Dua Hal Yang Paling Menentukan Bagi Kebaikan Manusia: Khutbah I
Dua Hal Yang Paling Menentukan Bagi Kebaikan Manusia: Khutbah I
Dua Hal Yang Paling Menentukan Bagi Kebaikan Manusia: Khutbah I
KHUTBAH I
. .
.
:
Dalam kitab an-Nawdir, Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi
menyuguhkan sebuah renungan dalam kisah Luqman an-Naubi al-Hakim bin
Anqa bin Baruq. Ia adalah penduduk asli Ailah, sebuah kota Islam kuno yang
sekarang masuk kota bernama Aqaba, sebelah selatan Yordania, dekat
perbatasan Israel.
Cerita dimulai ketika Luqman al-Hakim menerima seekor kambing dari tuannya.
Sang tuan meminta Luqman menyembelih kambing tersebut dan mengantarkan
bagian paling buruk, paling kotor, dari tubuh kambing itu.
Ya. Luqman menggorok leher kambing, mengulitinya, dan mengiris-irisnya sesuai
kebutuhan. Ia pun secara khusus mengambil bagian lidah dan hati kambing lalu
mengantarkannya kepada sang tuan.
Kisah ini mengungkap pesan bahwa hal paling krusial dalam hidup ini adalah
terjaganya hati dan lidah. Lebih dari sekadar daging fisik, keduanya adalah kiasan
dari nurani dan perkataan manusia. Keduanya memberi pengaruh yang amat
menentukan bagi orang lain dan lingkungan sekitar, entah dalam wujud yang
manfaat atau merugikan.
Penjelasan tersebut selaras dengan sabda Nabi bahwa hati merupakan pangkal
dari kebaikan seluruh anggota badan. Sebagaimana tertuang dalam hadits:
Hadits ini juga bisa dimaknai secara luas, bukan semata hati atau jantung dalam
pengertian fisik. Hati memiliki sifat yang demikian menentukan. Rusaknya hati
berakibat pada rusaknya amal-amal kebaikan yang datang dari semua anggota
tubuh. Di dalam hati terkandung niat, tujuan, keinginan, dan hal-hal lain yang tak
terjangkau secara indrawi. Namun, justru karena tak tampak inilah amal perbuatan
menjadi sulit dinilai apakah ia benar-benar baik atau tidak.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, tidak menganggap penting itu bisa
berarti tidak memikirkan kandungan perkataan, serta dampak, serta risiko yang
ditimbukannya. Ini merupakan peringatan bahwa berbicara bukan semata
mengeluar kata-kata tapi juga merupakan proses berpikir dan menimbang-
nimbang. Ketika proses tersebut tidak dilalui maka hal terbaik yang dilakukan
manusia adalah diam.
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik
atau diam. [HR Bukhari]
Menarik ketika kita perhatikan hadits ini. Rasulullah menggunakan Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir untuk memulai pesan agar manusia berkata
yang baik. Hal ini menunjukkan betapa vitalnya lisan hingga ia dikaitkan dengan
keimanan kepada Allah dan hari akhir. Seolah-olah orang yang tidak berkata baik
adalah orang-orang yang tidak sadar akan kehadiran Allah dan tidak percaya akan
balasan di akhirat kelak atas mulut kotornya itu.
Di zaman modern ini perkataan manusia tak hanya keluar melalui lisan tapi juga
tulisan yang tersebar di media sosial. Dampaknya pun sama besarnya dengan kat-
kata lidah. Melalui media sosial, seseorang bisa menghina, menghujat, menyebar
berita bohong, membuka aib orang lain, mengadu domba, memfitnah, atau
membualkan sesuatu yang tidak berguna.
Dengan demikian, perkataan yang semula dimonopoli lidah kini kita temukan pula
diproduksi oleh jari-jari tangan, bahkan dalam persebaran dan jangkauan yang
lebih luas. Karena itu, penting pula bagi kita untuk tidak hanya memikirkan apa
saja yang hendak kita omongkan tapi juga apa saja yang ingin kita tuliskan.
Kalau hati merupakan pangkal dari kebaikan dan keburukan suatu perbuatan
maka lidah menjadi pintu keluar paling boros kebaikan dan keburukan itu. Karena
itu menjaga hati agar bersih dari niatan buruk merupakan hal yang pokok.
Dilanjutkan kemudian untuk mengontrol lidah agar tidak membuat kerugian bagi
diri sendiri dan orang lain atau lingkungan di sekitarnya.
Semoga kita semua terhindar dari berbagai iktikad dan tindakan buruk dari seluruh
anggota badan kita karena sesungguhnya tiap organ yang ada dalam tubuh kita
kelak akan dimintai pertangungjawaban. Wallahu alam.
KHUTBAH II
.
.
.
.
.
.
. !
www.nu.or.id