Setiawan 2015
Setiawan 2015
Eko Setiawan1*, Sylvi Irawati1, Bobby Presley1, & Susilo Ari Wardhani2
1
Pusat Informasi Obat dan Layanan Kefarmasian (PIOLK) – Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya
2
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Keywords Abstract: The objective of this study was to gain insight into the perception and the likelihood
medication to practice medication reconciliation among pharmacists working at the apotek. Two guiding
reconciliation, questions were given to each participant and participants were asked to write the answer on the
pharmacist, apotek paper. Thematic analysis was used to analyse the data. There were 31 pharmacists involved
in this study. All of participants perceived that medication reconciliation was important to
be implemented. Almost all of participants (i.e 30 from 31 pharmacists) clearly stated that
they would like to implement medication reconciliation. And, there were 3 themes found as the
main motivation factors in implementing the medication reconciliation. Pharmacists who were
working at the apotek had a good perception about medication reconciliation and also showed the
likelihood to implement medication reconciliation. Further research need to be conducted in order
to explore the barriers in implementing medication reconciliation.
Kata kunci: ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk memotret persepsi dan kecenderungan kesediaan
rekonsiliasi obat, apoteker yang bekerja di apotek di sebuah kabupaten untuk terlibat dalam program rekonsiliasi
apoteker, apotek obat. Dua buah pertanyaan panduan tertulis diberikan kepada setiap peserta dan peserta diminta
kesediaannya untuk menjawab pertanyaan tersebut pada lembar yang telah disediakan. Analisis
dilakukan dengan menggunakan metode thematic analysis. Total terdapat 31 apoteker yang bersedia
terlibat dalam penelitian ini. Seluruh peserta penelitian berpersepsi bahwa proses rekonsiliasi
obat penting untuk diimplementasikan. Hampir seluruh peserta (30 dari 31 apoteker) memiliki
kecenderungan untuk bersedia terlibat dalam proses rekonsiliasi obat. Terdapat 3 tema utama
pertimbangan yang mendasari kecenderungan apoteker di apotek untuk bersedia terlibat dalam
proses rekonsiliasi obat. Apoteker peserta penelitian yang bekerja di apotek memiliki persepsi dan
kecenderungan yang baik untuk berkontribusi dalam proses rekonsiliasi obat. Identifikasi faktor-
faktor yang berpotensi menjadi penghalang implementasi proses rekonsiliasi obat oleh apoteker
di apotek perlu dilakukan sebelum program rekonsiliasi obat ini diimplementasikan dalam suatu
daerah.
*Corresponding Author: Eko Setiawan (PIOLK, Gedung Fakultas Farmasi Article History:
Lantai 5, Universitas Surabaya, Jl. Raya Kalirungkut, Surabaya, 60293) Received: Accepted:
email: [email protected] Published: Available online:
91
Persepsi dan Kecenderungan Keterlibatan Apoteker di Apotek ada Proses Rekonsiliasi Obat | Setiawan, dkk.
proses dengan pendekatan multisiplin; 3) penyedia apoteker memiliki kesempatan yang besar untuk
layanan kesehatan harus dapat bekerja sama berinteraksi dengan pasien dan menggali informasi
dengan pasien dan keluarga pasien/penjaga pasien. terkait riwayat penggunaan obat. Peran tersebut
Proses perpindahan pemberian layanan kesehatan semakin strategis bagi apoteker yang bekerja di
dapat terjadi pada setting berikut: 1) saat pasien komunitas, dalam hal ini adalah apotek, mengingat
masuk rumah sakit (MRS); 2) pasien mengalami kecenderungan masyarakat di Indonesia ketika
perpindahan antar bangsal atau unit layanan dalam mengalami gangguan kesehatan, khususnya
suatu instansi rumah sakit yang sama (misalnya gangguan kesehatan yang minor (antara lain: batuk
dari bangsal rawat inap menuju intensive care unit); dan pilek), akan datang meminta saran kepada
3) perpindahan dari suatu instansi rumah sakit apoteker di apotek terkait jalan keluar untuk
menuju: rumah, layanan kesehatan primer (antara masalah kesehatan yang dialaminya. Pemberian
lain: puskesmas, praktek pribadi dokter yang layanan kesehatan oleh apoteker semakin kuat
bekerja sama dengan apotek, atau klinik), atau dengan diterbitkannya beberapa dokumen legalitas
rumah sakit lain [1,2]. oleh pemerintah [12]. Lebih lanjut, Peraturan
Bukti penelitian terpublikasi membuktikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35
besarnya manfaat dari pelaksanaan rekonsiliasi tahun 2014 menyatakan salah satu peran dan fungsi
obat, baik ditinjau dari kemanfaatan secara apoteker di apotek adalah melakukan rekonsiliasi
outcome klinis maupun finansial [3,4,5,6,7,8,9]. obat. Peran dan fungsi tersebut dikejawantahkan
Implementasi rekonsiliasi obat memungkinkan secara implisit dalam langkah dan kegiatan
proses identifikasi kesalahan pemberian obat pelayanan kefarmasian klinik[13].
akibat kesenjangan pemberian informasi dapat Sampai saat ini, penelitian terkait persepsi dan
dilakukan sedini mungkin dan pada setiap tahap kesediaan apoteker di apotek untuk melakukan
terjadinya perpindahan proses pemberian layanan proses rekonsiliasi obat sebagai salah satu aspek
kesehatan. Proses tersebut menjadi krusial, standar dalam pemberian layanan kefarmasian
khususnya untuk kelompok pasien dengan belum ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk
penyakit kronis yang memiliki risiko pergantian melakukan identifikasi persepsi apoteker yang
setting pemberian layanan kesehatan yang tinggi. bekerja di apotek dan kecenderungan mereka
Kegagalan melakukan identifikasi kesalahan untuk terlibat dalam praktek rekonsiliasi obat.
pemberian obat akan menyebabkan perburukan
kondisi klinis yang, pada akhirnya, berdampak METODE PENELITIAN
pada peningkatan kebutuhan layanan dan biaya
kesehatan. Peningkatan kebutuhan layanan dan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
biaya kesehatan tersebut berpotensi menghadirkan yang dilakukan pada apoteker yang bekerja di
permasalahan bagi pemerintah, khususnya setelah komunitas, khususnya apotek, di sebuah kabupaten
bangsa Indonesia mengimplementasikan sistem kota di Jawa Timur. Proses pengambilan data
Jaminan Kesehatan Nasional per 1 Januari 2014 dilakukan dengan menggunakan purposive dan
[10,11]. convenient sampling, yaitu dilakukan pada saat
Apoteker memiliki peranan penting dalam diadakannya kegiatan yang diperuntukkan bagi
implementasi rekonsiliasi obat. Sebagai bagian apoteker di kabupaten kota tersebut. Pihak
dari tenaga kesehatan professional yang berada penyelenggara kegiatan telah memberikan
dalam garda depan pemberian layanan kesehatan, persetujuan kepada peneliti untuk melakukan
rekonsiliasi obat. Beberapa tema yang antara dokter dan apoteker sehingga akan dihasilkan
melatarbelakangi keyakinan peserta penelitian pengobatan yang lebih baik untuk pasien”.
terhadap proses rekonsiliasi obat adalah: 3) Setuju jika rekonsiliasi obat bermanfaat dengan
1. Kemanfaatan bagi pasien, alasan sebagai wadah menyampaikan informasi
2. Wadah bagi apoteker untuk berkolaborasi obat yang lebih besar.
dengan tenaga kesehatan lain, Pendapat pertama (tidak berkenan mencantumkan
3. Wadah menyampaikan informasi obat dengan tahun lulus apoteker): “Penting, karena informasi
lebih baik. obat jadinya tersampaikan dengan baik sebagai
Berikut merupakan beberapa kutipan yang hasil kerjasama tenaga medis yang ada”.
membuktikan persetujuan peserta penelitian Pendapat kedua (lulus apoteker tahun 2006): “Ya
terhadap manfaat rekonsiliasi obat beserta dengan penting, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
alasannya: pengobatan yang salah akibat tidak sempurnanya
informasi yang didapatkan selama pasien berada
1) Setuju jika rekonsiliasi obat bermanfaat dengan dalam proses peralihan pelayanan kesehatan”.
alasan rekonsiliasi obat memberikan kemanfaatan
bagi pasien. Persepsi seorang tenaga kesehatan sangat
Pendapat pertama (lulus apoteker tahun 2013): berperan penting pada saat inisiasi dan dalam
“Ya… sangat penting… karena peran apoteker proses menjaga kesinambungan implementasi
sendiri sangat penting untuk menyembuhkan suatu program kesehatan, termasuk rekonsiliasi
pasien”. obat. Salah satu aspek penting pembentuk persepsi
Pendapat kedua (lulus apoteker tahun 2009): adalah pengetahuan. Konsep keterkaitan antara
“Ya penting, semua kan bertujuan demi kebaikan persepsi dan pengetahuan telah diungkapkan
pasien”. sejak tahun 1975 oleh Fishbein M dan Ajzen
Pendapat ketiga (lulus apoteker tahun 2008): I [14]. Persepsi merupakan sebuah konsep
“Penting, karena dapat membantu mempercepat yang mencakup beberapa aspek, yaitu: sikap
kesembuhan pasien pada terapi”. (attitude), perasaan (feeling), dan keyakinan (belief),
Pendapat keempat (lulus apoteker tahun 2002): yang terbentuk sebagai akibat akumulasi dan
“Penting, karena untuk memastikan bahwa obat- interpretasi dari informasi atau pengetahuan
obat yang penting bagi pasien tidak terlewatkan yang diterima oleh seseorang. Terdapat sebuah
sehingga tidak ada akibat fatal bagi pasien”. penelitian terpublikasi oleh van Sluisveld N, et.
Pendapat kelima (lulus apoteker tahun 2000): al. yang membuktikan kurangnya pengetahuan
“Penting sekali, demi keselamatan pasien dan tenaga kesehatan terkait permasalahan dalam
terapi yang benar”. bidang kesehatan dan proses rekonsiliasi obat
sebagai faktor penghambat kesinambungan
2) Setuju jika rekonsiliasi obat bermanfaat dengan pelaksanaan rekonsiliasi obat [15].
alasan sebagai wadah untuk dapat berkolaborasi Seluruh peserta dalam penelitian ini
dengan tenaga kesehatan lain. mendapatkan paparan presentasi tentang
Pendapat pertama (lulus apoteker tahun 2001): rekonsiliasi obat sebelum proses identifikasi
“Medication reconciliation sangat penting dilakukan persepsi dilakukan. Sebagai akibatnya, seluruh
supaya dapat dipantau pemakaian obat pasien peserta menyatakan bahwa rekonsiliasi obat
sebelumnya dan bila dilakukan akan ada kerjasama merupakan aspek penting yang harus dilaksanakan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil proses rekonsiliasi obat dalam praktek kefarmasian
sebuah penelitian terpublikasi yang dilakukan mereka, sehingga konsep ideal dari rekonsiliasi
oleh Kennelty KA, et. al. [16]. Terdapat 10 orang obat telah terkonfirmasi secara berulang-ulang
apoteker yang bekerja di komunitas kota Wisconsin, dengan pengalaman nyata mereka.
Amerika Serikat, yang terlibat dalam penelitian Persepsi terhadap sesuatu merupakan salah
Kennelty KA, et. al. Secara global, apoteker dalam satu aspek penting pembentuk perilaku seseorang,
penelitian Kennelty KA, et. al. mempersepsikan termasuk perilaku dalam menjalankan rekonsiliasi
bahwa rekonsiliasi obat merupakan suatu proses obat. Terdapat banyak teori atau model yang
yang sulit untuk dilakukan dan membutuhkan mengungkapkan keterkaitan antara persepsi dan
investasi waktu yang lama untuk melakukannya. perilaku, antara lain: Health Believe Model (HBM),
Perbedaan persepsi antara apoteker dalam Theory of Planned Behaviour (TPB), Protection
penelitian ini dan penelitian yang dilakukan Motivation Theory (PMT) [17]. Theory of planned
oleh Kennelty KA, et. al. dapat disebabkan oleh behaviour merupakan salah satu teori yang paling
perbedaan “sumber informasi” terkait konsep banyak diaplikasikan dalam bidang kesehatan
rekonsiliasi obat dan intensitas paparan dengan [18,19,20]. Berdasarkan teori tersebut, terdapat
“sumber informasi” tersebut. Sumber informasi 3 domain aspek pembentuk perilaku dalam bidang
terkait rekonsiliasi obat pada penelitian ini adalah kesehatan, yaitu: attitude towards behavior, subjective
narasumber, yang dalam hal ini adalah anggota norm, dan behavioural control. Gambar 1 berikut
tim peneliti (ES), sedangkan, “sumber informasi” memaparkan hubungan antara ketiga domain
apoteker komunitas di Wisconsin, Amerika Serikat, tersebut dalam membentuk perilaku. Pada bagian
adalah pengalaman mereka sendiri. Narasumber kedua hasil penelitian ini akan dipaparkan hasil
dalam penelitian ini memaparkan bentuk ideal identifikasi kecenderungan peserta penelitian
rekonsiliasi obat beserta dengan manfaatnya yang terlibat dalam program rekonsiliasi obat, atau
belum tentu terkonfirmasi dengan pengalaman dalam bahasa perilaku kesehatan dapat diartikan
nyata peserta penelitian ini. Apoteker komunitas sebagai kecenderungan peserta menunjukkan
di Wisconsin, Amerika Serikat, telah melakukan perilaku menjalankan proses rekonsiliasi obat.
Gambar 1. Model untuk memprediksi perilaku: “Theory of planned behaviour”. Diadaptasi dari: Ogden J. 2007. Health psychology.
4th ed. Open University Press.
Bagian kedua: kecenderungan peserta penelitian terlibat terhadap kesembuhan pasien atau melakukan
dalam program rekonsiliasi obat pengobatan sebaik-baiknya”.
Hasil penelitian ini menunjukkan 1 dari 31 Pendapat kelima (lulus apoteker tahun 2002):
peserta penelitian tidak memberikan pernyataan “Bersedia sebagai bentuk tanggung jawab
yang jelas ketika ditanya tentang kesediannya profesionalitas”
untuk terlibat dalam proses rekonsiliasi obat.
Dari 30 peserta penelitian yang memberikan 2) Bersedia terlibat dengan alasan mendapatkan
pernyataan, seluruh peserta penelitian menyatakan penghargaan dari tenaga kesehatan lain.
bersedia untuk terlibat dalam proses rekonsiliasi Pendapat pertama (lulus apoteker tahun 2010):
obat. Beberapa pertimbangan yang mendasari “Bersedia, karena sebagai jembatan antara
peserta penelitian untuk bersedia terlibat dalam tenaga profesi kesehatan maupun jembatan antar
proses rekonsiliasi obat, adalah: 1) menunjukkan departemen di rumah sakit, sehingga dapat
profesionalitas apoteker sebagai tenaga kesehatan meningkatkan eksistensi apoteker di rumah sakit,
profesional, 2) mendapatkan penghargaan outcome yang dihasilkan lebih baik serta juga
dari tenaga kesehatan lain, 3) berkontribusi sebagai sarana pembelajaran apoteker sehingga
memberikan manfaat yang baik bagi pasien. Berikut bisa menjadi life long learner yang merupakan
merupakan beberapa kutipan yang membuktikan salah satu seven stars pharmacy”.
kecenderungan peserta penelitian untuk terlibat Pendapat kedua (lulus apoteker tahun 2004):
dalam proses rekonsiliasi obat beserta dengan “Bersedia, supaya apoteker exis dan apoteker/kita
alasannya: lebih dihormati tenaga kesehatan yang lain”.
Pendapat ketiga (lulus apoteker tahun 2004):
1) Bersedia terlibat dengan alasan menunjukkan “Bersedia karena selain bisa mengurangi risiko
profesionalitas apoteker sebagai tenaga kesehatan salah penggunaan obat, kita sebagai apoteker bisa
professional diakui keberadaannya”.
Pendapat pertama (lulus apoteker tahun 2001):
“Bersedia, karena sebagai apoteker yang telah 3) Bersedia terlibat dengan alasan dapat
disumpah harus siap dan harus bersedia melakukan berkontribusi memberikan manfaat yang baik bagi
rekonsiliasi obat supaya dapat melakukan pasien
pengobatan yang rasional”. Pendapat pertama (lulus apoteker tahun 2004):
Pendapat kedua (lulus apoteker tahun 2010): “Ya bersedia, karena dengan adanya program
“Ya bersedia, karena medication reconciliation medication reconciliation oleh apoteker maka
merupakan tanggung jawab dari seorang farmasis”. dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan
Pendapat ketiga (lulus apoteker tahun 2000): “Ya pada pasien dan mencegah terjadinya hal-hal yang
bersedia, apoteker bisa maksimal menjalankan membahayakan keselamatan jiwa dan yang tidak
profesinya bukan hanya sebagai penjual obat diharapkan pada pasien”.
atau meracik saja, apoteker dapat menjalankan Pendapat kedua (lulus apoteker tahun 2009):
prakteknya sesuai keilmuannya dan juga harus “Ya bersedia, untuk mengurangi atau mengatasi
sering memperdalami ilmunya sesuai profesinya”. kesalahan obat yang diberikan kepada pasien”.
Pendapat keempat (lulus apoteker tahun 2011) : Pendapat ketiga (lulus apoteker tahun 2009):
“Bersedia, karena sudah tugas dan tanggung jawab “Bersedia, karena untuk membantu pasien dalam
apoteker selaku tenaga kesehatan yang berorientasi proses penyembuhan penyakit”.
aspek tersebut, khususnya faktor-faktor yang 12. Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia.
(2009). Undang-undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009
berpotensi menghambat implementasi rekonsiliasi
tentang Kesehatan. Jakarta.
obat, diperlukan untuk menyempurnakan hasil 13. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri
penelitian ini. Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2014 tentang
standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan
program jaminan kesehatan. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA 14. Fishbein, M., & Ajzen, I., (1975). Belief, attitude, intention, and
behavior. Menlo Park, CA: Addison-Wesley.
15. Van Sluisveld, N., Zegers, M., Natsch, S., & Wollersheim, H.
1. Institute for Safe Medication Practices Canada. 2012. Potential
(2012). Medication reconciliation at hospital admission and
medication reconciliation indicators for public reporting in
discharge: insufficient knowledge, unclear task reallocation and
Ontario. Toronto
lack of collaboration as major barriers to medication safety. BMC
2. Vander Schrieck-de Loos, E., van Groenestijn, A., (2011). High 5's
health services research, 12(1), 170.
medication reconciliation SOP: international standard operating
16. Kennelty, K. A., Chewning, B., Wise, M., Kind, A., Roberts,
procedure for medication reconciliation in the Netherlands. KIZ
T., & Kreling, D. (2015). Barriers and facilitators of medication
Journal for Quality and Safety in Healthcare. 21,26-29.
reconciliation processes for recently discharged patients from
3. Kwan, J. L., Lo, L., Sampson, M., & Shojania, K. G. (2013).
community pharmacists' perspectives. Research in Social and
Medication reconciliation during transitions of care as a patient
Administrative Pharmacy, 11(4), 517-530.
safety strategy: a systematic review. Annals of internal medicine,
17. Ogden, J., (2007). Health psychology. 4th ed. Open University
158, 397-403.
Press.
4. Urban, R., Armitage, G., Morgan, J., Marshall, K., Blenkinsopp,
18. Blue, C. L. (2007). Does the Theory of Planned Behavior Identify
A., & Scally, A. (2014). Custom and practice: A multi-center
Diabetes?Related Cognitions for Intention to Be Physically Active
study of medicines reconciliation following admission in four
and Eat a Healthy Diet?. Public Health Nursing, 24(2), 141-150.
acute hospitals in the UK. Research in Social and Administrative
19. Widayati, A., Suryawati, S., de Crespigny, C., & Hiller, J. E.
Pharmacy, 10(2), 355-368.
(2015). Beliefs About the Use of Nonprescribed Antibiotics
5. Super, T. M., Phillips, S. W., Coffey, R. P., & Patterson, S. A.
Among People in Yogyakarta City, Indonesia A Qualitative Study
(2014). Impact of Pharmacist Facilitated Discharge Medication
Based on the Theory of Planned Behavior. Asia-Pacific Journal
Reconciliation. Pharmacy, 2(3), 222-230.
of Public Health, 27(2), 402-413.
6. Curatolo, N., Gutermann, L., Devaquet, N., Roy, S., & Rieutord,
20. Mirkuzie, A. H., Sisay, M. M., Moland, K. M., & Åstrøm, A. N.
A. (2015). Reducing medication errors at admission: 3 cycles
(2011). Applying the theory of planned behaviour to explain HIV
to implement, improve and sustain medication reconciliation.
testing in antenatal settings in Addis Ababa-a cohort study. BMC
International journal of clinical pharmacy, 37(1), 113-120.
health services research, 11(1), 196.
7. Buckley, M. S., Harinstein, L. M., Clark, K. B., Smithburger, P.
21. Boockvar, K. S., Santos, S. L., Kushniruk, A., Johnson, C., &
L., Eckhardt, D. J., Alexander, E., ... & Kane-Gill, S. L. (2013).
Nebeker, J. R. (2011). Medication reconciliation: barriers and
Impact of a clinical pharmacy admission medication reconciliation
facilitators from the perspectives of resident physicians and
program on medication errors in high-risk patients. Annals of
pharmacists. Journal of Hospital Medicine, 6(6), 329-337.
Pharmacotherapy, 47(12), 1599-1610.
22. Freund, J. E., Martin, B. A., Kieser, M. A., Williams, S. M., &
8. Eisenhower, C. (2013). Impact of pharmacist-conducted
Sutter, S. L. (2013). Transitions in care: medication reconciliation
medication reconciliation at discharge on readmissions of elderly
in the community pharmacy setting after discharge. Innovations
patients with COPD. Annals of Pharmacotherapy. 48,203-208.
in pharmacy. 4,1-6.
9. Leguelinel-Blache, G., Arnaud, F., Bouvet, S., Dubois, F.,
Castelli, C., Roux-Marson, C., ... & Kinowski, J. M. (2014). Impact
of admission medication reconciliation performed by clinical
pharmacists on medication safety. European journal of internal
medicine, 25(9), 808-814.
10. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2013
tentang pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan. Jakarta.
11. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014
tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Jakarta.