Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah: Nispul Khoiri
Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah: Nispul Khoiri
Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah: Nispul Khoiri
MUHAMMADIYAH
Nispul Khoiri
Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara
Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate-20731. Email: [email protected]
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
170 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 171
Pendahuluan
Muhammadiyah sejak berdirinya dikenal sebagai sebagai organisasi
Islam yang bergerak dalam bidang dakwah. Secara normatif Muhammadiyah
tidak bermain di lapangan politik serta memiliki hubungan apapun dengan
kekuatan politik. Muhammadiyah mampu memagari dirinya dari politik
dengan Khittah (garis perjuangan) yang terpatri dalam tubuh organisasi
ini. Sikap netral terhadap partai yang diputuskan melalui Muktamar ke 38
Makasar terus dipertahankan. Prinsip netral terhadap partai sebagai upaya
menghindari benturan antara kepentingan antara kecenderungan kultural
dan struktural.
Meskipun demikian, prinsip netral tidak berarti Muhammadiyah
kaku, baik kelembagaan maupun individual. Semangat yang dibangun
Muhammadiyah memiliki visi membangun umat dan bangsa dalam arti luas.
Muhammadiyah tetap memiliki perhatian pada proses politik seperti proses
pemikiran politik hukum Muhammadiyah dalam legislasi di parlemen dan
pengambilan kebijakan pemerintah. Artinya, peran politik Muhammadiyah
lebih banyak dilakukan oleh para elit-elitnya dipandanag sebagai refsentasi
politik Muhammadiyah. Relasi dengan partai bersifat fungsional, apabila
ada proses legislasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
Islam, Muhammadiyah melakukan pendektan dengan parlemen. Langkah
ini dipandang sebagai salah satu terobosan pemikiran politik hukum
Muhammadiyah.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
172 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
pembawa agama Islam yang berasal dari Allah.1 Secara terminologi, nama
resmi organisasi ini adalah ”Perserikatan Muhammadiyah” dan terjemahan
bahasa Arabnya adalah ”al-Jamiyyah al-Muhammadiyah” berarti ”organisasi”
atau ”persyarikatan” kemuhamadanan (berhubungan dengan Muhammad)
atau organisasi atau perserikatan Muhammadiyah.2 Dalam Anggaran Dasar
Muhammadiyah, dipertegas kembali, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
dan dakwah amar makruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber
pada al-Quran dan Sunnah.3
Dengan demikian, kata Muhammad sebagai nama organisasi
mengisyaratkan keinginan Muhammadiyah untuk kembali kepada ajaran
murni yang dibawa Nabi Muhammad. Pembangunan pemahaman ini
semakin jelas terlihat dari tujuh pokok pikiran yang menjadi inti mukadimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran disarikan dari pikiran
dan cita-cita KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) oleh Ki Bagus
1
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah dan NU (Universitas Yarsi
Jakarta, 1999), hlm. 90-91.
2
Dalam hal ini, kata Muhammadiyah dapat juga diterjemahkan dengan kata
”Muhammedanisme” (ejaan yang lebih mirip) dalam beberapa bahasa Eropa berarti agama
Islam. Di kalangan orientalis lama, Islam sering disebut “Muhamedanisme” menghubungkan
kepada Muhammed (Muhammad) sebagai pembawa ajaran Islam. Lebih menarik lagi,
seperti yang ditulis H.A.R. Gibb, umat Islam sendiri dalam tulisan dan pembicaraan
mereka dalam bahasa Arab sebenarnya sering menyebut Islam sebagai Muhammadiyah
dapat diterjemahkan dan pengikutnya sebagai ”Muhammadi” terutama bila digunakan
kata sifat. Dalam bahasa Arab, syariat Islam sering disebut sebagai syariah Muhammadiyah
(syariat Muhammad) dan umat Islam sebagai ummah Muhammadiyah (umat Muhammad).
Di Indonesia, terutama di lingkungan Muhammadiyah, seorang anggota atau simpatisan
Muhammadiyah sering disebut sebagai Muhammadi (Muhammadan) dan anggota atau
simpatisan NU terutama di lingkungan NU sering disebut ”Nahdhi”. Ibid. hlm. 92. Lihat
pula, H.A.R Gibb, Muhamedanisme: An Historical Survey (New York: Oxford University,
1966), hlm. 1-2
3
PP Muhammadiyah, Pedoman Bermuhammadiyah (Yogyakarta: Badan Pendidikan Kader PP
Muhammadiyah, 1996) Cet III, hlm. 39. Lihat pula, PP Muhammadiyah, Tafsir Anggaran
Dasar Muhammadiyah (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1954), hlm. 14.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 173
4
Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah Dalam Umar Hasyim
(Lampiran XXV), Muhammadiyah Jalan Lurus (Surabaya: PT Bina Ilmu, t.th.), hlm. 447-470.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
174 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Dilihat dari pokok pikiran di atas, semakin jelas bahwa prinsip organisasi
ini mengikuti jejak Nabi Muhammad dipandang ajaran yang terbaik dari
Allah swt. Mencontoh keteladanan Nabi merupakan sikap yang harus
dibangun oleh perserikatan ini.
5
KH Ahmad Dahlan, nama aslinya Muhammad Darwisj, lahir di Kampung Kauman
Yogyakarta pada 1868. Ayahnya KH Abu Bakar adalah seorang Imam dan Khatib Mesjid
Besar Kauman Yogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah adalah anak dari KH Ibrahim,
Penghulu Besar di Yogyakarta. Menurut salah satu sumber, Darwisj memiliki silsilah
keturunan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam
yang dikenal di Pulau Jawa. Darwisj merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara, lima orang
perempuan dan 2 orang laki-laki. Sejak kecil dalam diri Darwisj ditanamkan nilai-nilai
agama oleh orang tuanya, pertama kali ia belajar al-Quran dengan ayahnya sendiri dan pada
umur 8 tahun, Darwisj telah bisa membaca dengan lancar dan tamat al-Quran. Kecilnya
ia termasuk anak yang rajin, jujur, dan suka menolong. Pada saat tumbuh dewasa Darwis
belajar fiqh dengan KH Muhammad Saleh dan belajar ilmu nahwu dengan KH Muhsin,
juga belajar agama Islam dengan kakak iparnya KH Abdul Hamid Lempuyangan dan
KH Muhammad Nur. Belajar pula dengan banyak guru, termasuk guru-gurunya di Arab
Saudi ketika ia menunaikan ibadah haji. Ia belajar hadis kepada Kyai Maftuh Termas dan
Syekh Khayat, ilmu qiraah kepada Sykeh Amin dan Sayid Bakri Syata, ilmu Falak kepada
KH Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar kepada Syekh Hasan tentang mengatasi
racun binatang. Mengenai istrinya, ia menikahi Walidah, ia juga menikahi Nyai Abdullah
janda dari H Abdullah dan memiliki putra R.H. Duri, juha menikah dengan Nyai Rum
adaiknya Kyai Munawir Krapyak (Yogyakarta). Kemudia ia menikahi Nyai Aisyah (Adik
Anjengan Pengulu) Tiandjur dan mempunyai anak bernama Dandanah juga dengan Nyai
Solihah, puteri Kanjeng Penghulu M.Syafii, adiknya Kyai Yasin Pakualaman Yogya. Lihat,
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 72-74.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 175
6
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
7
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, hlm. 67.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
176 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 177
10
Ibid.
11
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah dan NU, hlm. 89.
12
Haedar Nashir, Khittah Muhammadiyah Tentang Politik, Cet. 1 (Yogyakarta: Suara
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
178 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 179
13
Ibid., hlm. 44
14
Ibid., hlm. 45.
15
Saat ini Muhammadiyah dan NU sama-sama berjalan di jalur gerakan dakwah dan tidak
memasuki lahan politik praktis yang keduanya dikenal sebagai dua sayap Islam terbesar dan
repsentasi Islam moderet di Indonesia. Ibid.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
180 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 181
16
Ibid., hlm. 3.
17
Sejumlah data dapat menunjukkan, antara lain: (1). Kiprah tokoh-tokoh Muhammadiyah
dipelopori oleh Kyai Mas Mansyur dan elit politik lainnya dalam mendirikan Partai Islam
Indonesia (PII) tahun 1937 dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1938 sebagai
wadah politik Islam umat Islam; (2). Kiprah tokoh Muhammadiyah dalam melahirkan partai
Masyumi tahun 1945; (3).Keterlibatan tokoh Muhammadiyah yakni Jarnawi Hadikusuma
dan Lukman Harus sebagai Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Parmusi; (4). Tanwir
Muhammadiyah memberikan amanat kepada Amien Rais melahirkan PAN; (5). Pemilu
Tahun 2004 memberikan dukungan kepada Amien Rais untuk maju dalam pencalonan
Presiden; (6) Berbagai daerah para aktivis/anggota Pimpinan Muhammadiyah terlibat
dalam mendukung Kepala Daerah bahkan membawa bendera Muhammadiyah. Ibid., hlm.
5-6.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
182 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
18
Muhammadiyah akan lebih banyak meraih keuntungan dengan masuk politik praktis.
Jika orang Muhammadiyah menjadi Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Anggota Pimpinan
MPR/DPR, DPD, dan berbagai jabatan penting. Ibid., hlm. 7.
19
Muhammadiyah harus lebih proaktif mendorong, mendukung, dan menempatkan
para kadernya di berbagai lini pemerintahan dan hal itu dapat dilakukan jika tidak banyak
pembatasan dan kebijakan yang kaku apalagi alergi dan pasif terhadap politik. Dari sikap
ini maka Muhammadiyah akan memperoleh hasil politik yang besar atau signifikan baik
berupa dana maupun kebijakan yang menguntungkan Muhammadiyah dari para kadernya
yang tersebar luas di lini pemerintahan. Ibid., hlm. 8-9.
20
Para politisi menyadari betul betapa efektif dan strategisnya dunia politik kekuasaan,
sebab melalui jalur tersebut dengan mudah ditentukan APBN/APBD, legislasi kebijakan-
kebijakan publik sekaligus dapat dihindari hal-hal yang buruk bagi kepentingan umat/
dakwah dan masyarakat/rakyat. Partai politik dapat mem back-up organisasi keagamaan
dan kemasyarakatan dalam dalam melaksanakan gerakannya. Selain dapat menampung
aspirasi-aspirasi politik keummatan dan kebangsaan. Ibid., hlm. 9-10.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 183
21
Ibid., hlm. 10-11.
22
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, hlm. 391-392
23
Weber secara khusus mengklasifikasikan tindakan sosial memiliki arti subjektif ke dalam
empat tipe. (1). Instrumentally rational, yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan yang
memiliki tujuan untuk dicapai dalam tujuan hidup manusia dilakukan sedemikian rupa
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
184 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
untuk dikejar dan diraih bagi yang melakukannya. (2). Value rational, yaitu tindakan yang
didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika,
agama dan nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia. (3). Affectual, yaitu
tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan dari yang melakukannya. (4).
Traditional, yaitu tindakan yang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah
daging. Haedar Nashir, Prilaku Politik Muhammadiyah (Yogyakarta: Tarawang, 2000), hlm. 26.
24
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992)
hlm. 9
25
Haedar Nashir, Prilaku Politik Muhammadiyah, hlm. 29-35
26
PAN merupakan partai bersifat plural, inklusif, dan akomodatif. PAN mengandalkan
ketokohan Amien Rais sebagai bapak reformasi dan mantan Ketua PP Muhammadiyah.
Selain faktor Amien Rais, PAN juga didukung oleh banyak kalangan terdidik. Poisis Amien
Rais sebagai Ketua PAN menjadi magnet bagi kader-kader Muhammadiyah lainnya menjadi
pengurus PAN. Semua faktor itu menempatkan PAN lebih istimewa di kalangan warga
Muhammadiyah dibandingkan partai lainnya. Inilah awal berkembangnya pandangan bahwa
PAN memiliki hubungan historis dengan Tanwir Semarang dan hubungan personal yang
ditandai dengan keterlibatan kader-kadernya dalam pengurusan PAN. Syarifuddin Jurdi,
Muhammadiyah Dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, hlm. 396-397
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 185
27
Suaidi Asyari, Nalar Politik Muhammadiyah (Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 128-129.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
186 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
28
Haedar Nashir, Perilaku Politik Muhammadiyah, hlm. 213-214.
29
Ibid., hlm. 214
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 187
Khittah 1971 dan termanifestasi dalam alam pikiran para elit dan warganya
relatif stabil dan konsisten dalam pola yang moderet. Kelahiran PAN kendati
memperoleh dukungan luas sehingga terkesan berhimpitan langsung dengan
Muhammadiyah sendiri, sebagaimana dipandang oleh banyak pihak, ternyata
tidak serta merta mengubah budaya politik moderet Muhammadiyah dalam
menyikapi keadaan yang kritis sekalipun.secara normatif dan aturan resmi
organisasi, Muhammadiyah masih mampu menjaga jarak dengan partai
politik. Sikap netral ini tergambar melalui surat PP Muhammadiyah yang
ditujukan kepada Pimpinan Wilayah dan daerah Muhammadiyah seluruh
Indonesia yang menyerukan agar menjaga kemurnian dan keutuhan
organisasi
Dalam surat dinyatakan, ”Kegiatan politik merupakan perwujudan dari
sebagian usaha Muhammadiyah. Sebagai organisasi Muhammadiyah adalah
independen, tidak mempunyai hubungan organisatoris, dan tidak merupakan
afiliasi dengan suatu organisasi politik atau organisasi apapun.” Tetapi sikap
ini belum sepenuhnya mampu menertibkan warganya dalam kegiatan politik
praktis. Karena sesungguhnya pula Muhammadiyah tidak mengikat para elit
dan warganya untuk berpolitik.
30
Legislasi adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris. Bentuk kata kerjanya bisa legalize
(mengesahkan, melegalisasikan), bisa juga legislate (membuat undang-undang) seperti pada
ungkapan “The government plans to againts the freign cars” (pemerintah merencanakan untuk
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
188 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
menbuat Undang-undang melarang impor mobil luar negeri). Bentuk kata bendanya adalah
legislation yang berarti pembuat Undang-undang. Peter Salim, Advanced English Indonesia
Dictionary Modern English (Jakarta: 1991), hlm. 476-479.
31
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah Dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, hlm. 392.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 189
saat itu, persepsi hukum Islam adalah sebuah dilemma dalam menjalankan
kebijakan pembangunan. Legislasi hukum Islam adalah bagain integral dari
persoalan ideologis yang sangat dikhawatirkan Orde Baru.
Maka ketika Orde Baru mengajukan draff RUU perkawinan tahun
1973, adalah salah satu bentuk konfrontasi umat Islam dengan negara.
Sungguhpun ini adalah kebijakan negara tetapi tidak mencerminkan aspirasi
umat Islam, karena ini sudah menyangkut persolan yang berbau aqidah, yang
tidak dapat disederhanakan begitu saja. Bisa saja persoalan saperti ini saperti
bom waktu yang dimana dan kapan saja bisa meledak. Setelah digulirkannya
RUU perkawinan dengan syarat direvisi senafas dengan ajaran Islam, terlihat
ini adalah awal dari sebuah proses legislasi hukum Islam. Ketika hubungan
kekuatan Islam dan Orde Baru kurang harmonis, apalagi kebijakan Orde
Baru pada saat itu lebih tertarik memberikan kesempatan pada aspek ibadah
seperti pembangunan masjid, zakat, haji dls. Sedangkan persoalan legislasi
dibatasi bahkan ditiadakan.32
Pada persoalan politik yang berkembang ketika itu. Hingga memasuki
era 1980-an telah terjadi perkembangan yang menarik dimana masa awal-awal
Orde Baru diwarnai dengan ketegangan dan saling curiga mencurigai antara
negara dengan kekuatan Islam. Tetapi pada pasa ini seperti yang dikatakan
Bahtiar Efendy, terjadinya hubungan akomodasi antara kekuatan Islam
dengan negara. Hubungan yang tadinya tidak terjalin dalam kemesraan, kini
telah terjadi pergeseran menuju keharmonisan. Perhatian negara terhadap
kekuatan Islam begitu besar, yang tadinya negara lebih maju mau berjabatan
tangan dengan nonmuslim atau kelompok nasionalis, melalui pendekatan
legal formal, secara berangsur-angsur mulai membina komunikasi dengan
umat Islam.
Bergesarnya perubahan dari konprontasi keakomodasi ini disebabkan
oleh faktor: Pertama, semakin membaiknya konsolidasi pembangunan
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoritas Konservatif
32
Menuju Konfigurasi Demokratis Responsif (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 105.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
190 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 191
33 Retno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia (Jakarta: INIS,
1998), hlm. 70.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
192 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
terbina adalah bentuk dari efektivitas legislasi hukum Islam dalam hukum
nasional. Efektifnya legislasi hukum Islam ini ditandai sebagai berikut:
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 193
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
194 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
34
Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press,1996),
hlm. 259-260
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 195
umat Islam. Kekuatan jihad terbingkai dalam sanubari umat Islam yang suatu
saat bisa terpanggil apabila UU itu disyahkan yang notabene bertentangan
dengan ajaran Islam. Di samping itu, secara yuridis RUU ini lebih berorintasi
mengambil dasar pemikiran yang tertuang dalam B.W dan HOCI, pada
dasarnya diberlakukan bagi masyarakat Timur Asing, Eropa dan Kristen,
tentu saja bertolak belakang dengan masyarakat Islam, yang mempunyai
hukum agama hukum Islam. Oleh karena itu umat Islam sebagai umat
mayoritas mengkehendaki adanya UU perkawinan yang mencerminkan
aspirasi umat Islam.35
Setelah mendapatkan reaksi keras dari umat Islam dan Muhammadiyah,
diwarnai dengan perdebatana panjang dengan tokoh-tokoh Islam dan tokoh
Muhammadiyah, berbagai lobbying diciptakan, akhirnya beberapa pasal
dari draf RUU ini yang berbau sekuler bertentangan dengan ajaran Islam
dihilangkan kemudian direvisi, yang mencerminkan sesuai dengan ajaran
Islam. Disyahkannya RUU ini menjadi UU perkawinan, hukum Islam diakui
keberadaannya. Secara defisit telah menempatkannya dalam hukum nasional.
Ini terlihat bagaimana pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Perkawinan
dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan itu”. Pasal ini adalah refleksi dari UUD 1945 pasal 29 ayat
2, memuat ketentuan “Negara menjaminn kemerdekaan tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-msing, dan beribadat menurut agama
dan kepercayaannya “bunyi pasal 2 ayat 1 ini UU No 1/1974 ini adalah
agama dan kepercayaan yang dianut oleh mereka yang hendak melangsukan
perkawinan. Dengan demikian kalau mereka beragama Islam menetukan
sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh agama Islam, begitu
juga bagi pemeluk agama lain, sangat ditentukan agama dan kepercayaannya
masing-masing.
Kalau dianalisis lebih mendalam meskipun pesan yang disampaikan
pasal 2 ayat 1 ini masih bersifat general (hukum agama) dan tidak bersifat
35
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional (Medan: Penerbit CV Zahir Trading Co,
1975), hlm. 1.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
196 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
spesial (agama Islam), tetapi hukum Islam adalah unsur terpenting dalam
perumusan UU No 1/1974. Ini berarti kebijakan politik hukum Islam begitu
menentukan proses bergulirnya legislasi ini sebagai produk hukum nasional.
Maka bentuk produk hukum ini dapat dikategorikan kepada hukum yang
responsif. Karena keberadaan UU ini telah menciptakan keadilan bagi
umat Islam yang mengatur hukum perkawinan yang dijadikan sebagai
produk hukum nasional. Kemudian untuk melegitimasi UU ini pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975, dan keputusan Menteri
Agama yang menyatakan pelasksanaan UU No 1/1974 sesuai dengan
kebutuhan umat Islam.36
Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Mimbar
36
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 197
penyusunan draf RUUPA ini, dengan menunjuk Prof Dr. Bustanul Arifin
sebagai ketua muda urusan lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung.37
Namun dalam proses pengajuan draf RUUPA ini tidak semulus apa yang
dibayangkan. Berbagai kritikan muncul menentang RUUPA ini terutama
dari kalangan nonmuslim dan kelompok nasionalis bahwa diajukannya draf
RUUPA ini tiada lain menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Paling tidak
ada beberapa kelompok pemikiran yang menentang keras diajukannya draf
RUUPA ini. Yaitu Pertama, kelompok yang menolak RUUPA ini menyatakan
justru dengan adanya RUUPA ini akan menciptakan dualism dalam
peradilan agama di Indonesia. Kedua, bukan saja menolaknya RUUPA tetapi
menginginkan peradilan agama yang ada supaya dibubarkannya.karena
tidak sepantasnya negara turut campur dalam persoalan agama. Agama
harus berdiri sendiri, dan bagi umat Islam persoalan hukum Islam harus
mengurusnya secara sendiri tanpa melibatkan negara. Ketiga, kritikan yang
muncul dari Fran Magnes Suseno tokoh Kristen Katholik ini menyatakan
sangat menolak RUUPA ini karena RUUPA ini bersikap diskriminatif
dikhususkan bagi umat Islam. Padahal Indonesia menganut kesatuan
(unifikasi) hukum yang berdasarkan dengan pancasila.38
Semakin gencarnya penolakan RUUPA ini membuat tersendatnya proses
penyusunan draf RUUPA ini, namun dengan adanya jaminan yang diberikan
presiden Soeharto yang menegaskan bahwa RUUPA ini tidak bermaksud
menghidupkan Piagam Jakarta justru keberadaan RUUPA ini sebagai refleksi
dari pelaksanaan UUD 1945. Kritikan dan kecaman ini perlahan-lahan reda
setelah adanya jaminan dari presiden Soeharto tersebut, kemudian dilanjuti
para tokoh-tokoh Islam yang terliabt dalam proses panyusunan RUUPA ini
tetap menetralisir persoalan menegangkan gejolak umat Kristen. Seperti
yang dikatakan Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama) menegaskan
37
M. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam: Pengamtar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: Penerbit Grafindo Persada, 1990), hlm. 253.
38
Zulfan Sabri (Ed.), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila: Dialog Tentang RUUPA
(Jakarta: Pustaka Antara, 1990), hlm. 91.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
198 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
bahwa RUUPA ini tidak saja dilakukan Departemen Agama, juga dilakukan
oleh Mahkamah Agung sebagai dilakukan Departemen Agama, juga
dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai kelanjutan dari pelasksanaan UU
No 14/1970.
Hal yang sama juga diingatkan oleh Ismail Sunni bahwa keberadaan
RUUPA ini tidak bermaksud mendirikan negara Islam, atau menghidupkan
kembali piagam Jakarta, karena Peradilan agama itu sudah ada sejak zaman
Belanda dan itu telah berjalan dengan baik. Diundangkannya RUUPA ini
tidak terlepas kehendak dari UU No 14/1970.Akhirnya, melalui berbagai
pendekatan sengit yang berlangsung selama 6 bulan di DPR, RUUPA ini
disyahkan menjadi UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang terdiri
dari tujuh bab berisikan ketentuan umum susunan pengadilan kekuasaan
pengadilan agama, hukum acara, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan
peralihan, dan ketentuan penutup. Dengan penjabaran yang meliputi 108
pasal menjadikan peradilan agama semakin mantap dan sejajar dengan
peradilan lain.
Hal menarik dari UU No 7/1989, tidak saja mensejajarkan Peradilan
Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dengan peradilan lain, tetapi
UU ini telah ditempatkan menjadi produk hukum yang responsif membawa
perubahan penting dalam peradilan Indonesia. Perubahan itu ditandai:
(1) Dasar hukum penyelenggaraan peradilan yang semula beraneka
ragam dari produk hukum kolonial, tetapi dengan berlakunya UU ini
menciptakan satu kesatuan hukum sebagai pelaksana politik Hukum
Nasional.
(2) Kompetensi peradilan berupa penyeragaman wewenang penagrdilan
agama seluruh Indonesia adalah sama. Hal ini tercantum seperti
pada pasal 49 ayat 1 yang berbunyi” pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaika perkara-perkara
tingkat pertama antara orang beragama Islam dibidag perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah berdasarkan hukum Islam serta waqap
dan shodaqah. Sedangkan pada pasal 49 ayat 2 menyatakan “bidang
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 199
39
Cik Hasan Bisri, Peradilan dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Bandung: Rosda Karya,
1997), hlm. 126-138.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
200 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
M.Yahya Harahap, Informasi Materi Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Mimbar
40
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 201
41
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm.
19-20.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
202 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
kehendak politik yang saling berintegrasi dan bahkan saling bersaing. Ketiga,
politik dan hukum sebagai sub sistem kemasyarakatan berada pada posisi
yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lainnya,
karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu
hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan
hukum.42Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa secara praktik hukum
seringkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik,
sehingga muncul kesimpulan bahwa hukum di Indonesia ini di intervensi
oleh politik. Meminjam bahasa Sri Soemantri yang mengilustrasikan
bahwa perjalanan hukum di Indonesia seperti “ rel dan lokomotif ” hukum
diumpamakan seperti rel, dan politik diumpamakan seperti lokomotif maka
sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilaluinya.
Dengan menggunakan asumsi dasar diatas, dapat dikatakan bahwa
hukum itu sebagai produk politik, maka konfigurasi politik suatu negara
sangat menentukan sekali proses pembuatan hukum dalam negara tersebut,
tidak hanya dalam proses pembuatannya bahkan implementasinya turut
diwarnai oleh konfigurasi yang berkembang. Oleh karena itu dilihat dari
proses pengguliran legislasi hukum Islam masa oede baru adalah tidak
terlepas peran konfigurasi politik orde baru yang dimaksud. Apakah dimulai
dari sejarah kemunculan, proses pembentukan, keterlibatan para pihak
yang ditunjuk merumuskan legislasi, bahkan substansi dan instrument
hukum yang digunakan tidak terlepas dari inisiatif dan kontrol pemerintah
(politik). Maka produk hukum yang muncul ada yang bersifat responsif dan
konservaif.
Kesimpulan ini terlihat ketika digulirkannya UU no 14/1970 untuk
menentukan lahirnya UU 7/1989 tentang RUUPA. Pemerintah sudah yakin
dan wanti-wanti bahwa dengan lahirnya RUUPA ini akan menimbulkan
dampak yang begitu besar. Maka pada saat lahirnya UU No 7/1989 tentang
peradilan agama, munculnya aksi dari masyarakat nonmuslim yang menolak
keberadaan RUUPA ini pemerintah terlalu mudah mengantisipasi gejolak
42
Mohd. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1998), hlm. 13.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 203
yang muncul. Tetapi satu sisi harus diketahui bahwa proses pengguliran
RUUPA ini adalah antitesis dari UU No 14/1972 yang secara tidak langsung
merupakan prestasi efektivitas legislasi hukum Islam di Indonesia masa
orde baru. Dikatakan demikian karena keberadaan RUUPA ini merupakan
pilar dari hukum Islam. Begitu juga dalam proses pengguliran draf RUU
perkawinan 1973 yang sangat ditentang oleh umat Islam karena draf RUU
tersebut tidak mencerminkan aspirasi mayoritas umat Islam. Bahkan dibalik
proses pengguliran itu mencerminkan sebuah bingkai politik Orde Baru
yang bersifat otoriter, walaupun pada akhirnya RUU perkawinan ini diterima
umat Islam setelah direvisi sesuai dengan ajaran Islam.
Fenomena ini bukanlah suatu kegagalan dari kebijakan Orde Baru. Sikap
mengalah yang diambil Orde Baru lebih mengedepankan aspirasi umat Islam,
tidak terlepas dari pertimbangan stabilitas politik yang sudah mengarah
pada tataran desintegrasi bangsa khususnya dapat menimbulkan pertikaian
agama Islam dan nonmuslim. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa politik
Orde Baru begitu dominan mempengaruhi setiap kebijakan politik hukum
Islam terutama dalam proses legislasi hukum Islam. Pendekatan jawaban ini
paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sudah terbangunnya
ideologi negara, yakni pancasila sebagai satu-satunya dasar negara, falsafah
negara dan sumber dari segala sember hukum. Ini sudah pasti menempatkan
setiap produk hukum yang muncul harus diuji dan diseleksi pancasila.
Kedua, visi pembangunan Orde Baru adalah menekankan pertumbuhan
pembangunan secara prioritas dengan tujuan memperbaiki perumbuhan
ekonomi masyarakat. Jadi bisa saja kebijakan dalam proses pembuatan
hukum bukanlah menjadi sebuah perhatian, begitu juga hilangnya perhatian
pemerintah terhadap legislasi hukum Islam di Indonesia. Ketiga, untuk
memperkokoh birokrasi yang dibangun, meskipun birokrasi Orde Baru
adalah birokrasi pancasila, tetapi wujud dari sistem yang dibangun berbau
otoriter, tujuannya tidak lain adalah untuk mempertahankan status quo. Jadi
kekuatan apapun yang dapat merongrong kewibawaan status quo, apakah
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
204 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
dia politik Islam atau lain sebaginya, secara cepat akan diantisipasi melalui
sistem birokrasi yang dibangun.
Faktor-faktor yang disebutkan di atas secara tidak langsung adalah
penghambat dari efektivitas politik hukum Islam terutama dirasakan pada
periode awal (1966-1980) masa konfrontasi hubungan Islam dengan negara.
Ruang gerak politik hukum Islam tidak terpantulkan secara baik, padahal
visi dari penerapan hukum Islam bersipat universal dan elastis. Tetapi
kenyataanya realitas hukum Islam sangat terkekang dan berada pada titik
tengah antara paradigma agama dan negara. Pada paradigm agama, hukum
Islam wajib dilaksanakan karena adalah sebuah ajaran (dogma), tetapi pada
saat lain huku Islam berada pada penguasaan negara yang menciptakan
sistem hukum sendiri yaitu pancasila. Jadi legislasi hukum Islam masuk
kedalam hukum negara secara yuridis adalah produk dari hukum nasional
meskipun sumber bahan bakunya mentrasnformasikan hukum Islam ke
dalam hukum nasional.
Karena itu, legislasi hukum Islam yang telah dibangun dalam bentuk
hukum positif adalah produk dari hukum nasional yang secara legal-formal
bersumber dari pancasila, tetapi secara material sebstansial harus kita katakan
sebagai hukum Islam. Karena hukum Islam berperan dalam pembinaan
hukum nasional (teori eksistensi). Indonesia di bawah rezim Orde Baru,
melarang munculnya Islam sebagai dasar negara, perkembangan Orde Baru
bukan karena faktor Islamnya, tetapi yang dikhawatirkan pemerintah adalah
berkembangnya “Politik Islam” dinegara ini. Bila kondisi ini terjadi tertutup
kemungkinan yang terjadi pada orde lama akan terulang kembali dengan
orde baru. Ketika digulirkan pancasila sebagai asaa tunggal, pemerintah
telah mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap kebijakan
tersebut. Pancasila bukan agama dan agama tidak dipancasilakan. Oleh
karena itu, disosialisasikannya pancasila tidak lain adalah solusi mengakhiri
dari konflik ideologis yang berkepanjangan, meskipun banyak pengamat
menilai penggagasan pancasila sebagai asas tunggal adalah merupakan akhir
dari perjuangan ideologis Islam dalam konstitusional Indonesia.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 205
43
Mohd. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1998), hlm.13.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
206 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
misi dan sarana lebih dominan kehendak elit pemerintah. Oleh karena itu,
tesis Mahfud MD tersebut memperkuat dugaan penulis selama Orde Baru,
penerapan hukum atau proses legislasi yang muncul lebih dominan diwarnai
kebijakan Orde Baru sedangkan DPR yang berkompeten untuk itu tidak
lebih berfungsi sebagai stempel legistimasi kehendak eksekutif.44
Sungguhpun demikian, Orde Baru tetap mengatakan Indonesia adalah
negara hukum yang memprioritaskan keadilan sebagai wujud supremasi
hukum, keadilan hukum yang dicita-citakan adalah menjadi dasar negara
yang dituangkan dalam Pancasila dan diakui dalam konstitusi UUD 1945
yang menyatakan Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rech
state) bukan berdasarkan kekuasan belaka (macth state),tetapi kenyataan yang
terlihat hukum yang dibangun tidak terlepas dari selera dan kehendak Orde
Baru. Kalaupun pada masa Orde Baru peran politik Islam dan kebijakannya
tidak efektif dalam menyalurkan aspirasi umat Islam itu adalah bagian dari
rekayasa konfigurasi politik Orde Baru yang merupakan suatu alasan untuk
meredam terciptanya konflik. Pancasila yang ditawarkan bagi Orde Baru,
merupakan solusi dalam mengantisipasi terciptanya konflik tersebut.45
Setelah memahami pancasila, harus diakui pancasila bukanlah
sebuah ideology negara yang beku, tetapi pancasila adalah ideology
terbuka. Keterbukaan ini mewujudkan toleransi yang tinggi terhadap
proses penuangannya kedalam perangkat negara dan sistem kenegaraan.
Keterbukaan pancasila tidak bersifat totaliter. Bukan saja karena negara kita
adalah negara demokrasi, tetapi pernyataan ini mengandung pengakuan
bahwa pancasila memberikan wawasan dan orientasi dalam hidup masyarakat
berbangsa dan bernegara.
Keterbukaan pancasila itulah telah memberlakukan hukum agama
dan toleransi antar umat beragama. Dengan keterbukaan pancasila telah
44
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, cet I (Jakarta: t. P., 1985), hlm. 255.
Sudharmono, Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Jurnal Filsafat Fakultas Hukum Universitas
45
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 207
46
M. Daud Ali mengutip pernyataan Hazairin, Hukum Islam dalam Negara RI, Kedudukan dan
Pelaksaannya, Mimbar Hukum, No 29, th VII, 1996 (Jakarta: al-Hikmah, Ditbinpera), hlm.
11-12.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
208 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan. (3) masih adanya golongan
yang memiliki aspirasi berkaitan dengan slogan Islam yang memeliki appeal
cukup besar dengan tujuan mengaktualisasi ajaran Islam sesuai dengan
situasi dan kondisi Indonesia.47
Selain dalam kerangka teori ilmu hukum, Gani Abdullah mengatakan
bahwa dengan pancasila telah menempatkannya pada posisi ganda: Pertama,
pancasila adalah perwujudan dari cita-cita hukum dan kedaran hukum
bangsa Indonesia yang tumbuh dari pandangan hidup serta cita moral. Jika
itu ditarik kembali kebelakang akan terlihat religius sosial pandangan hidup
dan citra moral tersebut. Dengan demikian cita hukum dan keadaan hukum
bangsa Indonesia tidak terlepas dari warna KeIslaman yang menjadi syarat
mutlak. Kedua: pancasila merupakan sumber dari sumber hukum, itu berarti
setiap norma dalam hukum Indonesia mengandung trasedental, horizontal.
Hukum Indonesia tidak semata-mata mengandung kedua dimensi ini, tetapi
terlihat kumulasi dari kedua dimensi pada saat yang bersamaan.48 Baik
Abdurrahman Wahid maupun Gani Abdullah mengungkapkan bahwa
pancasila tetap memberikan penyegaran terhadap ruang gerak penerapan
hukum Islam, walaupun secara konstitusi (dasar negara) tidak berperan
secara maksimal, tetapi berperan penting dalam kehidupan bernegara dan
menyerapi sebagai salah satu unsur dalam pembinaan hukum nasional
(pancasila) selain hukum adat dan hukum barat.49
Atau mengutip pernyataan mantan menteri Kehakiman Ali Said
bahwa kedudukan Hukum Islam itu harus merupakan salah sau komponen
dalam tata hukum Indonesia, yang salah satu menjadi sumber bahan
47
Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan,
dalam Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek (Bandung:
Remaja Rosdakarya offset, 1991), hlm. 4.
Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta:
48
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 209
50
Ibid.
51
Ichtijanto SA, Hukum Islam dan Tata Hukum Nasional (Jakarta: Penerbit IND-Hill Co
1990) hlm. 97.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
210 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
(exist) dalam hukum nasional dalam arti sebagai sumber bahan baku dan
utama dalam hukum nasional.52
Dari semua penjelasan di atas, adanya teori eksistensi serta efektivitasnya
legislasi hukum Islam masa Orde Baru, tidak terlepas dari peran dan
kiprah Muhammadiyah dalam dinamika politik di Indonesia. Meskipun
Muhammadiayah adalah perserikatan pada posisi netral tidak berpolitik
praktis, Muhammadiyah mampu memotivasi, mensupport, bahkan
mempreseur pemikiran politiknya dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar.
Muhammadiyah tetap memiliki perhatian pada proses politik seperti proses
legislasi di Parlemen dan mengambil kebijakan pemerintah.53 Para elit
Muhammadiyah mampu meyakinkan masyarakat, atas kehadiran pancasila
sebagai dasar negara.
52
Ibid, hlm. 86-87.
53
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah Dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, hlm. 392.
Lajnah Tarjih berasal dari gagasan besar KH.Mas Mansyut pada kongres Muhammadiyah
54
XVI di Pekalongan pada tahun 1927. Tokoh ini mengusulkan agar dalam Perserikatan
Muhammadiyah ada tiga Majlis, yaitu Majlis Tasyrik, Majlis Tnafiz, dan Majlis Taftisy.
Usulan ini diterima secara aklamasi oleh Kongres. Ibid., hlm. 95 dan 107.
55
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah dan NU, hlm. 95.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 211
56
Ibid., hlm. 100.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
212 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing
57
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 213
pendirian Bank Syariah semakin nampak jelas ketika pemerintah tahun 1988
mengeluarkan suatu paket disebut ”Paket Kebjikan Oktober” bertujuan
sebagai leberalisasi perbankan di Indonesia. Adanya paket kebijakan oktober
itu, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru memberikan lampu
hijau untuk mendirikan perbankan syariah.
Berbagai daerah-pun mulai merintis Bank Syariah, di Jakarta misalnya
berdiri Koperasi Ridho Gusti, meskipun izin pendirian koperasi, tetapi
mekanisme yang dijalankan adalah percobaan perbankan syariah yang bebas
tanpa bunga. Begitu pula di Bandung, munculnya Baitul Tamwil dan Salman
Bandung sebagai cikal awal dari bentuk Bank Syariah. Namun berbagai
bentuk percobaan skala relatif terbatas dari pendirian Bank syariah di atas
mempunyai kelemahan. Kelemahannya tidak didukung oleh seperangkat
hukum yang jelas untuk menjadi rujukan.
Barulah tahun 1990 melalui lokakarya dengan tema ”Masalah Bunga
Bank dan Perbankan” yang diselenggarakan oleh MUI di Casarua Bogor
pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Pakarsa ini kemudian dimatangkan dalam
musyawarah Nasional MUI tanggal 22-24 Agustus 1990 yang memutuskan
membentuk ”Tim Perbankan Kecil” kebetulan DR. Amin Aziz ditunjuk
sebagai Ketua Tim Perbankan kecil sekaligus sebagai Ketua ”Tim Mobilisasi
Dana BMI” yang kemudian didirikannya ”Bank Muamalat Indonesia”
disingkat dengan BMI.58
Dengan demikian BMI merupakan Bank Umum Syariah pertama yang
beroperasi di Indoensia. Dalam waktu 2 bulan sejak pendiriannya terkumpul
dana sebesar Rp. 64.1 Milyar, 3 milyar di antaranya sebagai dana awal yang
diberikan Presiden Suharto dari dana kas Yayasan Amal Bhakti Pancasila
(YABMP).59 Saat ini petumbuhan dan perkembangan perbankan syariah
sebagai ikon dari gerakan ekonomi Islam di Indonesia semakin berkembang,
karena diikuti oleh pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), di
58
Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hlm. 288.
59
Ibid.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
214 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
samping pada Bank Konvensional didirikan pula Bank Unit Syariah semakin
meluas.
60
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah Dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, hlm. 883-
884
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 215
Penutup
Secara realitas politik, peran dan kiprah Muhammadiyah dalam proses
politik bangsa Indonesia tidak diragukan lagi. Meskipun Muhammadiyah
menegaskan dirinya mampu menjaga jarak dengan partai politik,
Muhammadiyah mampu melakukan upaya-upaya konseptual dalam rangka
mengawal reformasi dan tidak terlihat adanya usaha untuk membawa masuk
Muhammadiyah ke dalam kooptasi partai politik. Adapun para elitnya dan
warganya memasuki partai dan mendirikan partai merupakan hak pribadi
yang tidak terkait dengan organisasi.
Kendati demikian peran politik Muhammadiyah dalam beberapa hal
dilakukan oleh para elitnya memberikan efek positif terhadap pemikiran
politik Muhammadiyah itu sendiri, termasuk dalam hal ini bidang
politik hukumnya. Muhammadiyah mampu mengawal proses legislasi di
Parlemen. Muhammadiyah turut serta memotivasi beberapa legislasi yang
mentransformasikan hukum Islam dalam hukum nasional. Muhammadiyah
juga turut serta menciptakan good governance berupa pemberantasan
korupsi dan praktik KKN baik melalui pendekatan struktural maupun
kultural. Muhammadiyah tampil ke depan sebagai gerakan terdepan dalam
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Daftar Pustaka
Abdullah, Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Abdurrahman Wahid, ”Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang
Pembangunan”, dalam Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia:
Pemikiran dan Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
216 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Abu Bakar, Zainal Abidin, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam No 9, th IV, 1993.
Ali, M. Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafindo Persada, 1993.
Ali, M. Daud, Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Asyari, Suaidi, Nalar Politik Muhammadiyah, Yogyakarta: LKIS, 2009.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung:
Rosda Karya, 1997.
Gibb, H.A.R., Muhamedanisme: An Historical Survei, New York: Oxford
University, 1966.
Hadikusuma, Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta:
Persatuan, t.th.
Halim, Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoritas
Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis Responsif, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000.
Harahap, M. Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV Zahir Trading
Co, 1975.
Harahap, M. Yahya, Informasi Materi Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam,
dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi hukum Islam No 5 tahun III, 1992.
Hazairin, Hukum Islam dalam Negara RI, Kedudukan dan Pelaksaannya, Mimbar
Hukum, No 29, th VII, Jakarta: al-hikmah, Ditbinpera, 1996.
Ichtijanto SA, Hukum Islam dan Tata Hukum Nasional, Jakarta: Penerbit IND-
Hill Co 1990.
Jurdi, Syarifuddin, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah 217
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013
218 Nispul Khoiri: Pemikiran Politik Hukum Islam Muhammadiyah
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013