Iaui BPH 2015

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 32

Panduan Penatalaksanaan Klinis

Pembesaran Prostat Jinak


(Benign Prostatic Hyperplasia/B PH)

Penyusun :

Chaidir A. Mochtar
Rainy Umbas
Doddy M. Soebadi
Nur Rasyid
Bambang S. Noegroho
Basuki Bambang Poernomo
Tjahjodjati
H.R. Danarto
Suharto Wijanarko
Syah Mirsa Warli
, Agus Rizal A.H. Hamid

lkatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI)


2015
aj
: dr. Adistra lmam TWH Satjakoesoemah
Editing dan Layout
dr. Maruto Harjanggi
"Pal
dr. Putri lradita lslianti Pern
dr. Elita Wibisono
dr. Endrika Noviandrini
dr. lkhlas Arief Bramono Ketua:
dr. Muhammad llham Akbar dr. Chaic
dr. Senohadi Boentoro Staf Pel
Medik
Desain Halaman Muka : dr. Adistra lmam TWH Satjakoesoemah Universit
RSUPN d

Anggota
Prof. dr.
Edisi ke-2 Staf Pel
Medik
Universit
RSUPN d

Penerbit: Prof. Dr.


lkatan Ahli Urologi Indonesia Staf Pent
Fakultas
RSUD dr.

ISBN 978-602-18283-6-6 Dr. dr. N


Staf Pel
Dokumen ini hanya memberikan pedoman dan tidak rnenetapkan aturan / tidak Medik
menentukan standar hukumyerawatan penderita. Universit
RSUPN d
Pedoman ini adalah pernyataan penyusun berdasarkan bukti atau konsensus tentang
Dr. dr. B4
pandangan mereka terhadap panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak
yang diterima saat ini. Staf Pen1
Bagian S
Klinisi yang akan menggunakan pedoman ini agar memperhatikan juga penilaian medis Universit
individu untuk penanganan penyakitnya. RSUP dr.

Hak Cipta (Disclaimer)

Pedoman ini tidak boleh diproduksi dalam bentuk apapun tanpa persetujuan tertulis dari
Perhimpunan Dokter Spesialis Urologi Indonesia.
Daftar f i m Panecis
"Panduan PenataGafsanaan KCinis
Pembesaran Prostat Jinaf faliun zoi5*
Ketua: Dr. dr. Basuki Bambang Poernomo, SpU '
dr. Chaidir A. Mochtar, SpU, PhD Staf Pengajar Lab. llmu Bedah Fakultas
Staf Pengajar Divisi Urologi Departemen Kedokteran Universitas ~ ~ ~ ~ i j ~ y a - S M F
Medik llmu Bedah Fakultas Kedokteran Urologi
Universitas lndonesia - Departemen Urologi
RSUD dr. Saiful Anwar
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
dr. Tjahjodjati, SpB, SpU
Anggota:
Prof. dr. Rainy Urnbas, SpU(K), PhD Staf Pengajar Sub Bagian Urologi
Staf Pengajar Divisi Urologi Departemen Bagian SMF llmu Bedah Fakultas Kedokteran
Medik llmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Universitas Indonesia - Departemen Urologi RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
dr. H.R. Danarto, SpU
Prof. Dr. dr. Doddy M . Soebadi, SpU Staf Pengajar Sub Bagian Urologi, Bagian llmu
Staf Pengajar DepartemenISMF Urologi Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Gadjah Mada
RSUD dr. Soetomo Surabaya RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

Dr. dr. Nur Rasyid, SpU dr. Suharto Wijanarko, SpU


Staf Pengajar Divisi Urologi Departemen Staf Sub Bagian Urologi Bagian Bedah
Medik llmu Bedah Fakultas Kedokteran RSUD dr. Moewardi Surakarta
Universitas lndonesia - Departemen Urologi
RSUPN dr. Cipto ~ a n ~ u n k u s uJakarta
io dr. Syah Mirsa Warli, SpU
Staf Pengajar Divisi Urologi Departemen llmu
Dr. dr. Bambang S. Noegroho,SpB, SpU Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
""
Staf Pengajar Sub Bagian ~ r ~ l o g i Sumatera Utara
Bagian SMF llmu Bedah Fakultas Kedokteran RSUP H. Adam Malik, Medan
Universitas Padjajaran
RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dr. Agus Rizal A.H. Harnid, SpU
Staf Pengajar Divisi Urologi Departemen
Medik llmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas lndonesia - Departemen Urologi
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

iii
Xata Pengantar Dafc
t

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Halaman


Salam sejahtera bagi kita semua.
Hak cipt:
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Buku
Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Daftar kc
Hyperplassfa/BPH) Edisi ke-2 Tahun 2015 ini.
Kata pen
Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan di bidang kesehatan, penataiaksanaan
Pembesaran Prostat Jinak juga mengalami perkembangan yang pesat. Adapun Buku
Daftar Isi
Panduan Penatalaksaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH)
tahun 2015 ini merupakan perwujudan dari upaya pemutakhiran ilmu pengetahuan dari
1. PENDI
lkatan Ahli Urologi lndonesia (IAUI) terkait penatalaksanaan terkini dari penyakit BPH.
Buku ini merupakan pembaharuan dari edisi pertama sebelumnya yang diterbitkan pada
tahun 2003. Kami melakukan revisi dari pada beberapa bagian dari edisi sebelumnya dan
telah disesuaikan dengan berbagai guidelines internasional, literatur, jurnal, dan penelitian
terkini. Sesuai dengan edisi sebelumnya, buku ini juga ditujukan untuk dokter spesialis
urologi, dokter umum, spesialis lain, serta pemberi jasa kesehatan lainnya yang bekerja di
Indonesia. 3. TERAP

Panduan penatalaksanaan klinis (guidelines) di dalam suatu sistem pelayanan kesehatan


bertujuan untuk merasionalisasi diagnosis, pengobatan, dan pemantauan berkala penyakit
yang dapat diterapkan dalam suatu skala nasional atau internasional. Akan tetapi, 4. PEMA
diperlukan pertimbangan khusus terkait masalah ketersediaan fasilitas kesehatan,
persebaran sumber daya manusia, dan infrastruktur kesehatan di tanah air. Oleh karena itu,
panduan ini telah disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan fasilitas kesehatan terkait.
Namun, tak ada gading yangtak retak. Kami menyadari bahwa buku panduan ini masih jauh
dari sempurna. Untuk itu, masukan dan kritik serta koreksi dari sejawat sangat dinantikan
dan kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.
Demikian panduan penatalakranaan klinis inidkami buat agar dapat Sejawat dan praktisi
kesehatan lainnya gunakan dengan sebaik-baiknya.

Wallaikumsalam Wr. Wb.


Jakarta, 14 Januari 2015

dr. Chaidir Arif Mochtar, SpU, PhD


Ketua Tim Panelis 81
Ketua lkatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI)
Periode 2009-2015
Oaf tar Isi

Halaman judul dalam .................................................................................................. ....i


Hak cipta .......................... . . .........................................................................................ii
Daftar kontributor ................... ................................................................................... ... ..III

Kata pengantar ............................................................................................................... iv

Daftar Isi ...........................................................................................................................v

1. PENDAHULUAN............................................................................................................. 1

2. DIAGNOSIS .....................................................................................................................4

3. TERAPI .......................................................................................................................... 12

4. PEMANTAUAN .............................................................................................................. 22

5. ALGORITMA .............................................................................................................. ..23

6. LAMPIRAN ................................................................................................................... 26
, ,. ,
Pedoman Penatalaksanaan Pembesaran Prostat Jinak b. Defin

(Benian Prostatic Hyperplasia/BPH) di lndonesia IS


stroma (
prolifera:
menginja
pengarut
1. PENDAHULUAN
aktivitas
a. Tujuan langsung
growth f;
Tujuan pembuatan pedoman penatalaksanaan pembesaran prostat jinak (Benign prostat.'
Prostatic Hyperplasia/BPH) ini adalah memberikan panduan bagi dokter dalam
SI
penatalaksanaan kasus BPH di Indonesia. Penatalaksanaan yang akan diberikan pada pasien
tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan 'fang m
histopatc
pilihan pasien.' Di berbagai daerah di lndonesia kemampuan melakukan diagnosis dan
BPH yar
modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya
manusia. Walaupun demikian, dokter di daerah terpencilpun diharapkan dapat menangani menimb~
pasien BPH dengan sebaik-baiknya. obstructi
mengakil
Di dalam pedoman penatalaksanaan ini, digunakan klasifikasi tingkat pembuktian obstructi
(Level of Evidence/LE). Sementara rekomendasi penatalaksanaan didasarkan pada klasifikasi pemeriks
derajat rekomendasi (Grade of Recommendotion/GR). Baik LE maupun GR yang dipakai
mengacu pada pedoman Oxford Recommendotion of Evidence Based Medicine dan c. Preva
digunakan juga pada EAU Guidelines 2014.
B
Tabel 1.Tingkat Pembuktian (Level of Evidence/LE) hingga 9(
Level Bukti belum PI
la Bukti yang diperoleh dari meta-analisis uji acak Mangunk
lb Bukti yang diperoleh setidaknya dari satu uji acak umur pel
2a Bukti yang diperoleh dari satu studi perbandingan tanpa uji acak
2b I Bukti yang diperoleh dari setidaknya satu tipe studi eksperimental d. Faktc
3 1 Bukti yang diperoleh dari studi eksperimental, studi komparatif, studi korelasi,
atau laporan kasus Fi
4 Bukti yang diperoleh dari laporan komite, pendapat, atau pengalaman klinis dari fungsioni
otoritas yang diakui hubunga
diet ren
Tabel 2. Derajat Rekomendasi (Grade of Recommendotion/GR)
metaboli
Kelas I Rekomendasi
A I Berdasarkan studi klinis berkualitas baik yang memberikan rekomendasi spesifik e. Perja
dan konsisten, serta mencakup setidaknya satu uji acak
B Berdasarkan studi klinis yang dilaksanakan dengan baik tanpa uji acak R,
C Tanpa didasarkan studi klinis yang berkualitas baik menggar
kemih d;
b. Definisi & Etiologi

lstilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya hiperplasia sel
stroma dan sel epitel kelenjar prostat.2,3'4 Banyak faktor yang diduga berperan dalam
proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang
menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. Di samping itu,
pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan
aktivitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak
Faktor-faktor tersebut mampu memengaruhi sel prostat untuk menyintesis
growth factor, yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar
prostat.'

Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah klinis
yang menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan
histopatologis yang jinak pada prostat ( B P H ) . ~ ~Diperkirakan
,'~ hanya sekitar 50% dari kasus
BPH yang berkembang menjadi BPE." Pada kondisi yang lebih lanjut, BPE dapat
menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah benign prostatic
obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian dari suatu entitas penyakit yang
mengakibatkan obstruksi pada leher kandung kemih dan uretra, dinamakan bladder outlet
obstruction (BOO). Adanya obstruksi pada BPO ataupun BOO harus dipastikan menggunakan
pemeriksaan urodinamik.ll

c. Prevalensi & Epidemiologi

BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.' Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti
belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sej8k tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata
umur penderita berusia 66,61 tahun.'

d. Faktor Risiko

Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya testis yang
fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi terakhir ditemukan
hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga, kurangnya aktivitas fisik,
diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging merah, obesitas, sindrom
metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit j a n t ~ n ~ . ~ " ' ~

e. Perjalanan Penyakit

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat


mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari obstruksi pada leher kandung
kemih dan uretra oleh B P H . ~ Selanjutnya
,~~ obstruksi ini dapat menimbulkan perubahan
struktur kandung kemih maupun ginjai sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran
kemih atas maupun bawah.

Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower urinary tract
symptoms (LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejaia iritasi i. Riwaya'
(storage symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi pancaran kemih
PE
lemah dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis berkemih. Gejala iritasi wawanca
meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia. Gejala pasca berkemih berupa dideritanj
urine menetes (dribbling); hingga gejala yang paling berat adalah retensi urine.'j5 Hubungan
antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan * Kelut
berkemih atau sebaliknya. Sebagai contoh, penggunaan obat harian, seperti antidepresan, * Riwa
antihistamin, atau bronkodilator terbukti dapat menyebabkan peningkatan 2 - 3 skor cede
International Prostate Symptom Score (IPSS).' salur
Riwa
Riwa
Daftar Pustaka
Rekomenc
1. Wei JT, Cslhoun E, Jacobsen S1. Urologic diseases in America project: benign prostatic hyperplasia. J Urol 7
2005,173:1256-61. 1 Pada pria
2. Roehrborn CG. BPH progression: concept and key learning from MTOPS, ALTESS, COMBAT, and ALF-ONE.
BJU int. 2008;101(suppl 3):17-21.
3. Parsons JK: Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract Symptoms: Epidemiology and Risk
ii. Skor kc
Factors. Curr Bladder Dysfunct Rep. 2010;5:212-18.
4. Pintarelli VL, Gomes LF, Lorenzetti F, Neto JT, Dambros M. Elderly men's quality of life and lower urinary
PI
tract symptoms: an intricate relationship. BJU Int. 2011.
pembesa
5. Roehrborn CG. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, pathophysiology, epidemiology, and natural history.
Dalam: Campbell's urology, edisi ke 10. Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: digunaka
WB Saunders Co. 2012.ha1.2570-91. dikemba~
6. Amaiia R, Hadisaputro S, Muslfh R. Faktor-faktor resiko terjadinya pembesaran prostat jinak (studi kasus Orgoniza
di RS. Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS Roemani Semarang). Diunduh dari : IPSS terd
http://eprints.undip.ac.id/l9133/1/Rizki Amalia.pdf pada tanggal 28 September 2014, pukul 18.32.
maksimu
7. Nandeesha H. Benign Prostatic Hyperplasia: dietary arrd.metabolic riskfactors. Int Urol Nephrol (2008) 40:
649-56.
Indonesii
8. Data pasien BPH RSCM tahun 1994-2013. 2014 (Belum dipublikasi) setiap pe
9. Chungtai 8, Lee R, Te A, Kaplan S. Role of Inflammation in Benign Prostatic Hyperplasia. Rev Urol. yang dipc
201?;13(3):147-50.
10. Oelke M, Hofner K, Jonas U, et al. Benign prostatic hyperplasia: terminology and assessment. Dtsch Arztebl
zoa7;104(33): A 2261-7. pertanya
11. Chapple C, Abrams P. Male lower urinary tract symptoms (LUTS) an international consultation on male 7 kemun
LUTS Fukuoka, Japan, September 30-October 4, 2012. Monreal: Societe lnternationale d'urologie.
2013.ha1.42-3. Rekomen
7
Penskora~
menilai dl
2. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

i. Riwayat Penyakit

Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau


wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi:

Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu;
* Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitaiia (pernah mengalami
cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing batu, atau pembedahan pada
saluran kemih);
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual;
Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih.1-3

Rekomendasi untuk anamnesis:'

Pada pria dengan keluhan LUTS harus dilakukan anamnesis yang lengkap

*GR ditingkatkan berdasarkan Konsensus EAU 2014

ii. Skor keluhan

Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat


pembesaran prostat adalah sistem penskoran keluhan. Salah satu sistem penskoran yang
digunakan secara luas adalah International Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah
dikembangkan American Urological Association (AUA) dan distandarisasi oleh World Health
Organization (WHO). Skor irri berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien B P H . ~ ' ~
IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total
maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikanTkepadap f a e n dan diharapkan pasien mengisi sendiri
setiap pertanyaan. Berat-ringannya keluhan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor
yang diperoleh, yaitu: skor 0-7: ringan, skor 8-19: sedang, dan skor 20-35: beraL4"

Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu


pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas
7 kemungkinan jawaban4-'

Rekomendasi untuk penskoran:l

Penskoran pasien pria dengan LUTS perlu dilakukan secara rutin untuk
menilai derajat keluhan pada saat melakukan diagnosis dan evaluasi

4
ill.Catatan harian berkemih (voiding diaries) c. Peme
Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia i. Urinali!
sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan
yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan, dapat diketahui PI
seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi Apabila c
infravesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan saluran k
dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik.'

Rekomendasi berdasarkan catatan harian berkemih:'

Catatan harian berkemih harus digunakan untuk menilai LUTS laki-laki 3 B


dengan gejala iritasi menonjol atau nokturia
Catatan harian berkemih harus dilakukan selama minimal 3 hari 2b B
ii.Pemer

0
b. Pemeriksaan fisik bagian a
Pemeriks
i. Status Urologis
pencitra:
Ginjal
Rekomenl
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya obstruksi atau tanda
infeksi.'
Kandung kemih ginjai, ber
hidronefr~
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk menilai isi
kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.'

iii. Peme
ii. Colok Dubur
P
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang
specific.'
penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
setelah
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan.adanya nodul yang merupakan saiah satu
kateteris
tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung lebih kecil
daripada ukuran yang sebenarnya.lr2 s
ha1 ini jik
Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus sfingter ani dan refleks
bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada lengkung refleks di daerah
sakraL2

Rekomendasi berdasarkan pemeriksaan fisik:'


LE GR
Pemeriksaanfisik yang meliputi colok dubur penting dilakukan secara rutin 3 B
untuk penegakan diagnosis pasien pria dengan LUTS P
Semakin
pertuml:
c. Pemeriksaan Penunjang

i. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.


Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur

Rekomendasi berdasarkan urinalisis:'


1 LE
-- 1 GR 1
Urinalisis harus dilakukan untuk penegakan diagnosis pada pasien pria
dengan keluhan LUTS 3 A

ii.Perneriksaan fungsi ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran kemih
bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%.
Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan
pencitraan pada saluran kemih bagian atas.'

Rekornendasi untuk perneriksaan fungsi ginjar:'


LE 1 GR
Penilaian fungsi ginjal harus dilakukan jika dicurigai adanya gangguan fungsi
ginjal, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis atau dengan adanya
hidronefrosisatau ketika rnernpertirnbangkantindakan bedah untuk LUTS
/ pada laki-laki

iii.Perneriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

PSA disintesis oleh s61epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific.' Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan hsia i a k i n tua.'

Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
ha1 ini jika kadar PSA tinggi berarti:

(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,

(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan

(c) lebih mudah terjadi retensi urine akutap9

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.


Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah
0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2ng/dl adalah 2,l mL/tahun, dan kadar
PSA 3,3-9,9ng/dl adalah 3,3 m ~ / t a h u n .Serum
~ PSA dapat meningkat pada saat terjadi
retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan
kateterisasi.1

Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan
colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu, pada usia di
atas 50 tahun atau di atas 40 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi) pemeriksaan PSA
menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat."
Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan
pasien.'2

Rekomendasiuntuk pemeriksaan PSA:'

Pemeriksaan PSA harus dilakukan jika dicurigai adanya kemungkinan


kanker prostat yang dapat mengubah penatalaksanaan atau jika PSA dapat
membantu pengambilan keputusan pada pasien dengan risiko BPH

Rekomend
iv. Uroflowmetry (Pancaran Urine )

Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih.


dilakukan :
Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai volume berkemih,
laju pancaran maksimum (G.,), laju pancaran rata-rata (a,,),
waktu yang dibutuhkan v. Residu
untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai
RE
untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah terapi.'
kemih set
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan
,' PE
pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan obstruksi saluran kemih
dengan k4
bagian bawah atau kelemahan otot detrusor. Terdapat hubungan antara nilai Qmaxdengan
tidak nya
kemungkinan obstruksi saluran bemih bagian bawa"h (BOO). Pada batas nilai Galsebesar 10
baktererr
mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 70%, positive predictive value (PPV) sebesar 70 %, dan
sensitivitas sebesar 47% untuk mendiagnosis BOO. Sementara itu, dengan batas nilai Q,,, PC
sebesar 15 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 38%, PPV sebesar 67%, dan sensitivitas bagian bi
sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.' pada p~
Peningka
Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih bagian bawah tidak hanya terjadiny,
dinilai dari hasii Qmaxsaja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Kombinasi
Rekomenc
pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qnaxcukup akurat dalam menentukan adanya I

obstruksi saluran kemih bagian bawah.13 Pemeriksaan uroflowmetry bermakna jika volume
urine >I50m ~ . '
d. Pencitraan
i. Saluran Kemih Bagian Atas
Pt
gp~.1,2,15,
Pencitraan saluran kemih bagian atas hanya dikerjakan apabila terdapat hematuria,
infeksi saluran kemih, insufisiensi renal, residu urine yang banyak, riwayat urolitiasis, dan 50 tahun
riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran ~ r o ~ e n i t a l i a . " ~ "Pemeriksaan
~~~' USG menjalan
direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada keadaan-keadaan tersebut.' kecurigaz
pemeriks
ii.Saluran Kemih Bagian bawah dan man
87%, speB
Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan jika dicurigai adanya striktur uretra.'

Rekomendasi untuk pencitraan:'


Daftar pus1
/ Pencitraan pada saluran kemih harus dilakukan sesuai dengan indikasi. 1 3 / B i
1. Grava!
Lower
iii. Prostat Urolog

Pemeriksaan pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin yang bertujuan untuk


menilai bentuk dan besar prostat, dengan menggunakan ultrasonografi transabdominal
(TAUS) atau ultrasonografi transrektal (TRUS).'~
3. Gerbe
Pengukuran besar prostat penting dalam menentukan pilihan terapi invasif, seperti In: Car
operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP, atau terapi minimal invasif lainnya. Selain itu,
ha1 ini juga penting dilakukan sebeium pengobatan dengan 5-ARI.' 4. Barry
Prosta
Rekomendasi untuk pencitraan prostat:'
1 LE 1 GR 5. Liu C(
Pencitraan prostat harus dilakukan untuk pemilihan terapi medikamentosa 1 3 1 B Associ
/ atau tindakan pembedahan " benig~

6. Kapoc
Oct; 1
e. Uretrosistoskopi _I,

7. Lim C
Uretrosistoskopi dikerjakan pada pasien dengan riwayat hematuria, striktur uretra, patier
uretritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, riwayat operasi uretra, atau kecurigaan
kanker kandung kemih.1'2'16,19 8. D'Silv;
obstr~
Rekomendasi untuk uretrosistoskopi:' doi: 1

9. Roeh~
Uretrosistoskopi harus dilakukan untuk rnenyingkirkan adanya kecurigaan 3 B
antigc
kelainan uretra dan kandung kemih dan sebelum tindakan invasif karena
163: 3
dapat merubah jenis tindakan.
10. Wijan
kadar
JURI,
f. Urodinamik

Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan opsional pada evaluasi pasien


B P H . ~ , ~ lndikasi
, ~ ~ , ~ ~pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah: pasien berusia kurang dari
50 tahun atau lebih dari 80 tahun, volume residu urine >300 mL, (Imax>10ml/detik, setelah
menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau
kecurigaan adanya kelainan buli-buli n e ~ r o ~ e n i k . ' ,Urodinamik
~~'~~ saat ini merupakan
pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi saluran kemih bawah
dan mampu memprediksi hasil tindakan invasif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas
87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%.19

Daftar pustaka:

1. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et ai. Guidelines on the Management of Non-Neurogenic Male


Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), inci. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association of
Urology; 2014.

2. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, Barry MJ, Bruskewitz RC, Donneii RF, et ai. Update on AUA guideline
on the management of benign prostatic hyperpiasia. J Urol. 2011 May;185(5):1793-803. doi:
10.1G16/j.juro.2011.01.074. Epub 2011 Mar 21.

3. Gerber GS, Brendier CB. Evaluation of the Urologic Patient: History, Physical Examination, and Urinalysis.
In: Campbell-Waish Urology. lothEdition. Philadelphia: Eisevier Saunders 2012; p. 71-80.

4. Barry MJ, Fowler FJ, O'Leary MP, et ai. The American Uroiogical Association Symptom index for Benign
Prostatic Hyperpiasia.1 Urol. 148: 1549,1992

5. Liu CC, Wang U, Huang SP, Chou YH, Wu WJ, Huang CH. Reiat~onshipsbetween American Urological
Association symptom index, prostate volume, and disease-specific quality of life question in patients with
benign prostatic hyperpiasidKoohsiung J MedScl. 2004 Jun;20(6):273-8.

6. Kapoor A. Benign prostatic hyperpiasia (BPH) management in the primary care setting. Con IUrol. 2012
Oct; 19 Suppi l:10-17.
, ," "..,,...,

7. Lim CF, Buchan NC. Measurement of serum PSA as a predictor of symptoms scored on the iPSS for
patients with benign prostatic hyperpiasia. N Z Med 1. 2014 Feb 14;127(1389):17-24.

8. D'Siiva KA, Dahm P, Wong CL. Does this man with lower urinary tract symptoms have bladder outlet
obstruction?: The Rational Clinical Examination: a systematic review. JAMA. 2014 Aug 6;312(5):535-42.
doi: 10.1001/jama.2014.5555.

9. Roehrborn CG, McConneli J, Boniiia J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et al. Serum prostate specific
antigen is a strong predictor of future prostate growth in men with benign prostatic hyperpiasia. IUrol.
163: 13-20, 2000.

10. Wijanarko S, Gardjito W, Hardjowijoto 5, et al. Studi anaiitik pengaruh pemasangan kateter terhadap
kadar antigen spesifik prostat daiam darah pada pasien hiperpiasia prostat jinak dengan retensi urine .
JURI, 10: 1-8,2003.
11. Tanguay S, Awde M, Brock G, Casey R, Kozak J, Lee J, et 01. Diagnosis and management of benign prostatic
hyperplasia in primary care. Con Urol AssocJ. 2009 Jun;3(3 Suppl 2):S92-5100.

12. Chevli KK, Duff M, Walter P, et al. Urinary PCA3 as a predictor for prostate cancer in a cohort of 3073 men Ti
undergoing initial prostate biopsy. J Urol. Dec 10 2013;[Medline]. yang didi
ketersedi
13. Prasetyawan W, Sumardi R. Korelasl antara volume residu urine dan adanya obstruksi pada penderita
medikam
dengan simtom BPH dengan menggunakan pressure flow study. JURI, 10: 19-21,2003.

14. Lukacs B, Cornu JN, Aout M, Tessier N, Hodee C, Haab F, et al. Management of lower urinary tract
symptoms related to benign prostatic hyperpiasia in real-iife practice in france: a comprehensive
population study. Eur Urol. 2013 Sep;64(3):493-501. doi: 10.1016/j.eururo.2013.02.026. Epub 2013 Feb
26.

15. Juliao AA, Plata M, Kazzazi A, Bostanci Y, Djavan B. American Urological Association and European
Associat~onof Urology guidelines in the management of benign prostatic hypertrophy: revisited. Curr Opin
Urol. 2012 Jan;22(1):34-9. doi: 10.1097/MOU.Ob013e32834d8e87. Life style

16. Abrams P, Chapple C, Khoury S, Roehrborn C, de la Rosette J; International consultation on New education
Developments in Prostate Cancer and Prostate Diseases. Evaluation and treatment of lower urinary tract
symptoms in older men. J Urol. 2013 Jan;189(1 Suppl):S93-S101, doi: 10.1016/j.juro.2012.11.021.

17. McNicholas TA, Kirby RS, LeporH. Evaluation and Nonsurgical Management of Benign Prostatic
Hyperplasia. In: Campbell-Walsh Urology. loth Edition. Philadelphia: Elsevier

18. Kiiic M, Bzdemir A, Aitinova S, Et Al. What is the best radiological method to predict the actual weight of
the prostate? Turk J MedSci. (2014) 44: 31-5.

19. Cornu JN, Ahyai S, Bachmann A, de la Rosette J, Gilling P, Gratzke C, et al. A Systematic Review and Meta-
analysis of Functional Outcomes and Complications Following Transurethral Procedures for Lower Urinary
Tract Symptoms Resulting from Benign Prostatic Obstruction: An Update. Eur Urol. 2014 Jun 24. pii:
50302-2838(14)00538-7. doi: 10.1016/j.eururo.2014.0660177[Epub ahead of print]

Tt
mendapa
Pilihan t i
keluhan r

Pi
yang mur
(1) jang;
(2) kura~
kemi
(3) bata:
(4) jang:
(5) Pen2
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai perubahan inhibitor yan
keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urine.' Jika keluhan finasteride a.
berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain. Finas.
volume pro!
Rekomendasi untuk terapi konservatif:' dutasteride
1
ginekomastii
Terapi watchful waiting sesuai untuk kasus BPH dengan gejala ringan
Perubahan gaya hidup dilakukan sebelum atau bersamaan dengan terapi 1 lb 1 A Rekomendasi

b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat yang / denaan reten
digunakan adalah:

iii. Antagon
Pengobatan dengan a>-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat Peng
sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra. Beberapa obat a l - bertujuan UI
blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup mengurangi
diberikan sekali sehari.' muskarinik
solifenacin s
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding symptom
Peng
dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-45% atau penurunan 4-6 skor IPSS
Analisis pal
dan Qmax hingga 15-30%.'-~ Tetapi obat al-blocker tidak mengurangi volume prostat
menunjukk:
maupun risiko retensi urine dalam jangka panjang.l
antimuskari
Masing-masing al-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem berhubung;
kardiovaskuler yang berbed+(hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang seringkali evaluasi rut
menyebabkan pasien menghentikan pengobatan.3 Penyulit lain yang dapat terjadi adalah antimuskari
ejakulasi r e t r ~ g r a d . ~Salah
, ~ satu komplikasi yang harus diperhatikan adalah intraoperative storage.
floppy iris syndrome (IFIS) pad$ operasi katarakdan ha1 ini harus diinformasikan kepada Pen(
pasien.l (sampai d e ~
2%), nasopt
Rekomendasiterhadap al-blocker:'
1 LE 1 GR
Rekomendar
al-blocker dapat diberikan pada kasus BPH dengan gejala sedang-berat I l a / A

ii. 5ci-reductase inhibitor

5a-reductose inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel epitel


prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 - 30%. So-reductose inhibitor
juga dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari nilai yang semestinya sehingga perlu
diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat Sa-reductase
inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 b u ~ a n . ~ ' ~
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride digunakan bila
volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride atau
dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di k ~ l i t . ~ , ~

Rekomendasiterhadap 5~u-reductaseinhibitor:'
LE GR
5cx-reductaseinhibitor dapat diberikan pada kasus BPH gejala sedang-berat lb A
dan prostat yang membesar.
5a-reductase inhibitor dapat mencegah progresivitas yang berhubungan b
I A
/ dengan retensi urine akut dan tindakan pembedahan

...
111. Antagonis Reseptor Muskarinik

Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik


bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan
mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor
muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL,
solifenacin succinate, dan tolterodine I-tartrate '''
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS.
Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml (=volume prostat kecil)
menunjukkan pemberian antimuskarinik bermanfaat.' Sampai saat ini, penggunaan
antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat kontroversi, khususnya yang
berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan
evaluasi rutin keluhan dengpn IPSS dan sisa urine pasca berkemih. Sebaiknya, penggunaan
antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan oc-blocker tidak mengurangi gejala
storage.
Penggunaan antimuskarinik d,apat menhbulkan efek samping, seperti mulut kering
(sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan berkemih (sampai dengan
2%), nasopharyngitis (sampai dengan 3%),dan pusing (sampai dengan 5%).'

Rekomendasiterhadap antagonis reseptor muskarinik:'


1 LE 1 GR
Antagonis reseptor muskarinik dapat digunakan pada kasus BPH dengan 1 lb 1 B
keluhan storage yang menonjol
Hati-hati pada kasus BPH dengan gejala voiding 4 C
Rekomendasi
iv. Phospodiesterase5 inhibitor

Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan


rnemperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraseluier,
- I-1 Pengobatan kl
ditawarkan ke
sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan uretra.' Di Indonesia,
saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil.
Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan untuk
Terapi koml
pengobatan LUTS.~
memblok
Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-3796.Penurunan kemih bawat
yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu.3 Pada penelitian uji klinis acak episode inko
tanpa meta-analisis, peningkatan G,, dibandingkan plasebo adalah 2,4 ml/s dan tidak blocker atau
didapatkan perbedaan yang bermakna pada residu urine.' Data meta-analisis menunjukkan monoterapi
PDE 5 inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan indeks massa pemberian
tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat. overactivity)

Rekomendasi terhadap PDE-5 inhibitor:' Efek


1 I LE I GR / reseptor mu
PDE-5 inhibitor dapat mengurangi gejala LUTS sedang sampai berat pada
pria dengan atau tanpa disfungsi ereksi l a / A residu urine

Rekomendasi
I
v. Terapi Kombinasi
dapat diberik,
otl-blocker + Sot-reductuse inhibitor
Terapi kombil
Terapi kombinasi al-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5a-reductuse I kasus BPH de
inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis dengan
m~nggabungkan manfaat ygng berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga
meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah perkembangan vi. Fitofarmi
penyakit.
Bebe
Waktu yang diperlukan oleh al-blocker untuk memberikan efek klinis adalah gejala, tetar
beberapa hari, sedangkan 5a-reductase inhibitor membutuhkan beberapa bulan untuk kerja obat fi
menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data saat ini menunjukkan terapi kombinasi banyak dip^
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan rnonoterapi dalam risiko terjadinya retensi urtica, dan r
urine akut dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga
Rekomendasl
dapat meningkatkan risiko terjadinya efek ~ a m ~ i n g . ~ '

Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS sedang-berat dan merekomer
mempunyai risiko progresi (volume prostat besar, PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia
lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka
panjang (>1tahun).'
Rekomendasiterhadao kombinasi teraoi al-blocker t 5a-reductuse inhibitor:'

/ Pengobatan kombinasi al-blocker dengan Sa-reductoseinhibitor-dapat I lb 1 A I


ditawarkan kepada pasien BPH dengan gejala LUTS sedang sampai berat 1
cxl-blocker + antagonis reseptor muskarinik

Terapi kombinasi al-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk


memblok crl-adrenoceptor dan cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada saluran
kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi,
episode inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan cul-
blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami LUTS setelah pemberian
monoterapi al-blocker akan mengalami penurunan keluhan LUTS secara bermakna dengan
pemberian anti muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor (detrusor
overoctivity).

Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu al-blocker dan antagor.ls
reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan
residu urine harus dilakukan selama pemberian terapi ini.

Rekomendasi terliadap kombinasi terapi al-blockers t ontoqonis reseptor muskarinik:'


/ LE 1 GR I
1 Terapi kombinasi antara al-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik lb B
dapat diberikan pada kasus LUTS terutama pada kasus dengan keluhan
storage yang tidak membaik dengan pemberian monoterapi
Terapi kombinasi ini perlu dipantau lebih ketat apabila diberikan kepada 2b B
kasus BPH dengan gangguan voiding

vi. Fitofarmaka

Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki


gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme
kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang
banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix
urtica, dan masih banyak lainnya4.

Rekomendasiterhadau fitofarmaka adalah:ls2


Seperti panduan penatalaksanaan klinis dari berbagai asosiasi urologi internasional, tim ini tidak
merekomendasikanfitofarmaka pada penatalaksanaan pembesaran prostat jinak.
c. Pembedahan prostat akar
yang lebih d
lndikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
Peng
seperti:
pasien yang
(1) retensi urine akut;
(2) gaga1 Trial Without Catheter (TwoC);
(3) infeksi saluran kemih berulang;
Tran.
(4) hematuria makroskopik berulang;
neck insiciot
(5) batu kandung kemih; tidak terdal
(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH; akibat BPH (
(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian a t a ~ . ~ Ther
lndikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat, nekrosis ko;
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang lain adalah '

menolak pemberian terapi medikamentosa.' (TUNA), dam


jaringan prc
i. lnvasif Minimal samping yal
di rumah sa
1.Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
ulang TUMT
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan volume Sten
prostat 30-80 ml.' Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume prostat untuk tindakan ini verumontar
di kepustakaan, ha1 ini tergantung dari pengalaman spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan dipasang sc
alat yang digunakan. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan enkrustasi, I

meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.'~

Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang ii. Operasi 1
rn~merlukantransfusi ( 0-9%j; sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%), retensi bekuan darah (0-
39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%).. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 Pen
'
hari pertama) adalah 0,l. Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi Freyer) dar
inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%), striktur urethra (3,8%), volumenya
ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,s-14%), dan retensi urin dan UTI.'
Pros
Rekomendasi untuk TURP:' yang lebih
LE GR berupa pe
TURP adalah prosedur baku emas operasi saat ini untuk volume prostat la A perioperatii
sebesar 30-80 rnl dengan gejala LUTS sedang sampai berat berupa kon
(10%).l

2. Laser Prostatektomi Rekomendas

Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu: Nd:YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Kelenjar
prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60-65'~dan mengalami vaporisasi pada suhu
yang lebih dari 1 0 0 ~ c . ' ~

Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada
pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.'

Transurethral incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih (bladder
neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dan
tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat.2'14 TUIP mampu memperbaiki keluhan
akibat BPH dan meningkatkan Q,, meskipun tidak s e b a i k ~ ~ ~ ~ . ' '
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >4s0C sehingga menimbulkan
nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara
lain adalah Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT), Transurethral Needle Ablation
(TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam
jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek
samping yang ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan perawatan
di rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka terapi
ulang TUMT (84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan).
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di proksimal
verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen. Stent yang telah terpasang bisa mengalami
enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan d i s ~ r i a . ~

ii. Operasi Terbuka


8

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack atau


Freyer) dan retropubik illin in)." Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang
'
volumenya lebih dari 80 ml.

Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan morbiditas
yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi dilaporkan sebanyak 7-14%
berupa perdarahan yang memerlukan transfusi. Sementara itu, angka mortalitas
perioperatif (30 hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi jangka panjang dapat
berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra (6%) dan inkontinensia urine
i
! d. Lain-Lain 6. Kono h
Urol 2(
1. Trial Without Catheterization (TwoC) 7. Kaplan
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara In men
hJt&
l
spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta
8. Hofnel
dilakukan pemeriksaan pancaran urin dar, sisa ~ r i n TwoC. ~ ~ baru dapat dilakukan
overac
bersamaan dengan pemberian al-block.lr selama minimal 3-7 hari. TwoC umumnya Urol 21
dilakukan pada pasien yang mengalami rriunsi urine akut yang pertama kali dan belum 9. Abrarr
ditegakkan diagnosis pasti.lg of ove
http:/,
2 . Clean intermittent Catheterization (CIC) 10. Kedia
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik mandiri in met
maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang pada pasien- mA
11. Wrigh
pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami gangguan fungsi ginjal
967-7'
ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan bersih ketika kandung kemih 12. Oelke
pasien sudah terasa penuh atau secara periodik.lg lower
rando
3. Sistostomi
13. Gacci
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
phosF
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan kateter
sympi
khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.lg
14. .Sahit
4. Kateter menetap Trans
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering digunakan 17
http:~
untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang tidak dapat menjalani
e%20
tidakan operasi. l9
15. Ma&
Follo!
(BPH
Daftar pustaka:
16. Nord
1. Gravas 5, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the Management of Non-Neurogenic Male
Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association
of Urology 2014.
17. Gola!
2. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, et al. Management of Benign Prostatic Hyperpiasia (BPH) Tran:
American Urological Association Education and Research, Inc. Chapter 3 : 13 - 35, 2010 Pros1
3. tew H. Alpha Blockers for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia. Rev Urol 9(4): 181-190 18. Han
2007 Edisi
19. Fitzp
4. McNicholas TA, Kirby RS, Lepor H, and non-surgical management of benign prostatic hyperplasia.
worl
Dalam: Campbell's urology, edisi ke 10, editor: Waish PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ.
Philadelphia: WB Saunders Co., 2612 - 2640, 2012
5. Wuest M, Kaden S, Hakenberg OW, et al. Effect of rilmakalim on detrusor contraction in the presence
and absence of urotheiium. Naunyn-Schiedeberg's Arch Pharmacol2005 Nov;372(3):203-12.
h.
.tt~~://~~~~n~bi.nlm.nih1g_ovfp~bmed/16283254 21. Zeif
adul
6. Kono M, Nakamura Y, ishiura Y, et al. Central muscarinic receptor subtypes regulating voiding in rats. J
Urol 2006 Jan;175(1):353-7. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16406941
7 , Kapian SA, Walmsley K, Te AE. Toiterodine extended release attenuates iower urinary tract symptoms
in men with benign prostatic hyperpiasia. J Urol 2005 Dec;174(6):2273-5.
http://www.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/16280803
8. Hbfner K, Burkart M, Jacob G, et al. Safety and efficacy of tolertodine extended release in men with
overactive bladder symptoms and presumed non-obstructive benign prostatic hyperplasia. World J
Urol 2007 Dec;25(6):627-33. http:~www.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/17906864
9. Abrams P, Kapian S, De Koning Cans HJ, et ai. Safety and tolerability of toiterodine for the treatment
of overactive bladder in men with bladder outlet obstruction. J Uroi 2006 Mar;175(5):999-1004.
http://www.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/l64696Ol
10. Kedla GT, ljckert S, Jonas U, et ai. The nitric oxide pathway in the human prostate: clinical implications
in men with lower urinary tract symptoms. World J Urol2008 Dec;26(6):603-9.
http:llwww.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/18607596
11. Wright PJ. Comparison of phosphodiesterase type 5 (PDES) inhibitors. Int J Clin Pract 2006 Aug;60(8):
967-75. http://www.ncbi.nim.nih.nov/pubmed/16780568
12. Oelke M, Giuliano F, Mirone V, et al. Monotherapy with tadalafii or tamsulosin similarly improved
lower urinary tract symptoms suggestive of benign prostatic hyperpiasia in an international,
randomised, parallel, placebo-controlled clinical triai. Eur Urol 2012 May;61(5):917-25.
http://www.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/22297243
13. Gacci M, Corona G, Salvi M et al. A systematic review and meta-analysis on the use of
phosphodiesterase 5 inhibitors aione or in combination with a-blockers for iower urinary tract
symptoms due to benign prostatic hyperplasia. Eur Urol 2012 May;61(5):994-1003.
http://www.ncbi.nlm.nih.~ov/pubmed/2240~55Q
14. .Sahito RA, Pirzada AJ, Qureshi MA, et al. A Comparative Study of Trans Urethral Resection Versus
Trans Urethral lncision for Small Size Obstructing Prostate. Journal of Surgery Pakistan (international)
17 (3) July September 2012.
http://www.jsp.org.pk/lssues/JSP%20%2017%20(3)%20July%20%20Sept%20%202012%20PDF/Rafiq~
e%20Sehto%200A,pdf
15. Madersbacher S, Alivizatos G, Nordling J, et al. EAU 2004 Guideiines on Assessment, Therapy and
Follow-Up of Men with Lower Urinary Tract Symptoms Suggestive of Benign Prostatic Obstruction
(BPH Guidelines). j.eururo.2004.0770166

16. Nordahl GW, Bucher 8, Hacker A, et ai. improvement in Mortality and Morbidity in Transurethral
Resection of the Prostate over 17 Years in a Single Center. Journal of Endourology. 21(9): 1081-1088.
doi:10.1089/end.2006.0370. 2007

17. Golam Robbani A.B.M., Salam M . A,, Anowarui Islam A. K. M. Transurethrai Resection (TURP) Versus
Transurethrai lncision (TUiP) of the Prostate for Small Sized Benign Prostatic Hyperpiasia: A
Prospective Randomized Study. TAJ 19(2): 50-56,2006
18. Han M, Partin AW. Retropubic and Suprapubic Open Prostatectomy. Pada: Campbell-Walsh Urology
Edisi 10. Philadelphia: Saunders. 2007
19. Fitzpatrick JM,Desgrandchamps F,Adjali K, et al. Management of acute urinary retention: a
worldwide survey of 6074 men with benign prostatic hyperplasia. BJU int. 2012

20. Greco KA, McVary KT. The role of combination medical therapy in benign prostatic hyperpiasia. !@
impot Res. 2008 Dec;2O Suppl3:S33-43. doi: 10.1038/ijir.2008.51.
http:[/www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19002123

21. Zeif HJ, Subramonian K.Alpha blockers prior t o removal of a catheter for acute urinary retention in
adult men.Cochrane Database Svst Rev. 2009
22. Griffiths R, Fernandez R. Strategies for the removal of short-term indwelling urethral catheters in 4. Pemant
adults. Cochrane Database Syst Rev. 2007
Semu:
mengetahui I
pemeriksaan
Jadwai peme
tabel 2.'

Pemal
pasien.

Daftar pustaka:

1. Gravas
Lower
of Uro
4. Pemantauan
Semua pasien BPH memerlukan pemantauan aktif berkala (follow-up) untuk
mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya. Evaluasi rutin dilakukan dengan
pemeriksaan IPSS, uroflowmetry, dan pengukuran volume residu urine pasca berkemih.
Jadwal pemeriksaan tergantung pada terapi yang dijalani oleh pasien seperti terlihat pada
tabel 2.'

Pemantauan secara berkala dilakukan antara 1-6 bulan disesuaikan dengan kondisi
pasien.

Daftar pustaka:

1. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the Management of Non-Neurogenic Male


Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association
of Urology 2014.
5. Algoritma
I

11
Gambar 3. Skema pengelolaan BPH untuk dokter umum dan spesialis non-urologi
(IPSS: \nfernational ProstaticSymptom Score; QoL: Quality of fife; PYR: Post Voiding Residual Urine)

aan firik, colok dubur

. Uroflometri
Kela~nanneuroiogls
Kandung kemih teraba

C
Gejala.
resi,

RUJUK KE SPESIALIS UROLOGI UNTUK PENATALAKSANAAN LANJUT:


9 Pemeriksaan Tambahan
9 Terapi lntervensi
Garnbar 5. Algoritma tata iaksana pilihan terapi intervensil 1
Pria diduga BPH dengan kriteria:
indikasi absolut untuk operasi; atau
Tidak respon terhadap terapi medikamentosa;
atau
Tidak ingin diterapi m e d i k ~mentosa dan
menginginkan terapi aktif

mera

1 1 mera

1 1 panc
iema

ham

tidu

hari

Daftar pustaka:
1. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, e t ai. Management o f Non-Neurogenic Male Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS), inci. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association o f Urology
2014
. p: 27-30,
1
I i mer
den
Lampiran 2 . Catatan Harian Berkemih
Waktu (Pukul) Volume Kencing (mL) Jumlah Minum (mL)

You might also like