Devia Arda
Devia Arda
Devia Arda
Oleh :
Devia Arda, ST, MM
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki etnis yang beranekaragam dimana akan menghasilkan
sebuah tatanan kemasyarakatan yang heterogen. Penelitian pengelolaan
1
keanekaragaman budaya bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam pola
hubungan sosial antar etnik di Indonesia. Berusaha untuk menemukan berbagai
faktor yang memungkinkan dapat dijadikan rujukan dalam rangka membangun
hubungan antar etnik. Selain itu, penelitian ini mengkaji strategi adaptasi
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan masing-masing latar belakang
budaya yang berbeda.
Latar belakang kultural yang diartikan sebagai budaya membentuk ciri
pribadi dari setiap individu. Ciri pribadi mencakup pola pikir, perasaan dan
tingkah laku, melahirkan sebuah konsep-konsep, sikap dan ide tertentu sehingga
membedakan antara satu anggota dari kelompok budaya tertentu dengan
kelompok budaya lainnya (Mead, 1990).
Pengaruh nilai-nilai yang diperoleh individu dari lingkungan budayanya
terhadap perilaku individu tergambar pula pada perilaku manusia pada ruang
lingkup yang lebih luas yaitu sebagai tenaga kerja dalam organisasi (Hofstede dan
Hofstede, 2005).
Berdasarkan hal tersebut, maka pemahaman akan profil budaya tertentu
dalam hal ini nilai-nilai budaya sangat penting, melihat pengaruhnya pada sumber
daya manusia yang ada di dalam organisasi. Nilai-nilai budaya yang berbeda pada
setiap pekerja dengan latar belakang budaya yang berbeda memberikan perbedaan
pada persepsi, nilai, sikap, keyakinan, kecenderungan yang dimiliki setiap pekerja
(Robbins, 2001).
Dalam upaya memahami berbagai perbedaan nilai pada suatu lingkungan,
Hofstede (Hofstede & Hofstede, 2005) melakukan penelitian terhadap karyawan
suatu perusahaan multinasional dari berbagai negara dengan budaya yang
berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat lima nilai budaya yaitu
power distance, uncertainty avoidance, individualism-collectivism, masculinity-
feminity dan long term-short term orientation. Nilai budaya tersebut berbeda pada
setiap negara, sesuai dengan budaya masing-masing (Hofstede & Hofstede, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Hofstede (Hofstede & Hofstede, 2005),
Indonesia berada di peringkat ke-15 dari 74 negara sebagai negara di Asia dengan
tingkat nilai budaya jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi selain Malaysia
2
dan Filipina. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia mengharapkan
dan menerima pembagian kekuasaan di Indonesia tersebar tidak merata. Namun
perlu digarisbawahi bahwa penelitian Hofstede (Hofstede & Hofstede, 2005)
bersifat menggeneralisasikan masyarakat Indonesia kedalam lima budaya. Apabila
dikaitkan dengan Berry, Segall dan Kagitcibasi (1997) individu yang berada
dalam satu negara biasanya memang menganut nilai-nilai yang sama. Namun,
pada negara yang memiliki berbagai kelompok etnis/suku bangsa seperti halnya
Indonesia, nilai-nilai yang dianut individu akan lebih ditentukan oleh kelompok
etnis/suku bangsanya sendiri. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan pemahaman
akan nilai budaya yang dianut pada berbagai suku bangsa di Indonesia.
Penelitian ini mengamati perbedaan budaya antara karyawan perusahaan
manufaktur di Jawa Tengah dan karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Barat
berdasarkan nilai skor yang dilakukan oleh Hofstede. Dasar dari penelitian ini
adalah penelitian Hofstede (2010) yang berjudul Comparing Regional Cultures
Within A Country : Lessons From Brazil yang menemukan bahwa terdapat
perbedaan budaya antar negara bagian (setingkat provinsi) di negara Brazil. Jadi,
apabila di negara yang beranekaragam budayanya, terdapat variasi budaya antar
region yang penting untuk diperhatikan. Selama ini, Hofstede (1980) hanya
menyajikan 1(satu) skor nilai budaya di Indonesia yang bersumber dari
penelitiannya tahun 1980. Disebutkan bahwa Indonesia memiliki high power
distance, high collectivism, low masculinity, long term orientation dan low
uncertainty avoidance. Namun, terinspirasi dari riset Hofstede et al tahun 2010 di
Brazil, penelitian ini juga ingin mengetahui apakah terdapat fenomena serupa di
Indonesia yang memiliki 34 provinsi. Di pulau Jawa, terdapat dua etnis yang
menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai etnis terbesar di Indonesia, yaitu
Jawa dan Sunda. Sayangnya, informasi terhadap kedua etnis ini hanya sebatas
pada informasi mengenai budaya yang ditulis berdasarkan pendapat dari para
antropolog dan sosiolog (contoh: Koentjaraningrat). Informasi lebih jauh
mengenai apa pengaruh budaya Jawa dan Sunda dalam kaitannya dengan
manajemen sangat perlu untuk meningkatkan intercultural
competence perusahaan di Indonesia.
3
Dalam penelitian ini menggunakan dimensi budaya Hofstede untuk
menguji hubungan antara 7 dimensi budaya yaitu : Jarak kekuasaan (Power
Distance), Individualisme vs. Kolektivitas, Maskulinitas vs. Feminitas,
Uncertainty Avoidance, Orientasi jangka panjang vs. Orientasi jangka pendek,
Pengikutsertaan (indulgence) vs Pengekangan (restraint), Monumentalism vs Self
Effacement pada karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah dan di Jawa
Barat.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah ada perbedaan budaya antara karyawan perusahaan manufaktur di
Jawa Tengah dan di Jawa Barat?
2. Bagaimana skor nilai budaya nasional Hofstede dalam budaya karyawan
perusahaan manufaktur di Jawa Tengah?
3. Bagaimana skor budaya nasional Hofstede dalam budaya karyawan
perusahaan manufaktur di Jawa Barat?
TELAAH PUSTAKA
Budaya
Hofstede menyatakan bahwa budaya merupakan sebuah program kolektif
yang berada dalam pikiran anggota suatu masyarakat tertentu yang
membedakannya dengan kelompok masyarakat lain (Hofstede & Hofstede, 2010).
Lebih lanjut, Shiraev & Levy (2004) menyatakan bahwa budaya merupakan suatu
sikap, tingkah laku dan simbol yang diturunkan dari suatu generasi ke generasi.
Dan definisi yang saling melengkapi tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya
merupakan sebuah program kolektif berupa sikap, tingkah laku dan simbol yang
terdapat dalam pikiran suatu masyarakat tertentu yang dibagi dan diturunkan dari
generasi ke generasi, sehingga membedakannya dari kelompok masyarakat yang
lain. Budaya diperoleh dari lingkungan sosial seseorang bukan didapat dari
keturunan. Oleh karena itu, budaya merupakan sesuatu hal yang dipelajari dan
bukan bawaan dari lahir.
4
Budaya Nasional
Budaya nasional dalam praktek manajemen, apabila tidak sesuai dengan
budaya nasional yang telah dipercaya dan dianut, karyawan akan merasa tidak
enak, tidak puas, tidak berkomitmen dan tidak menyukai. Karyawan akan merasa
tidak suka atau terganggu bila diminta oleh manajemen untuk bertindak yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai budayanya.
Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan untuk menganalisis
variasi kultur dibuat pada tahun 1970-an, Hofstede melakukan penelitian
komprehensif di lebih dari lima puluh negara untuk meneliti struktur budaya tiap
negara (Hofstede, 2010). Penelitian Hofstede menghasilkan empat dimensi
budaya, yaitu individualisme/kolektivitas, jarak kekuasaan lebar/jarak kekuasaan
pendek, penghindaran ketidakpastian kuat/penghindaran ketidakpastian lemah,
dan maskulinitas/feminitas. Pada tahun 1988, Hofstede memasukkan dimensi ke
lima, yaitu orientasi jangka pendek/orientasi jangka panjang berdasarkan
penelitian terhadap nilai-nilai yang berlaku di China, menemukan bahwa negara-
negara Asia dengan hubungan yang kuat dalam filsafat Konfusianisme berbeda
dari budaya barat (Hofstede, 2010). Kerangka struktur nilai budaya Hofstede
sedikit banyak menunjukkan nilai budaya universal yang ada untuk tiap
masyarakat dan negara.
Pada tahun 2008, Hofstede merilis Value Survey Module (VSM 08)
dengan tambahan dua dimensi yang berasal dari Michael Minkov (Hofstede,
Hofstede, Minkov & Vinken, 2008, hal 2) yaitu dimensi monumentalism vs
konsistensi diri (self effacement) dan dimensi Pengikutsertaan (Indulgence) vs
pengekangan (Restraint).
5
Jarak kekuasaan (power distance) adalah sejauh mana para anggota yang
kurang berkuasa dalam organisasi dan institusi meerima bahwa kekuasaan
didistribusikan secara tidak merata. Hal ini mencerminkan dari anggota yang
kurang berkuasa dalam masyarakat maupun mereka yang mempunyai kekuasaan
lebih.
6
Long Term Orientation (LTO)
Hofstede dan Bond (1988) mengembangkan satu dimensi lagi yang disebut
Confusian Dynamism seperti orientasi waktu, kebenaran, kehati-hatian dan
hemat. Dengan kata lain dimensi ini melihat dari perspektif waktu yakni
bagaimana masyarakat memahami waktu secara berbeda-beda. Sebagian
masyarakat berorientasi terhadap masa lalu, masa kini dan masa depan. Dimensi
konfusianisme kemudian berganti nama menjadi Long Term Orientation yang
memberikan penjelasan mengenai kecenderungan masyarakat untuk lebih
memperhatikan pada jangka panjang atau jangka pendek dalam kehidupan
mereka.
Orientasi jangka panjang (LTO) mengembangkan kebaikan-kebaikan
dengan orientasi reward di masa mendatang dalam bentuk ketekunan dan
penghematan. Sebaliknya, orientasi jangka pendek, mewakili mengembangkan
kebaikan-kebaikan berhubungan dengan masa lalu, menghormati tradisi,
pemeliharaan citra diri dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial (Hofstede,
2005, p.239).
Indulgence vs Restrain
Indulgence diartikan sebagai masyarakat yang memberikan kebebasan
mengekspresika hasrat dan perasaan, terutama yang terkait dengan kesenangan,
hubungan persahabatan, berbelanja, konsumsi dan juga seks. Lawan dari
indulgence adalah restraint, dimana masyarakat tidak dapt merasa bebas untuk
menikmati hidup mereka, karena terikat dengan aturan-aturan seperti adat, agama.
Tentunya, bagi masyarakat kita, agama adalah sebuah hal penting yang tidak
dapat diabaikan begitu saja.
7
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini ditulis dengan tujuan meneliti apakah ada perbedaan budaya
antara karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah dan perusahaan
manufaktur di Jawa Barat dilihat dari dimensi budaya yang dikembangkan oleh
Hofstede yaitu Jarak kekuasaan (Power Distance), Individualisme vs.
Kolektivitas, Maskulinitas vs. Feminitas, Uncertainty Avoidance, Orientasi jangka
panjang vs. Orientasi jangka pendek, Pengikutsertaan (indulgence) vs
Pengekangan (restraint), Monumentalism vs Self Effacement.
Peneliti menggunakan rumus indeks (VSM08) yang dikembangkan oleh
Hofstede untuk mengevaluasi masing-masing dimensi.
Karakteristik Responden
Pada penelitian ini disebarkan pada 60 karyawan perusahaan manufaktur
yang ada di Jawa Tengah dan 60 karyawan perusahaan manufaktur yang ada di
Jawa Barat yang memiliki karakteristik responden penelitian yang telah
ditentukan yaitu :
1. Karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dalam hal ini karyawan merupakan penduduk asli / lahir di Jawa
Tengah ataupun Jawa Barat dan mengidentifikasikan dirinya sebagai
8
suku sunda atau jawa sehingga dapat memahami nilai-nilai budaya
suku tersebut.
2. Responden merupakan karyawan yang telah bekerja di perusahaan
manufaktur di Jawa Tengah ataupun di Jawa Barat minimal 3 tahun.
3. Responden merupakan karyawan yang berlatar belakang pendidikan
minimal D3.
9
Long Term Orientation Index (LTO)
40(m18 m15) + 25(m28 m25) + C(ls)
Indulgence versus Restraint Index (IVR)
35(m12 m11) + 40(m19 m17) + C(ir)
Monumentalism Index (MON)
35(m14 m13) + 25(m22 m21) + C(mo)
Dimensi Individualism
Perusahaan di Jawa Tengah - Perusahaan di Jawa Barat -
IDV IDV
IDV = 35(m04 m01) + IDV = 35(m04 m01) +
35(m09 m06) + C(ic) 35(m09 m06) + C(ic)
IDV = 35 (1,55 1,87) + 44,05 IDV = 35 (1,73 2,17) + 32,85
35(2,25 2,1) + 50 35(2,27 2,32) + 50
10
Dimensi Masculinity
Perusahaan di Jawa Tengah - Perusahaan di Jawa Barat -
MAS MAS
MAS = 35(m05 m03) + MAS = 35(m05 m03) +
35(m08 m10) + C(mf) 35(m08 m10) + C(mf)
11
Dimensi Indulgence vs Restrain
Perusahaan di Jawa Tengah - Perusahaan di Jawa Barat -
IVR IVR
IVR = 35(m12 m11) + IVR = 35(m12 m11) +
40(m19 m17) + C(ir) 40(m19 m17) + C(ir)
IVR = 35(2,97 2,62) + 40(3,1 IVR = 35(2,9 2,9) + 40(3,08
111,45 94,4
1,87) + 50 1,97) + 50
Dimensi Monumentalism
Perusahaan di Jawa Tengah - Perusahaan di Jawa Barat -
MON MON
MON = 35(m14 m13) + MON = 35(m14 m13) +
25(m22 m21) + C(mo) 25(m22 m21) + C(mo)
12
untuk dimensi Power Distance Index (PDI) dan Long Term Orientation (LTO)
perbedaan nilai budaya relatif kecil.
Bila hasil penelitian ini dibandingkan dengan skor IBM pada penelitian
Hofstede tahun 1980, ada beberapa skor nilai dimensi yang berbeda yaitu dimensi
: Power Distance Index (PDI), Individualism Index (IDV), Masculinity Index
(MAS), dan Uncertainty Avoidance Index (UAI). Sedangkan untuk dimensi Long
Term Orientation (LTO) dan Indulgence vs Restrain (IVR) perbedaannya sangat
kecil. Dimensi yang ke-7 yaitu Monumentalism Index (MON) tidak dapat
dibandingkan, karena Hofstede belum pernah melakukan penelitian dimensi
tersebut di Negara Indonesia.
Berikut ini akan dijelaskan secara rinci ringkasan mengenai nilai-nilai
budaya antara karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah dan Jawa Barat,
juga perbedaan bila dibandingkan dengan penelitian Hofstede (1980) di Indonesia.
13
1980 merupakan karyawan di perusahaan IBM di Indonesia, dan penelitian ini
karyawan perusahaan manufaktur (mayoritas sarjana) dan hanya mengambil
responden di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kedua, mungkin karena
perkembangan globalisasi yang cepat berpengaruh terhadap hubungan antara
atasan-bawahan dan teknologi saat ini mengacu pada pembentukan masyarakat
yang semakin mengurangi kontak fisik antara manusia.
Berdasarkan nilai power distance pada penelitian ini, model masyarakat
Indonesia terutama di Jawa Tengah dan Jawa Barat menganggap hubungan antara
atasan dan bawahan mirip dengan hubungan antara orang tua dan anak. Bawahan
menjalani hubungan vertikal dengan anak, pimpinan dianggap sebagai Bapak dan
karyawan (bawahan) dianggap sebagai anak. Jadi dalam hubungan kerja atasan
dan bawahan, bukan hanya profesionalitas kerja yang perlu dilakukan namun
kesantunan dalam bersikap (tata krama) juga merupakan suatu keharusan. Dalam
masyarakat dengan power distance tinggi, gelar-gelar akademis, keagamaan dan
penghormatan lain merupakan sesuatu yang penting. Hal tersebut menunjukkan
siapa orang tersebut dan apa yang telah dicapai oleh orang tersebut.
Pola hubungan kerja berawal dari pendidikan di rumah dan di sekolah.
Dalam adat Indonesia, kebiasaan anak di rumah untuk mencium tangan orang tua
sebelum pergi dan pulang dari segala kegiatan di luar rumah. Hormat pada orang
yang lebih tua merupakan ajaran dalam kehidupan sehari-hari sehingga untuk
mendengarkan nasehat orang yang lebih tua merupakan hal penting sebelum
melakukan kegiatan yang dianggap penting. Kebiasaan tersebut diterapkan juga di
hubungan kerja, misalnya seorang pimpinan pasti akan dipanggil Bapak atau Ibu
oleh bawahannya, meskipun usianya jauh lebih muda. Kebiasaan tersebut tidak
akan terjadi pada negara-negara Barat yang memiliki power distance rendah,
dimana mereka menyebut nama langsung pada atasannya.
Dalam penelitian ini, power distance karyawan perusahaan manufaktur di
Jawa Tengah lebih tinggi daripada karyawan perusahaan manufaktur di Jawa
Barat namun tidak setinggi nilai PDI masyarakat Indonesia tahun 1980. Tetapi
dapat disimpulkan bahwa karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah dan
Jawa Barat merupakan masyarakat yang memiliki power distance tinggi.
14
Individualism (IDV)
Pada perhitungan dimensi ini, dapat disimpulkan bahwa karyawan
perusahaan manufaktur di Jawa Barat lebih kolektivis dibandingkan dengan
karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah. Hal tersebut dilihat dari
indikator memiliki cukup waktu luang untuk diri sendiri/ keluarga. Karyawan
perusahaan manufaktur di Jawa Barat menganggap hal tersebut adalah penting,
sedangkan untuk karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah menganggap
hal tersebut adalah sangat penting. Meskipun hasil skor karyawan perusahaan
manufaktur di Jawa Tengah dan Jawa Barat masuk dalam kategori kolektivis,
namun karyawan dan manajer perusahaan di Jawa Barat memiliki kolektivisme
yang tinggi dibandingkan karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah.
Skor dimensi individualism pada penelitian Hofstede tahun 1980 pada
masyarakat Indonesia (14) menunjukkan kolektivisme yang kuat. sedangkan skor
penelitian karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah (44,05) dan
karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Barat (32,85). Meskipun posisi tersebut
tetap dengan budaya individualism rendah (collectivism tinggi), tetapi terdapat
kenaikan dibandingkan skor penelitian Hofstede tahun 1980. Alasan yang tuntutan
pekerjaan yang menjadikan manusia memiliki waktu yang sempit untuk bertemu
dan berinteraksi antar sesama.
Pada dimensi ini, Asia umumnya berbeda dengan budaya Barat, dimana
Asia cenderung lebih kolektif dibandingkan budaya barat yang cendering lebih
individualis. Dalam budaya kolektif, seseorang akan menghargai pendapat orang
lain. Berbeda dengan budaya barat yang cenderung mempertahankan pendapat
pribadinya. Di Indonesia selalu digunakan istilah musyawarah untuk
menyelaraskan pendapat bersama. Dalam menjaga hubungan supaya harmonis,
maka dianjurkan untuk tidak boleh menyakiti hati orang lain. Seperti hal nya di
tempat kerja, menciptakan hubungan yang baik antara atasan dengan bawahan
ataupun sesama karyawan merupakah hal yang penting. Seorang karyawan bukan
hanya fokus pada pekerjaannya saja tetapi perlu memperhatikan persoalan-
persoalan di luar pekerjaannya, misalnya dapat menjaga harmonisasi dalam
kelompok, dapat menyesuaikan diri apabila terlibat dalam suatu kelompok
15
pekerjaan. Selain itu kolektif di Indonesia diterapkan dalam konsep gotong
royong. Sehingga manusia hakekatnya tidak dapat berdiri sendiri dan
membutuhkan bantuan dari sesame. Selalu ada orang lain di sisi manusia yang
bersifat kolektif karena bahagia yang dirasakan ataupun permasalahan yang
dirasakan adalah kepedulian bagi anggota lainnya.
Maskulinity (MAS)
Skor dimensi masculinity pada penelitian ini menunjukkan bahwa
karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah lebih feminin dibandingkan
dengan karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Barat yang lebih maskulin. Hal
ini dapat dilihat dari indikator bekerja dengan orang-orang yang menyenangkan
dianggap oleh karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah sangat amat
penting. Selain itu karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah
menganggap sangat penting apabila mendapat pengakuan jika kinerjanya bagus.
Kedua hal ini untuk karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Barat tidak
sepenting seperti karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah.
Skor dimensi masculinity pada penelitian Hofstede tahun 1980 pada
masyarakat Indonesia (46) menunjukkan masyarakat yang feminin. Sedangkan
skor penelitian karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah (54,2) dan
karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Barat (64,7). Penelitian ini mengarah
pada skor masculinity. Tingkat persepsi terhadap dimensi masculinity
menunjukkan adanya proses pergeseran dimensi budaya yang mengarah pada
prioritas maskulin, misalnya uang, materi dan kesuksesan. Perubahan skor
dimensi masculinity mungkin disebabkan makin kuatnya budaya materi karena
tuntutan hidup yang semakin memerlukan uang dan apresiasi yang tinggi terhadap
penampilan fisik seseorang.
16
ini dapat dilihat dari indikator dalam menjabarkan kondisi kesehatan seseorang.
karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah mayoritas menjawab kondisi
kesehatan mereka dalam keadaan baik. Sedangkan untuk karyawan perusahaan
manufaktur di Jawa Barat menjawab kondisi kesehatan mereka dalam keadaan
biasa saja.
Skor dimensi Uncertainty Avoidance Index pada penelitian Hofstede
tahun 1980 pada masyarakat Indonesia (46) menunjukkan rendahnya Uncertainty
Avoidance. Sedangkan skor penelitian karyawan perusahaan manufaktur di Jawa
Tengah (38,35) dan karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Barat (27,2). Hal
tesebut juga menunjukkan bahwa hasil Uncertainty Avoidance rendah. Tetapi
apabila dibandingkan dengan hasil Uncertainty Avoidance untuk perusahaan
manufaktur di Jawa Tengah dan Jawa Barat lebih rendah dibandingkan penelitian
Hofstede tahun 1980.
Penurunan skor dimensi pada penelitian ini mungkin dikarenakan agama.
Agama memiliki pengaruh dalam menghadapi kondisi uncertainty. Ajaran agama
di Indonesia yaitu Islam, mengajarkan manusia harus mempercayai adanya takdir
Tuhan sebagai pilar keimanan manusia. Jadi, manusia sukses atau gagal bukan
semata-mata karena usaha manusia tetapi juga ada kuasa Tuhan. Kepercayaan
tersebut yang menjadi faktor penting dalam menghadapi kondisi ketidakpastian
yaitu sikap pasrah terhadap situasi yang menyenangkan atau menyedihkan.
Sehingga kuatnya nilai-nilai agama mungkin yang menjadi sebab mengapa skor
uncertainty avoidance pada penelitian di Jawa Tengah dan Jawa Barat cukup
rendah, sedikit berbeda dengan penelitian Hofstede.
17
terlihat bahwa hasil penelitian sekarang dengan hasil penelitian Hofstede tahun
1980 sama-sama memiliki orientasi jangka panjang.
Masyarakat Indonesia dengan orientasi jangka panjang menunjukkan
bahwa masyarakat bersikap terbuka (open-mind). Saat ini masyarakat harus
memiliki kecerdasan budaya. Kecerdasan budaya tidak bawaan dari lahir tetapi
kecerdasan ini bisa dibentuk. Contohnya, saat bertemu dengan rekan diskusi yang
menjengkelkan, atau harus mengerjakan job secara team-work, atau berkenalan
dengan orang, kecerdasan budaya sangat diperlukan. Langkah awal yang terlihat
bahwa masyarakat Indonesia memiliki orientasi jangka panjang adalah
terbentuknya dorongan untuk belajar bahasa asing dan bersikap terbuka (open-
mind). Masyarakat juga harus belajar kebudayaan orang lain, kelompok lain
ataupun negara lain. Kecerdasan budaya yang dimaksud merupakan pengetahuan
yang harus dipelajari.
Masyarakat dengan orientasi jangka panjang akan membantu
perkembangan kebaikan yang berorientasi pada reward di masa mendatang dan
dapat beradaptasi pada keadaan yang terus berubah.
18
penelitian Hofstede tahun 1980 dan penelitian pada karyawan perusahaan
manufaktur di Jawa Tengah dan Jawa Barat sama-sama memiliki restraint tinggi.
Monumentalism (MON)
Skor penelitian monumentalism karyawan perusahaan manufaktur di Jawa
Tengah lebih tinggi dibandingkan karyawan perusahaan manufaktur di Jawa
Barat. Tinggilnya nilai monumentalism (yang biasanya berkisar antara 0 sampai
100) menunjukkan bahwa karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah dan
Jawa Barat memiliki kerendahan hati. Dimana dalam dimensi ini, karyawan
perusahaan manufaktur di Jawa Tengah memiliki kerendahan hati lebih tinggi
dibandingkan karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Barat. Karena itulah, skor
monumentalism di Jawa Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan skor
monumentalism di Jawa Barat. Tetapi walaupun begitu, kesimpulan dari penelitian
karyawan perusahaan manufaktur di Jawa Tengah dan di Jawa Barat memiliki
kerendahan hati dan agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan mereka.
Skor monumentalism tidak dapat dibandingkan dengan skor
monumentalism Hofstede, karena sampai saat ini belum ada publikasi mengenai
penelitian nilai monumentalism untuk Indonesia.
KESIMPULAN
Penelitian ini telah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dalam budaya antar dua kelompok etnis yang tinggal di negara yang
sama, bahkan di pulau yang sama. Hal ini memberikan bukti mengenai pentingnya
mempelajari budaya dari segi perspektif mikroskopis.
Ada beberapa perbedaan antara hasil dimensi budaya karyawan
perusahaan di Jawa Tengah dengan karyawan perusahaan di Jawa Barat.
Perbedaan yang sangat mencolok adalah dimensi :, Individualism Index (IDV),
Masculinity Index (MAS) , Uncertainty Avoidance Index (UAI), Indulgence vs
Restrain (IVR) dan Monumentalism Index (MON).
Hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap literatur mengenai
lintas budaya yang mengungkapkan bahwa di suatu negara yang mempunyai
19
kelompok etnis yang beragam, budaya masing-masing kelompok etnis/suku
bangsa mungkin berbeda pula.
Terdapat perbedaan pada hasil dimensi budaya pada penelitian Hofstede di
Indonesia tahun 1980, yaitu dimensi Power Distance, Individualism, Masculinity
dan Uncertainty Avoidance Index. Karena penelitian Hofstede dahulu
mengeneralisasikan budaya Indonesia ke dalam budaya Jawa, dalam penelitian ini
dapat dibuktikan bahwa memang ada perbedaan yang signifikan antara kelompok
budaya di Indonesia.
REFERENSI
Barron, Berenice.2010. A Mexico-Taiwan Comparative Study of The Impact of
National Culture on Organizational Culture, Tesis. Ming Chuan
University : Graduate School of Management.
Berry, John W., Segall, Marshall H., 7 & Kagitcibasi, Cigdem. 1997. Handbook of
Cross Cultural Psychology : Social Behavior and Applications (2nd Ed).
USA: Allyn & Bacon.
Dameyasani, Aulia Wika. 2008. Pengaruh Dimensi Budaya dan Pemaknaan
Simbolik Pada Uang Terhadap Impulsivitas Membeli Mahasiswa Jakarta
dan Sekitarnya.Jakarta : Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara.
Emery, Charles. 2010. China Compared with the US : Cultural Compared with
the US : Cultural Differences and The Impact on Advertising Appeals.
International Journal of China Marketing Vol.1(1) 2010. University of
Chicago.
Hair JR, Joseph F. Role E Anderson, Ronal I Tatham & William C Black. 1995.
Multivarate Data Analysis Reading. Fourth Edition : Prentice Hall
International Inc.
Heine, S. J. 2003. An exploration of cultural variation in self-enhancing and
selfimproving motivations. In Cross-Cultural Differences in Perspectives
of the Self, ed.V. Murphy-Berman and J. J. Berman, 10128. Nebraska
Symposium on Motivation, vol. 49. Lincoln: University of Nebraska Press.
20
Hofstede, G.J. Hofstede. 2005. Culture and Organizations : Software of the Mind,
2nd edition, McGraw-Hill USA.
Hofstede, Geert. 2010. Comparing Regional Cultures Within a Country : Lessons
From Brazil. Jounal of Cross-Cultural Psychology;41;336.
Hofstede, Geert. 2010. Culture and Organizations: Software of the Mind,
International Cooperation and its Importance For Survival. New York:
McGraw-Hill.
Hogg,M.A., & Vayghan, G.M. 2005. Introduction to Social Psychology (4th Ed).
Australia: Pearson Prentice Hall.
Ide, P. L. (2003). Organizational vs. national culture: Determinants of middle
management competencies. ProQuest Information and Learning. (UMI
No.3096545)
Kaplan, David. & Manners,A.A. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
King Metters, Kathryn. 2007. A Shift In Loyalties : How Do The Personal Values
Of Hospitality Service Employess in The Peoples Republic of China
Compare on Hofstedes National Culture Dimensions Over Time.
Dissertation : Capella University.
Kirkman, Bradley L.2006. A quarter century of Cultures Consequences:a review
of empirical research incorporating Hofstedes cultural values framework.
Journal of International Business Studies, 37, 285 320.
Koentjaraningrat. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Djambatan.
Mead, Richard. 1990. Cross Cultural Management Communication.England :
John Wiley & Sons Ltd.
Mowen, J. C. 1995. Consumer Behavior, 4 th Edition, Prentice Hall International
Inc., London.
Muslimim. 2006. Perbedaan Gaya Kepemimpinan dan Kinerja antara Auditor
Pria dan Auditor Wanita pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah
Surabaya Timur, Jurnal Ilmu-Ilmu Ekonomi Vol.6 No 2 September 2006 :
86 93.
21
Newman, Karen L. 1996. Culture and Congruence : The Fit Between
Management Practices and National Culture. Journal of International
Business Studies, Fourth Quarter, 27, 4 pg 753.
Oshlyansky, Lidia. 2007. Cultural Models in HCI : Hofstede, Affordance and
Technology Acceptance, Dissertation. Swansea University.
P. Robbins, Stephen. 1996. Organizational Behavior Concept, Controversiest,
Applications. Prentice Hall. Inc. Engelwoods Cliffs.
P. Robbins, Stephen. 1996. Perilaku Organisasi, Jilid I dan II, Edisi Bahasa
Indonesia, Prehalindo, Jakarta.
Pan, Yue.2010. A Cross Cultural Investigation of Work Values Among Young
Executivies in China and the USA. International Journal Vol.17 No.3,
2010 p.283-298.
Robbins, S.P. 2001. Organizational Behaviour. USA : Prentice Hall International,
Inc.
Shiraev, Eric & Levy David. 2004. Cross Cultural Psychology : Pearson. USA.
Siegel, Sidney. 1986. Stastitik Non Parametrik Untuk Ilmu Sosial (Terjemahan
Suyuti. Z dan Simatupang.L) Jakarta, PT Gramedia Indonesia.
Streimikiene, Dalia. 2012. Comparative Assessment of The Impact of National
Culture Dimensions on Traits of Organization Culture. Intellectual
Economics Vol 6, No.4 (16), p. 534-549.
Torres, Gino Franceschi. 2006. A Cross-Cultural Comparison of Ethical Attitudes
of Marketing-Managers:Puerto Rico and The United States, A
Dissertation Proposal. Sarasota, Florida : Argosy University/Sarasota.
22