13 25 1 SM
13 25 1 SM
13 25 1 SM
Sri sutyasmi
Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri
Kementerian Perindustrian RI
ABSTRACT
Has done research on the anti-foam to reduce foam to 4 (four) kinds of detergents
commonly used for degreasing agent (a type of detergent) in the leather tanning
process. This study aims to find ways to overcome foaming problems that occur in
wastewater treatment (WWTP) in which the leather tanning industry in the leather
tanning process using a degreasing agent always to eliminate fat in the skin. Two
kinds of anti-foam used in this study to reduce foaming of the four kinds of detergents
(degreasing agent) is neopalin, gelon PK, teepol and tergolik A. To four different
Deterjent made solution with a concentration of 0.1, 0.2 and 0.3%, then drops anti
froth until its volume is stable. Teepol at least cause frothing and buihnya easily
overcome. Studies continue to try to apply the anti froth into the skin in wastewater
aeration and activated sludge plus. Basically all foam anti foam can be lowered.
Experiment with using leather waste water and activated sludge showed that the
larger the activated sludge is used then the scum that arises less and less, and of
course this reduces the use of anti-foam.
Sri sutyasmi
Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri
Kementerian Perindustrian RI
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai anti buih yang dapat mengurangi buih
terhadap 4 (empat) macam deterjen yang biasa digunakan untuk degreasing agent
(sejenis deterjen) pada proses penyamakan kulit. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan cara dalam mengatasi masalah buih yang terjadi pada pengolahan air
limbah (IPAL) industri penyamakan kulit dimana dalam proses penyamakan kulit
selalu menggunakan degreasing agent untuk menghilangkan lemak yang ada pada
kulit. Dua macam anti buih digunakan dalam penelitian ini untuk menurunkan buih
dari 4 macam deterjen (degreasing agent) yaitu neopalin, gelon PK, teepol dan
tergolik A. Ke-empat macam Deterjent dibuat larutan dengan konsentrasi 0,1, 0,2
dan 0,3 %, kemudian ditetesi anti buih sampai volumenya stabil. Teepol paling
sedikit menimbulkan buih dan buihnya mudah diatasi. Penelitian dilanjutkan dengan
mencoba menerapkan anti buih kedalam air limbah kulit yang di aerasi dan di
ditambah dengan lumpur aktif. Pada dasarnya semua anti buih bisa menurunkan
buih. Percobaan dengan menggunakan air limbah kulit dan lumpur aktif
menunjukkan bahwa semakin besar lumpur aktif yang digunakan maka buih yang
timbul semakin sedikit, dan tentu saja ini mengurangi penggunaan anti buih.
PENDAHULUAN
Kendala utama dalam mengolah air limbah industri penyamakan kulit ialah
sulitnya memperoleh hasil yang diharapkan dalam memenuhi ambang batas yang
dipersyaratkan. Kesulitan tersebut lebih disebabkan karena sangat kompleknya
kandungan bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah industri penyamakan
kulit. Bahan pencemar yang ada sangat ditentukan oleh bahan baku dan bahan
pembantu yang digunakan untuk proses produksi. Sebagai contoh misalnya
penggunaan wetting agent atau deterjen dan sejenisnya, selama proses produksi
akan menimbulkan buih di dalam air limbahnya. Pada dasarnya buih terbentuk
akibat adanya sebaran gelembung udara di dalam air ( Brian kiepper, 2011)
Azis Tejpan 2013, menyatakan bahwa buih terjadi karena pengaruh adanya
intervensi udara yang besar kedalam cairan. Akibatnya buih akan terjadi dengan
adanya substansi di dalam cairan yang menurunkan tegangan permukaan cairan
dan mengurangi pekerjaan yang harus di laksanakan untuk memperluas permukaan.
Yang berhubungan erat dengan kecepatan pembentukan buih suatu cairan adalah
stabilitas buih itu sendiri. Apabila tegangan permukaan cairan cenderung konstan
untuk mengurangi tegangan permukaan, maka tegangan permukaan rendah akan
menimbulkan buih yang stabil (Watson E.G. 2011).
Buih tidak akan menjadi masalah apabila segera pecah setelah mencapai
permukaan air. Namun pada prakteknya buih sering kali tidak segera pecah, dan
bahkan ikut terbawa aliran air.sungai, sehingga mengganggu pemandangan.
Buih dalam unit pengolahan air limbah dapat mengganggu proses
pengolahannya, terutama untuk proses biologi. Terjadinya buih yang berlebihan di
permukaan air akan menghambat proses sirkulasi udara dan juga mengganggu
masuknya sinar matahari yang dibutuhkan untuk perkembangan mikrobia dalam
lumpur aktif, sehingga juga mengganggu perkembangan mikrobia (Manh, L.D, 2008).
Apabila tertiup angin, maka buih di dalam bak biologi dapat tersebar luas dengan
membawa lumpur aktif. Buih yang menempel di permukaan tanah, dinding dan lain-
lainnya akan mengering dan kelihatan kecoklataan, terkesan kotor dan mengganggu
pemandangan. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mengeliminir buih agar
pengolahaan air limbah dapat berhasil dengan baik sehingga perlu penelitian skala
laboratorium untuk mengeliminasi buih dalam pengolahan air limbah. Berikut adalah
gambar buih yang terdapat dalam pengolahan air limbah.
rendah, gravitasi, dan factor luar lainnya yang cenderung untuk memisahkan phase
tersebut. (Tolley, 1971)
Wahyudi, 2010, menjelaskan bahwa istilah surfaktan, detergent dan sabun,
adalah bahan yang digunakan untuk mengurangi ketegangan permukaan cairan.
Surfaktan dapat dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan atas kelakuan ion dalam
larutan cairan, sebagai berikut: an ionic; kathionik; non ionik dan amphoterik.
Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk deterjen (hingga 15-40
% dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat mengaktifkan permukaan, karena
cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat
menaikkan dan menurunkan tegangan permukaan. Dengan surfaktant dapat terjadi
perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses pembasahan, daya
busa yang stabil, daya emulsi yang stabil (Chantraine, et all. 2009 )
Menurut Kraichevsky, (2003) bahwa : Tegangan Permukaan dari Larutan
Surfaktan merupakan tegangan permukaan yang statis. Secara teori sebaran zat cair
dan gas (emulsi, buih) distabilkan oleh lapisan lapisan adsorpsi dari molekul aphipilik.
Ini bisa surfaktan ionic dan nonionic, lemak, protein, nonionic, dsb. Semua itu
mempunyai sifat untuk bisa menurunkan tegangan permukaan.
Sukla 1979, menyatakan bahwa mekanisme anti buih yang bekerja adalah
kekuatan interpartikel yang menentukan stabilitas system koloidal dan beberapa
mekanisme yang dihasilkan dalam ketidak stabilan suspensi dan emulsi. Dalam
beberapa teknologi (seperti pabrik kertas, pulp, minuman, pewarnaan tekstil, proses
limbah minyak, dll), dapat timbul buih yang sangat besar dan stabil, yang menghalangi
teknologi proses yang normal, oleh karena itu dalam banyak hal timbulnya buih ini tidak
disenangi. Dalam kasus ini, berbagai macam minyak dan campuran minyak-padatan
dimasukkan ke media buih dan digunakan sebagai pengontrol buih atau pencegah
buih yang efisien.
Anti buih digunakan juga dalam produk-produk seperti sabun, minuman dsb.
Sering kali minyak dicampurkan dalam bahan surfaktan, sehingga dapat mencegah
timbulnya buih, seperti misalnya penggunaan minyak silicon sebagai hair conditioner
dalam shampo. Dikatakan lebih lanjut bahwa pengaruh mekanisme perusakan buih oleh
anti buih dari minyak tidak sepenuhnya dimengerti dan merupakan subyek penelitian
yang intensif.(Ponda, 2013)
Menurut Stephen A.von Phul 2004, anti buih terdiri dari minyak
(polydimethylsiloxane atau hidrokarbon), sebaran partikel-partikel padatan yang
hidrophobik (contoh: silica yang hidrophobik), atau campuran keduanya. Campuran
antara minyak dengan padatan biasa disebut campuran anti buih. Berat konsentrasi
partikel padatan dalam campuran adalah sekitar beberapa persen (2 8%). Pengaruh
sinergis yang kuat antara minyak dengan padatan telah diketahui jauh lebih efektif
dibanding apabila minyak atau padatan digunakan secara terpisah (individu). Campuran
tersebut digunakan dengan konsentrasi kurang dari 0,1% dari berat, di mana minyak
digunakan dengan konsentrasi lebih besar karena efisiensi/daya untuk memecah
buihnya lebih rendah (Pandey, 2003). Anti buih ini bisa di pre-emulsi dahulu, dalam
bentuk tetesan minyak atau campuran minyak-kristal padatan dalam ukuran mikro.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara mengatasi masalah buih dalam
unit pengolahan air limbah industri penyamakan kulit, sehingga tidak mencemari
lingkungan.
Volume buih yang terjadi dicatat pada setiap pengamatan dan perlakuan yang
satu dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pengamatan dihentikan setelah volume
buih konstan.
Selanjutnya anti buih diuji cobakan terhadap air limbah kulit yang diberi lumpur
aktif yang divariasi dan diaerasi agar keluar buih.
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa: pada penggunaan neopalin 0,1% pada awal
perlakuan hanya menimbulkan buih sebesar 30 ml, selanjutnya dengan penambahan 3
tetes anti buih pada interval waktu 2 menit volume buih menurun. Pada pengamatan 8
menit perlakuan dengan penambahan 12 tetes anti buih, terlihat buih yang terjadi hanya
sekitar 5 ml, dan keadaan ini konstan hingga akhir percobaan, yakni pada pengamatan
14 menit. Perlu diketahui bahwa sejak pengamatan ke IV (8 menit), pada percobaan
dengan menggunakan neopalin ini sudah tidak lagi ada penambahan anti buih.
Pada percobaan dengan gelon PK 0,1% terlihat buih yang terjadi pada 4 menit
pertama adalah 40 ml dan selanjutnya buih turun menjadi 10 ml setelah 8 menit
perlakuan. Selanjutnya volume buih ini konstan sampai pada pengamatan ke VIII.
Seperti halnya pada percobaan dengan menggunakan neopalin, maka pada percobaan
ini sejak pengamatan ke VI sudah tidak ada lagi penambahan anti buih.
Pada percobaan dengan Teepol 0,1% tidak menunjukkan terjadinya buih, walau
hanya dengan 3 tetes anti buih, sampai akhir pengamatan.Hal ini menunjukkan bahwa
Teepol adalah jenis deterjen yang tidak banyak menimbulkan buih sehingga pemakaian
dalam industri penyamakan kulit untuk degreasing agent perlu volume yang lebih
banyak dari pada degreasing agent yang lain.
Pada percobaan dengan Tergolix A 0,1%, buih yang terjadi pada 2 menit
pertama adalah sebesar 650 ml. Buih semakin menurun dengan semakin banyaknya
anti buih yang diberikan. Volume buih menjadi 10 ml pada menit ke 7 dan tetap stabil
pada menit ke 8 dan sampai akhir pengamatan.
Gambar 2. Pengamatan volume buih menggunakan anti buih defoamer 5050 terhadap
4 jenis deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,2%
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada penggunaan neopalin 0,2% buih yang
timbul pada 2 menit pertama, adalah sebesar 600 ml, selanjutnya dengan penambahan
anti buih sebanyak 3 tetes setiap interval waktu 2 menit, terlihat volume buih semakin
menurun. Pada pengamatan ke 13 atau selama 26 menit perlakuan buih kelihatan
stabil sampai akhir percobaan yaitu pada 2 ml. Dengan kata lain penggunaan anti buih
defoamer 5050 0,2 % masih lebih baik dari pada penggunaan neopalin 0,1 %.
Pada percobaan dengan gelon PK 0,2% terlihat buih yang terjadi pada 2 menit
pertama sebesar 700 ml. Buih yang terjadi turun menjadi 10 ml setelah 20 menit
perlakuan. Selanjutnya volume buih ini konstan pada volume 10 ml sampai pada
pengamatan 16 menit tanpa ada penambahan anti buih. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan Gelon PK 0,2 % paling banyak menimbulkan buih namun cepat hilang
dengan penambahan anti buih defoamer 5050.
Pada percobaan dengan teepol 0,2 % tetap tidak menunjukkan terjadinya buih
sejak awal sampai akhir pengamatan.
Pada percobaan dengan tergolix A 0,2%, buih yang terjadi pada 2 menit
pertama adalah sebesar 450 ml. Buih semakin menurun dengan semakin banyaknya
anti buih yang diberikan. Volume buih menjadi 20 ml pada menit ke 18 dan tetap stabil
sampai akhir pengamatan.
Penggunaan anti buih defoamer 5050 sebesar 0,2 % cepat mengatasi buih yang
ditimbulkan dalam pengolahan air limbah.
Dari gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa: pada penggunaan neopalin 0,3% buih
yang timbul pada 2 menit pertama, adalah sebesar 50 ml. Selanjutnya volume buih
semakin menurun menjadi 5 ml dan stabil setelah 24 menit pengamatan, sampai akhir
pengamatan.
Pada percobaan dengan gelon PK 0,3 % terlihat buih yang terjadi pada 2 menit
pertama sebesar 250 ml. Buih yang terjadi turun menjadi 5 ml setelah 16 menit
perlakuan. Selanjutnya volume buih ini konstan sampai pada akhir pengamatan yaitu 24
menit.
Pada percobaan dengan Teepol , 0,3 % terlihat bahwa pada pengamatan awal,
ada 70 ml buih yang terjadi, selanjutnya buih hilang pada pengamatan 6 menit dan
stabil atau konstan sampai akhir pengamatan atau setelah 26 menit.
Dengan demikian pemakaian Teepol sebagai degreasing agent harus lebih
banyak dari yang lain.
Pada percobaan dengan tergolix A 0,3 %, buih yang terjadi pada 2 menit
pertama adalah sebesar 170 ml. Volume buih kelihatan menurun sejak pengamatan 4
menit. Pada pengamatan menit ke 10, volume buih menjadi 10 ml dan stabil sampai
akhir pengamatan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 4 jenis deterjen yang digunakan
terlihat Teepol menghasilkan buih paling sedikit dan tidak sebanyak seperti deterjen
yang lain. Besarnya volume buih setiap deterjen secara kwantitatif dan kwalitatif tidak
sama. Hal ini menunjukkan bahwa bahan penyusun atau komponen deterjen yang satu
berbeda dengan yang lain, sehingga mengakibatkan kelakuan yang berbeda dari setiap
deterjen, walau pada perlakuan yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Xia He
(2011) yang menyatakan bahwa terbentuknya buih sangat dipengaruhi oleh komponen
penyusun deterjen, media dan aerasinya. Semakin besar jumlah zat aktif pembentuk
buih, semakin banyak buih yang terbentuk. Semakin besar udara atau oksigen yang
dihembuskan kedalam media akan semakin besar volume buih. Demikian pula apabila
dalam media terdapat banyak kandungan protein, lemak, karbohidrat, dan minyak maka
kemungkinan akan timbul buih sangat besar. Ternyata sampai sekarang masih belum
jelas mengenai mekanisme distruksi buih, manakah yang dirusak: apakah film buihnya
atau Platau Bordernya? Atau apakah strukturnya atau elemennya? Struktur dan
ketahanan lapisan film buih sangat bervariasi
Gambar 4. Pengamatan volume buih menggunakan anti buih silicon terhadap 4 jenis
deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,1%.
Gambar 5. Pengamatan volume buih dengan menggunakan anti buih silikon terhadap 4
jenis deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,2%.
Perlakuan dengan deterjen Tergulik A 0,3%, terlihat buih yang terjadi pada
awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 1.900 ml. Volume buih
menurun/berkurang menjadi 30 ml, pada pengamatan 30 menit. Kondisi ini tetap
stabil sampai akhir pengamatan.
Dari kedua anti buih yang digunakan untuk menghilangkan buih dari deterjen
konsentrasi 0,1 % maka aanti buih defoamer 5050 terlihat lebih bisa menghambat
terjadinya buih dari pada anti buih silicon. Sedangkan pada konsentrasi deterjen 0,2
% maka anti buih defoamer 5050 hampir sama dengan anti buih Silikon yaitu dapat
menstabilkan buih pada pengamatan 18 menit dan 24 menit. Untuk konsentrasi
deterjen 0,3 % , anti buih Silikon mempunyai waktu yang lebih lama untuk
menstabilkan buih yaitu pada pengamatan 20 menit, dari pada anti buih Defoamer
5050 yang terlihat stabil paada pengamatan 16 menit.
3. Percobaan Anti Buih Defoamer 5050 terhadap air limbah Kulit yang diaerasi
Dari percobaan diatas dapat dilihat bahwa pemberian anti buih defoamer 5050
pada air limbah yang diberi lumpur aktif dan di aerasi terlihat bahwa air limbah yang
tidak diberi lumpur aktif, volume buih pada akhir pengamatan masih tinggi yaitu 60
ml, sedangkan penambahan lumpur aktif yang tinggi yaitu dari setengah sampai
bagian dari air limbah menunjukkan bahwa volume buih pada akhir pengamatan
menurun yaitu 20 ml. Sedangkan volume buih yang terkecil terlihat pada
penambahan lumpur aktif 50 ml. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak lumpur
aktif dalam air limbah tidak bisa menekan volume buih, namun yang terbaik untuk
komposisi lumpur aktif dan air limbah adalah seperempatnya (150 ml air limbah + 50
ml Lumpur aktif)
Gambar 7: Penggunaan Anti Buih Defoamer 5050 terhadap air limbah Kulit
Keterangan : A: 200 ml Air Limbah Kulit + 0 ml Lumpur aktif
B: 150 ml Air limbah Kulit + 50 ml Lumpur aktif
C: 100 ml Air limbah kulit + 50 ml Lumpur aktif
D: 50 ml Air limbah kulit + 150 ml Lumpur aktif
4. Percobaan Anti Buih Silikon terhadap air limbah Kulit yang diaerasi
Gambar 8 : Percobaan Anti Buih Silikon, terhadap air limbah kulit yang diaerasi
Dari percobaan diatas (Gambar 8) dapat dilihat bahwa anti buih Silikon langsung
dapat menurunkan buih pada 2 menit pertama. Semakin besar penambahan lumpur
aktif maka volume buih yang terjadi semakin kecil. Hal ini bisa dilihat pada
percobaan/pengamatan D (50 ml air limbah + 150 ml lumpur aktif). Dengan kata lain
penambahan lumpur aktif 150 ml buih dalam air limbah tidak timbul.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ign
Sunaryo dan Bapak Isananto Winursito yang sudah membimbing dan ikut serta
melaksanakan penelitian ini sampai selesai dan berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. 2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [8 Desember
2010].
Wahyudi, 2010, Perbedaan antara surfaktan anionic dan kationik dan penerapannya
pada detergent,
Watson E.G, (2011), Frying Up Energy Endependence The Feasibility of Fats, Oil &
Grease (FOG). Derived Biofeel Production, Florida Water Resources journal.
Widiyani, P (2010), Dampak dan Penanganan Limbah Deterjen, Program studi
kesehatan masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Xia He, Mahbuba lasmin, Lisa O, Dian Simon Lappi S, Joel J, Ducost, and Francis L.
De los reyes (2011), Envidence for Fat, Oil and Grease (FOG) Deposit
Fromotion Mechanisms in Sewer Lines, American Chemical Society.