Air Borne Disease

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

Air Borne Disease

TUBERKULOSIS

1. DEFINISI
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyebab penyakit ini adalah bakteri
kompleksMycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae
dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputiM.
tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks
tersebut, M. Tuberculosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. Bakteri
ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru (90%) dibandingkan bagian
lain tubuh manusia (Masrin, 2008).

2. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan olehMycobacterium
tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.Mycobacterium
tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung
komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia.
Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain.
Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai
untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman
dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk
memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang
dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Jadi penularan TB
tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur. Setelah kuman TB
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari
paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.
Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer. Infeksi primer
terjadi saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui
saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan
oleh kuman TB yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya
infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan infeksi
primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh dapat
menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan
pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga
daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan.
Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa
gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah
dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Masa
inkubasi sekitar 6 bulan. Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya
kavitas atau efusi pleura. Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau tidak
menularkan kuman TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko .
Kemungkinan untuk terinfeksi TB, tergantung pada :
• Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
• Lamanya kontak dengan droplet nuklei tsb
• Kedekatan dengan penderita TB
Risiko terinfeksi TB sebagian besar adalah faktor risiko external, terutama adalah faktor
lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat & kumuh. Sedangkan risiko menjadi
sakit TB, sebagian besar adalah faktor internal dalam tubuh penderita sendiri yg disebabkan
oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi
HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya. Pada penderita TB
sering terjadi komplikasi dan resistensi.
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan kematian karena
syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial
3. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses
pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan
jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu perawatan di rumah sakit. Penderita TB paru
dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA Negatif) masih bisa mengalami batuk
darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini,
pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis. Bila
perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik. Resistensi terhadap OAT terjadi
umumnya karena penggunaan OAT yang tidak sesuai. Resistensi dapat terjadi karena
penderita yang menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Dapat
pula terjadi karena mutu obat yang dibawah standar.
Resistensi ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan
tidak lagi dapat membunuh kuman. Dampaknya, disamping kemungkinan terjadinya penularan
kepada orang disekitar penderita, juga memerlukan biaya yang lebih mahal dalam pengobatan
tahap berikutnya. Dalam hal inilah dituntut peran Apoteker dalam membantu penderita untuk
menjadi lebih taat dan patuh melalui penggunaan yang tepat dan adekuat.

3. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia tahun 2001 diperkirakan 582 ribu penderita baru atau 271 per 100 ribu
penduduk, sedangkan yang ditemukan BTA positif sebanyak 261 ribu penduduk atau 122 per
100 ribu penduduk, dengan keberhasilan pengobatan diatas 86 % dan kematian sebanyak 140
ribu. Jumlah penderita di Indonesia ini merupakan jumlah persentase ketiga terbesar di dunia
yaitu 10 %, setelah India 30 % dan China 15 %. Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of
Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %.
Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10
(sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari
keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka
diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun,
dimana 50 penderita adalah BTA positif.
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat penduduk,
ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait seperti masalah
kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kepadatan anggota keluarga, kepadatan
penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll. Sedangkan masalah perilaku
sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk sembarangan, kedekatan anggota
keluarga, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan kesehatan, antara
lain menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan mutu pelayanan
kesehatan. Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB adalah adalah adanya resistensi
dari kuman yang disebabkan oleh obat (multidrug resistent organism). Kuman yang resisten
terhadap banyak obat tersebut semakin meingkat.

4. GEJALA KLINIS
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih.Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat
juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai
tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskospis langsung (Depkes, 2008).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosa, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan
diagnosa dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu- pagisewaktu (S-P-S) (Depkes, 2008).
5. DIAGNOSIS
Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum atau dahak
secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen
SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan
dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang.
Pada orang dewasa, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam diagnosis, hal ini
disebabkan suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan Mycobacterium tubeculosis. Selain itu, hasil uji tuberkulin dapat negatif
meskipun orang tersebut menderita TB. Misalnya pada penderita HIV (Human
Immunodeficiency Virus), malnutrisi berat, TB milier dan morbili. Sementara diagnosis TB ekstra
paru, tergantung pada organ yang terkena.
Misalnya nyeri dada terdapat pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis
pada limfadenitis TB dan pembengkakan tulang belakang pada Sponsdilitis TB. Seorang
penderita TB ekstra paru kemungkinan besar juga menderita TB paru, oleh karena itu perlu
dilakukan pemeriksaan dahak dan foto rontgen dada.
Secara umum diagnosis TB paru pada anak didasarkan pada:
�� Gambaran klinik
Meliputi gejala umum dan gejala khusus pada anak.
�� Gambaran foto rontgen dada
Gejala-gejala yang timbul adalah:
• Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
• Milier
• Atelektasis/kolaps konsolidasi
• Konsolidasi (lobus)
• Reaksi pleura dan atau efusi pleura
• Kalsifikasi
• Bronkiektasis
• Kavitas
• Destroyed lung
�� Uji tuberkulin
Uji ini dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan dengan cara intra kutan) Bila uji tuberkulin
positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji
tuberkulin dapat negatif pada anak TB berat dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat,
pemberian imunosupresif, dan lain-lain).
�� Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan
indurasi > 5 mm, maka anak tersebut telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
�� Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis lansung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan
lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan serologis
sepertiELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
pemakaian dalam klinis praktis.
�� Respons terhadap pengobatan dengan OAT
Kalau dalam 2 bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis, akan menunjang atau
memperkuat diagnosis TB.
6. PENGENDALIAN
Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan berbagai
upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (DirectlyObserved Treatment
Shortcourse). World Health Organization (WHO) merekomendasikan 5 komponen strategi
DOTS yakni :
�� Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan
dana)
�� Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
�� Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)
�� Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
�� Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi
penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah :
1) Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi
2) Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
penularan.
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama
adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai
ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau
menghilangkan faktor risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku
dan lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari,
mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari
meludah sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik
dan seimbang. Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan penyuluhan..
Penyuluhan TB dilakukan berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat.
Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peranserta
masyarakat dalam penanggulangan TB.
Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk; 1) menyembuhkan penderita
sampai sembuh, 2) mencegah kematian, 3) mencegah kekambuhan, dan 4) menurunkan
tingkat penularan.

7. PRINSIP PENGOBATAN
Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip
yang dipakai adalah :
- Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
- Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
- Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
�� Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
�� Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
�� Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
�� Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
�� Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pengobatan Penyakit Tuberkulosis paru
Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat dan dosis yang digunakan untuk TB paru
sebagaimana tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1
Jenis, sifat dan dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis (mg/kg) Dosis (mg/kg)
harian 3 × seminggu
Isoniasid ( Bakterisid 5 10
H) (4-6 ) ( 8-12 )
Rifampicin ( Bakterisid 10 10
R) ( 8 -12 ) ( 8 -12 )
Pyrazinamid Bakterisid 25 35
(Z) ( 20-30 ) ( 30-40 )
Steptomycin Bakterisid 15 -
(S) ( 12-18 )
Etambutol ( Bakteriostatik 15 30
E) ( 15-20 ) ( 20-35 )
(Depkes,2008)

Pengobatan TB paru menurut Depkes RI (2002) dilakukan dengan prinsip-prinsip


sebagai berikut :
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai kategori pengobatan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh
seorang Pengawas Menelan Obat ( PMO ).
3) Pengobatan TB paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal ( intensif ) dan lanjutan.
Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan efek samping baik yang
bersifat ringan maupun yang berat. Tabel 2 menjelaskan efek samping OAT dari yang ringan
maupun berat dengan pendekatan gejala.
Tabel 2
Efek samping ringan OAT
Efek Samping Penyebab
Tidak ada nafsu makan Rifampicin
Nyeri sendi Pyrazinamid
Kesemutan s/d rasa INH
terbakar di kaki
Warna kemerahan pada Rifampisin
seni ( urine )

(Depkes,2008)
Tabel 3
Efek samping berat OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petujuk pelaksanaan
kulit dibawah
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
sampai ikterus menghilang
Bingung dan muntah - Hampir semua OAT Hentikan semua OAT,
muntah (permulaan ikterus segera lakukan tes fungsi
karena obat) hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan rejatan (syok ) Rifampisin Hentikan Rifampisin
(Depkes,2008)

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit” dilakukan
dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara dapat diberikan anti
histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal – gatal tersebut pada
sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi kemerahan kulit.
Bila keadaan seperti ini terjadi maka OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu
sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien
perlu dirujuk. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau
karena kelebihan dosis (Depkes, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
1. ___________ Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Tuberkulosa Paru untuk Kader,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1990, Jakarta, hal 1-11.
2. __________ Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, Depkes RI, Sagung Seto, 2000,
hal 234-242.

EKA LUVITA SARI


Reguler 2 2009
E2A009159
FKM UNDIP

Diposting oleh Eka Luvita


Sari di 19.43
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!

You might also like