274 25 PB
274 25 PB
274 25 PB
Sitti Dahlia
E-mail : [email protected]
Abstract
National development aimed at improving human resources. Nutrition is one determinant of the quality of
human resources quality, healthy, intelligent and productive. The prevalence both in children under five in
Indonesia remains high. Children under five are the most frequent age group suffer from malnutrition and
disease-prone, because of the assumption at this time is the transition from baby food to adult food, children
under five have not been able to fend for himself, including foods, and usually already have a toddler or
younger his mother was working full so that his attention has been reduced. Effects of malnutrition on
mental development and brain depend on the degree of severity, duration and timing of brain growth itself.
Nutritional problems is a very complex and has a very broad dimensions, not only about the health aspects
but also include social issues, economics, culture, upbringing, education, environment and behavior.
Positive Deviance understanding can be used to explain the factors that affect growth and nutritional status
is better than children who live in poor neighborhoods (slums), where most of the other children suffering
from stunted growth and development of the condition of having less nutrition. Positive Deviance learn
why the study of the many infants and young children in an impoverished community that only a minority
of poor nutrition. Habits that benefit the family as the core of positive Deviance program is divided into
four main categories, namely, providing food, care, cleanliness, and health services. In Indonesia, positive
studies have been conducted by Jauhari Deviance et al (2000) in Jakarta, Bogor and East Lombok. The
result is the interaction of mothers with children aged 6-17 months was positively related to nutritional
status of children. Children who always strived to eat, get a response when the chattering, always got a
smile from the mother, better nutritional condition than their peers who received less parental attention.
1
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :1-5
antaranya 4,9% yang gizi buruk. Di provinsi tergantung dengan derajat berat lamanya dan
Sulawesi Selatan sendiri, jumlah balita gizi buruk waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Jika kondisi
BB/U sebanyak 5,9%, balita status pendek (TB/U< gizi buruk terjadi pada masa golden period
-2 SD) 29,1%, dan balita kurus sebanyak 13,7%.3 perkembangan otak (0-3 tahun), maka dapat
Kurang Energi dan Protein (KEP) pada anak masih dibayangkan otak tidak dapat berkembang
menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di sebagaimana anak yang sehat, dan kondisi ini akan
Indonesia. irreversible (sulit untuk pulih kembali).
Anak balita merupakan kelompok umur yang Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi
paling sering menderita rawan gizi dan penyakit, vital karena otak adalah salah satu 'aset' yang vital
karena adanya anggapan pada masa ini merupakan bagi anak untuk dapat menjadi manusia yang
transisi dari makanan bayi ke makanan orang berkualitas di kemudian hari. Beberapa penelitian
dewasa, anak balita belum dapat mengurus dirinya menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk
sendiri, termasuk memilih makanan, serta biasanya terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi
anak balita sudah mempunyai adik atau ibunya apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan
sudah bekerja penuh sehingga perhatiannya sudah perkembangan yang lain sedangkan dampak
berkurang.4 jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ,
penurunan perkembangan kognitif, penurunan
Dampak kekurangan gizi terhadap tumbuh integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian,
kembang anak telah cukup disadari oleh berbagai rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi
kalangan. Gizi buruk bukan hanya menjadi stigma akademik di sekolah. Kurang gizi berpotensi
yang ditakuti, namun hal ini tentu saja terkait menjadi penyebab kemiskinan melalui rendahnya
dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga kualitas sumber daya manusia dan produktivitas.
maupun negara, di samping berbagai konsekuensi Tidak heran jika gizi buruk yang tidak dikelola
yang diterima anak itu sendiri. dengan baik, pada fase akutnya akan mengancam
Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi
organ dan system, karena kondisi ini juga sering ancaman hilangnya sebuah generasi penerus
disertai dengan defisiensi asupan mikro/makro bangsa.6
nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh.
Gizi buruk akan memporakporandakan system Selama ini telah dilakukan upaya perbaikan gizi
pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme mencakup promosi gizi seimbang termasuk
maupun pertahanan mekanik sehingga akan sangat penyuluhan gizi di posyandu, fortifikasi pangan,
mudah untuk menimbulkan infeksi.5 pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI,
pemberian suplemen gizi, pemantauan dan
penanggulangan gizi buruk. Namun kenyataannya,
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk masih banyak keluarga yang mempunyai perilaku
bisa mengancam jiwa karena berbagai disfungsi gizi yang tidak sehat. Oleh karena itu,
yang dialami, ancaman yang timbul antara lain dikembangkan perilaku positive deviance dengan
hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan menggunakan pendekatan hearth. Pemberdayaan
lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam keluarga melalui metode ini dikembangkan dalam
darah yang di bawah kadar normal), dan upaya mengeliminasi kasus gizi kurang atau gizi
kekurangan elektrolit penting serta cairan tubuh. buruk.7
Jika fase akut tertangani namun tidak di follow up
dengan baik, akibatnya anak tidak dapat catch up Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Anak
dan mengejar ketinggalannya, maka dalam jangka
panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pertumbuhan maupun perkembangannya. Akibat pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap
gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat status gizi anak.8 Pengetahuan, selain diperoleh
merugikan performance anak, akibat kondisi dari pendidikan formal, juga dapat diperoleh dari
stunting (postur tubuh kecil pendek) yang keaktifannya dalam mencari atau menggali dari
diakibatkannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, berbagai sumber.
perkembangan anak pun terganggu. Efek
malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak
2
Pengaruh Positive Deviance terhadap Status Gizi Balita (Sitti Dahlia)
Pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola asuh ibu Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan
dan membawa dampak pada anaknya. Pengetahuan keterampilan, maka makin banyak yang
ibu yang dimaksud terkait dengan : memanfaatkan pelayanan kesehatan. Tetapi
1. Kebiasaan dalam pemberian makan sebaliknya, apabila tingkat pendidikan,
Kebiasaan dalam memberikan makanan bayi pengetahuan dan keterampilan keluarga sangat
atau balita mempengaruhi pertumbuhan dan rendah, maka tingkat ekonomi keluarga juga
status gizi anak.9-11 Pemberian makanan bayi 0- rendah, akibatnya akan mempengaruhi tingkat
6 bulan dengan ASI ekslusif diperlukan. ketahanan pangan, sehingga timbullah berbagai
masalah kesehatan dalam keluarga.
2. Pola asuh anak balita
Menurut Rahayu (2001)12, anak yang diasuh Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan
dengan baik oleh ibunya akan lebih berinteraksi Status Gizi Balita
secara positif dibandingkan bila diasuh oleh
selain ibunya. Pengasuhan anak oleh ibunya Menurut Slamet (2009)13, akar permasalahan gizi
sendiri akan menyebabkan anak merasa aman. adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial
Anak akan memperoleh pasangan dalam dalam masyarakat, yang menyebabkan kemiskinan
berkomunikasi dan ibu sebagai peran model dan tingginya angka inflasi. Sebenarnya, masih ada
kemampuan masyarakat yang dapat diberdayakan
bagi anak yang berkaitan dengan keterampilan
verbal secara langsung. untuk memperbaiki kondisi ini antara lain :
Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang pemberdayaan wanita dan keluarga serta
sangat penting karena akan mempengaruhi pemanfaatan sumber daya masyarakat. Masalah
proses tumbuh kembangnya. Hal ini berkaitan gizi merupakan masalah yang sangat kompleks dan
erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, mempunyai dimensi yang sangat luas, tidak hanya
pendidikan, pengetahuan, sikap, dan praktek menyangkut aspek kesehatan tetapi juga meliputi
tentang pengasuhan anak. Menurut masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh,
Notoatmodjo (1997)9, suatu sikap belum pendidikan, lingkungan dan perilaku. Mengingat
otomatis terwujud dalam suatu praktek atau penyebabnya sangat kompleks, pengolahan gizi
tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi buruk dan gizi kurang memerlukan kerjasama yang
praktek, diperlukan faktor pendukung antara komprehensif dari semua pihak, bukan hanya oleh
lain fasilitas dan support dari pihak lain, misal petugas medis, namun juga pihak orangtua,
suami, orang tua atau mertua. keluarga, pemuka agama, dan pemerintah.14
3
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :1-5
masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat Karena solusi sudah ada di tempat itu, maka
dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis kemajuan dapat dicapai secara cepat tanpa
pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki banyak menggunakan analisis atau sumber daya
kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum dari luar. Pendekatan tersebut dapat diterapkan
yang memungkinkan mereka dapat menemukan secara luas karena pelaku positive deviance
cara-cara yang lebih baik, untuk mencegah selalu ada hampir di setiap masyarakat.
kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang
memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak
memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan
positif. Studi positive deviance mempelajari 6. Secara budaya dapat diterima
mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di Pendekatan ini didasarkan pada perilaku
suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang setempat yang diidentifikasi dalam konteks
gizi buruk. Kebiasaan keluarga yang sosial, etnik, bahasa dan agama di setiap
menguntungkan sebagai inti program positive masyarakat.
deviance dibagi menjadi empat kategori utama
yaitu, pemberian makanan, pengasuhan, 7. Berdasarkan Perubahan Perilaku
kebersihan, dan mendapatkan pelayanan Pendekatan ini tidak mengutamakan perolehan
kesehatan.13 Keuntungan metode positive pengetahuan, namun ada tiga langkah proses
deviance: perubahan perilaku yang termasuk di dalamnya,
1. Cepat yaitu penemuan (penyelidikan,PD), demonstrasi
Pendekatan ini memberikan solusi yang dapat (kegiatan pos gizi) dan penerapan (kegiatan pos
menyelesaikan masalah dengan segera. gizi dan di rumah).
4
Pengaruh Positive Deviance terhadap Status Gizi Balita (Sitti Dahlia)
hasilnya menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera
Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Utara; 2007.
Slamet Riyadi, pendekatan positive deviance gizi 7. Sirajuddin. Model Tungku (Hearth) Terbukti
(Pos Gizi) dan dampaknya pada anak balita di Mampu Mengeliminasi Kasus Kurang Gizi
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh Secara Berkelanjutan. Tersedia di
menunjukkan bahwa pos gizi merupakan strategi :http://www.gizi net.com. Diakses pada
yang potensial untuk meningkatkan status gizi.13 Desember, 2011.
8. Michelle Bellessa Frost, et al. Maternal
Beberapa penelitian lain meyebutkan bahwa pola Education and Child Nutritional Status In
asuh ibu sebagai faktor risiko terjadinya Kurang Bolivia. 2004.
Energi Protein (KEP) pada anak balita,oleh Adni 9. Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Abdul Razak, dkk yang dilakukan di Kabupaten Jakarta: Rineka Cipta; 1997.
Morowali. Mencermati kondisi tersebut, perlu 10. Perven Liaqat, et al. Maternal Education and
dicari upaya pemecahan untuk mengatasi KEP Complementary Feeding. Pakistan Journal of
pada anak balita dengan melihat faktor penyebab Nutrition. 2006.
yang terdekat, yaitu pola konsumsi makan balita, 11. Piroska A. Bisits Bullen,2011. The Positive
pola asuh atau perawatan ibu dan penyakit infeksi. Deviance/Hearth Approach to Reducing Child
Dengan metode positive deviance ibu diberikan Malnutrition; Systematic Revieu, Tropical
pengetahuan, sikap dan praktek ibu dan Medicine and Internasional Health. Available at
pengasuhan lain dalam kedekatannya dengan : http:onlinelibrary,wiley.com. Cited 2011 Dec.
anak.16 12. Rahayu S. Psikologi Perkembangan.
Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress;
Aqwa Samuel (2009)17 melakukan penelitian 2001.
tentang keberlanjutan gizi melalui positive 13. Slamet Hidayat.. The Influence of Positive
deviance, mengembangkan dan mengidentifikasi deviance Approach on Nutrition (Pos Gizi)
sumber-sumber yang ada pada masyarakat itu Outcomes in Children Underfive Years (CU-5)
sendiri. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh in Aceh Besar District, Aceh Province,
Christina Antwiwa Nti (2008) tentang perawatan Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat; 2009.
praktis pada status gizi di daerah Ghana, hasilnya 14. Sediaoetama, D. Ilmu gizi untuk Mahasiswa
positive deviance dengan hygiene practice dan Profesi. Jilid I. 1987.
menunjukkan angka yang signifikan.3 15. Siddarth Ramji. Impact of Infant and Young
Child Feeding and Caring Practices and
Daftar Pustaka Nutritional Status and Health. Indian Journal
Med. 2009.
1. Kartini, A. Proksi Status Gizi yang Mengalami 16. Adni Abdul Razak,dkk. Pola Asuh Ibu sebagai
Deviasi Positif di kecamatan Barebbo Faktor Risiko Kejadian KEP pada Anak Balita.
kabupaten Bone (Tesis). Makassar: Universitas Jurnal Gizi Klinik Indonesia 2009; 95-103.
Hasanudddin: 2009. 17. Aqwa Samuel,et al. Nutritional Sustainability
2. Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. Pedoman Via Positive Deviance Challenges for Teaching,
Pelaksanaan Pendampingan Gizi di provinsi Research and Extension, Pakistan Journal of
Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kesehatan Nutrition 2009;8(10): 1706-10. Available at:
Provinsi Sulawesi Selatan: 2007. http://www.pjbs.org/pjnonline. Cited 2011 Dec.
3. Departemen Kesehatan RI. Laporan Riset
Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta.
4. Dinesh Kumar, et al. Influence of Infant
Feeding Practise on Nutritional Status of
Underfive Children. 2006.
5. Rita Abbi, dkk. Gizi Buruk dan Loss
Generation. Majalah Inovasi Jepang 2005;5.
6. Frisda Turnip. Pengaruh Positive Deviance
pada Ibu dari Keluarga Miskin Terhadap Status
Gizi Anak Usia 12-24 Bulan di kecamatan
Sidikallanof kabupaten Dairi provinsi
5
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :1-5
6
Tinjauan Pustaka
*E-mail : [email protected]
Abstract
Riskesdas results in 2010 showed 40.6% of the population consume food below the minimum requirement
(<70% of the rate adequacy of nutrition), which recommended in 2004, and 24.4% of whom are children.
Children under five who are malnourished will have stunted growth and brain development, resistance to
disease decreases, thereby increasing the risk of morbidity and death is quite high. nutritional requirements
are estimated to amount sufficient to maintain good health in general. Broadly speaking, the nutritional
needs are determined by age, gender, activity, weight, and height. Between nutrient intake and expenditure
must be a balance in order to obtain a good nutritional status. Prevention strategy and overcome this, the
high-risk groups should make it a target with practical interventions and indigenous. One is the provision of
supplementary food with mashed rice as raw material, which in addition to the nutritional content, the rice
is also used every day. Based on these considerations, the use of crushed rice as food additives in an effort
to improve the nutritional status is expected not only able to overcome the problem of malnutrition among
children, but also reduce social spending in addition to maintaining "good tradition" pound rice in activities
that can also thicken the sense of community and family.
6
Pengaruh PMT Beras Tumbuk terhadap Baduta Gizi Kurang (Yuki)
gizi yang merupakan faktor utama sebagian dari tinggi badan. Antara asupan zat gizi dan
semua kematian di antara anak-anak kurang dari pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga
lima tahun.4 diperoleh status gizi yang baik.6
Berbagai upaya perbaikan gizi telah dilakukan Ada beberapa hal yang sering merupakan
mencakup promosi gizi seimbang termasuk penyebab terjadinya gangguan gizi, baik secara
penyuluhan gizi, fortifikasi pangan, pemberian langsung maupun tidak langsung. Pada usia ini
makanan tambahan termasuk MP-ASI, pemberian (baduta), anak masih rawan dengan berbagai
suplemen gizi, pemantauan dan penanggulangan gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani.
gizi buruk. Meskipun pada kenyataannya masih Salah satu faktor yang menentukan daya tahan
banyak kasus gizi kurang dan gizi buruk, namun tubuh seorang anak adalah keadaan gizinya. Di sisi
patut kita hargai beberapa upaya yang telah lain, alat pencernaan usia ini belum berkembang
menunjukkan titik terang. Contohnya, pemberian sempurna. Selain itu, anak baduta sangat rentan
suplemen zinc yang dapat menurunkan frekuensi terhadap penyakit gigi sehingga menyulitkan
diare, dan pemberian MP-ASI biskuit mampu makannya. Gigi susu telah lengkap pada umur 2-
meningkatkan status gizi.5 2,5 tahun, tetapi belum dapat digunakan untuk
mengerat dan mengunyah makanan yang keras.
Gizi Baduta Menurunnya nafsu makan juga menjadi alibi utama
para ibu sebagai penyebab terjadinya kurang gizi
Secara harfiah, baduta atau anak bawah dua tahun pada anak-anak. Sebagai penyebab langsung
adalah anak usia kurang dari dua tahun sehingga gangguan gizi, khususnya gangguan gizi pada bayi
bayi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam dan balita adalah tidak sesuainya jumlah gizi yang
golongan ini. Namun, karena faal (kerja alat tubuh) mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan
bayi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak tubuh mereka. Pendapat lain menyatakan bahwa
usia di atas satu tahun, maka banyak ilmuwan yang penyebab utama pada balita adalah kemiskinan
membedakannya. Utamanya, makanan bayi sehingga akses pangan anak terganggu, penyakit
berbentuk cair, yaitu air susu ibu (ASI), sedangkan infeksi (diare), pengetahuan orang tua yang rendah,
umumnya anak usia lebih dari satu tahun mulai atau faktor tabu makanan.4,8,6
menerima makanan padat seperti orang dewasa.
Anak usia 1-2 tahun dapat pula dikatakan mulai Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan
disapih atau selepas menyusu sampai dengan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh
prasekolah. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan mempunyai sebab buruknya mutu gizi makanan
perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya juga keluarga, khususnya makanan anak balita. Menurut
mengalami perkembangan sehingga jenis makanan Soegeng Santoso, masalah gizi karena kurang
dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan pengetahuan dan keterampilan di bidang memasak,
dengan keadaannya. Laju pertumbuhan masa dapat menurunkan konsumsi anak, keragaman
baduta lebih besar dari masa usia prasekolah bahan, dan jenis masakan yang mempengaruhi
sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif kejiwaan, misalnya kebosanan.6
lebih besar. Namun, perut yang masih lebih kecil
menyebabkan jumlah makanan yang mampu Banyak bahan makanan yang sesungguhnya
diterimanya dalam sekali makan lebih kecil bernilai gizi tinggi tetapi tidak digunakan atau
daripada anak yang usianya lebih besar. Oleh digunakan secara terbatas, karena adanya
karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi prasangka yang tidak baik terhadap bahan
kecil dengan frekuensi sering.6 makanan itu, contohnya adalah beras. Beras giling
dianggap lebih baik karena prosesnya lebih
Dalam makanan terdapat enam jenis zat gizi, yaitu modern, dan warnanya tampak lebih putih dan
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan bersih. Pada dasarnya, pertumbuhan anak di
air.7 Zat gizi ini diperlukan bagi baduta sebagai zat seluruh dunia berawal sama. Namun awal yang
tenaga, pembangun, dan pengatur. Kebutuhan gizi sama ini dapat berakhir beda karena adanya
baduta adalah jumlah yang diperkirakan cukup gangguan pada pertumbuhan. Inilah yang dialami
untuk memelihara kesehatan pada umumnya. oleh anak Indonesia. Setelah mengenal makanan
Secara garis besar, kebutuhan gizi ditentukan oleh pendamping ASI, anak Indonesia sulit untuk
usia, jenis kelamin, aktifitas, berat badan, dan mengimbangi pertumbuhan anak di negara lain.9
7
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :134-138
Data tahun 2007 memperlihatkan 4 juta balita pembatas yang utama (terkecil jumlahnya) dalam
Indonesia kekurangan gizi, 700 ribu di antaranya beras. Kandungan lemak beras tumbuk atau beras
mengalami gizi buruk. Sementara yang mendapat pecah kulit adalah 1,9%, sedangkan pada beras
program makanan tambahan hanya 39 ribu anak. giling hanya 0,7%. Itu berarti, sekitar 80% lemak
Padahal, program masyarakat yang menyediakan terdapat dalam dedak dan bekatul, yang terpisah
makanan dan mensubsidi produk pangan ternyata dari beras giling saat penyosohan. Beras tumbuk
sangat efektif untuk memperbaiki status gizi pada mengandung vitamin lebih besar daripada beras
kelompok-kelompok yang rentan.10 Oleh giling. Vitamin terkonsentrasi pada lapisan bekatul
karenanya, banyak hal yang dapat dilakukan untuk dan lembaga. Penyosohan menurunkan dengan
mengatasi kurang gizi, salah satunya adalah drastis kadar vitamin B kompleks sampai 50% atau
dengan pemberian makanan tambahan. lebih. Sebuah penelitian di India menemukan
bahwa lebih dari 65% vitamin B1 (tiamin) dan
Potensi Beras Tumbuk untuk Peningkatan Status 40% fosfor pada beras, hilang pada saat
Gizi penggilingan hingga penyosohan. Jika
dibandingkan dengan beras giling, beras tumbuk
Beras merupakan bagian integral, dapat dikatakan lebih banyak mengandung vitamin B1 yang
menjadi penciri budaya Austronesia, khususnya diperlukan untuk mencegah beri-beri pada bayi.
Austronesia bagian barat. Bagi Indonesia, pangan Vitamin B kompleks pada beras tumbuk dapat
diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini membantu mengatasi masalah gizi pada anak, yang
merupakan makanan pokok utama. Beras memiliki umumnya ditandai dengan kurang nafsu makan
nilai strategis selain karena pengaruhnya terhadap hingga gangguan system saraf.12,13
bidang ekonomi, sosial politik, juga karena beras
merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang Dari aspek biaya, pengolahan padi menjadi beras
meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.3 tumbuk lebih murah daripada beras giling bahkan
dapat menghemat 40% hingga 50% dari biaya
Beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah proses beras giling (sosoh), demikian pula beras
dibuang dengan cara digiling dan disosoh dengan tumbuk lebih bergizi tinggi dari beras sosoh.12
menggunakan alat pengupas dan penggiling serta Untuk itu, mengangkat kembali beras tumbuk
penyosoh. Pada salah satu tahap pemrosesan hasil sebagai bahan pangan utama melalui pemberian
panen padi, gabah ditumbuk dengan lesung atau makanan tambahan (selain karena aspek gizi dan
digiling sehingga bagian luarnya (kulit gabah) ekonomi) diharapkan menjadi salah satu langkah
terlepas dari isinya. Bagian isi inilah yang dalam mengatasi gizi kurang pada anak baduta.
berwarna putih, kemerahan, ungu atau bahkan
hitam, yang disebut beras. Pemrosesan padi sendiri Perbaikan Gizi Baduta Melalui Pemberian Beras
mulai bergeser dari cara tradisional dengan Tumbuk sebagai Makanan Tambahan
menumbuk menjadi lebih modern dengan cara
digiling hingga disosoh. Padahal proses Pemberian Makanan Tambahan (PMT) merupakan
pengolahan butiran padi ini sangat menentukan salah satu komponen penting Usaha Perbaikan Gizi
kandungan gizi beras itu sendiri. Masyarakat Keluarga (UPGK) dan program yang dirancang
perkotaan bahkan di pedesaan kini lebih memiih oleh pemerintah. PMT ini diberikan setiap hari,
beras giling dengan warna butiran beras lebih putih sampai keadaan gizi penerima menunjukkan
dengan keyakinan bahwa beras tersebut lebih perbaikan, dan hendaknya digunakan benar-benar
bersih dan sehat, padahal tanpa mereka sadari sebagai penambah dengan tidak mengurangi
makin tinggi penyosohan makin putih warna beras jumlah makanan yang dimakan setiap hari di
yang dihasilkan namun makin miskin zat-zat rumah. Pada saat ini, program PMT tampaknya
gizi.11,12,3 masih perlu dilanjutkan mengingat masih banyak
balita dan anak-anak yang mengalami kurang gizi
Dari aspek gizi, beras tumbuk atau beras pecah bahkan gizi buruk.14
kulit rata-rata mengandung 8% protein, sedangkan
beras giling mengandung 7%. Dibanding biji-bijian Kurang gizi atau kekurangan protein energi
lainnya, kualitas protein beras lebih baik karena biasanya terjadi dalam kelompok individu berisiko
kandungan lisinnya lebih tinggi. Walaupun tinggi seperti anak kecil yang baru saja disapih.
demikian, lisin tetap merupakan asam amino Strategi pencegahan dan mengatasi hal ini, adalah
8
Pengaruh PMT Beras Tumbuk terhadap Baduta Gizi Kurang (Yuki)
harus menjadikan kelompok berisiko tinggi ini 2. Soekirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk
menjadi sasaran (target) dengan tindakan Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Dirjen Dikti,
intervensi yang praktis dan asli setempat.15 Salah Depdiknas; 2000.
satunya adalah pemberian makanan tambahan 3. ________, Beras. Tersedia di
dengan beras tumbuk sebagai bahan dasar, yang :http://www.wikipedia.org/wiki/beras. Diakses
selain karena kandungan gizinya, beras juga pada 4 Desember, 2011.
dimanfaatkan masyarakat setiap hari. 4. Ariana Weisz, dkk. The Duration of Diarrhea
and Fever is Associated with Growth Faltering
Pemberian makanan tambahan pada anak-anak iIn Rural Malawian Children Aged 6-18
sangat penting untuk mencegah keterlambatan Months. Nutrition Journal 2011; 10: 25.
tumbuh kembang. Strategi ini memfokuskan 5. Affandy A, dkk. Pengaruh Pemberian MP-ASI
perhatian pada peningkatan kepadatan energi dan Biskuit Ikan Teri terhadap Pertumbuhan Baduta
kualitas protein dalam makanan anak-anak dengan Gizi Kurang di kecamatan Tanete Rilau
cara memberikan makanan lebih sering dan kabupaten Barru. Jurnal MKMI 2008; 4 (4).
memasukkan jenis-jenis makanan baru ke dalam 6. Soekirman. Makalah Gizi Balita. 2000.
diet mereka. Sebagai contoh, pada banyak negara Tersedia di :http://cikarang-
di kawasan sub Sahara-Afrika, dijumpai skull.blogspot.com/2008/08/bab-i-
kekurangan energi protein yang terjadi ketika pendahuluan.html. Diakses pada 4 Desember,
anak-anak berusia 2 hingga 3 tahun, yang baru saja 2011.
dihentikan pemberian ASInya dan diberikan 7. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:
makanan yang berupa campuran sereal encer tiga PT. Gramedia Pustaka Utama; 2009.
kali sehari.10 8. Dinas Kesehatan Sulsel. Buku Pedoman
Pelaksanaan Pendampingan Gizi di provinsi
PMT terbukti dapat mengatasi masalah kurang gizi Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kesehatan
pada anak-anak seperti yang telah dilakukan oleh provinsi Sul-Sel; 2007.
Anggita yang memperlihatkan hubungan yang 9. Khomsan A, dkk. Studi Pola Pengasuhan Anak,
bermakna antara pemberian makanan tambahan Stimulasi Psikososial, Perkembangan
dengan kenaikan berat badan anak. Affandy., dkk Psikomotor dan Mental Anak Baduta. Media
juga menyimpulkan bahwa pemberian makanan Gizi dan Keluarga 1999; XXIII (2): 1-7.
pendamping ASI (biskuit ikan teri dan non-ikan 10. Manary MJ, dkk. Aspek Kesehatan Masyarakat
teri) mampu meningkatkan pertumbuhan berat pada Gizi Kurang. Jakarta: EGC; 2008.
badan anak baduta gizi kurang. Dengan menu yang 11. Menti. Sumbangan Energi dan Protein dari
berbeda, hal yang sama juga dilakukan di Konsumsi Beras Raskin terhadap Kecukupan
kecamatan Gunung Jati dan membuktikan bahwa Gizi Keluarga di desa Mardingding kecamatan
pemberian makanan tambahan dapat meningkatkan Silimakuta kabupaten Silimangun (KTI).
status gizi anak.5,16,17 Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.
12. Rahmat R. Stabilisasi Mutu Beras Pecah Kulit
Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemanfaatan Melalui Penerapan Teknologi Penyimpanan
beras tumbuk sebagai makanan tambahan dalam Hermetik. 2010. Tersedia di :
upaya meningkatkan status gizi diperkirakan bukan http://www.majalahpangan.com/2010/04/stabili
hanya mampu mengatasi masalah gizi kurang pada sasi-mutu-beras-pecah-kulit-melalui-penerapan-
anak-anak, tetapi juga menurunkan pengeluaran teknologi-penyimpanan-hermetik/ Diakses pada
sosial masyarakat disamping mempertahankan 4 Desember, 2011.
“tradisi baik” dalam kegiatan menumbuk padi yang 13. Kennedy G, dkk. Nutritional Contribution of
juga dapat mengentalkan rasa kebersamaan dan Rice : Impact of Biotechnology and
kekeluargaan. Biodiversity in Rice Consuming Countries.
2002. Tersedia di
Daftar Pustaka :http://www.fao.org/DOCREP/006/Y4751E/y4
751e05.htm. Diakses pada 4 Desember, 2011.
1. Departemen Kesehatan RI. Laporan Riset 14. Soekirman. Pemberian Makanan Tambahan
Kesehatan Dasar. Jakarta: 2010. Anak Usia Prasekolah. 2000. Tersedia di
:http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/02/1
9
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :134-138
0/pemberian-makanan-tambahan-pmt-balita.
Diakses pada 4 Desember, 2011.
15. Gibney MJ, dkk. Gizi Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC; 2008.
16. Anggraini A. Hubungan Program Pemberian
Makanan Tambahan dengan Perbaikan Status
Gizi Balita. Tersedia di :
http://disilib.fk.umy.ac.id/gdhl.php? Diakses
pada 4 Desember, 2011.
17. Azam M. Program PMT pada Anak Balita di
kecamatan Gunung Jati. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 2005;1(1).
10
Pengaruh PMT Beras Tumbuk terhadap Baduta Gizi Kurang (Yuki)
11
Artikel Penelitian
*E-mail : [email protected]
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstract
During the 0-24 month baby who did not receive exclusive breastfeeding and adequate nutrition and good
parenting, it can cause growth disturbances. The aimed of this study was to determine the relationship of
parenting feeding by working mothers with nutritional status infants under two years. This type of study
was a cross sectional study. The population was all children aged 0-24 months whose mothers were
workers, numbering 97 people infants under two years. Samples drawn by purposive sampling technique,
totaling 50 people. Data obtained from the mother to work through the interview regarding the child's diet,
to describe his diet. Assessment of nutritional status was done by weighing using camric and body length
measurements using a length board. Data were analyzed using chi-square test. The results showed no
significant relationship exists between mother parenting fed by the workers in these types of foods with
nutritional status infants under two years, both based on the index weight/age (p = 0.426), Height /age (p =
0.551), and weight/height (p = 0.258). There was no food-frequency relationship with nutritional status
based on an index infants under two years weight /age (p = 0.42), heigth /age (p = 0.55) and weight/height
(p = 0.258). There was not the first time the relationship of breast-feeding with nutritional status based on
an index infants under two years weight /age (p = 0.186), heigth /age (p = 0.22), and weight/height (p =
0.401) and so was the first time companion food-breast milk with the provision of nutritional status based
on an index infants under two years weight /age (p = 0.826), heigth /age (p = 0.602), and weight/height (p =
0.345). The need to build awareness and knowledge of mothers on various aspects of the above to improve
the nutritional status of infants.
Keywords: dietary pattern, working mother, nutritional status infants under two years
Pada umumnya, anak-anak yang masih kecil Data Riskesdas (2010)3 menyebutkan di provinsi
(balita) mendapat makanannya secara dijatah oleh Sulawesi Tenggara didapatkan gizi buruk menurut
ibunya dan tidak memilih serta mengambil sendiri BB/U sebanyak 6,5%, dan gizi kurang 16,3%.
mana yang disukainya. Dalam kondisi bekerja, ibu Kemudian status gizi menurut TB/U didapatkan
seringkali melibatkan orang lain untuk mengurus sangat pendek sebesar 20,8%, dan pendek sebesar
anaknya. Anak yang diasuh oleh orang lain selain 17%. Status gizi menurut BB/TB didapatkan
11
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 2, No. 1, Agustus 2012 : 11-16
sangat kurus sebesar 6,2%, serta kurus sebesar length board. Data sekunder yakni data gambaran
9,6%. lokasi penelitian yang diperoleh dari puskesmas
setempat.
Berdasarkan survei gizi yang dilakukan Dinas
Kesehatan daerah Kabupaten Muna pada tahun Analisis Data
2010, ditemukan sebanyak 14,39% gizi kurang,
dan terdapat 101 orang dalam kondisi gizi buruk. Pengolahan data secara keseluruhan dilakukan
Masih tingginya kasus gizi buruk pada balita dapat dengan menggunakan program SPSS Vii.16.
diasumsikan belum baiknya pola konsumsi, yakni Untuk data antropometri dalam menentukan status
pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi. Tujuan gizi baduta, dianalisis menggunakan program
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan WHO Antro 2005. Untuk mengetahui hubungan
pola asuh makan oleh ibu pekerja dengan status antara variabel independen dan variabel dependen
gizi anak badutanya. dilakukan uji Chi-Square.
Penelitian ini dilakukan di kabupaten Muna, Hasil penelitian terhadap pola asuh makan
tepatnya di wilayah kerja Puskesmas Tongkuno berdasarkan jenis makanan, menunjukkan bahwa
Selatan, kecamatan Tongkuno Selatan (Maret- sebagian besar responden memberikan makanan
April 2012). yang tergolong tidak lengkap, yaitu 40 orang
(80%), frekuensi pemberian makan, sebagian besar
Desain dan Variabel Penelitian dalam kategori tidak baik, yakni 40 orang (80%),
waktu pertama kali pemberian ASI, termasuk
Jenis penelitian ini adalah cross-sectional study, dalam kategori baik, yaitu 32 orang (64%),
dimana data yang menyangkut variabel bebas dan sedangkan waktu pertama pemberian MP-ASI,
terikat dikumpulkan pada waktu yang bersamaan. termasuk dalam kategori tidak baik, yaitu 38 orang
Pola asuh makan, dalam hal ini jenis makanan, (76%).
frekuensi makan, waktu pertama kali pemberian
ASI dan MP-ASI sebagai variabel bebas dan status Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Pekerja
gizi baduta sebagai variabel terikat. dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan Indeks
BB/U
Populasi dan Sampel
Sebagian besar baduta berstatus gizi baik. Terdapat
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak 5 orang dengan status gizi kurang; semuanya
usia 0-24 bulan yang ibunya bekerja, baik pada (12,5%) jenis makanannya tidak lengkap dan
sektor formal maupun informal, dengan imbalan frekuensi makan tidak baik, 3 orang (16,7%) yang
berupa uang atau jasa, berjumlah 97 orang baduta. waktu pertama kali pemberian ASI tidak baik, dan
Sampel ditarik secara purposive sampling 4 orang (10,5%) yang waktu pertama kali
sebanyak 50 orang, yaitu anak dan ibunya. Apabila pemberian MP-ASI juga tidak baik (Tabel 1).
terdapat dua anak yang berusia 0-24 bulan dalam
satu keluarga, maka yang diambil adalah anak Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Pekerja
yang memiliki usia lebih muda. dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan Indeks
TB/U
Pengumpulan Data
Pada indikator ini, terdapat 12 anak dengan tubuh
Data primer adalah data yang diperoleh dari ibu pendek; 10 orang (25%) dengan jenis makanan
bekerja melalui wawancara mengenai makanan yang tidak lengkap dan frekuensi makan yang
anak, untuk menggambarkan pola makan baduta. tidak baik, 6 orang (33,33%) yang waktu pertama
Penilaian status gizi dilakukan dengan kali pemberian ASI tidak baik, dan 9 orang
penimbangan berat badan menggunakan camric (23,7%) yang waktu pertama kali pemberian MP-
dan pengukuran panjang badan menggunakan ASI juga tidak baik (Tabel 2).
12
Pola Asuh Makan Oleh Ibu Pekerja dengan Status Gizi Baduta (Akhir)
Tabel 1. Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Pekerja dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan Indeks
BB/U
Status Gizi
Pola Asuh Makan Gizi Gizi Gizi p
Gizi Baik
Buruk Kurang Lebih Jumlah
n % n % n % n % n %
Jenis Makanan
Lengkap 0 0 0 0 10 100 0 0 10 100 0,426
Tdk Lengkap 0 0 5 12,5 34 85,0 1 2,5 40 100
Frekuensi Makan
Baik 0 0 0 0 10 100 0 0 104 100 0,426
Tidak Baik 0 0 5 12,5 34 85,0 1 2,5 0 100
Waktu Pertama Kali
Pemberian ASI
Baik 0 0 2 6,2 30 93,8 0 0 32 100 0,186
Tidak Baik 0 0 3 16,7 14 77,8 1 5,5 18 100
Waktu Pertama Kali
Pemberian MPASI
Baik 0 0 1 8,3 11 91,7 0 0 12 100 0,825
Tidak Baik 0 0 4 10,5 33 86,8 1 2,6 38 100
Hubungan Pola Asuh Makan Oleh Ibu Pekerja Kenyataan lain dalam penelitian ini menunjukkan,
dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan Indeks terdapat baduta yang mendapatkan makanan tidak
BB/TB lengkap, namun berstatus gizi normal (85%), dan
2,5% baduta yang makanannya tidak lengkap
Berdasarkan indikator ini, ditemukan 45 anak dengan status gizi lebih. Hal ini disebabkan karena
dengan status gizi normal. Namun, di antaranya banyak ditemukan bayi yang berumur 0-6 bulan
terdapat 37 orang (92,5%) yang jenis makanannya sudah mendapatkan makanan pendamping ASI
tidak lengkap dan frekuensi makan tidak baik, 17 berupa biskuit. Selain itu, jenis makanan yang lain
orang (94,4%) waktu pertama kali pemberian ASI yang juga diberikan berupa susu formula sebagai
tidak baik, dan 35 orang (92,1%) waktu pertama pengganti ASI ketika ibu baduta kembali bekerja.
kali pemberian MP-ASI yang tidak baik (Tabel 3). Konsumsi susu formula yang banyak dan terus-
menerus, dapat membuat baduta tumbuh gemuk,
Pembahasan karena kandungan laktosa pada susu formula yang
banyak mengandung gula dan lemak. Kurangnya
Hubungan Jenis Makanan dengan Status Gizi aktifitas si anak menyebabkan lemak dan glukosa
Baduta tersebut banyak yang tidak dapat dikonversi dalam
bentuk energi, hingga pada akhirnya menumpuk
Berdasarkan indeks BB/U, terlihat bahwa baduta dalam tubuh menjadi lemak.
yang jenis makanannya lengkap semua berstatus
gizi baik. Namun ketika jenis makanan tidak Hubungan Frekuensi Makan dengan Status Gizi
lengkap, terdapat 12,5% baduta dengan status gizi Baduta
kurang. Ini berarti, jenis makanan yang tidak
lengkap, mempengaruhi status gizi anak. Berdasarkan status gizi indeks BB/U, terlihat
bahwa baduta yang frekuensi makannya baik,
Bila keadaan gizi anak tidak seimbang, semua memiliki status gizi yang baik. Namun,
pertumbuhannya akan terganggu. Dalam waktu ketika frekuensi makannya tidak baik, terdapat
singkat, sering terjadi pada perubahan berat badan 12,5% baduta yang memilki status gizi kurang. Ini
sebagai akibat menurunnya nafsu makan, sakit berarti, ada 12 orang dari seratus orang baduta
diare, infeksi, atau karena kurang cukupnya yang frekuensi makannya tidak baik berstatus gizi
makanan yang dikonsumsi.4 kurang.
13
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 2, No. 1, Agustus 2012 : 11-16
Tabel 2. Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Pekerja dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan Indeks
TB/U
Status Gizi
Pola Asuh Makan Pendek Normal Jumlah p
n % n % n %
Jenis Makanan
Lengkap 2 20,0 8 80,0 10 100,0 0,551
Tdk Lengkap 10 25,0 30 75,0 40 100,0
Frekuensi Makan
Baik 2 20,0 8 80,0 10 100,0 0,551
Tidak Baik 10 25,0 30 75,0 40 100,0
Waktu Pertama Kali
Pemberian ASI
Baik 6 18,8 26 81,2 32 100,0 0,206
Tidak Baik 6 33,3 12 66,7 18 100,0
Waktu Pertama Kali
Pemberian MPASI
Baik 3 25,0 9 75,0 12 100,0 0,602
Tidak Baik 9 23,7 29 76,3 38 100,0
Di lapangan ditemukan beberapa ibu memberikan membuat penerapan pemberian ASI sesuka bayi
makanan kepada bayinya dengan frekuensi makan tidak terpenuhi terutama pada ibu yang bekerja
yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi. Seperti sebagaimana responden pada penelitian ini. Hal ini
usia 0-6 bulan ASI tidak dapat diberikan sesuai sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa
kebutuhan anak, dan pada usia ini anak terkadang ibu yang dapat memberi ASI kepada bayinya
diberi makan berupa pisang. Usia 6-12 bulan buah- secara tidak terjadwal pada umumnya adalah ibu
buahan jarang diberikan, dan pada usia 12-24 yang tidak bekerja di luar rumah.6
bulan anak diberikan makanan biasa 2x sehari, dan
sangat jarang diberikan buah. Di antara baduta yang diberikan frekuensi makan
yang tidak baik, ada 85,0% yang memiliki status
Pemberian ASI yang tidak dapat diberikan secara gizi normal. Hal ini disebabkan karena
on demand kepada baduta oleh ibu yang bekerja di pertumbuhan anak tidak hanya dipengaruhi oleh
luar rumah, membuat ibu memutuskan untuk frekuensi makan, namun juga dipengaruhi oleh
mengganti ASI dengan susu formula, sehingga psikologis anak. Anak yang diberi kasih sayang
status gizi baduta masih dapat dipertahankan. Hal akan tumbuh dengan baik, sama halnya dengan
ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan kenyataan di lapangan bahwa ibu setelah kembali
bahwa kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku dari bekerja dan telah bersama dengan anaknya,
konsumsi pangan yang terjadi secara berulang- mencurahkan semua kasih sayang kepada anaknya.
ulang. Kebiasaan makan juga diartikan sebagai Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa
suatu cara memilih, mengkonsumsi makanan yang pertumbuhan seorang anak tidak dipengaruhi oleh
tersedia yang didasarkan kepada faktor-faktor frekuensi makan yang diberikan orang tua kepada
sosial dan budaya di mana dia berada.5 anaknya, tetapi lebih ditekankan pada cara orang
tua dalam memberi makan kepada anaknya
Pemberian makanan dengan frekuensi yang tidak sehingga anak mau makan.7
baik dalam hal ini ditengarai sebagai faktor tidak
mampunya ibu memberikan ASI secara on demand Hubungan Waktu Pertama Kali Pemberian ASI
kepada anaknya. Sebagaimana kita ketahui bahwa dengan Status Gizi Baduta
frekuensi pemberian ASI yang benar adalah
pemberian ASI sesuka bayi. Hal ini berarti Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin baik
pemberian ASI dilakukan secara tidak terjadwal waktu pertama kali pemberian ASI, maka akan
yang menuntut penyediaan waktu ibu terhadap semakin besar kemungkinan bayi untuk memiliki
bayi secara utuh (24 jam). Hal inilah yang status gizi yang baik. Pemberian ASI awal kepada
14
Pola Asuh Makan Oleh Ibu Pekerja dengan Status Gizi Baduta (Akhir)
Tabel 3. Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Pekerja dengan Status Gizi Baduta Berdasarkan Indeks
BB/TB
Status Gizi
Sangat Jumlah p
Kurus Normal Gemuk
Pola Asuh Makan Kurus
n % n % n % n % n %
Jenis Makanan
Lengkap 0 0 0 0 8 80,0 2 20,0 10 100 0,258
Tdk Lengkap 0 0 0 0 37 92,5 3 7,5, 40 100
Frekuensi Makan
Baik 0 0 0 0 8 80,0 2 20,0 10 100 0,258
Tidak Baik 0 0 0 0 37 92,5 3 7,5, 40 100
Waktu Pertama Kali
Pemberian ASI
Baik 0 0 0 0 28 87,5 4 12,5 32 100 0,401
Tidak Baik 0 0 0 0 17 94,4 1 5,6 18 100
Waktu Pertama Kali
Pemberian MPASI
Baik 0 0 0 0 10 83,3 2 16,7 13 100 0,345
Tidak Baik 0 0 0 0 35 92,1 3 7,9 37 100
bayi merupakan pola asuh makan yang paling kuat semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Rasa
peranannya terhadap status gizi anak, karena bersalah karena meninggalkan anak untuk seharian
merupakan riwayat masa lalu. Hal ini sesuai bekerja, merupakan persoalan yang sering
dengan pendapat Roesli8 yang menyatakan bahwa dipendam oleh para ibu yang bekerja. Faktor stress
bila ibu dan bayi sehat, ASI hendaknya secepatnya yang dialami oleh ibu pekerja inilah yang memicu
diberikan, karena ASI merupakan makanan terbaik terganggunya produksi hormon estrogen, sehingga
dan dapat memenuhi kebutuhan gizi selama 3–4 produksi ASI juga akan terhambat. Faktor inilah
bulan pertama. yang menjadi alasan ibu untuk memberikan ASI
kepada bayinya sejak awal karena para ibu yang
Banyaknya baduta yang waktu pertama kali menjadi responden berusaha untuk menstimulasi
pemberian ASInya baik disebabkan oleh faktor produksi ASI melalui refleks mengisap oleh bayi.
pendidikan ibu yang sebagian besar adalah Seperti yang dikemukakan, bahwa salah satu
perguruan tinggi. Para ibu memahami manfaat dari manfaat pemberian ASI sedini mungkin yakni
kolostrum, sehingga berupaya untuk hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan
memberikannya kepada si anak. Pemberian ASI bayi di puting susu dan sekitarnya, emutan dan
secara dini juga sangat bermanfaat bagi ibu, jilatan bayi pada puting ibu dapat merangsang
terutama untuk merangsang kelancaran ASI. pengeluaran hormon oksitosin.8
Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian
besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh Hubungan Waktu Pertama Kali Pemberian MP-
yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI dengan Status Gizi Baduta
Di lapangan ditemukan kebanyakan bayi yang baru Berdasarkan indeks BB/U, ditemukan waktu
lahir langsung diberikan ASI, kemudian diberikan pertama kali pemberian MP-ASI yang tergolong
susu formula, dengan alasan ASI ibu belum baik, sebagian besar memiliki status gizi yang juga
tersedia. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan baik (91,7%). Ini berarti, terdapat 9 dari 10 orang
Tati9 bahwa jumlah ibu bekerja yang ASInya yang mendapatkan MP-ASI di bawah usia enam
masih cukup pada usia bayi 6 bulan, lebih sedikit bulan memiliki status gizi baik. Pemberian MP-
dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. ASI baik dengan status gizi baduta yang kurang
sebesar 8,3%. Hasil ini menyatakan bahwa
Masalah pengasuhan anak, biasanya dialami oleh pemberian MP-ASI yang baik akan memberikan
ibu bekerja. Semakin kecil usia anak, maka peluang besar untuk menjadikan anak berstatus
15
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 2, No. 1, Agustus 2012 : 11-16
gizi baik pula, dan sebaliknya. Hal ini sesuai 5. Soegeng Santoso, Anne. Kesehatan dan Gizi.
dengan pendapat yang menyatakan bahwa Jakarta: Rineka Cipta; 1995.
gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan 6. Ashar dkk. Analisis Pola Asuh Makan dan
bayi anatara lain disebabkan karena kekurangan Status Gizi pada Bayi di Kelurahan Pb
gizi sejak bayi, pemberian MP-ASI terlalu dini Selayang Medan. Jurnal Penelitian Rekayasa
atau terlalu lambat.4 2008:1(2) :66-73.
7. Handayani. Ibu Bekerja & Dampaknya bagi
Sementara itu, waktu pertama kali pemberian MP- Perkembangan Anak. 2008. Tersedia di:
ASI tidak baik dengan status gizi kurang sebesar http://infoanakindonesia.tripod. Diakses pada 3
10,5%, status gizi normal sebesar 86,8% dan Februari, 2012.
terdapat 2,6% yang waktu pertama kali pemberian 8. Roesli, U. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI
MP-ASI tidak baik dengan status gizi lebih. Hal ini Eklusif (Cetakan I) Jakarta: Pustaka Bunda;
disebabkan oleh kondisi ibu yang bekerja, 2008.
mengharuskan ibu untuk memberikan makanan 9. Tati. N. Gambaran Pelaksanaan Pemberian
pendamping kepada bayinya lebih awal, dalam hal ASI Secara Dini di Puskesmas Putri Ayu Kota
ini adalah susu formula. Pemilihan susu formula Jambi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
sebagai makanan pendamping karena ibu Jambi. 2008: 8(3): 15-22.
menganggap kandungan susu formula sama
dengan kandungan ASI, sebagaimana promosi dan
distribusi susu formula yang gencar-gencarnya
dilakukan oleh para produsen.
Daftar Pustaka
16
Pola Asuh Makan Oleh Ibu Pekerja dengan Status Gizi Baduta (Akhir)
17
Artikel Penelitian
* E-mail : [email protected]
1
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
2
Politeknik Kementerian Kesehatan ,Makassar
Abstract
Biggest causes of nutritional anemia is a decrease in nutrient intake is associated with a diet that is not good
due to the ignorance and incompetence. The research was conducted at the health center Sudiang Kingdom
of Makassar on the grounds that the highest number of maternal anemia found in this clinic (53.6%). This
type of research was the study of experimental studies with experimental designs Pre One Group Pretest
And Postest Design. Independent variables were the consumption patterns and hemoglobin levels of
respondents as the dependent variable. The population was all pregnant women with anemia who came to
check her pregnancy at PHC. While the sample was drawn by purposive sampling, totaling 16 people.
Research data obtained and processed manually and by using Nutrisurvey program, Microsoft Excel, and
SPSS for changes in consumption patterns and hemoglobin levels of respondents using the McNemar test.
The resulted of this study demonstrate for the nutrient intake of respondents, prior education, number of
samples to consume enough energy in the category of 12.5% of the remainder (87.5%) in the category of
less. After education, the number of samples which consume enough energy in the category increased to
37.5%. And nutrition education given to respondents were anemic, and the results of education, the number
of respondents who experienced anemia decreased to 68.8%. The conclusion of this study was nutritional
education There is the influence of changes in nutrient intake of pregnant women anemia, which was
vitamin C (p < 0.05). But not so with the intake of other nutrients. Also found the effect of nutrition
education to changes in hemoglobin levels of anemic pregnant women (p = 0.01). It is recommended that
the nutrition education program merutinkan clinic for pregnant mothers every visit to the clinic.
17
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 : 17-21
18
Edukasi Gizi Terhadap Pola Konsumsi Ibu Hamil Anemia(Dhuha)
responden yang mengalami anemia menurun anemia pada ibu hamil. Hal ini menunjukkan
menjadi 68,8%. kebermaknaan secara statistik (p < 0.05).
Gambaran Pengaruh Edukasi Gizi Terhadap Pemberian edukasi gizi kepada responden dalam
Pola Konsumsi Responden Sebelum dan Setelah penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan
Edukasi Gizi asupan dari beberapa jenis zat gizi, meskipun
belum mencapai AKG ibu hamil. Data tingkat
Terdapat peningkatan pada konsumsi beberapa zat kecukupan zat gizi sampel pada penelitian ini
gizi sebelum dan setelah edukasi. Namun, ada pula diperoleh melalui recall 24 jam makanan sebelum
yang mengalami penurunan. Untuk asupan energi dan setelah edukasi. Selain itu, sebelum edukasi
dan protein, terjadi peningkatan setelah edukasi gizi untuk memperoleh data tentang frekuensi
meskipun tidak bermakna. Hal ini dibuktikan konsumsi sejumlah bahan makanan responden,
melalui uji McNemar yang nilai p keduanya sama, terutama bahan makanan yang terkait dengan
yaitu 0,219 (p > 0,05). Sementara itu, asupan zat masalah anemia, dilakukan metode pengukuran
besi, tidak terjadi peningkatan setelah edukasi. dengan metode food frequency.
Asupan zink responden mengalami penurunan
yang tidak bermakna setelah edukasi (p > 0,05). Hasil pencatatan food frequency responden
Demikian juga dengan asupan asam folat setelah menunjukkan bahwa dari data frekuensi konsumsi
edukasi (p = 0,5). Asupan vitamin A dan vitamin C lauk, terlihat responden mengkonsumsi lauk
mengalami peningkatan, sedangkan untuk asupan hewani, yakni ikan dan telur dengan interpretasi
vitamin B12 mengalami penurunan. “cukup” dengan skor rata-rata masing-masing
27,18 dan 21, 25. Begitupun dengan konsumsi lauk
Gambaran Pengaruh Edukasi Gizi Terhadap nabati, tempe dan tahu, dengan skor rata-rata
Kadar Hemoglobin Responden Sebelum dan masing-masing 20,75 dan 19,05.
Setelah Edukasi Gizi
Pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan
Setelah dilakukan edukasi gizi, status anemia ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi.
secara keseluruhan mengalami penurunan, dari Sementara di dalam serealia dan kacang-kacangan
100% menjadi 31,2%. Hasil uji dengan mempunyai ketersediaan biologik sedang.
menggunakan uji McNemar diperoleh nilai p = Sementara itu, di dalam sebagian besar sayuran,
0,01. Ini berarti, ada pengaruh edukasi gizi terutama yang mengandung asam oksalat tinggi,
terhadap perbaikan kadar Hb ibu hamil (Tabel 1). seperti bayam, mempunyai ketersediaan biologik
rendah. Bentuk besi di dalam makanan
Pembahasan berpengaruh terhadap penyerapannya. Besi hem
yang merupakan bagian dari hemoglobin dan
Pengaruh Edukasi Gizi Terhadap Pola Konsumsi mioglobin yang terdapat di dalam daging hewan
Responden dapat diserap dua kali lipat dari besi-nonhem.
Kurang lebih 40% dari besi di dalam daging, ayam,
Pola makan yang salah pada ibu hamil membawa dan ikan terdapat sebagai besi hem dan selebihnya
dampak terhadap terjadinya gangguan gizi antara sebagai nonhem. Besi nonhem juga terdapat di
lain anemia. Penelitian Herlina dkk (2005)5 juga dalam telur, serealia, kacang-kacangan, sayuran
menunjukkan bahwa semakin kurang baik pola hijau, dan beberapa jenis buah-buahan. Konsumsi
makan, akan semakin tinggi angka kejadian sumber zat besi hem dan nonhem secara bermakna
19
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 : 17-21
dapat meningkatkan penyerapan besi nonhem. Pengaruh Edukasi Gizi Terhadap Kadar
Daging, ayam, dan ikan mengandung suatu faktor Hemoglobin Ibu Hamil Anemia
yang membantu penyerapan besi.6
Hasil Uji dengan menggunakan uji McNemar
Untuk konsumsi buah-buahan, sebagian besar diperoleh nilai p = 0,01. Ini berarti, ada pengaruh
responden mengkonsumsi buah-buahan (mangga, edukasi gizi terhadap perbaikan kadar Hb ibu
pisang, jeruk, pepaya dan jambu biji) dengan hamil. Beberapa penelitian tentang pendidikan gizi
interpretasi “kurang” , yaitu di bawah skor rata-rata terutama tentang zat besi dan kadar hemoglobin
frekuensi konsumsi bahan makanan (<11,3). menunjukkan bahwa pendidikan gizi memberikan
Hanya apel yang dikonsumsi dengan interpretasi pengaruh yang positif terhadap pengetahuan gizi
“cukup” (3,25). Buah pisang, jeruk, pepaya dan besi dan kadar hemoglobin.
jambu biji merupakan sumber vitamin C yang
dapat meningkatkan optimalisasi penyerapan zat Edukasi gizi yang diberikan kepada responden
besi nonhem. Masih kurangnya frekuensi konsumsi dapat meningkatkan pola konsumsi responden
sumber vitamin ini, bisa menjadi salah satu untuk zat gizi tertentu, yakni energi, protein,
penyebab masih terdapatnya ibu hamil yang vitamin A, dan vitamin C. Peningkatan asupan ini
anemia meskipun telah dilakukan edukasi gizi dan sejalan dengan menurunnya jumlah responden
terjadi peningkatan asupan vitamin C setelah yang anemia dari 100% menjadi 31,2%. Namun,
dilakukannya edukasi berdasarkan analisis hasil adanya peningkatan kadar hemoglobin responden
recall 24 jam. tidak semata-mata disebabkan oleh edukasi gizi
yang diberikan. Sebab di lain pihak, responden
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan mengkonsumsi tablet tambah darah yang diberikan
menggunakan uji McNemar , diperoleh bahwa oleh pihak Puskesmas. Tablet tambah darah
asupan gizi responden yang mengalami merupakan suplementasi penanggulangan anemia
peningkatan setelah edukasi, yaitu energi, protein, gizi yang setiap tablet mengandung fero sulfat 200
vitamin A, dan vitamin C. Namun, dari keempat mg atau setara dengan 60 mg besi elemental dan
jenis zat gizi tersebut, hanya vitamin C yang 0,25 mg asam folat. Hanya saja, penelitian ini tidak
bermakna secara statistik. menilai sejauh mana kepatuhan responden dalam
mengkonsumsi tablet tambah darah. Dengan kata
Dari hasil analisis recall 24 jam, asupan responden lain, edukasi gizi tidak secara langsung
sebelum dan setelah edukasi yang telah dibahas mempengaruhi terjadinya peningkatan kadar
sebelumnya, terlihat ada peningkatan asupan zat hemoglobin responden, tetapi mempengaruhi pola
gizi responden sebelum dan setelah edukasi. konsumsi responden terkait zat-zat gizi yang
berperan dalam hal pembentukan sel darah merah
Tujuan dari edukasi adalah untuk meningkatkan sehingga terjadi pula peningkatan kadar
pengetahuan, dan mengubah sikap serta hemoglobin/penurunan jumlah responden yang
mengarahkan kepada perilaku yang diinginkan anemia.
oleh kegiatan/program.7 Penelitian ini
menunjukkan bahwa edukasi gizi tidak Kesimpulan dan Saran
berpengaruh terhadap semua jenis asupan zat gizi.
Hal ini disebabkan karena proses pembentukan dan Ada pengaruh edukasi gizi terhadap perubahan
perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa konsumsi zat gizi ibu hamil anemia, yaitu vitamin
faktor. Menurut Bloom (dalam Setianingsih)8, C (p < 0,05). Namun, tidak demikian dengan
faktor yang dimaksud berasal dari dalam dan luar asupan zat gizi yang lain. Ditemukan pengaruh
individu. Faktor dari dalam individu berupa edukasi gizi terhadap perubahan kadar hemoglobin
pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi, ibu hamil anemia (p = 0,01). Disarankan agar
dan motivasi yang berfungsi untuk mengolah pihak Puskesmas merutinkan program edukasi gizi
rangsang dari luar, sementara faktor dari luar kepada ibu hamil setiap kali ibu hamil berkunjung
meliputi lingkungan sekitar ; baik fisik maupun ke Puskesmas.
nonfisik ; seperti iklim, manusia, sosial, ekonomi,
budaya, dan sebagainya.
20
Edukasi Gizi Terhadap Pola Konsumsi Ibu Hamil Anemia(Dhuha)
Daftar Pustaka
21
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 : 17-21
22
_
Artikel Penelitian
*E-mail : [email protected]
1
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
2
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan, Makassar
Abstract
Growing technological era, housewives utilize electronic tools such as rice cooker for cooking rice and rice
storage in order to stay warm and durable in a longer time. This research aimed to determine the effect of
heating time on the rice cooker to the content of iron (Fe) and total microbial of white rice. This type of
research was a design experiment with post test only control design. The heating in this research lasted for
48 hours starting from when cooked, 12 hours, 24 hours, 36 hours and 48 hours, and performed two
repetitions (duplo) in each treatment. Research results showed that the average total microbes in rice when
there cooked 524.500 colonies/gram then increased to 743.500 colonies/gram in the heating 48 hours. Fe
content in rice when cooked 5.786 ppm and then increased to 20.746 ppm in the heating 48 hours.
Concluded that total microbial substanced and Fe content in rice affected the heating in the rice cooker. The
longer the heating time, the average total microbes and ppm levels of Fe increased. This research suggests
to people not to heat the rice in a rice cooker for a long time and the further research on the types of
microbes and specification of iron (Fe) contained in the rice cooked in a long time in a rice cooker.
22
Pengaruh Lama Pemanasan terhadap Kandungan Zat Besi (Diesna)
23
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 2, No.1, Agustus 2012 : 22-26
Tabel 1. Jumlah Total Mikroba pada Nasi terhadap Lama Pemanasan Dalam Rice Cooker
Tabel 2. Jumlah Kandungan Zat Fe pada Nasi terhadap Lama Pemanasan dalam Rice Cooker
Kadar Rata-rata
Lama Pemanasan Ulangan ppm Fe Kadar ppm Fe
Menurut Fardiaz6, koloni yang tumbuh cooker. Titik-titik air ini kemudian menetes
menunjukkan jumlah seluruh mikroorganisme kembali ke nasi yang sedang dihangatkan sehingga
yang ada di dalam sampel, seperti bakteri, kapang, menjadi berair kembali. Jika keadaan dalam rice
dan khamir. Terlihat dengan jelas bahwa ketika cooker menjadi sangat lembab, bakteri pembusuk
tanak pun terdapat bakteri dalam jumlah yang akan bersarang di tempat ini karena uap air yang
cukup banyak. Hal ini terjadi kemungkinan karena melewati steam outlet mengandung zat-zat gizi
disebabkan oleh Bacillus Cereus yang tergolong ke dari dalam nasi yang menguap karena panas.
dalam jenis bakteri mesofilik yang mampu
mengubah bentuk menjadi endospora yang tahan Menurut Buckle5, nutrisi juga merupakan salah
terhadap panas, sehingga mampu bertahan hidup satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
selama proses pemasakan nasi. bakteri. Uap air kaya nutrisi seperti ini amat
disukai bakteri serta mikroba lain yang ada di
Pada rice cooker terdapat bagian pengeluaran uap udara. Akibatnya, nasi cenderung lekas basi karena
(steam outlet) yang mengeluarkan uap-uap panas terkontaminasi bakteri dari bagian ini. Nasi yang
dari nasi sehingga sering kali kita dapati nasi tak disengaja masuk ke sini juga menjadi media
dalam keadaan kering, sementara bagian yang berkembang biak bakteri tersebut.
memiliki lubang-lubang pengeluaran uap ini
seringkali menjadi sangat lembab, karena uap Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nasi yang
mengembun di bagian dalam tutup atas rice dipanaskan dalam rice cooker dalam jangka waktu
24
Pengaruh Lama Pemanasan terhadap Kandungan Zat Besi (Diesna)
Total Mikroba
800000
700000
600000
koloni/gram
500000
400000
300000
200000
100000
0
ketika tanak 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam
Kadar Fe
25
20
15
ppm
10
0
ketika tanak 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam
lama pemanasan tertinggi yaitu 48 jam masih aman pemanasan 12 jam menjadi 6,191 ppm, kemudian
untuk dikonsumsi karena masih memenuhi standar naik menjadi 8,261 ppm pada lama pemanasan 24
keamanan pangan, dalam hal ini jumlah total jam, dan seterusnya.
mikroba yang diperbolehkan oleh BPOM RI.7
Namun, harus tetap diperhatikan kebersihan, Hal ini terjadi karena berbagai faktor, salah
pengolahan, serta penyimpanannya, karena sangat satunya ialah faktor desain produk rice cooker.
rentan terhadap mikroorganisme pathogen. Pada rice cooker terdapat bagian pengeluaran uap
(steam outlet) yang mengeluarkan uap-uap panas
Gambar 2 menunjukkan bahwa kandungan zat Fe dari nasi sehingga sering kali kita dapati nasi
pada nasi berpengaruh terhadap lama pemanasan. dalam keadaan kering yang menandakan kadar air
Semakin lama waktu pemanasan, maka rata-rata bahan makanan tersebut semakin rendah. Semakin
kadar ppm Fe akan meningkat. Hal tersebut terlihat rendah kadar air dalam bahan makanan, maka zat
dari rata-rata kadar ppm Fe ketika nasi tanak yakni gizinya akan semakin tinggi. Kenaikan kadar Fe
5,786 ppm, mengalami kenaikan pada lama terjadi karena kemungkinan adanya pengurangan
25
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 2, No.1, Agustus 2012 : 22-26
Daftar Pustaka
26
Pengaruh Lama Pemanasan terhadap Kandungan Zat Besi (Diesna)
27
Artikel Penelitian
*E-mail : [email protected]
1
RSUD Mamuju, Sulawesi Barat
2
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstract
A good food service in hospitals is strongly influenced by the quality of all food service component. The
purpose of this study was to determine the satisfaction level overview of patients hospitalized for food
service at the General Hospital (Hospital) Mamuju West Sulawesi province. This type of research was a
descriptive survey. The population was all employees in the planning and finance, all employees who work
in nutrition and installation of inpatients in hospitals Mamuju. The samples were in the planning of
manpower and finance, food and labor organizers. Sampling was done by purposive sampling. Data on the
funding / budget and personnel as well as the process of food obtained through observations by using a
checklist and interviews. Data nutritional value of food obtained by calculating the nutritional value of food
served in hospitals. While data on the level of patient satisfaction was obtained through a questionnaire. The
secondary data includes hospital general data, obtained in the administration. Data characteristics of
respondents, organizing food, and patient satisfaction that have been collected, then processed manually and
by using SPSS. Data for the nutritional value of foods processed manually using the program Nutri 2008.
Presentation of data was done in the form of distributions and percentages. The results showed the budget /
expenditure of funds obtained from the patient's food budget funds with a total budget of 2012
Rp.787.931.050. Average nutritional value of foods served are low. Inpatient satisfaction level classes I, II,
III to the appearance of food: the menu in the morning and at night there was not satisfied (<3) with a
median of 2.0. While the lunch menu for the food portion size and shape at the level of satisfaction (≥ 3)
with a median of 3.0. While the level of patient satisfaction at the taste of food (temperature) menu
breakfast, lunch and dinner there on a level not satisfied (<3) fine rice, side of animal, vegetable and
vegetable. Suggested the need for additional personnel in the installation of nutrition and budget for patient
food costs, so the nutritional value of meals provided for patients, in addition to the need to set a standard in
the nutritional value of food a day, and food quality standards.
27
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :27-32
sakit berarti memisahkan diri dari kebiasaan hidup Desain dan Variabel Penelitian
sehari-hari terutama dalam hal makan, bukan saja
jenis makanan yang disajikan, tetapi juga cara Jenis penelitian adalah survei yang bersifat
makanan dihidangkan, tempat, waktu, rasa, dan deskriptif untuk mendapatkan gambaran tingkat
besar porsi makanan.2 Hasil penelitian yang kepuasan pasien rawat inap terhadap pelayanan
dilakukan di RS di DKI Jakarta terhadap 797 makanan di RSUD Mamuju. Variabel penelitian
pasien yang penyakitnya tidak berat, 43,2% pasien adalah dana dan tenaga (input), proses
menyatakan pendapatnya kurang baik terhadap penyelenggaraan makanan, nilai gizi makanan dan
mutu makanan yang disajikan (meliputi aspek tingkat kepuasan pasien (output).
rupa, besar porsi, rasa, keempukan, dan suhu
makanan).3 Berdasarkan hasil penelitian4 , terdapat Populasi dan Sampel
1,5% pasien menyatakan tidak puas, 17,75%
menyatakan kurang puas, dan 81,5% menyatakan Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
puas terhadap warna makanan. Dari tekstur pegawai di bagian perencanaan dan keuangan, di
makanan yang disajikan, sebanyak 27,27% pasien instalasi gizi, dan pasien rawat inap. Sampel
menyatakan kurang puas. 16,3% pasien penelitian adalah tenaga di bagian perencanaan dan
menyatakan kurang puas terhadap porsi makanan, keuangan, dan tenaga penyelenggara makanan.
utamanya sayur yang porsinya terlalu sedikit, Pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sementara nasi terlalu banyak, sehingga pasien sampling. Besar sampel diambil mengikuti siklus
tidak mampu menghabiskan. Sementara itu, menu 10 hari yang ada di Instalasi Gizi RSUD
penilaian terhadap bentuk makanan, 13,64% Mamuju dan setiap hari sampel yang diambil
pasien menyatakan kurang puas. berbeda.
28
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap (Erni)
Tabel 1. Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas I, II, III terhadap Kualitas Makanan di
RSUD Mamuju Provinsi Sulawesi Barat
Median
Tingkat Kepuasan Pasien
Menu Pagi Menu Siang Malam Malam
Cita Rasa Makanan
Penampilan Makanan
Warna makanan 2.0 2.0 2.0
Bentuk makanan 2.0 2.0 2.0
Porsi makanan 2.0 3.0 2.0
Penyajian makanan 2.0 2.0 2.0
Rasa Makanan
Aroma 3.0 3.0 3.0
Tekstur nasi 3.0 3.0 3.0
Tekstur lauk hewani 3.0 3.0 3.0
Tekstur lauk nabati - 3.0 3.0
Tekstur sayur - 3.0 3.0
Suhu nasi 2.0 2.0 2.0
Suhu lauk hewani 2.0 2.0 1.0
Suhu lauk nabati - 1.0 1.0
Suhu sayur - 1.0 2.0
dialokasikan ke RSUD Mamuju dengan total Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas I, II,
anggaran tahun 2012 sebanyak Rp.787.931.050. III
Dasarnya adalah rata–rata jumlah pasien per hari,
dari Kemenkes petunjuk teknis pengelolaan Tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas I, II, III
makanan RS, dan menyesuaikan dengan harga terhadap penampilan makanan: menu pagi dan
makanan pokok di Kabupaten Mamuju. Sementara malam berada pada tingkat tidak puas (<3) dengan
itu, jumlah tenaga yang ada di Instalasi Gizi median 2.0, menu siang untuk porsi dan bentuk
sebanyak 22 orang. makanan berada pada tingkat puas (≥3) dengan
median 3.0. Sementara itu, tingkat kepuasan pasien
Proses Penyelenggaraan Makanan rawat inap pada rasa makanan (suhu) menu pagi,
siang, dan malam berada pada tingkat tidak puas
Proses penyelenggaraan makanan di rumah sakit (<3) ; nasi, lauk hewani, nabati, dan sayur. Rata-
setempat menunjukkan sebesar 71,9% atau 31 item rata berada pada tingkat puas (≥3) pada lauk
telah dilaksanakan, sedangkan yang belum hewani (3.0) ; menu pagi, siang, dan malam (Tabel
terlaksana sebesar 28,1% atau 12 item. 1).
29
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :27-32
Menurut Aritonang (2012)4, jalur administrasi pembersihan gudang kering dan gudang basah
perencanaan anggaran makan-minum pasien (kulkas) belum dilakukan secara periodik, sehingga
dimulai dari pihak RS yang meminta perencanaan terkadang ditemukan sisa–sisa sayur atau darah
anggaran belanja makanan di instalasi gizi, ikan dalam kulkas.
kemudian pihak ini membuat perencanaan yang
sesuai dengan harga pasar dan jumlah pasien, lalu Pengolahan bahan makanan meliputi menu diet
dilaporkan kepada bagian perencanaan. dan non-diet dilakukan secara bersamaan. Menu
Selanjutnya, perencanaan diusulkan ke bagian diet diambil lebih dahulu kemudian menu non-diet
keuangan RS untuk dikoreksi. Biaya makan dilakukan pengolahan lebih lanjut.6 Hasil
minum pasien setiap kelas perawatan harus wawancara di bagian pengolahan bahan makanan,
dibedakan yaitu kelas I Rp.38.000/hari, kelas II menyatakan bahwa untuk bahan makanan seperti
Rp.34.250/hari, dan kelas III Rp. 31.500/hari. ikan dan daging dilakukan penimbangan. Untuk
tahu/tempe hanya dihitung per potong, sehingga
Biaya makan-minum pasien yang dianggarkan berat tahu/tempe tidak sesuai dengan standar porsi
pada setiap kelas perawatan berbeda–beda. per kelas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian
keuangan, diperoleh bahwa anggaran Vip dan Kegiatan pengolahan dan memasak makanan
kelas I Rp. 25.000/hari, sedangkan kelas II dan III merupakan kegiatan yang terpenting dalam proses
Rp.18.000/hari. Jadi, total anggaran makan pasien penyelenggaraan makanan karena cita rasa
selama tahun 2012 di RSUD Mamuju sebesar makanan yang dihasilkan akan ditentukan oleh
Rp.799.930.00–PPH 1,5% = Rp.787.931.000. proses pemasakan. Semakin banyak jumlah porsi
Pencairan anggaran/dana makan-minum pasien makanan yang akan dimasak, semakin sukar untuk
dilakukan 4 kali dalam setahun. Ada 3 (tiga) dasar mempertahankan cita rasa. Diperlukan keahlian
yang dipakai dalam penyusunan anggaran ini, dalam seni memasak, penguasaan teknologi
sebagai berikut : petunjuk teknis pengelolaan memasak serta pengalaman tata cara olah boga.7
makanan RS oleh Kemenkes, rata–rata jumlah
pasien perhari, dan harga makanan pokok di Pengolahan makanan untuk setiap kelas perawatan
kabupaten Mamuju. sebagian telah dipisahkan seperti untuk lauk
hewani dan nabati Vip, sedangkan pengolahan nasi
Jumlah tenaga yang ada di Instalasi Gizi RSUD dan sayur masih digabung untuk tiap kelas.
Mamuju sekarang ini sebanyak 22 orang yaitu Sementara itu, urutan pemasakan tidak teratur,
tenaga gizi 5 orang dan juru masak/pekarya 17 sehingga makanan yang sampai ke pasien menjadi
orang. dingin. Pada tahap persiapan dan pengolahan,
perkarya/juru masak tidak menggunakan APD
Proses Penyelenggaraan Makanan (Alat Pelindung Diri) sebagaimana mestinya,
bahkan tidak menggunakan masker dan sarung
Perencanaan menu adalah suatu kegiatan tangan sama sekali.
penyusunan menu yang akan diolah untuk
memenuhi selera konsumen atau pasien dan Kegiatan akhir dalam proses penyelenggaraan
kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi makanan adalah distribusi dan penyajian makanan.
seimbang5. Hasil observasi dan wawancara Penyajian makanan di RSUD Mamuju dilakukan
menunjukkan bahwa sebesar 75% atau 15 item dari dengan cara sentralisasi, yaitu membagikan
20 item kegiatan sudah dilaksanakan di bagian makanan secara langsung kepada pasien dari dapur
perencanaan menu. Tidak terlaksananya 5 item pusat (sentral).
kegiatan, disebabkan karena kurangnya tenaga gizi
yang ada. Nilai Gizi Makanan (Output) yang Disajikan di
RSUD Mamuju
Penyimpanan bahan makanan di Instalasi gizi
rumah sakit ini terdiri dari dua ruangan yaitu Standar porsi makanan juga sangat berperan dalam
ruangan penyimpanan bahan makanan basah dan penyelenggaraan makanan yang dikaitkan dengan
bahan makanan kering. Hasil observasi dan nilai gizi makanan. Apabila porsi makanan kurang,
pengamatan, serta pengecekan terhadap suhu otomatis nilai gizi makanan pasien berkurang
lemari pendingin tidak dilakukan. Selain itu,
30
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap (Erni)
sehingga menyebabkan mutu makanan menjadi terlalu memperhatikan porsi makanan. Bagi
kurang bagus.8 mereka, yang penting semua pasien mendapatkan
makanan.
Siklus menu 10 hari di rumah sakit ini
menunjukkan, bahwa nilai gizi makanan disajikan Euis (2007)10 dalam penelitiannya di RSUD
masih sangat rendah jika dibandingkan dengan Propinsi Kendari, menyatakan bahwa tingkat
yang disajikan di RS Dr.Wahidin Sudirohusudo, kepuasan pasien terendah atau tidak puas (<3) ada
utamanya pada hari pertama penelitian baik pada porsi makanan dengan nilai median 2.0.
makanan kelas I, II, dan III. Hal ini disebabkan
karena 1). Tidak ada pedoman standar kebutuhan Pada atribut rasa makanan, tingkat kepuasan pasien
gizi pasien per kelas perawatan yang dibuat, 2). rawat inap kelas I, II, III terendah atau tidak puas
petugas di bagian pengolahan dan pendistribusian (<3) pada suhu makanan, yaitu lauk hewani untuk
makanan tidak memperhatikan standar porsi menu pagi dan siang (2.0), lauk hewani untuk
makanan yang telah ditetapkan untuk setiap kelas menu malam (1.0), nasi untuk menu siang dan
perawatan, 3). kurangnya pengawasan di bagian malam (2.0), lauk nabati untuk menu siang dan
pengolahan sehingga nilai gizi makanan untuk malam (1.0) dan sayur untuk menu siang (1.0),
pasien tidak mencukupi. sayur untuk menu malam (2.0). Hal ini disebabkan,
karena sistem distribusi makanan secara
Oleh karena itu, sebaiknya pekarya yang bertugas sentralisasi yang dilaksanakan di RSUD Mamuju
di bagian pengolahan dan pendistribusian makanan sangat menyulitkan pasien untuk menerima
pasien perlu didampingi oleh petugas gizi yang makanan dalam keadaan hangat. Terkadang,
bertanggung jawab di bagian itu, agar tidak terjadi apabila pasien banyak sementara jumlah juru
kesalahan yang berulang. Selain itu, perlu dibuat masak/pekarya yang bertugas pada saat itu kurang,
standar nilai gizi makanan pasien dalam sehari maka bahan makanan akan bersamaan diolah,
untuk setiap kelas perawatan. sehingga menjadi dingin ketika diatur di
plato/tempat makan pasien.
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas I, II,
III terhadap Kualitas Makanan Euis (2007)10 lebih lanjut menyatakan, bahwa
tingkat kepuasan pasien terendah atau tidak puas
Kepuasan diartikan sebagai upaya pemenuhan (<3) pada suhu makanan dengan nilai median 2.0.
sesuatu.9 Dengan menggunakan statistik rata–rata Suhu makanan pada saat disajikan sangat
berbobot (median), diperoleh gambaran bahwa memegang peranan dalam penentuan cita rasa
tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas I, II, III makanan. Untuk menjaga suhu makanan tetap
pada atribut penampilan makanan yaitu bentuk, hangat, tentunya harus difasilitasi dengan kereta
warna, penyajian makanan median 2,0 (pagi, siang, makanan yang dilengkapi alat pemanas, sementara
malam), ada pada tingkat tidak puas (<3), karena alat ini belum tersedia di RSUD Mamuju.
bentuk makanan yang disajikan tidak menarik,
warna makanan utamanya pada sayur yang Untuk mencapai kualitas pelayanan dan makanan
berubah karena proses pemasakan yang terlalu di rumah sakit setempat, perlu adanya pengawasan
lama. dan pengendalian mutu pelayanan. Pengawasan
merupakan salah satu fungsi manajemen yang
Porsi makanan siang berdasarkan penilaian pasien mengusahakan agar pekerjaan atau kegiatan
ada pada tingkat puas (≥3) dengan nilai median terlaksana sesuai dengan rencana, pedoman,
3.0. Sementara itu, porsi makan pagi dan malam standar, peraturan dan hasil yang telah ditetapkan
ada pada tingkat tidak puas (<3) dengan nilai sebelumnya agar tercapai tujuan yang
median 2.0. Tidak meratanya porsi makanan pasien diharapkan.11
di RSUD Mamuju pada menu pagi dan malam
disebabkan karena beberapa hal, diantaranya Kesimpulan dan Saran
karena petugas tidak memperhatikan standar porsi
makanan yang sudah ditetapkan, dan kurang Nilai gizi makanan di RSUD Mamuju masih
pengawasan pada bagian pendistribusian makanan, sangat rendah, disebabkan karena rendahnya
apalagi pasien banyak dan tenaga yang kurang, anggaran APBD yang dialokasikan ke RS,
sehingga petugas yang bertugas pada saat itu tidak kurangnya tenaga pekarya, dan belum ada standar
31
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :27-32
nilai gizi yang dibuat oleh Instalasi Gizi rumah 11. Departemen Kesehatan. Pedoman PGRS
sakit setempat. Hal ini mengakibatkan tingkat Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta; 2006.
kepuasan pasien berdasarkan nilai rata–rata median
pada penampilan makanan ada pada tingkat tidak
puas (<3), rasa makanan utamanya suhu ada pada
tingkat tidak puas (<3).
Daftar Pustaka
32
Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap (Erni)
33
Artikel Penelitian
*E-mail : [email protected]
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstract
To overcome malnutrition in Indonesia used the model to improve nutrition through community
empowerment that are tailored to local needs, known as the Community Nutrition Group (CNG). This study
aimed to determine the performance of CNG and scope of the visit under five, pregnant women and nursing
mothers in the village posyandu Parasangan Beru, Turatea districts, counties Jeneponto. This type of
research was a qualitative and quantitative, to determine the activities of Community Nutrition Group and
the scope of the visit at the IHC. Informants were all still involved in activities, including all members of
the CNG, the mother of young children, pregnant women, nursing mothers, Executive Power Nutrition
(EPN), and the Community Facilitator (CM) in the local area. The collection of data obtained through
indepth interviews (performance evaluation CNG), document review (coverage of weighing results under
five, pregnant women visit, the visit of exclusive breast feeding mothers), and Focus Group Discussion
(FGD). Data analysis began by reviewing all data from interviews, observations that have been done in the
field notes, documents, images, photographs, and hear again the recording, then performed the data
reduction to create a summary of the core, process, and questions that need to be, then arranged in units,
categorized, and examining the validity of data through triangulation of the source. The results of this study
indicated CNG performance in the implementation of SMD, MMD, and PGM were good. Likewise, the
various visits in integrated health coverage, if prior to the NICE program, coverage was very low, and some
have not yet found records for rare / no traffic, then after the establishment of this program, there was an
increase, although it did not meet the target. CNG is suggested that further enhance its performance to
achieve better results.
33
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :33-37
dan gizi buruk 9,6%. Hasil pengumpulan data dilakukan dalam catatan lapangan, dokumen,
dasar kegiatan Tenaga Gizi Pendamping (TGP) gambar, foto, dan mendengar ulang hasil rekaman,
tahun 2006 menemukan balita yang menderita gizi kemudian dilakukan reduksi data dengan membuat
kurang sebanyak 18,8% dan gizi buruk 9,7%4. rangkuman yang inti, proses, dan pertanyaan-
Sedangkan di Jeneponto saat ini, gizi buruk 5,5%, pertanyaan yang perlu, kemudian menyusunnya
gizi kurang 13,4%, gizi baik 76,2%, dan gizi lebih dalam satuan-satuan, dikategorisasikan, dan
4,8%5, dan di desa Parasangan Beru sendiri jumlah mengadakan pemeriksaan keabsahan data melalui
gizi buruk 1,7%, gizi kurang 17,1%, gizi baik triangulasi dengan sumber tertentu.
77,8%, dan gizi lebih 3,4%6. Untuk mengatasi
masalah tersebut, perlu dikembangkan model Hasil Penelitian
perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat
yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, Kinerja KGM
yang dikenal dengan Kelompok Gizi Masyarakat
(KGM). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Berdasarkan Survei Mawas Diri (SMD)
kinerja KGM dan cakupan kunjungan balita, ibu
hamil, dan ibu menyusui di posyandu desa Data khusus hasil SMD menunjukkan cakupan
Parasangan Beru, kecamatan Turatea, kabupaten Posyandu masih kurang (47,58%). Selain itu,
Jeneponto. KGM juga melakukan pendataan cakupan ASI
Eksklusif, anemia ibu hamil, dan gizi kurang.
Bahan dan Metode Cakupan ASI Eksklusif saat KGM telah berjalan,
belum memenuhi target (44,4%), masih terdapat
Lokasi Penelitian ibu hamil yang menderita anemia, dan 30% anak
dengan gizi kurang.
Penelitian ini dilaksanakan di desa yang memiliki
KGM, yaitu desa Parasangan Beru, kecamatan Berdasarkan MMD (Musyawarah Masyarakat
Turatea, kabupaten Jeneponto. Desa)
Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh Dari hasil penelitian, diperoleh cakupan kunjungan
data hasil wawancara, pengamatan yang sudah balita ke Posyandu sebelum KGM masih sangat
34
Kinerja Kelompok Gizi Masyarakat (Jasmawaty)
Tabel 1. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil di Posyandu Desa Parasangan Beru Sebelum
dan Saat Terbentuk KGM
rendah, yaitu Posyandu Matahari hanya sebesar khususnya bagi ibu dan anak, termasuk manfaat
53,12% dan Posyandu Anggrek sebesar 53,35%, ASI Eksklusif bagi bayi.
sementara target sebesar 80%. Namun setelah “kami melakukan konseling dan penyuluhan tentang
KGM, ditemukan kenaikan, meski tetap belum pentingnya Posyandu, masalah anemia, dan ASI
memenuhi target, dengan persentase masing- Eksklusif kepada masyarakat desa Parasangan Beru.”
masing Posyandu 54,12% dan 78,02%. (Ny. Sb.KGM desa, 05 April 2011).
Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (Fe 1 dan Fe3) KGM juga membentuk kader Posyandu yang baru.
KGM bekerja sama dengan puskesmas
Sebelum terbentuk KGM, tidak ditemukan ada ibu Bontomate’ne dan Dinas Kesehatan Jeneponto
hamil yang berkunjung ke Posyandu. Kalaupun memberikan pelatihan dan penyegaran bagi kader
mereka datang, hanya untuk menimbang balitanya. baru dan kader lama. Hasilnya, kader menjadi
Namun kegiatan PGM yang telah disusun juga paham akan tugasnya, sehingga berusaha
telah memberikan kontribusi positif bagi cakupan menjalankan dengan baik.
kunjungan ibu hamil, terbukti dengan telah adanya
pencatatan oleh bidan desa. Berikut penuturan salah seorang ibu balita :”saya
rajin ke Posyandu karena kadernya rajin, dan ramah-
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada Posyandu ramah. Tidak sama seperti sebelum ada NICE, kader
Matahari, terjadi peningkatan cakupan pemberian malas-malasan, kadang terlambat, dan sering marah-
Fe1 sebelum dan setelah adanya program NICE, marah.hee..” (Ny.Kr. 11 Februari 2011)
yaitu dari 38% menjadi 78%. Begitu juga di
Posyandu Angggrek, yaitu dari 64% menjadi Data khusus hasil SMD menunjukkan cakupan
78,6%. Posyandu masih kurang (47,58%). Hal ini
disebabkan karena sarana; kursi, meja, dan yang
Cakupan Kunjungan Ibu Menyusui (ASI Eksklusif) lain masih kurang. Begitu juga dengan pelayanan
yang kurang memadai, kader kurang aktif, serta
Jumlah cakupan ASI Eksklusif setelah ada faktor sosial budaya. Namun, setelah terbentuknya
program ini, adalah sebesar 44,4%. Meski masih KGM, sarana telah tersedia dengan baik, dan telah
jauh dari target (90%), namun perhatian ibu tersedia 5 kader di masing-masing Posyandu.
mengenai hal ini sudah mulai tampak, dibanding Namun, sayangnya, mengenai kepercayaan ibu
sebelum ada program, pencatatan dan pelaporan akan budaya “seorang bayi tidak boleh keluar
belum tersedia (Tabel 2). rumah sebelum berusia 40 hari”, belum dapat
dihilangkan.
Pembahasan
Cakupan ASI Eksklusif setelah terbentuknya KGM
Kinerja KGM masih kurang dari target, yaitu hanya sebesar
44,4%. Hal ini disebabkan karena pengetahuan ibu
Berdasarkan Survei Mawas Diri (SMD) yang masih kurang, pola asuh yang keliru, dan
kondisi payudara yang tidak mendukung. Namun
Saat penelitian ini berlangsung, KGM telah jika dibandingkan dengan sebelum adanya
berjalan selama 8 bulan. Melalui program ini, program, yang saat itu belum ada pencatatan,
sebagian besar masyarakat telah mengetahui kenyataan sekarang tentu sudah baik. Begitu juga
manfaat dan tujuan didirikannya Posyandu dengan masalah gizi kurang dan anemia yang lebih
35
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :33-37
Tabel 2. Cakupan Kunjungan Ibu Menyusui (ASI Eksklusif) di Posyandu Desa Parasangan Beru
disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan dapat diketahui dengan jelas, yaitu karena malas
kesadaran. untuk antri, dan jumlah PMT yang kadang tidak
cukup. Berikut pernyataan seorang ibu :
Berdasarkan Musyawarah Masyarakat Desa “..saya malas datang, karena terlalu lama mengantri
(MMD) atau menunggu, anakku menangis, jadi saya pulang
saja, baru biasa juga PMT-nya tidak cukup/sedikit,
Musyawarah yang difasilitasi oleh FM ini, dihadiri ibunya tidak kebagian…he..” (Ny.An.11 Februari
oleh aparatur desa, petugas puskesmas, Dinas 2011)
Kesehatan, tim penggerak PKK, tokoh masyarakat,
dan tokoh agama. Musyawarah terdiri dari 2 tahap, Sedangkan ibu balita yang rajin datang ke
yaitu perencanaan dan sosialisasi. Pada tahap Posyandu beralasan untuk mengetahui berat badan
perencanaan, dibahas mengenai kegiatan PGM anaknya dan untuk memperoleh PMT.
berdasarkan masalah dan potensi sumber daya
yang tersedia di desa. Dilanjutkan pada tahap Hasil cakupan balita di Posyandu Anggrek yaitu
sosialisasi, yaitu pemaparan kegiatan PGM. Di 70,02%. Angka ini bisa dicapai karena KGM
dalamnya harus ada kesepakatan seluruh melakukan kunjungan rumah (kejar timbang) satu
stakeholder tentang konsep kegiatan, termasuk hari setelah Posyandu dibuka. Berikut kutipan
pembiayaannya. salah satu anggota KGM :
“tetapi ada juga ibu-ibu yang tidak datang membawa
Berdasarkan Pembuatan Proposal PGM anaknya di posyandu, maka kami melakukan kunjungan
rumah satu hari setelah buka Posyandu dan langsung
menimbang anak tersebut, tetapi ada juga rumah yang
Proposal PGM yang disusun meliputi penilaian
kosong, pergi ke sawah dan ke Makassar, jadi kami
dari beberapa aspek, yaitu proses pemberdayaan
biarkan saja kak..” (Ny. SR. 5 April 2011)
masyarakat, kelengkapan dokumen, relevan dan
konsistensi, serta pembiayaan. Sementara di Posyandu Matahari, KGM tidak
melaksanakan kejar timbang, dengan alasan yang
Cakupan Kunjungan Posyandu sama, karena kebanyakan rumah yang dikunjungi
dalam keadaan kosong.
Cakupan Kunjungan Balita
Selain itu, alasan lain rendahnya cakupan balita ke
Cakupan kunjungan balita di kedua Posyandu
Posyandu, adalah fungsi KGM yang belum cukup
setelah dibentuk KGM mengalami peningkatan,
banyak membantu, karena baru berjalan selama 8
meski belum mencapai target, yaitu 80%. Hal ini
bulan, sementara target program, selama 2 tahun.
terjadi karena masyarakat yang kurang memahami
manfaat Posyandu, seperti yang diuraikan oleh
Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (Fe1 dan Fe3)
salah satu kader Posyandu Matahari di bawah ini :
“sehari sebelum buka Posyandu, kami sudah minta Pada awalnya, rendahnya cakupan ini disebabkan
tolong agar diumumkan di masjid, bahwa besok akan
ada Posyandu. Tapi itu mi..ibunya tidak mau datang,
antara lain karena ibu merasa tidak perlu
semua yang datang paling itu-itu saja. .” (Ny. RS, 05
mengkonsumsi tablet ini, karena merasa sehat.
April 2011). Menurutnya, tablet tambah darah hanya cocok
dikonsumsi oleh ibu hamil yang sakit. Efek negatif
Sementara itu, alasan ibu balita di sekitar Posyandu yang dirasakan ibu setelah mengkonsumsi tablet,
Anggrek tidak memanfaatkan layanan di Posyandu seperti pusing dan lemas, juga menjadi alasan
rendahnya cakupan ini. Berikut kutipannya :
36
Kinerja Kelompok Gizi Masyarakat (Jasmawaty)
“..ada ji di rumah tapi malas minum dan biasa juga 4. Departemen Kesehatan RI. Buku Kader
lupa. Kalo minum tambah darah, anak besar jadi saya Posyandu : Dalam Usaha Perbaikan Gizi.
takut kalo melahirkan nanti, anak susah keluar..anu Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006.
juga bu kalo saya minum terus tambah darah, saya rasa 5. Dinas Kesehatan Jeneponto. Laporan Tahunan
pusing, lemah, tidak ada tenagaku, jadi saya hentikan Program Perbaikan Gizi Masyarakat Melalui
karena tidak cocokka mungkin..” (Ny.Hs. 5 April Pemberdayaan Masyarakat (NICE) Kabupaten
2011) Jeneponto. 2010.
6. Puskesmas Bontomatene. Laporan Tahunan
Cakupan Kunjungan Ibu Menyusui (ASI Eksklusif) Data Cakupan Status Gizi Balita. 2010.
Jumlah cakupan ini adalah sebesar 44,4%, masih
jauh dari target, yaitu 90%. Pengetahuan ibu yang
kurang akan pentingnya ASI, dan ibu yang sibuk
bekerja, mengharuskan mereka menitip anak pada
keluarga. Di bawah ini kutipannya :
“…tidak ada waktu karena saya sibuk bekerja di kebun,
anak juga biasa rewel, selalu menangis, jadi saya
kasihmi bubur saring karena saya kira dia lapar..”
(Ny.Si. 5 April 2011)
Daftar Pustaka
37
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :33-37
38
Artikel Penelitian
*E-mail : [email protected]
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstract
Rice is known as a food ingredient which has a GI (Glycemic Index) is high or hyperglycemic. This study
aimed to determine the effect of the addition of gelatin to the level of joy, fiber content and glycemic index
than white rice was not textured pera (hard). Laboratory Experiment type of research was to design post test
only control design. This study used an experimental method, a four-stage treatment and repeated twice.
The population in this study were labeled premium quality rice production and South Sulawesi. Samples
drawn using random sampling techniques to rice labeled contained in traditional and modern markets, with
the brand "Chief Special". Data obtained by testing the level of semi-trained panelist 20 preference for
color, texture, flavor and overall formula of white rice, rice paired differences test agar elected and white
rice, proximate analysis of carbohydrates by the method of Luff-Schoorl and crude fiber by the oven
method, test glycemic index by the method in vivo. Favorite level data were analyzed using the Kruskal
Wallis and Mann Whitney test followed-U. Proximate test data and glycemic index were analyzed
descriptively. The resulted of this study indicate addition of gelatin on the white rice not significantly affect
the level of preference of color, flavor, and overall (p > 0.05). In contrast, the addition of 1% agar and 1.5%
had a significant influence on the level of texture preference (p = 0.004). The higher the concentration the
addition of gelatin, the joy on the wane. The addition of gelatin did not increase the amount of crude fiber in
white rice. Gelatin was a soluble fiber that does not count as crude fiber (crude fiber) so that the fiber
content of rice gelatin (0.135%) lower than the crude fiber content of control rice (0.14%). The addition of
gelatin lowers the glycemic index (GI) of white rice. IG rice gelatin (94.1) was lower than the control rice
glycemic index (110.8). Based on this research, it is advisable to consume rice agar by the public because it
has a lower glycemic index than the control rice.
Keywords : gelatin, white rice, the preferences, fiber content, glycemic index
glukosa dalam darah, sedangkan serat pangan yang schoorl dan serat kasar dengan metode oven, uji
tinggi akan memperlambat laju pengosongan indeks glikemik dengan metode in vivo.3,4
lambung.2 Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penambahan agar-agar Analisis Data
terhadap tingkat kesukaan, kadar serat dan indeks
glikemik dari nasi putih yang tidak bertekstur pera Data tingkat kesukaan dianalisis dengan
(keras). menggunakan uji kruskal wallis dan dilanjutkan uji
Mann Whitney-U. Data uji proksimat dan indeks
Bahan dan Metode glikemik dianalisis secara deskriptif.
Pembuatan formula nasi agar-agar dan uji hedonik Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Formula
dilakukan di Laboratorium Kuliner Program Studi Nasi Putih
Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat,
sedangkan analisis proksimat karbohidrat, serat Tabel 1 menunjukkan bahwa berdasarkan
dan indeks glikemik formula nasi terpilih, parameter warna, formula yang paling disukai
dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas adalah formula nasi kontrol dengan rata-rata 3,875,
Kesehatan Masyarakat dan Laboratorium Kimia kemudian formula nasi agar-agar 0.5 %, 1%
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas dengan rata-rata 3,775 dan 1.5% dengan rata-rata
Hasanuddin. 3,450. Tingkat kesukaan formula nasi agar-agar
tidak berbeda secara signifikan (p = 0,129). Untuk
Desain dan Variabel Penelitian tekstur, nasi kontrol tetap menjadi nasi yang paling
disukai dengan rata-rata 3,775, dan terdapat
Jenis penelitian adalah Experiment Laboratory perbedaan signifikan tingkat kesukaan terhadap
dengan desain post test only control design. aspek ini (p = 0,004). Pada uji Mann Whitney-U,
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, didapatkan bahwa formula yang berbeda dari
satu perlakuan empat taraf dan dua kali kontrol adalah formula nasi agar-agar 1% dan
pengulangan. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, 1.5%. Untuk parameter rasa, ke empat formula
yaitu pembuatan formula nasi agar-agar lalu uji tidak berbeda secara signifikan (p = 0,244) dimana
tingkat kesukaan (hedonik) dan uji pembedaan, formula yang paling disukai adalah formula nasi
dan selanjutnya mengukur kadar serat dan indeks kontrol dengan rata-rata 3,625, kemudian nasi
glikemik nasi agar-agar dengan tingkat kesukaan agar-agar 0.5% dengan rata-rata 3,600. Pada
terpilih. Konsentrasi penambahan agar-agar pada penilaian kesukaan terhadap keseluruhan sifat yang
nasi terdiri dari 4 taraf, yaitu kontrol (tanpa agar- ada pada tiap formula (Overall), tidak terdapat
agar), 0.5%, 1%, 1.5 % . perbedaan yang signifikan (p = 0,110), dimana
formula yang paling disukai adalah formula nasi
Populasi dan Sampel kontrol dengan rata-rata 3,775 (Gambar 1).
Populasi dalam penelitian ini adalah beras kualitas Hasil Uji Pembedaan Berpasangan
premium berlabel produksi Sulawesi-Selatan.
Sampel ditarik menggunakan teknik random Warna antara nasi kontrol dan nasi agar-agar 0.5%
sampling terhadap beras berlabel yang terdapat di berbeda secara signifikan pada α=5%, demikian
pasar tradisional dan pasar modern, dengan merk juga pada parameter tekstur. Untuk rasa, hanya 14
“Kepala Spesial”. panelis yang menyatakan ada perbedaan antara
rasa nasi kontrol dengan nasi agar-agar sehingga
Pengumpulan Data tidak berbeda secara signifikan (Tabel 2).
Berdasarkan arah perbedaan, warna dari nasi agar-
Data diperoleh dengan menguji tingkat kesukaan agar lebih kusam (-0,7) dibandingkan nasi kontrol
20 panelis semi terlatih terhadap warna, tekstur, dan tekstur nasi agar-agar lebih pera/keras (-0,3)
rasa dan overall formula nasi putih, uji pembedaan dibandingkan nasi putih. Untuk rasa, nasi agar-agar
berpasangan nasi agar-agar terpilih dan nasi putih, lebih tidak berasa (-0,35) dibandingkan nasi putih
analisis proksimat karbohidrat dengan metode luff- tapi perbedaannya tidak signifikan.
39
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :38-43
40
Pengaruh Penambahan Agar-Agar Terhadap Nasi Putih (Ratnawati)
berkurang berbanding lurus dengan penambahan memberikan perbedaan signifikan antara kesukaan
tepung rumput laut. nasi parboiled yang dihasilkan.
41
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :38-43
Skor Kesukaan
4
3 Nasi Kontrol
2
Nasi Agar-Agar 0.5%
1
0 Nasi Agar-Agar 1%
Warna Tekstur Rasa Overall Nasi Agar-Agar 1.5%
Kategori
Gambar 1. Tingkat Kesukaan Formula Nasi Putih dan Nasi Agar -Agar
60
Kenaikan glukosa
40
glukosa
darah
20
0 nasi
Waktu
Pengaruh Penambahan Agar-Agar terhadap nasi agar-agar lebih dianjurkan untuk dikonsumsi
Indeks Glikemik Nasi Putih karena memiliki IG yang lebih rendah.
42
Pengaruh Penambahan Agar-Agar Terhadap Nasi Putih (Ratnawati)
Daftar Pustaka
43
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :38-43
44
Artikel Penelitian
*E-mail : [email protected]
1
Politeknik Kesehatan, Jayapura
2
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstract
Body image is one of the causes of eating disorders that ultimately impact the person's nutritional status.
The research objective was to determine the relationship body image, knowledge of balanced nutrition and
physical activity on the nutritional status of students Jayapura Health Polytechnic. The descriptive type of
research was the design of Cross Sectional Analytic Study. Sampling was carried out using accidental
sampling technique the number of samples 142 people. Data analysis was performed using chi-square test.
Characteristics of respondents by sex most of the women's 103 people (72.5%), according to most of the
nutrition department of 55 persons (38.7%), largely based on the age of 18-19 yrs 68 people (47.9%) of 142
samples. Results showed that body image has a significant relationship with nutritional status according to
BMI (p = 0.000) and Abdominal Circumference/AC (p = 0.049). A significant association was also looking
at the variable knowledge of balanced nutrition with nutritional status according to BMI (p = 0.005),
physical activity on the nutritional status according to BMI (0.001) and physical activity on nutritional
status by AC (p = 0.012). While for balanced nutrition knowledge variables on the nutritional status
according to the AC there is no significant association (p = 1,000). Suggested to the respondents with good
nutritional status to retain nutritional status for a while including malnutrition, overweight and obesity may
improve the nutritional status of a road apply knowledge of balanced nutrition, physical activity level and
attention to always think positive about your body shape.
Keywords : body image, balanced nutrition sciences, physical activity, nutrition status
44
Hubungan Body Image, Pengetahuan, dan Aktifitas Fisik (Merinta)
Ada perbedaan status ketidakpuasan body image Desain Dan Variabel Penelitian
antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki
yang obesitas mempunyai peluang yang jauh lebih Jenis penelitian adalah deskriptif analitik, dengan
kecil untuk tidak puas terhadap body image rancangan cross sectional study. Body image,
dibandingkan dengan perempuan.4 pengetahuan gizi seimbang, dan aktifitas fisik
adalah variabel independen, sedangkan status gizi
Hasil penelitian Kakekshita dan Almeida (2008)5 adalah variabel dependen.
menjelaskan bahwa body image merupakan salah
satu faktor penting yang berkaitan dengan status Populasi dan Sampel
gizi seseorang. Hasil penelitian juga
mengemukakan bahwa wanita cenderung terlalu Populasi adalah seluruh mahasiswa Politeknik
melebih-lebihkan ukuran tubuhnya dibandingkan Kesehatan Jayapura. Sementara sampel adalah
pria. mahasiswa yang ditemui pada saat penelitian yang
terdiri dari 3 jurusan, yaitu gizi, kebidanan, dan
Hasil penelitian Setyorini (2010)6 mengemukakan kesehatan lingkungan, dengan jumlah 142 orang.
terdapat 51,6% remaja putri puas terhadap bentuk Pengambilan sampel dilakukan dengan
dan ukuran tubuhnya, sedangkan 48,4% merasa menggunakan teknik accidental sampling.
tidak puas. Terdapat 51,6% remaja putri memiliki
tingkat pengetahuan gizi baik, 41,9% cukup, dan Pengumpulan Data
6,5% kurang. Terdapat hubungan yang bermakna
antara body image dengan perilaku makan remaja Data yang dikumpulkan berupa data primer dan
putri, tidak terdapat hubungan antara pengetahuan data sekunder. Data body image, pengetahuan gizi
gizi dengan pola makan remaja putri. seimbang, dan aktifitas fisik diperoleh melalui
kuesioner. Sedangkan data mengenai status gizi
Hasil penelitian Tejoyuwono, dkk (2009)7 diperoleh dengan mengukur tinggi badan, berat
menyatakan bahwa body image bagi seorang ahli badan, dan lingkar perut responden. Data sekunder
gizi cukup penting karena akan mempengaruhi dalam penelitian ini yaitu data mengenai gambaran
kepercayaan dari klien dan kesuksesan dalam umum lokasi penelitian, yang diperoleh dari
pemberian konseling. Selain itu, ahli gizi memiliki institusi terkait.
tanggung jawab untuk memberikan contoh hidup
sehat kepada masyarakat. Analisis Data
Kota Jayapura sebagai ibukota provinsi merupakan Data primer dianalisis dengan menggunakan
barometer segala aspek dengan latar belakang Program SPSS, kemudian disajikan dalam bentuk
sosial budaya, pendidikan dan profesi dengan tabel dan narasi.
berbagai trend sebagai dampak globalisasi dalam
pergaulan dan gaya hidup yang beragam, begitu Hasil Penelitian
juga yang terlihat pada kalangan remaja yang
cenderung mengikuti setiap trend-trend mode. Body Image, Pengetahuan Gizi Seimbang,
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Aktifitas Fisik
hubungan body image, pengetahuan gizi seimbang,
dan aktifitas fisik terhadap status gizi mahasiswa Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 58
Politeknik Kesehatan Jayapura. responden (40,8%) termasuk dalam kategori body
image negatif, 65 responden (45,7%) memiliki
Bahan dan Metode pengetahuan yang kurang, 41 responden (28,9%)
memiliki aktifitas fisik kurang, 25 responden
Lokasi Penelitian (17,6%) termasuk gizi kurang, 22 responden
(15,5%) termasuk overweight, 20 responden
Penelitian dilakukan di Politeknik Kesehatan (14,1%) termasuk obesitas, dan 15 responden
Jayapura pada bulan Februari sampai Maret 2012. (10,6%) termasuk obesitas sentral (Tabel 1).
45
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 : 44-48
Tabel 1. Hubungan Body Image, Pengetahuan Gizi Seimbang, Aktifitas Fisik terhadap Status Gizi
Menurut IMT Responden
chi-square, diperoleh masing-masing nilai p = tubuh ideal menurut mereka adalah tinggi badan
0,000, dan p = 0,049. Dengan demikian, ada sepadan dengan berat badan (83,8%), kurus
hubungan antara body image dengan status gizi (13,4%), overweight (2,1%), dan obesitas (0,7%)
menurut dua indikator tersebut. (Tabel 2).
Begitu juga dengan hasil uji hubungan Dalam penelitian ini, ditemukan 1 responden yang
pengetahuan gizi seimbang dan aktifitas fisik memiliki bentuk tubuh ideal obesitas. Setelah di
terhadap status gizi menurut IMT, aktifitas fisik crosscheck, responden tersebut ternyata termasuk
terhadap status gizi menurut LP diperoleh nilai p dalam status gizi obesitas. Terdapat hubungan
masing-masing sebesar 0,005, 0,001, dan 0,012, yang bermakna antara body image dan status gizi
yang berarti ada hubungan antara pengetahuan gizi baik menurut IMT maupun LP. Hasil penelitian ini
seimbang dan aktifitas fisik dengan status gizi sejalan dengan hasil penelitian Sari (2007),
menurut IMT, serta aktifitas fisik dengan status Chairunita (2003), dan Setyono (2010) yang
gizi menurut LP. Sedangkan untuk pengetahuan menyatakan adanya hubungan antara body image
gizi seimbang, tidak ditemukan ada hubungan dan status gizi.8-10 Dalam penelitian ini, sikap
dengan status gizi menurut LP (p = 0,942). responden terhadap body image mengacu pada
puas tidak puasnya seseorang terhadap bentuk
Pembahasan tubuhnya saat ini. Dari hasil yang diperoleh
diketahui terdapat 58 responden (40,8%) merasa
Body image adalah gambaran seseorang mengenai tidak puas pada bentuk tubuhnya. Ada berbagai
bentuk dan ukuran tubuhnya sendiri; yang upaya yang dilakukan dalam
dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran tubuh serta memperoleh/mempertahankan bentuk tubuh ideal.
harapan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang Dalam penelitian ini, jenis upaya yang dilakukan
diiginkan. Apabila harapan tersebut tidak sesuai sepadan dengan status gizi responden.
dengan kondisi tubuh aktual maka akan
menimbulkan body image negatif.7 Pengetahuan gizi seimbang diyakini sebagai salah
satu variabel yang dapat berhubungan dengan
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa konsumsi dan kebiasaan makan yang pada
sebagian besar responden (60,6%) menilai bahwa akhirnya mempengaruhi status gizi seseorang.11
bentuk tubuhnya tidak ideal (didasarkan pada
pendapat pribadi). Sebagian besar menilai bentuk Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat
tubuh mereka saat ini kurus, sedangkan bentuk hubungan antara pengetahuan gizi seimbang
46
Hubungan Body Image, Pengetahuan, dan Aktifitas Fisik (Merinta)
terhadap status gizi menurut IMT, namun tidak Aktifitas fisik atau disebut juga aktifitas eksternal
berhubungan dengan status gizi menurut LP. ialah suatu rangkaian gerak tubuh yang
Penyebab tidak adanya hubungan antara menggunakan tenaga atau energi. Jenis aktifitas
pengetahuan gizi seimbang dengan status gizi fisik yang sehari-hari dilakukan antara lain,
menurut lingkar perut, adalah karena lingkar perut berjalan kaki, berlari, berolahraga, mengangkat dan
merupakan indeks antropometri yang hanya memindahkan benda, mengayuh sepeda dan lain-
menggambarkan proporsi lemak pada salah satu lain. Aktifitas fisik menentukan kondisi kesehatan
bagian tubuh yakni bagian perut sehingga kurang seseorang. Kelebihan energi karena rendahnya
sensitif untuk menilai status gizi secara aktifitas fisik dapat meningkatkan risiko
keseluruhan jika dibandingkan dengan IMT yang kegemukan dan obesitas.12
telah direkomendasikan oleh WHO sebagai indeks
untuk menentukan status gizi remaja dan dewasa Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian
secara keseluruhan. besar responden termasuk dalam kategori memiliki
aktifitas fisik yang cukup (71,1%). Jenis aktifitas
Adanya perbedaan hasil uji dalam hal hubungan fisik yang paling sering dilakukan adalah jalan
antara pengetahuan gizi seimbang dengan status kaki. Kondisi tempat tinggal yang cukup jauh dari
gizi menurut IMT dan LP, menjelaskan bahwa kampus menyebabkan mayoritas mahasiswa
pengetahuan gizi bukanlah hubungan sebab akibat memilih untuk berjalan kaki ketimbang
yang langsung dalam menentukan status gizi menggunakan kendaraan sebagai kompensasi dari
seseorang. Masih ada faktor-faktor lain yang lebih jarangnya melakukan olahraga rutin. Disamping itu
berpengaruh misalnya asupan makanan dan kondisi asrama tempat tinggal beberapa mahasiswa
penyakit infeksi. yang terletak di atas ketinggian meskipun jarak
ruang kuliah dengan asrama cukup dekat namun
47
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 : 44-48
48
Hubungan Body Image, Pengetahuan, dan Aktifitas Fisik (Merinta)
49
Artikel Penelitian
*E-mail : [email protected]
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Abstract
The growth of school-age children who depend on the provision of optimal nutrition with the right quality
and quantity. This study aimed to determine the macro nutrition and infectious diseases on the growth of
primary school children aged 6-7 years in the Final Disposal Makassar. This type of research was survey
with descriptive approach. The number of sample of 48 respondents with a purposive sampling method.
The resulted of this research that the characteristic of responden’s parents as entrepreneur (27,1%). Macro
nutrient intake consumed on average less that caloric intake (1055 kcal), carbohydrates (136 gr), fat (36,6
gr). Protein intake consumed on average less (41,4 gr). Caloric intake has less growth of normal weight
(72.3%) and normal height (97.9%), carbohydrate intake have less weight gain (72.9%) and normal height
(97.9%), intake fat had less weight gain (72.9%) and height (97.9%) of normal, protein intake has sufficient
weight gain (72.3%) and normal height (97.9%). Children who have never suffered from infectious diseases
have an average growth of normal weight (83.3%) and normal height (100%). It is suggested to parents to
pay attention to nutrition so that their children a better nutritional intake. Also suggested that more attention
to the old stamps and hygiene conditions of the environment around their homes.
49
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :49-53
provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah 45.929 (Diare dan ISPA) diperoleh dengan menggunakan
kasus.5 kuesioner pertumbuhan anak dengan melakukan
pengukuran antropometri sebanyak satu kali
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berupa TB menggunakan microtoice serta BB
gambaran asupan gizi makro dan penyakit infeksi menggunakan seca 77000 weight scale. Data
(diare dan ISPA) terhadap pertumbuhan anak sekunder meliputi gambaran umum sekolah,
sekolah dasar usia 6-7 tahun yang tingkat jumlah seluruh siswa kelas 1 dan 2, serta jumlah
pendidikan dan sosial ekonomi orang tuanya seluruh siswa yang berumur 6-7 tahun diperoleh
umumnya rendah. Golongan umur ini diambil dari bagian tata usaha.
karena umur seperti ini akan memasuki laju
pertumbuhan cepat yang akan mempengaruhi Analisis Data
pertumbuhan selanjutnya jika asupan gizinya
bermasalah.4 Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
program SPSS 16 untuk menentukan nilai z-score.
Bahan dan Metode Berdasarkan data tersebut, dianalisis dengan
menentukan nilai GV subjek menurut formula
Lokasi Penelitian Marshal & Schwann dan program W-Food untuk
mengolah data food recall 24 jam yang telah
Penelitian ini dilakukan di SD Inpres Borong menyediakan data-data jenis makanan dan nilai
Jambu 1 kelurahan Bangkala, Kecamatan gizinya.
Manggala, Kota Makassar, pada bulan Februari –
April 2012. Hasil Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Hasil penelitian menunjukkan semua asupan energi
survey dengan pendekatan deskriptif untuk dan zat gizi makro anak sekolah dasar berada pada
mengetahui asupan zat gizi makro dan penyakit kategori kurang, dengan persentase masing-
infeksi terhadap pertumbuhan siswa. Variabel masing; energi, 47 orang (97,9%), karbohidrat 48
dalam penelitian ini adalah status pertumbuhan orang (100%), protein 47 orang (97,9%), serta
anak sebagai variabel dependen dan asupan zat gizi lemak 48 orang (100%) (Tabel 1).
makro dan penyakit infeksi sebagai variabel
independen. Penyakit Infeksi
50
Asupan Gizi Makro, Penyakit Infeksi dan Status Pertumbuhan Anak (Resty)
Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Asupan Energi dan Zat Gizi Makro
Asupan
Kategori Asupan RDA
n = 48 gr
Energi
Kurang 47 1055 Umur 6 tahun =1750
Cukup 1 397 Umur 7 tahun =1900
Lebih 0 0
Karbohidrat
Kurang 48 196 Umur 6 tahun =1750
Cukup 0 0 Umur 7 tahun =1900
Lebih 0 0
Protein
Kurang 47 41,4 Umur 6 tahun = 32
Cukup 1 5,6 Umur 7 tahun = 37
Lebih 0 0
Lemak
Kurang 48 36,6 Umur 6 tahun =1750
Cukup 0 0 Umur 7 tahun =1900
Lebih 0 0
Asupan Zat Gizi Makro berdasarkan Status Berat Pilek dan batuk adalah dua penyakit yang paling
dan Tinggi Badan banyak diderita oleh responden. Hasil penelitian
menunjukkan, berdasarkan aspek ini, responden
Hasil penelitian menunjukkan, status pertumbuhan yang menderita penyakit pilek paling banyak
berat badan dan tinggi badan normal banyak terjadi memiliki berat badan normal, yaitu sebesar 23
pada responden yang asupan kalorinya kurang, responden (82,1%). Sedangkan untuk tinggi badan,
dengan jumlah masing-masing 34 orang (72,3%), maka semua responden (28 orang) memiliki tinggi
dan 46 orang (97,9%). Demikian halnya untuk badan normal. Untuk penyakit batuk, paling
asupan Karbohidrat, status pertumbuhan berat banyak responden yang tidak pernah menderita
badan dan tinggi badan normal banyak terjadi pada penyakit ini, memiliki berat badan normal, yaitu
responden dengan asupan yang kurang, masing- sebesar 20 responden (83,3%). Sedangkan untuk
masing berjumlah 35 orang (72,9%), dan 47 orang tinggi badan, maka semua responden memiliki
(97,9%). tinggi badan normal dan pernah menderita
penyakit ini (24 orang).
Sementara itu, asupan protein menunjukkan
responden yang status pertumbuhan berat Pembahasan
badannya berada pada kategori normal, paling
banyak yang asupannya cukup, yaitu 34 orang Asupan Gizi Makro dan Pertumbuhan
(72,3%), dan status pertumbuhan tinggi badan
normal, paling banyak yang asupan proteinnya Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk
kurang, yaitu 46 orang (97,9%). anak usia 6-7 tahun, dalam penelitian ini
digunakan kategori cukup (≥80% AKG) dan
Hasil penelitian juga menunjukkan, responden kategori kurang (<80% AKG). Pada umumnya,
dengan status pertumbuhan berat badan dan tinggi asupan makanan pada masing-masing responden
badan normal banyak terjadi pada responden yang berada dalam kategori kurang, hanya asupan
asupan lemaknya kurang, masing-masing 35 orang protein yang rata-rata berada dalam kategori
(72,9%), dan 47 orang (97,9%). cukup.
Gambaran Penyakit Infeksi berdasarkan Status Kurangnya asupan kalori dan gizi makro
Pertumbuhan (Berat dan Tinggi Badan) khususnya konsumsi karbohidrat dan lemak, bisa
saja dipengaruhi kondisi sosial ekonomi mereka.
51
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :49-53
Tabel 2. Gambaran Penyakit Infeksi Berdasarkan Status Berat dan Tinggi Badan Responden
Pekerjaan orang tua yang sebagian besar adalah kendala yang dapat mempengaruhi hasil penelitian
pemulung dengan pendapatan yang rendah, dapat ini.
mempengaruhi kebutuhan pangan keluarga,
sehingga juga berpengaruh pada asupan nutrisi. Penyakit Infeksi dan Pertumbuhan
Sementara itu, asupan protein yang cukup,
disebabkan karena konsumsi lauk dan jajanan di Masa usia 6-7 tahun merupakan masa yang masih
sekolah. Rata-rata responden yang asupan gizi rawan, karena pada masa ini apabila anak kurang
makronya kurang, tidak mengalami masalah dalam mengkonsumsi makanan yang bergizi, maka akan
hal pertumbuhan. Hanya beberapa yang mengalami sangat mudah untuk terserang penyakit, dan
masalah, namun angka terbanyak berada dalam gangguan kesehatan lainnya, yang pada akhirnya
kategori pertumbuhan yang normal. akan mempengaruhi pertumbuhannya. Jenis
penyakit infeksi yang sering menyerang anak-anak
Pada penelitian ini ditemukan bahwa responden yaitu pilek, demam, ISPA, diare, batuk, dan
yang asupan kalorinya berada dalam kategori demam. Pada umumnya, penyakit infeksi
kurang memiliki pertumbuhan yang normal baik disebabkan oleh virus.7
pertumbuhan berat badan (72,3%), maupun tinggi
badan (97,9%). Hasil penelitian ini tidak sesuai Penyakit infeksi yang diderita merupakan salah
dengan penelitian yang dilakukan Andriani6, yang satu penghambat dalam pertumbuhan anak-anak.
menyatakan bahwa kekurangan gizi makro Dalam kuesioner tentang penyakit infeksi, terdapat
menyebabkan pertumbuhan anak sekolah dasar 7 pertanyaan mengenai penyakit-penyakit yang
tidak normal dan laju pertumbuhannya kurang terkait dengan diare dan ISPA yang diderita dalam
bagus. Hal ini bisa saja disebabkan karena jumlah 2 minggu terakhir selama penelitian, yaitu
sampel yang kecil, sehingga hanya dilihat dari mengenai penyakit berak cair, berak cair
sebagian anak. Di samping itu, waktu penelitian mengandung darah, muntaber, batuk, sesak nafas,
dan ketelitian dalam me-recall juga merupakan pilek, dan demam.
52
Asupan Gizi Makro, Penyakit Infeksi dan Status Pertumbuhan Anak (Resty)
Pada penelitian ini, responden yang status Balita Kota Palu (Tesis). Makassar: Universitas
pertumbuhannya berada dalam kategori normal Hasanuddin: 2010.
rata-rata tidak pernah menderita penyakit infeksi 3. Rasmaliah. Infeksi Saluran Pernafasan Akut
dalam 2 minggu terakhir selama penelitian dan Penanggulangannya (Skripsi). Medan:
berlangsung. Universitas Sumatera Utara: 2004.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
penyakit pilek dan batuk merupakan 2 penyakit Depkes RI: 2008.
yang paling banyak diderita oleh anak. Hal ini 5. Dinas Kesehatan Kota Makassar. Profil
disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka Kesehatan Kota Makassar 2007. Makassar:
yang kumuh. Hasil penelitian ini sejalan dengan Dinkes: 2008.
hasil yang ditemukan oleh Hasna8 mengenai anak 6. Pahlevi, Andriani. Determinan Status Gizi pada
yang tidak menderita penyakit infeksi memiliki Anak Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan
pertumbuhan yang normal baik itu pertumbuhan Masyarakat 2011: 7(2): 116-20.
berat badan maupun tinggi badan. Semua penyakit 7. Matthys, Henauw. Estimated Energy Intake,
dapat timbul karena ketidakseimbangan berbagai Macronutrient Intake and Meal Pattern of
faktor, baik dari sumber penyakit, host, lingkungan Flemish Adolescents. European Journal of
dan tentunya asupan nutrisi. Clinical Nutrition 2003: 5 (7): 366-75.
8. Hasnawati. Hubungan Intake Nutrient, Pola
Kesimpulan dan Saran Pengasuhan, dan Penyakit Infeksi Terhadap
Tumbuh Kembang Anak Umur 4-6 tahun TK di
Asupan zat gizi makro yang dikonsumsi anak rata- Makassar (Skripsi). Makassar: Universitas
rata kurang yaitu asupan kalori (97,9%), Hasanuddin: 2000.
karbohidrat (100%), lemak (100%). Asupan
protein yang dikonsumi rata-rata cukup (97,9%).
Asupan kalori kurang memiliki pertumbuhan berat
badan normal (72,3%) dan tinggi badan normal
(97,9%), asupan karbohidrat kurang memiliki
pertumbuhan berat badan (72,9%) dan tinggi badan
normal (97,9%), asupan lemak kurang memiliki
pertumbuhan berat badan (72,9%) dan tinggi badan
(97,9%) yang normal, asupan protein cukup
memiliki pertumbuhan berat badan (72,3%) dan
tinggi badan normal (97,9%). Anak yang tidak
pernah menderita penyakit infeksi rata-rata
memiliki pertumbuhan berat badan normal (83,3%)
dan tinggi badan normal (100%). Sementara pilek
dan batuk merupakan dua penyakit yang paling
banyak diderita. Disarankan bagi orang tua
terutama ibu atau pengasuh anak lebih
memperhatikan konsumsi makanan anak-anak agar
asupan zat gizinya tercukupi, dan menjaga
kebersihan tempat tinggal.
Daftar Pustaka
53
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1, Agustus 2012 :49-53
54