Lapsus Abses Hepar 1
Lapsus Abses Hepar 1
Lapsus Abses Hepar 1
ABSES HEPAR
Oleh :
Lina Nadzivah
10542 0390 12
Pembimbing :
dr. Ratni Rahim, Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh kerena
infeksi bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam
parenkim hati.1 Penyakit ini telah ditemukan sejak zaman Hipocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.2
Abses hepar merupakan penyakit serius dengan angka kematian sekitar
60 – 80% sehingga membutuhkan diagnosis dan tatalaksana yang cepat.2,3 Abses
hepar terbagi dua secara umum, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal
yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP
dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of
the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang.1
Di negara-negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. Daerah endemik AHA seperti
Thailand, India, Mesir, dan Afrika Selatan.4 AHP tersebar diseluruh dunia dan
terbanyak di daerah tropis dengan kondisi higiene/sanitasi yang kurang. AHP lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan wanita, dengan rentang usia berkisar lebih
dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke-6.1
Untuk menegakkan diagnosis abses hepar ini selain pemeriksaan fisik dan
gejala klinik dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan
pemeriksaan radiologi. Modalitas radiologi yang digunakan berupa ultrasound dan
computed thomography (CT).3 Ultrasonografi mempunyai tingkat keakuratan yang
tinggi untuk menegakkan diagnosis abses hepar. Meskipun mempunyai tingkat
keakuratan yang lumayan tinggi tetapi sangat sulit untuk membedakan antara abses
hepar piogenik dengan amoebik.
Penyakit ini memiliki prognosis yang buruk apabila terjadi keterlambatan
diagnosis dan pengobatan.1 Dengan adanya perkembangan teknik radiologi yang
baru, perbaikan dalam identifikasi mikrobiologis, kemajuan teknik drainase, serta
1
peningkatan perawatan suportif, telah mengurangi angka kematian sebesar 5 – 30%.
Akan tetapi, prevalensi abses hepar relatif tidak berubah. Jika tidak diobati,
penyakit ini dapat berakibat fatal.2
2
BAB II
ABSES HEPAR
A. DEFINISI
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh kerena
infeksi bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam
parenkim hati.1
B. EPIDEMIOLOGI
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang.
Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan
perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi
autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 –
0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan
rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke
– 6.1
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita.3
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati
di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit
di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia
menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang
tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan
dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria
3
dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar
antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi
E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal
dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. 1,3
C. ETIOLOGI
1. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit
non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya
virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan
kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.2
Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang
mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk
parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki
organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang
merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil
yang biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara
membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan
hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak
penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim
pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang
berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif
bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase
dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk
tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri
tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja.2
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan
dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung
4
dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang
dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista berbentuk
bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini dipercepat
dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas media.3
D. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik
yang lebih berat dari abses hati amuba, terutama demam yang dapat intermitten,
remitten atau kontinyu yang disertai menggigil. Keluhan lain berupa sakit perut,
mual, muntah, lesu, dan berat badan menurun. Dapat juga disertai batuk, sesak
napas, dan nyeri pleura. Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan pasien yang
septik disertai nyeri perut kanan atas dan hepatomegali yang nyei tekan. Kadang-
kadang disertai ikterus karena adanya penyakit bilier seperti kolangitis.4,5
Pada amubiasis hati gejala klinis yang klasik dapat berupa demam, nyeri
perut kanan atas, hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
gejala komplikasi. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dan timbul perlahan.5
5
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan abses hepar adalah dengan antibiotika yang pada terapi
awal digunakan penisilin. Selanjutnya dikombinasikan antara ampisilin,
aminogliksida, atau sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazole.
Jika dalam waktu 48-72 jam, belum ada perbaikan klinis dan laboratoris, maka
antibiotika yang digunakan dapat diganti dengan antibiotika yang sesuai dengan
hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan secara parenteral dapat
dirubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama 10-14 hari, dan
kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian.1,2
F. PROGNOSIS
Prognosis dari abses hepar dipengaruhi berbagai faktor. Pada kasus AHA,
sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole dan
kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas
menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan
pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang
membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan
umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis
atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh
virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan
terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium.3,5
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob,
pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah.
Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya
komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus
atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan
sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura
atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit
6
penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan
sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang
sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk
apabila terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses,
adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. 4,5
7
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. K
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Usia : 39 tahun
4. Alamat : Bonto Bola
5. Status : Menikah
6. Pekerjaan : Tukang Batu
7. Suku : Makassar
8. Tanggal MRS : 03 April 2017
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri perut kanan atas
Anamnesis terpimpin :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang
dialami sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri terasa
seperti tertusuk-tusuk dan tembus ke belakang. Pasien merasa sangat
kesakitan bahkan hanya dengan sedikit gerakan dan sentuhan pada bagian
perut kanan atas. Mual dan muntah tidak ada. Pasien juga demam, turun
dengan minum obat penurun panas. Batuk tidak ada. Pasien terkadang
merasakan sesak dan lemas. Nafsu makan berkurang, BAB belum sejak 4
hari, BAK lancar berwarna kuning.
RPS :
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya tidak ada,
Riwayat penyakit kuning sebelumnya disangkal
Riwayat minum-minum alcohol tidak ada
Riwayat minum jamu-jamuan disangkal
C. KEADAAN UMUM
Sakit (Ringan/Sedang/Berat)
Kesadaran (Composmentis/Uncomposmentis)
8
Hygiene (Buruk/Sedang/Baik)
Status Gizi (Underweight/Normal/Overweight/Obesitas I/Obesitas
Tanda vital :
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
1. Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, tebal, tidak rontok
Simetris : Kiri - Kanan
Deformitas : -
2. Mata
Eksoptalmus/enoptalmus : -
Konjungtiva : Anemis (-/-),
Sklera : Ikterus (-/-), perdarahan (-)
Pupil : Bulat Isokor kiri-kanan
3. Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Nyeri tekan : (-/-)
4. Hidung
Bentuk : Simetris
Perdarahan : -
5. Mulut
Bibir : Kering (+), pecah-pecah, sianosis (-),
Lidah kotor : (-)
Caries gigi : -
6. Leher
Inspeksi : Simetris
9
Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
DVS : R-4 cm
7. Kulit
Hiperpigmentasi :-
Ikterus :-
Petekhie :-
Sianosis :-
Pucat :+
8. Thorax
Inspeksi : Dada simetris kiri – kanan, Iktus cordis tidak
tampak
Palpasi : Vocal fremitus sama kiri - kanan
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-)
9. Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternalis kanan,
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis kiri,
Batas atas : ICS II linea parasternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop
(-)
10. Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, mengikuti gerak napas, tidak ada
tanda- radang, benjolan (-), caput medusae (-)
Palpasi : Hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (+)
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Thympani, asites (-)
10
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
11. Punggung
Tampak dalam batas normal
Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang
12. Genitalia
Tidak dievaluasi
13. Ekstremitas atas dan bawah
Pitting edema kedua extremitas inferior (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin
04 Maret 2017 (Laboratorium Klinik RSUD SYEKH YUSUF)
11
- Tidak tampak inflamasi Appendiks
Kesan:
Sangat mungkin Abses multiple hepar
E. DIAGNOSIS KERJA
F. PLANNING
Pengobatan :
- Diet lunak
- IVFD RL: Dextrose 5% 2:1 28 tpm
- Inj. Metronidazole amp/8jam/iv
- Inj. Dexamethason amp/8jan/iv
- Paracetamol /8jam/drips
- Curcuma 3x1
G. PROGNOSIS
Dubia et bonam
12
H. FOLLOW UP PASIEN
13
Nyeri tekan
hipokondrium (+) dan
epigastrium (-), nyeri
tekan regio abdomen
lainnya (-),
Ekstremitas: edema -/-
A: Abses Hepar
14
Massa Tumor (-)
Nyeri Tekan
hipokondrium (+) dan
epigastrium (-), nyeri
tekan regio abdomen
lainnya (-),
Ekstremitas: edema -/-
A: Abses Hepar
15
Massa Tumor (-)
Nyeri Tekan hipokondrium
(+) dan epigastrium (-), nyeri
tekan regio abdomen lainnya
(-),
Ekstremitas: edema -/-,
A: Abses Hepar
16
Massa Tumor (-)
Nyeri tekan perut kanan
atas (+) dan epigastrium
(-), nyeri tekan regio
abdomen lainnya (-),
Ekstremitas: edema -/-,
A: Abses Hepar
17
Lien tidak teraba
Massa Tumor (-)
Nyeri tekan perut kanan
atas (+) berkurang dan
epigastrium (-), nyeri
tekan regio abdomen
lainnya (-),
Ekstremitas: edema -/-
A: Abses Hepar
O: SS/GC/CM
anemis (-) ikterus (-) sianosis
(-)
Paru : BP: vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/-,
Cor : BJ I/II murni, regular
Abdomen :
Peristaltik (+) kesan
normal
Hepar teraba 2 jari di
bawah Arcus Costa,
permukaan fluktuatif,
18
konsistensi lunak, tepi
reguler, nyeri tekan (+)
Lien tidak teraba
Massa Tumor (-)
Nyeri Tekan perut kanan
atas (+) dan epigastrium
(-), nyeri tekan regio
abdomen lainnya (-),
Ekstremitas: edema -/-
A: Abses Hepar
I. RESUME
Pasien laki-laki berusia 39 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri
perut kanan atas yang dialami sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk dan tembus ke belakang. Pasien merasa sangat
kesakitan bahkan hanya dengan sedikit gerakan dan sentuhan pada bagian perut
kanan atas. Mual dan muntah tidak ada. Pasien juga demam, turun dengan minum
obat penurun panas. Batuk tidak ada. Pasien terkadang merasakan sesak dan lemas.
Nafsu makan berkurang, BAB belum sejak 4 hari, BAK lancar berwarna kuning.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi cukup, dan
kesadaran composmentis. Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 84x/menit dan
regular, suhu 38,1 0C, pernapasan 22 x/menit. Pada pasien ini tidak ditemukan
adanya ikterus. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan peristaltik (+) kesan
normal, nyeri tekan hipokondrium kanan (+), hepar teraba 2 jari di bawah arcus
costa, permukaan rata, konsistensi lunak, tepi reguler, nyeri tekan (+), lien tidak
teraba, massa tumor (-).
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan ada leukositosis (WBC :
21,6x103/uL) dan peningkatan enzim transaminase (SGOT 58 u/l, dan SGPT 73
u/l). Didapatkan pula HbsAg dan anti-HCV negatif. Pada pemeriksaan USG
19
abdomen didapatkan hasil multiple massa pada lobus kanan hepar sesuai gambaran
abses.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka diagnosis dari pasien ini adalah abses hepar.
20
BAB IV
PEMBAHASAN
21
hati piogenik (AHP). Gold standar untuk diagnosis AHA dan AHP adalah dengan
menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi.
Kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan
sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati
didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif
menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada
awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain hemaglutination
(IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok
untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar.
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati
seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase,
serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin
yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah
yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan
diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit
sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram
negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp,
Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah dengan pemerian antibiotik
parenteral spektrum luas yang secara empiris mampu mematikan bakteri gram
negatif, bakteri anaerob dan streptococcus. Antibiotik yang diberikan yaitu
cefoperazone dan metronidazole yang merupakan drug of choice. Dosis yang
dianjurkan 4 x 750 mg atau 4 x 500 mg selama lima sampai sepuluh hari. Sembilan
puluh lima persen abses amuba tanpa komplikasi membaik dengan pemberian
metronidazol. Gejala klinis biasanya membaik dalam waktu 24 jam. Terapi
metronidazol yang adekuat menyembuhkan 90% kasus. Dosis perlu diperhatikan,
karena metronidazol yang lebih rendah memudahkan terjadinya relaps.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Hal ini dikarenakan
pasien yang masih berusia muda dengan keadaan umum baik tanpa adanya
22
komplikasi. Prognosis dari abses hepar dipengaruhi berbagai faktor. Pada kasus
AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole dan
kloroquin, mortalitas menurun tajam. Kematian yang tinggi disebabkan keadaan
umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis
atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh
virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan
terdapatnya komplikasi.
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob,
pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah.
Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya
komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus
atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan
sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura
atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit
penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan
sirosis hati.
23
BAB V
KESIMPULAN
Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan bakteri, jamur,
maupun nekrosis steril yang dapat masuk melalui kandung kemih yang terinfeksi
dan infeksi dalam perut lainnya. Abses hati dibedakan menjadi 2 yaitu abses hati
amebik dan abses hati piogenik. Adapun gejala-gejala yang sering timbul
diantaranya demam tinggi, nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, hepatomegali,
ikterus.
Penentuan diagnosis dari abses hepar yaitu melalui pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, dan laboratorium. Sedangkan, gold standar untuk
diagnosis AHA dan AHP adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada
pemeriksaan kultur hasil aspirasi. Terapi yang diberikan adalah antibiotika
spektrum luas.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman, Ali. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi Pertama. Jakarta : 2012.
Hal 499-450
2. Kumar, V. Robbins & Cotran Dasar Patologis Penyakit. Buku Kedokteran
EGC. Edisi 7. Jakarta : 2009. Hal 324-325
3. Kumar V, dkk. Buku Ajar Patologi. Buku Kedokteran EGC. Edisi 7. Jakarta :
2007. Hal 664.
4. Chandrasoma, Prakrama. Ringkasan Patologi Anatomi. Buku Kedokteran
EGC. Edisi 2. Jakarta : 2005. Hal : 589
5. McKaigney, Conor, Queen’s University, Department of Emergency Medicine,
Kingston, Ontario, Canada; Denver Health Medical Center, Denver, Colorado.
Hepatic Abscess: Case Report And Review. Canada : 2013. Page 154-157
25