), hlm. 31-32.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 443


Anjar Nugroho

Seperti halnya dengan ayat muh}kama>t , ayat mutasha>biha>t pun tidak


mempersoalkan apakah dari sudut bahasanya bersifat tegas atau bersifat
samar-samar. Titik pijaknya adalah bagaimana cita keadilan dan
kemaslahatan sebagai prinsip yang fundamental diwujudkan. Akan
tetapi, implikasi dari pemahaman yang seperti itu adalah bahwa ayat
muh}kama>t atau qat}i> yang bersifat universal tidak memerlukan terobosan
ijtihad, yang bisa dilakukan terobosan ijtihad adalah ayat-ayat
mutasha>biha>t atau z}anni>,49 yakni definisi tentang mas}lah}a atau keadilan
dalam konteks ruang dan waktu yang nisbi. Kerangka normatif yang
memadai sebagai pengejawantahan dari cita kemaslahatan atau keadilan
dalam konteks ruang dan waktu tertentu, kerangka kelembagaan yang
memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma kemaslahatan-keadilan
dan realitas sosial yang bersangkutan.
Sudirman Tebba sepakat dengan pemikiran Masdar. Menurutnya,
pemahaman qat}i> dan z}anni> sekarang ini sudah tidak memadai lagi, karena
munculnya tantangan baru dalam kehidupan sosial. Akibatnya membuat
umat Islam berpegang kepada pengertian yang tersirat atau
semangatnya, bukan pada yang tersurat menurut bahasa suatu nas atau
ayat, sehingga yang semula dianggap qat}i> menjadi tidak qat}i> lagi.50
Kesempurnaan ajaran al-Qur’an bukanlah dalam dataran teknis
yang bersifat detil, rinci dan juz’iyya-nya, melainkan pada dataran prinsipil
dan fundamental. Ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-
Qur’an selaku kitab suci agama adalah ajaran spiritualitas dan moral,
ajaran tentang mana yang baik dan mana yang buruk untuk kehidupan
manusia sebagai hamba Allah yang berakal budi.51 Sebagai acuan moral
dan etika yang bersifat dasariah, al-Qur’an sepenuhnya sempurna.
Persoalan apa pun yang muncul dalam kehidupan manusia yang dinamis
dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya (dari sudut moral) dengan
–––––––––––––––––
49
Masdar F. Mas’udi, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformatif ”,
dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (peny), Polemik Reaktualisasi, cet. i, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988), hlm. 185. Lihat pula Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali
Maslahat”, hlm. 98.
50
Sudirman Tebba, “Pembaharuan Hukum Islam Mempertimbangkan Harun
Nasution”, dalan Zaim Ukhrawi dan Ahmadie Thaha (Peny), Refleksi Pembaharuan
Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Cet. i, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 140-142.
51
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi, hlm. 27.

444 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

mengembalikan kepada ajaran-ajaran al-Qur’an yang prinsipil. Karena


itu, untuk menangkap petunjuk al-Qur’an atas persoalan-persoalan etika
yang dihadapi dalam kehidupan nyata, terlebih dahulu harus mengenali
prinsip-prinsip universal yang dicanangkannya.

D. Proyek Strategis Revolusi Sosial


Para ahli us}u>l (us}u>liyyun) menyebut kesadaran praksis dari sebuah
proses intellectual exercise (ijtihad ) sebagai “buah”. Proses ijtihad itu
sendiri, dalam epistemologi interpretasi Hassan Hanafi melewati tiga
tahap kerja hermeneutis: Pertama, penguatan kesadaran historis, yaitu
setelah melakukan uji otentisitas terhadap nas. Kedua penguatan
kesadaran eidetis dalam bentuk validitas pemahaman dan interpretasi
hermeneutik, dan ketiga, kesadaran praksis datang terakhir untuk
memanfaatkan ketentuan-ketentuan hukum, signifikansi perintah-
perintah dan larangan-larangan, dan transformasi wahyu dari ide
normatif ke gerakan sejarah.52
Bagi Hanafi, praksis merupakan penyempurnaan kalam Tuhan
di dunia, mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma
atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma lebih merupakan
suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan untuk praksis.53 Hal ini
karena wahyu al-Qur’an sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi
tindakan di samping sebagai objek pengetahuan.54
Sebuah dogma, kata Hanafi, hanya dapat diakui eksistensinya
jika disadari sifat keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun
dapat terealisasi dalam tindakan manusia. Karena, satu-satunya sumber
legitimasi dogma adalah pembuktian yang bersifat praksis Menurut
Hanafi, realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia sama
dengan realisasi perbuatan ilahiyyah dan, dengan sendirinya, merupakan
realisasi perbuatan kekuasaan (khalifah) Tuhan di atas bumi. Prinsip
yang sama menjadi dasar penciptaan dan penerapan hukum-hukum
Tuhan (al-ah}ka>m al-shar‘iyya) di dunia. Itulah sebabnya mengapa ‘ilm
us}u>l al-fiqh dianggap ‘ilm al-tanzi>l, yang dibedakan dari ‘ilm al-ta’wi>l dalam
–––––––––––––––––
52
Hassan Hanafi, Islamologi I , hlm. 160.
53
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),
hlm. 22.
54
Ibid., hlm. 17.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 445


Anjar Nugroho

tradisi sufisme. Sebab, yang terakhir menginginkan gerak dari manusia


ke Tuhan, sementara yurisprudensi menginginkan transformasi Tuhan
kembali menuju kehidupan manusia.55
Fikih Kiri dalam pembahasan ini juga ingin menjadi seperangkat
aturan-aturan transenden yang mempunyai bobot praksis sebagaimana
dogma dalam perbincangan dengan Hassan Hanafi di atas. Tentu saja,
praksisme fikih kiri bertitik tolak dari landasan teoritis fikih, yaitu teori-
teori us}u>l al-fiqh yang sudah direvitalisasi.
Fikih Kiri mengambil perhatian utama bahwa suburnya
ketidakadilan di muka bumi ini bukan semata-mata karena kondisi
internal, tetapi yang jauh lebih menentukan adalah justru faktor
eksternal yang seringkali memunculkan menjadi pihak hegemonik-
despotik, baik di lingkup nasional maupun internasional. Bukan saja
Fikih Kiri ingin memuaskan rakyat yang dahaga akan keadilan,
melainkan juga menjadi jalan bagi permintaan tanggungjawab negara
yang mengabaikan tugas-tugas pokoknya. Justru kehadiran Fikih Kiri
menjadi relevan bukan saja pada rezim yang represif, melainkan pada
rezim yang menggantungkan posisinya di tiang gantungan badan-badan
Internasional. Namun, untuk menjelma menjadi gerakan yang meluas
dan mendapat dukungan, Fikih Kiri patut untuk merintis beberapa
praktek yang akan mendekatkannya pada tujuan utama, terciptanya
tatanan keadilan. Di sinilah pentingnya untuk merumuskan agenda
revolusi sosial sebagai bagian dari praksime Fikih Kiri.
Berbicara soal hukum di Indonesia, pastilah yang muncul adalah
kejengkelan dan kekecewaan. Tidak saja hukum berlaku secara
diskriminatif, melainkan juga tidak lagi mampu menjalankan fungsi
pengawas atas berbagai tindakan penyelewengan. Hukum sering
diberlakukan sebagai alat kepentingan, buat siapa saja, bisa negara dan
lebih sering untuk melindungi kepentingan pemodal. Dalam praktek
hukum, sudah cukup banyak contoh bagaimana orientasi keadilan
diselewengkan dan malah muncul gejala untuk menerima dan
mentolerirnya.56 Terdapat banyak kisah yang bisa dijejer tentang
bagaimana cerita memilukan para pencari keadilan. Mereka yang
–––––––––––––––––
55
Hassan Hanafi, Islamologi I , hlm. 120.
56
Lihat Anwar Ibrahim, Renaisans Asia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 17.

446 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

biasanya kaum miskin, terlunta dan tidak mendapat dukungan, justru


sering menjadi alat mainan dan sasaran pemerasan, baik oleh aparat
hukum maupun bunyi hukum itu sendiri.
Dalam kasus di atas, Fikih Kiri bisa tampil sebagai inspirator
bagi gerakan-gerakan Islam untuk segera memberi bantuan hukum
dalam kasus-kasus sejenis di atas. Islam sendiri mengajarkan agar umat
selalu berada bersama-sama dengan kaum d}u‘afa>’ (lemah) dan mustad}‘afi>n
(teraniaya). Tujuan pemihakan Islam pada dua golongan ini karena
prinsip keadilan dan kemaslahatan yang hendak dijunjung tinggi. Kata
d}u‘afa>’ (orang kecil) 57 dipakai dalam al-Qur’an untuk melukiskan
kesenjangan natural atau kemiskinan, sedang kata mustad} ‘ afi> n
(teraniaya)58 dipakai untuk menunjukkan adanya kesenjangan struktural.
Untuk dua kategori inilah, al-Qur’an meminta kaum muslimin untuk
serius membelanya, bahkan untuk sebuah kesenjangan struktural, kata
perintah yang dipakai adalah “berperanglah”. Dengan merujuk pada
kedua komitmen itu; sudah saatnya keberpihakan mewujud secara
kongkret. Sebab, keadaan yang menimpa kedua golongan ini bukan
semata-mata karena salahnya mereka, melainkan banyak yang
disebabkan oleh penindasan struktural, seperti bagaimana tanah yang
dimiliki dirampas untuk “kepentingan umum”.
Sampai saat ini, dapat disaksikan secara gamblang bagaimana
kebijakan publik yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak terus
berlangsung dan posisi umat Islam ternyata belum mampu untuk
menjadi ‘pelindung dan pembela’ kaum lemah. Lemahnya gerakan Islam
dalam mengambil peran ‘pembelaan’ ini disebabkan oleh banyak faktor:
–––––––––––––––––
57
Pengertian tersebut dapat dilihat pada ayat: “Apakah ada seorang di antara
kamu yang ingin mempunyai kebun korma dan anggur yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian
datanglah masa tua pada orang itu sedang ia mempunyai keturunan yang masih kecil-
kecil (d}u‘afa>’). Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah.
Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu memikirkannya”
(al-Baqarah: 266).
58
Pengertian ini dapat dilihat pada ayat: “Mengapa kamu tidak mau berperang
di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun
anak-anak yang semuanya berdoa “ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri ini
(Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan
berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (al-Nisa>’: 75).

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 447


Anjar Nugroho

Pertama, adanya ‘daya kooptasi’ dari berbagai lembaga keuangan


internasioanl yang melemahkan sektor ekonomi rakyat, seperti tukang
becak, pedagang kaki lima, nelayan, maupun buruh. Ketidakmampunan
menatap gerak modal yang berskala internasional dan konsolidasi
aparatus negara telah membelenggu umat Islam untuk tidak ‘bergerak’
melakukan pembelaan. Kedua, lemahnya basis kesadaran fakta sosial
pada kalangan umat Islam karena belenggu kesadaran individual yang
lebih mendominasi. Sehingga, jarang didengar umat Islam mempunyai
solidaritas dengan tuntutan kenaikan upah buruh, protes kepemilikan
tanah oleh petani atau tuntutan pengusutan pelanggaran HAM.
Kesadaran individual ini mengakibatkan umat Islam berada dalam posisi
yang teralienasi dari proses perjuangan sosial. Ketiga, tidak diketemukan
kekuatan sosial yang wujudnya lembaga agama yang mampu menjadi
komunikator ulung dalam menyiarkan berbagai persoalan ke publik.
Kalangan umat beragama benar-benar dalam posisi terpinggirkan untuk
beberapa issu strategis, terutama menyangkut hukum dan HAM.59
Berangkat dari persoalan itu, kesadaran untuk menumbuhkan
kekuatan kritis pada diri gerakan Islam perlu untuk dirintis. Sebab,
pada hakikatnya, ajaran Islam memberikan kepastian perlindungan
kepada kaum lemah dalam lima aspek penting.60 Pertama, yang paling
pokok adalah perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup (h}ifz} al-nafs).
Kedua, perlindungan atas keyakinan (h} i fz} al-di> n ), sehingga pada
hakekatnya menekankan pada ajaran ‘tidak ada paksaan’ dalam
memeluk keyakinan. Ketiga, perlindungan terhadap akal pikiran (h}ifz}
al-‘aql), yang mana Islam memuliakan pengetahuan dan menentang
pelanggaran terhadap akal sehat. Keempat, perlindungan terhadap hak
milik (h}ifz} al-ma>l), yang dalam konteks hukum Islam adalah keharaman
mencuri dengan segenap variannya, termasuk korupsi tentunya. Kelima,
hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan
nama baik (h}ifz} al-nasl).
Kelima ketentuan ini yang menjadi dasar advokasi bagi gerakan-
gerakan Islam. Fikih Kiri bisa menjadi landasan pijak melalui fatwa
–––––––––––––––––
59
Eko Prasetyo, Islam Kiri , hlm. 238-241.
60
Lima aspek penting itu dikenal sebagai tujuan syari’ah yang oleh al-Sha>t}ibi>
disebut sebagai mas}lah}a. Lihat al-Sha>ti} bi>, al-Muwa>faqa>t fi> al-Shari>‘a, Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t.

448 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

yang disampaikan oleh ulama, baik perorangan maupun yang terhimpun


dalam lembaga-lembaga ulama dan organisasi massa keagamaan. Fatwa
yang mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengambil peran-peran
advokasi diharapkan bisa efektif karena menyentuh aspek kesadaran
keagamaan yang paling dalam, hal ini juga didorong oleh langkah untuk
mengakomodasi tuntutan mayoritas umat yang selama ini banyak
menjadi korban. Advokasi adalah strategi dakwah yang mampu
mengatasi sekularisasi subyektif61 maupun obyektif62 yang muncul
seiring dengan pertumbuhan industrialisasi. Dengan advokasi dakwah
berjalan sesuai dengan tuntutan arus bawah yang sementara ini sering
menjadi kendaraan kepentingan berbagai kelompok. Advokasi juga
menjadi alat menekan efektif umat terhadap elit politik yang sering
mengatakan berjuang atas nama Islam.
Dakwah yang dikumandangkan oleh umat dewasa ini lebih
banyak berkutat pada penyadaran individual yang terkait dengan ibadah
kepada Allah. Bahkan, ada kelompok umat yang berpendapat bahwa
seolah-olah masalah umat yang paling krusial adalah minimnya jumlah
jamaah di masjid, sehingga ketika masjid penuh dengan jamaah, maka
persoalan umat sudah selesai. Dakwah tidak menyentuk aspek
struktural yang menjadi biang kesengsaraan umat, sehingga advokasi
terhadap korban penggusuran, misalnya, bukan dianggap sebagai bagian
dari dakwah yang diperintahkan oleh Allah. Hal ini memerlukan shifting
paradigm (pergeseran paradigma) di kalangan umat tentang makna
dakwah dan jihad. Fikih Kiri mempunyai tugas memberi landasan
normatif pergerseran paradigma itu, sehingga gerakan dakwah di
kalangan umat Islam bisa menyentuh persoalan inti dalam masyarakat,
tidak sekedar memadamkan kabut asap (smoke screen) yang dikiranya
sebagai akar masalah yang sesungguhnya.
Transformasi sosial akibat pembangunan sudah terjadi di mana-
mana. Karakteristik masyarakat modern sudah tampak dalam
–––––––––––––––––
61
Sekularisasi subjektif terjadi bila keterkaitan antara pengalaman keagamaan
dan pengalaman sehari-hari terputus. Banyak cara agar umat Islam tidak terjatuh dalam
sekularisasi subjektif, yakni dengan menjadi takmir masjid atau memelihara anak yatim.
Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 45.
62
Sekularisasi objektif terjadi bila dalam kenyataan sehari-hari agama sudah
dipisahkan dari gejala yang lain, misalnya dari ekonomi dan politik. Lihat Ibid., hlm. 46.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 449


Anjar Nugroho

kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya: “Apa peran dakwah Islam dalam


transformasi sosial ini?” Apa kontribusi dakwah Islam dalam
menyelamatkan manusia, bukan saja dari tujuh dosa maut, tetapi juga
dari proses dehumanisasi yang sekarang tengah berlangsung?”
Berbagai pertanyaan itu tidak akan terjawab kalau umat tidak
mempunyai perspektif yang dapat digunakan untuk memotret masalah
yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Banyak kasus, umat tidak bisa
melihat masalah karena sistem pengetahuannya tidak memungkinkan
masalah itu tampak sebagai masalah. Untuk ini, sekali lagi perlu
rumusan fikih yang memungkinkan menjadi semacam perspektif yang
dapat digunakan umat untuk mengurai masalah yang sedang terjadi
secara tepat. Kemiskinan misalnya, dengan perspektif lama tampak
oleh sebagian umat sebagai sesuatu yang wajar, karena itu bagian dari
sunnatullah alias takdir. Jika asumsi ini yang dipegang oleh umat, maka
jangan berharap ada upaya-upaya strategis gerakan Islam untuk
menyelamatkan umat dari kemiskinan. Fikih Kiri bisa menjadi
perspektif sekaligus tuntunan untuk menyelesaikan permasalahan ini.

D. Penutup
Fikih Kiri adalah alternatif atas kebekuan ajaran Islam dewasa
ini, yang telah dikungkung oleh bentuk-bentuk pemikiran korservatif
yang selalu mempertahankan sesuatu yang sudah mapan. Fikih Kiri
merupakan bentuk progresivisme pemikiran Islam yang ingin
mengembalikan misi ajaran Islam pada otentisitasnya, yaitu semangat
pembebasan. Membebaskan umat dari bentuk-bentuk penindasan dan
kesewenang-wenangan yang telah membuat umat menjadi sengsara
dengan kemiskinanya dan keterbelakangannya.
Mungkin ada sedikit kemiripan antara Fikih Kiri dengan dengan
perspektif Marxisme, yakni sama-sama berangkat dari asumsi adanya
penindasan dalam masyarakat oleh kelompok tertentu dan perlu upaya
strategis untuk melawan dan mengakhiri penindasan itu. Tetapi Fikih
Kiri bukan fikih yang berbaju Marxisme atau Marxisme yang berbaju
fikih. Fikih Kiri adalah manifestasi dari semangat pembebasan Islam
yang ajaran normatifnya bisa dilacak dalam Kitab Suci (al-Qur’an)
maupun contoh dalam perilaku para Nabi dan Rasul (sunnah) yang
sempat terekam dalam sejarah.

450 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

Pelacakan ajaran pembebasan dalam al-Qur’an maupun as-


Sunnah memerlukan metodologi yang tidak menjebak pada pemahaman
yang sebatas tekstual atau literal. Jika terjebak, maka kekayaan dan
keunggulan ajaran Islam yang bernilai luhur dan universal akan
tertutupi. Metodologi dan pendekatan baru perlu dirumuskan secara
serius sebagai alat bantu untuk melakukan reinterpretasi terhadap nas}
yang memungkinkan ditemukannya nilai-nilai kadilan, kemashlahatan,
persamaan, perdamaian dan sebagainya. Dalam hal ini, melakukan
revitalisasi us}u>l al-fiqh menjadi signifikan dan mempunyai bobot urgensi
yang cukup tinggi untuk mendukung upaya-upaya hermeneutis ini.
Pada akhirnya, semua berpulang kepada kesungguhan para
ulama, cendekiawan, dan umat Islam secara keseluruhan untuk
mewujudkan Fikih Kiri ini menjadi kekuatan dalam melakukan revolusi
sosial. Sebuah revolusi yang dimaksudkan untuk merekonstruksi
tatanan sosial masyarakat sehingga lebih memungkinkan tumbuh
kembangnya nilai-nilai kemaslahatan dalam masyarakat. Sehingga
masyarakat yang adil, makmur, tanpa penindasan, dapat diwujudkan.

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 451


Anjar Nugroho

BIBLIOGRAFI

Al-Bu>t\i>, Muh}ammad Sa‘i>d Ramad}a>n, D{awa>bit\ al-Mas}lah}a fi> al-Shari‘a


al-Isla>mi>yya, cet. ii (Beirut: Mu’assasat al-Risa>la, 1977).
Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. i (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996).
Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan (Bandung: Mizan,
1999).
Ghaza>li>, Abu> H{ami>d Muh}ammad ibn Muh}ammad, al-Mustashfa> min al-
Us}u>l (Damaskus: Ba‘id al-H{usain, t.t.).
H{asan, H{usayn H{ami>d, Naz}a>riyya al-Mas}lah}a fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Kairo:
Da>r al-Nahd}a al-‘Ara>biyya, 1971).
Hanafi, Hassan, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme (Yogyakarta: LKiS,
2004).
__, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama (Bandung:
Mizan, 2003).
__, Dialog Agama dan Revolusi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991).
__, Islamologi I: Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih
(Yogyakarta: LKiS, 2003).
Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi (Yogyakarta: LKiS, 2000).
Ibrahim, Anwar, Renaisans Asia (Bandung: Mizan, 1998).
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b, Mas}a>dir al-Tashri>’ al-Isla>mi> fi>ma> La> Nas}s} fi>h
(Kuwait: Da>r al-Qalam, 1973).
__, Us}u>l al-Fiqh (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1978).
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997).
Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994).
Mas’udi, Masdar F., “Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan
Syari’at”, dalam Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995.
__, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformatif ”, dalam
Iqbal Abdurrauf Saimina (peny), Polemik Reaktualisasi, cet. i
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).

452 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H


Fikih Kiri

__, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih Pemberdayaan,


cet. ii (Bandung: Mizan, 1997).
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984).
Prasetyo, Eko, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal: Dari Wacana Menuju
Gerakan (Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 2002).
Al-Rah}ma>n, Jala>l al-Di>n ‘Abd, al-Mas}a>lih} al-Mursala wa-Maka>natuha> fi>
al-Tashri>‘ (Beirut: Da>r al-Kutub al-Jami‘, t.t).
Rahman, Fazlur, Islam Modern Tantangan Pembaharuan Islam, cet. i
(Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987).
__, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Iqbal Abdurrauf Saimina
(peny.), (Bandung: Mizan, 1994).
Ridwan, A.H., Pemikiran Hassan Hanafi> tentang Rekonstruksi Tradisi
Keilmuan Islam, cet. i (Yogyakarta: Ittiqa Press, 1998).
Al-S}a>lih}, Subh}i,> Maba>h}ith fi> Ulu>m al-Qur’a>n, cet. ix (Beirut: Da>r al ‘Ilm
li’l-Mala>yin, 1972).
Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembaharuan Agama: Antara
Modernisme dan Tajdiduddin, cet. i (Bekasi: Wala Press, 1995).
Santoso, Listiyono dan Sunarto, “Memberikan Wacana Bagi
Epistemologi Kiri: Sejumlah Gagasan Besar yang Menantang
Sekaligus Melawan”, dalam Listiyono Santoso (ed.), Epistemologi
Kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003).
Al-Sha>t\ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> al-Shari>‘a (Beirut: Da>r al-Kutub, t.t.).
Shari’ati, Ali, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1998).
Al-Shawka>ni>, Muh}ammad ibn ‘Ali>, Irsha>d al-Fukhu>l ila> Tah}qi>q al-H{aq
min ‘Ilm al-Us}u>l , cet. i (Surabaya: Shirka Maktaba Ahmad ibn Sa’ad
ibn Nabha>n, t.t.).
Sulayman, Abdul Hamid Abu, “Fikih Islam”, dalam Syamsul Anwar
(Ed), Islam, Negara dan Hukum, cet. i (Jakarta: INIS, 1993).
Tebba, Sudirman, “Pembaharuan Hukum Islam Mempertimbangkan
Harun Nasution”, dalan Zaim Ukhrawi dan Ahmadie Thaha
(Peny), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun
Nasution, cet. i (Jakarta: LSAF, 1989).

Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No.2, 2005/1426 H 453


Anjar Nugroho

Yafi>e, Ali, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam “, dalam


Jalaluddin Rahmat (ed.), Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan,
1994).
__, Menggagas Fikih Sosial (Bandung: Mizan, 1994).
Zahra, Muh}ammad Abu>, Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Fi>kr, t.t.).
Zakariya, Ahmad (peny.), Prof.K.H. Ibrahim Hosen dan Pembahasan
Hukum Islam di Indonesia, cet.i (Jakarta: Pustaka Harapan, 1990).
Al-Zaki>, ‘Abdullah ‘Abd al-Muh}sin, Us}u>l al-Fiqh Madhhab al-Ima>m
Ah}mad Dira>sat Us}u>liyya Muqa>rana, cet. ii (Riya>d}: Maktabat al-Riya>d}
al-H{adi>tha, 1980).
Al-Zarqa>ni>, Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Us}u>l al-Qur’a>n
(Beirut: Da>r al-Fi>kr, t.t.).
Zayd, Mus}t\afa>, al-Mas}lah}a fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mi> wa-Najm ad-Di>n al-T{u>fi>
(t.t.p.: Da>r al-Fi>kr al-‘Arabi>, 1954).
Al-Zuhayli>, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>mi>, cet. ii (Damaskus: Da>r al-Fi>kr,
1986).

454 Al-Ja>mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H

You might also like