Amoebiasis Hepar: Syahrul Adzim Lubis 150610030
Amoebiasis Hepar: Syahrul Adzim Lubis 150610030
Amoebiasis Hepar: Syahrul Adzim Lubis 150610030
Oleh :
150610030
Tutor :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
pertolongan-Nya saya dapat menyelesaikan tugas tutorial saya yang berjudul
AMOEBIASIS HEPAR ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan
meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai salah satu penyakit yang
berkaitan dengan kondisi tropis.
Saya berharap, semoga Tugas ini dapat bermanfaat terutama bagi saya
sendiri
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman judul.................................................................................................1
Kata pengantar................................................................................................2
Daftar isi..........................................................................................................3
Pendahuluan....................................................................................................4
Tinjauan pustaka..............................................................................................5
Pembahasan....................................................................................................17
Kesimpulan.....................................................................................................19
Daftar pustaka................................................................................................20
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amoebiasis hepar merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi
Entamoeba hystolitica. Penyakit ini masih sering dijumpai terutama di negara
tropis. Dahulu penyakit ini lebih dikenal sebagai abese tropik, karena disangka
hanya terdapat di daerah tropik atau subtropik saja. Ternyata hal tersebut
tidaklah benar, karena kemudian ditemukan juga tersebar di seluruh dunia (Hadi,
2002).
Entamoeba hystolitica sangat endemis di daerah India, Afrika, Meksiko,
Amerika Selatan dan Tengah, dan Asia. Penularan terjadi melalui rute fekal-oral,
dan status sosio-ekonomi yang lebih rendah dengan sanitasi yang tidak layak
merupakan faktor predisposisi terhadap infeksi. Praktik seksual oral-anal dan
penyakit psikiatrik atau retardasi mental telah ditetapkan sebagai faktor risiko.
Perjalanan atau imigrasi dari wilayah endemik sering kali menjadi faktor yang
menyebabkan orang-orang di negara maju terinfeksi oleh parasit ini (Cook,
2002).
Insidensi amoebiasis hepar terutama terdapat di negara tropik dan
subtropik dengan sanitasi yang masih buruk seperti India, Pakistan, Indonesia,
Asia Afrika, dan Meksiko. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang
dewasa pria daripada wanita dengan perbandingan 4:1. Pada kurang lebih 5%
penderita amoebiasis timbul komplikasi pada hati (Hadi, 2002).
B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi, penyebab, juga tanda dan gejala
Amoebiasis Hepar.
2. Mahasiswa dapat mengetahui struktur organ secara fisiologis, anatomi, dan
histologi dari hepar.
3. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologis dan patogenesis Amoebiasis
Hepar.
4. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang untuk penegakkan
diagnosis Amoebiasis Hepar.
5. Mahasiswa dapat mengetahui prognosis dan terapi Amoebiasis Hepar.
4
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal
yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam
parenkim hati (Price, 2006).
B. Etiologi
Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati
pyogenik.
5
Untuk penetapannya perlu dilakukan biakan darah, pus, empedu, dan swab
secara anaerob maupun aerob (Sudoyo, 2006).
C. Morfologi Entamoeba
Amuba ini memiliki bentuk tropozoid dan kista. Bentuk tropozoid memiliki ciri-
ciri (Brotowidjoyo,1987):
1. 10-60 mikron
2. Sitoplasma bergranuler dan memiliki eritrosit yang merupakan penanda
penting untuk diagnosisnya
3. Terdapat inti pada entamubadi tandai dengan kromosom padat,yang
terletak di tengah inti serta kromatin yang tersebar dipinggir inti
4. Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar disebut
psudopodia.
Daur hidup E. histolytica sangat sederhana, dimana parasit ini di dalam usus
besar akan memperbanyak diri. Dari sebuah kista akan terbentuk 8 tropozoit yang
apabila tinja dalam usus besar konsistensinya padat maka, tropozoit langsung akan
terbentuk menjadi kista dan dikeluarkan bersama tinja, sementara apabila
konsistensinya cair maka, pembentukan kista terjadi diluar tubuh.
(Brotowidjoyo,1987). Amoebiasis terdapat diseluruh dunia (kosmopolit) terutama
didaerah tropik dan daerah beriklim sedang. Dalam daur hidupya Entamoeba
histolytica memiliki 3 stadium yaitu (Brotowidjoyo,1987):
1. Bentuk histolitika.
2. Bentuk minuta
3. bentuk kista
6
Bentuk histolitika dan bentuk minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan
antara kedua bentuk tropozoit tersebut adalah bahwa bentuk histolytika bersifat
fatogen dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari bentuk minuta. Bentuk
histolitika berukuran 20 – 40 mikron, mempunyai inti entamoeba yang terdapat di
endoplasma. Ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi sel, dapat dilihat
dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebih
seperti daun, di bentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat. Endoplasma
berbutir halus biasanya tidak mengandung bakteri atau sisa makanan, tetapi
mengandung sel darah merah. Bentuk histolytica ini patogen dan dapat hidup
dijaringan usus besar, hati, paru, otak, kulit dan vagina. Bentuk ini berkembang biak
secara belah pasang di jaringan dan dapat merusak jaringan tersebut sesuai dengan
nama spesiesnya. Entomoeba histolitica (histo= jaringan, lysis = hancur). Bentuk
minuta adalah bentuk pokok esensial, tanpa bentuk minuta daur hidup tidak dapat
berlangsung, besamya 10-20 mikron. Inti entamoeba terdapat di endoplasma yang
berbutir-butir. Endoplasma tidak mengandung sel darah merah tetapi mengandung
bakteri dan sisa makanan. Ektoplasma tidak nyata, hanya tampak bila membentuk
pseudopodium. Pseudopodium dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya
lambat. Bentuk minuta berkembang biak secara belah pasang dan hidup sebagai
komensal di rongga usus besar, tetapi dapat berubah menjadi bentuk histolitika
yang patogen. Bentuk kista dibentuk di rongga usus besar, besamya 10 -20 mikron,
berbentuk bulat lonjong, mempunyai dinding kista dan ada inti entamoeba. Dalam
tinja bentuk ini biasanya berinti 1 atau 2, kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Di
endoplasma terdapat benda kromatoid yang besar, menyerupai lisong dan terdapat
juga vakuol glikogen. Benda kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai
makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista muda. Pada kista matang, benda
kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Bentuk kista ini tidak
patogen, tetapi dapat merupakan bentuk infektif. Entamoeba histolytica biasanya
hidup sebagai bentuk minuta di rongga ususbesar manusia, berkembang biak secara
belah pasang, kemudian dapat membentuk dinding dan berubah menjadi bentuk
kista. Kista dikeluarkan bersama tinja. Dengan adanya dinding kista, bentuk kista
dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar tubuh manusia
(Brotowidjoyo,1987).
7
E. Manifestasi klinis
Dapat juga timbul rasa nyeri pada bagian dada kanan bawah akibat iritasi pada
pleura diagfragma dan akhirnya dapat timbul tanda-tanda pleuritis. Rasa nyeri
tersebut menjalar kepunggung atau scapula kanan. Selain itu juga dapat disertai
batuk saat nyeri perut (Djaenudin, 2009).
F. Patomekanisme
8
1. Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
2. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada
interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna
terutama pada flora bakteri.
Mekanisme terjadinya amebiasis hati:
1. penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
2. pengerusakan sawar intestinal.
3. lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-
mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena
penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
4. penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar
melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai
nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma
diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa.
Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya
amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat
disentri amebiasis. Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga
beberapa bulan. E.histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu kista dan trofozoit
yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di
dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan
menjadi dewasa dalam lumen kolon. Trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik, pelepasan bahan toksik menyebabkan reaksi
inflamasi dan terjadi destruksi mukosa. Selanjutnya timbul ulkus dengan
kedalaman mencapai submukosa atau lapisan muskularis, tepi ulkus menebal dan
sedikit reaksi radang. Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas
humoral dan imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-
activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis
dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang
disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden (Sudoyo, 2006).
9
(Bagan terjadinya amoebiasis hepar. Suzzane, 2001)
10
G. Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Gejalanya dapat berupa diare yang hilang-timbul dan sembelit, banyak
buang gas (flatulensi) dan kram perut. Bila disentuh perut akan terasa nyeri dan
tinja bisa mengandung darah serta lendir. Bisa terjadi demam ringan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan didapatkan penderita tampak kesakitan. Kalau jalan
membungkuk ke depan kanan sambil memegang perut kanan atas yang sakit,
badan teraba panas, hati membesar dan bengkak. Pada tempat abses teraba
lembek dan nyeri tekan. Di bagian yang di tekan dengan satu jari terasa nyeri,
berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari
mudah diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. Ini
menunjukkan tanda Ludwig positif dan merupakan tanda khas abses hepatis.
Lokalisasi abses yang terbanyak ialah di lobus kanan, jarang di lobus kiri. Batas
paru-paru hati meninggi. Ikterus jarang sekali ditemukan.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan tinja jarang sekali ditemukan ameba. Menurut beberapa
kepustakaan ditemukan sekitar 4 – 10%. Ditemukannya ameba dalam tinja.
Jumlah lekosit meninggi sekitar 10 - 20 ribu/mm3. Pada bentuk akut sering
jumlah. Lekosit melebihi 16.000/mm3, sedang pada bentuk kronik terdapat
sekitar 13.000/mm3. Tes faal hati menunjukkan batas-batas normal. Pada
keadaan yang berat dapat ditemukan penurunan kadar albumin dan sedikit
peninggian kadar globulin, dengan protein total dalam batas normal.
11
4. Pemeriksaan Rontgen
Pada foto Toraks terlihat diafragma kanan meninggi. Apabila dengan
pemeriksaan sinar tembus jelas Nampak bahwa diafragma kanan selain
meninggi juga tak bergerak, bentuk diafragma melengkung ke atas
atau bagian tengah diafragma kanan meninggi, berarti adanya abses hati. Pada
abses di lobus kiri hati, gambaran seperti tersebut di atas tidak nyata. Abses di
lobus kiri hati sering memberikan penekanan pada lambung, yang dapat dilihat
pada foto lambung dengan kontras barium.
5. Fotopolos abdomen
Kelainan dapat berupa hepatomegali, gambaran ileus, gambaran udara
bebas di atas hati
6. Ultrasonografi
Gambaran ultrasonografi yaituakan terlihat suatu daerah kosong atau daerah
sonolusen di hati dengan dinding ireguler. Bila intensitas atau gain ditinggikan,
akan terlihat sedikit pengisian internal ekho. Cara pemeriksaan ultrasonografi
ini mudah dikerjakan, tidak menimbulkan efek sampingan atau merusak
jaringan.
7. Pemeriksaan serologi
Menunjukkan sensitifitas yang tinggi terhadap kuman.
1. Kriteria Sherlock
Gejala klinis yang timbul berupa hepatomegali yang nyeri tekan, respon baik
terhadap obat amoebisid, leukositosis, peninggian diafragma kanan dan
pergerakan yang kurang, aspirasi pus, pada USG didapatkan rongga dalam hati,
dan tes hemaglutinasi positif.
2. Kriteria Ramachandran
Diagnosis abses hepar dapat ditegakkan bila ditermukan minimal 3 hal sebagai
berikut: hepatomegali yang nyeri, riwayat disentri, leukositosis, kelainan
radiologis, respon terhadap terapi amoebisid.
12
3. Kriteria Lamont dan Pooler
Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan minimal 3 hal berikut: hepatomegali
yang nyeri, kelainan hematologis, kelainan radiologis, pus amoebik, tes
serologik positif, kelainan sidikan hati, dan respon baik dengan terapi
amoebisid.
H. Gambaran Histopatologi
13
Gambar 1.Invasi submukosa oleh tropozoit. Lesi menyebar ke lateral membuat
ulkus amebic berbentuk labu (Histopatology, UFPA, Araujo R.)
I. Penatalaksanaan
1. Terapi Obat
14
2. Tindakan Aspirai terapeutik
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam) atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontra
indikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi (Thompson, 2003).
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau
CT scan abdomen. Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ
intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan
kateter untuk drainase (Thompson, 2003).
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
membaik dengan cara yang lebih konservatif. Juga diindikasikan untuk
perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau
tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba
yangmengalami infeksi sekunder juga direncanakan untuk tindakan bedah,
khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Laparoskopi juga di
dahulukan untuk kemungkinan dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses
amuba intraperitoneal (Thompson, 2003).
J. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5 – 15,6%,
perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru, pericardium, usus,
intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama
setelah aspirasi atau drainase (Rasjid, 2004).
15
K. Prognosis
Prognosis dari abses hati dipangaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut (Friedman,
2003):
1. Virulensi parasit.
2. Status imunitas dan keadaan nutrisi.
3. Usia penderita, prognosis akan baik bila usia dewasa muda.
4. Cara timbulnya penyakit serta letak dan jumlah abses, prognosis akan
memburuk bila terjadi abses di lobus kiri atau multiple.
16
PEMBAHASAN
17
responden berhasil diobati dengan 9 diantaranya membutuhkan satu kali aspirasi 10
responden membutuhkan dua kali aspirasi, dan 4 pasien memerlukan tiga kali
aspirasi. 7 dari 30 responden dinyatakan gagal karena tidak menunjukkan
penurunan yang signifikan pada rongga abses bahkan setelah 3 kali aspirasi. Dari 7
responden yang gagal terapi PNA dilanjutkan dengan terapi PCD. 6 responden
menunjukkan keberhasilan terapi sedangkan 1 responden tidak melanjutkan terapi
PCD. Sedangkan pada kelompok yang dilakukan intervensi PCD menunjukan 30
responden berhasil diterapi. Keuntungan utama dari PNA dibandingkan dengan
PCD yaitu:
1. PNA kurang inasif dan lebih murah dibandingkan PCD.
2. Dapat menghindari masalah yang berkaitan dengan komplikasi pemasangan
kateter drainase seperti gangguan nyeri dan selulit didaerah pemasangan
kateter (Singh, 2013).
Tingkat keberhasilan PNA setelah aspirasi pertama 30%, setelah aspirasi kedua
63% dan setelah aspirasi ketiga 77%. Namun, pada prosedur PNA yang berulang
kurang dapat diterima karena menyebabkan trauma yang tidak menyenangkan.
Bahkan setelah aspirasi berulang tingkat keberhasilan jauh dari 100%. Oleh karena
itu pasien yang gagal setelah aspirasi ketiga ditawarkan untuk melakukan PCD.
Kelemahan dari aspirasi jarum adalah tidak mampu mengevaluasi kental dan
tebalnya nanah yang terdapat pada abses. Kecepatan reakumulasi nanah juga dapat
menjadi alasan kegagalan tindakan aspirasi jarum (Singh, 2013).
Sedangkan keuntungan dari PCD adalah penempatan kateter drainase dapat
menyediakan drainase terus menerus untuk nanah sehingga mencegah reakumulasi.
Berdasarkan penelitian ini tidak ada laporan kekambuhan. Komplikasi yang
dilaporkan dan kematian responden dari penelitian sebelumya juga tidak terbukti
pada penelitian terbaru ini, selama prosedur yang dilakukan benar, selain itu
kontaminasi bakteri juga tidak terjadi pada PCD. Namun dapat terjadi pada aspirasi
jarum yang berulang (Singh, 2013).
KESIMPULAN
18
1. Amoebiasis hepar merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi
Entamoeba hystolitica.
2. Untuk diagnosis amoebiasis hati dapat dilihat dari Anamnesis, Pemeriksaan
Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang.
3. Terapi yang dapat digunakan berupa terapi obat, tindakan aspirasi, drainase
perkutan, dan drainase bedah
DAFTAR PUSAKA
19
Andri LA, Rasjid HA. 2004. Abses amuba pada hepar. DexaMedica 2004; 21-6 .
Aru W, Sudoyo, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat.
Balai Penerbitan FK-UI: jakarta
Cook, G. C. 2002. Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Jakarta: EGC.
Friedman SL, Quaid KR, Grendel JH. Infection of the liver, parasitic infection of
the liver. Cur- rent, Diagnosis & Treatment in Gastroenterology. 2nd ed.
New York: McGraw - Hill Companies, toe; 2003.p.586-7.
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni.
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Media
Aesculapius: Jakarta. Halaman 512.
Price, Sylvia a. 2006. Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku
Patofiologi, Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta :EGC
Rustam Khan, Saeed Hamid, Shahab Abid, et al. Predictive factors for early
aspiration in liver abscess. World J Gastroenterol 2008 April 7; 14(13).
Sylvia a. Price, 2006. Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofisiologi
Jilid 1 Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC
Thompson JE, Forlenza S, Verma R. 2003. Amebic liver abcess: a
therapeutic approach. Rev Infection Diseases
Yu SCH, Ho SSM, Lau WY, et al. Treatment of pyogenic liver abscess:
prospective randomized comparison of catheter drainage and needle
aspiration. Hepatology 2004;39:932-938.
20