Eksperimentasi Model Pembelajaran LC 5E Disertai Afl Pada Materi Prisma Dan Limas Ditinjau Dari Adversity Quotient

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika

Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN LC 5E


DISERTAI AFL PADA MATERI PRISMA DAN LIMAS
DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT
Guritno Ari Wibowo1, Tri Atmojo Kusmayadi2, Riyadi3
1,2,3

Program Magister Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta


Abstract: This research investigated the effect of using Learning Cycle 5E model
using AfL in Mathematics course achievement viewed from Adversity Quotient.
The quasi experimental research design was employed on this research. The technique
analysis data used two-way analysis of variance with unbalanced cell frequencies at
0,05 level of significance. The results show as follows 1) LC 5E with AfL model gave
better Mathematics course achievement than the one without AfL and conventional
model, and LC 5E without AfL gave better Mathematics course achievement than
conventional model. 2) The students who are climber have better Mathematics course
achievement than camper and quitter, and the students who are camper have similar
Mathematics achievement compared to quitter. 3) In LC 5E with AfL model, the
climber category students Mathematics achievements are better than the ones who are
camper and quitter, and the camper category students Mathematics achievements were
better than the ones who are quitter. In LC 5E model, the climber category students
Mathematics achievements are better than the ones who are camper and quitter, and the
Mathematics achievements of camper category students were similar with the ones
who are quitter. In the conventional model, whether climber, camper, or quitter have
the same Mathematics course achievement. 4) Mathematics course achievement of
climber category students was the same whether when they were given LC 5E with
AfL or LC 5E, on the other hand those are better than the conventional model. The
students who are camper category had better Mathematics achievement when they
were given LC 5E include AfL and LC 5E than when were given conventional model,
however those students had the same Mathematics achievement whether when they
were given LC 5E or conventional model. The quitter category students had the same
Mathematics achievement when they were given LC 5E with AfL, LC 5E, or
conventional model.
Keywords: Learning model, LC 5E, Assessment for Learning, Adversity Quotient.

PENDAHULUAN
Peningkatan mutu pendidikan tidak terlepas dan berkaitan erat dengan proses
belajar mengajar yang dilakukan di sekolah. Melalui proses belajar mengajar di sekolah,
peserta didik mampu mengembangkan dirinya baik dalam hal akademis maupun non
akademis. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan yang tertuang dalam pasal 3 bab I
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

222

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

Salah satu usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah


dengan meningkatkan kualitas pembelajaran pada mata pelajaran matematika.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran primer yang dipelajari di setiap jenjang
pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah, bahkan perguruan tinggi.
Pembelajaran matematika mencakup proses mengajar, proses belajar, dan proses berpikir
kreatif. Dengan belajar matematika, siswa diajarkan untuk berpikir secara logis,
sistematis, dan rasional dalam menyelesaikan masalah sehingga perkembangannya
menjadi hal yang penting bagi dunia pendidikan.
Pentingnya matematika dalam pembelajaran di sekolah menuntut siswa untuk
dapat menguasai konsep yang saling berkaitan di dalam mata pelajaran tersebut. Di sisi
lain, matematika selalu menjadi momok para siswa, mulai dari sekolah dasar hingga
sekolah menengah bahkan para mahasiswa di perguruan tinggi. Berdasarkan data hasil
Ujian Nasional (UN) SMP/MTs mata pelajaran matematika tahun pelajaran 2012/2013 di
Kabupaten Sukoharjo diketahui bahwa masih terdapat 37,01% siswa yang nilainya berada
di bawah 4,00. Hal ini berarti bahwa masih cukup banyak siswa yang tidak lulus.
Persentase daya serap matematika UN SMP/MTs tahun pelajaran 2012/2013 di
Kabupaten Sukoharjo pada indikator menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
volume bangun ruang sebesar 33,79%. Sedangkan persentase daya serap untuk Provinsi
Jawa Tengah dan Nasional masing-masing mencapai 37,03% dan 47,30%. Setelah dilihat
dari instrumen soal yang digunakan ternyata berkaitan dengan volume prisma dan limas.
Hal ini mengindikasikan bahwa siswa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal yang
terkait materi Prisma dan Limas yang merupakan materi lanjutan dari materi kubus dan
balok.
Rendahnya hasil UN mata pelajaran Matematika SMP/MTs tahun pelajaran
2012/2013 di Kabupaten Sukoharjo pada indikator menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan volume bangun ruang berdampak pada rendahnya prestasi belajar
matematika siswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan pembaharuan dalam
pembelajaran untuk mengatasi masalah tersebut khususnya dan permasalahan dalam
pembelajaran matematika secara umum. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar sehingga prestasinya menjadi rendah. Faktor-faktor
tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang
berasal dari dalam diri siswa, antara lain motivasi, konsentrasi siswa dalam belajar,
pengolahan bahan ajar, menyimpan perolehan hasil belajar, menggali hasil belajar,
kemampuan berprestasi dan cita-cita. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang
berasal dari luar diri siswa, antara lain guru, sarana dan prasarana pembelajaran,

223

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

ketepatan guru dalam memilih pendekatan maupun model pembelajaran, kebijakan


pemerintah, lingkungan sosial dan keluarga (Slameto, 2010: 60-72).
Kenyataan di lapangan sejauh ini masih banyak dijumpai sekolah yang
menerapkan model pembelajaran langsung yang lebih terpusat pada guru (teacher
centered). Pada model pembelajaran langsung, kegiatan pembelajaran menekankan
pentingnya aktivitas guru dalam membelajarkan peserta didik. Sumber informasi berupa
simbolik, seperti mendengarkan penjelasan guru atau membaca buku rujukan atau
pegangan tertentu. Selama proses pembelajaran langsung didominasi oleh pengajaran
atau penyampaian materi secara langsung, peran guru adalah memproses pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan oleh siswa untuk belajar. Sehingga tidak memberikan
penekanan kepada aktivitas siswa, tidak memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat dan minat yang mereka miliki.
Paparan situasi di atas mengindikasikan adanya kebutuhan yang mendesak
tentang model pembelajaran yang dapat dilaksanakan secara

interaktif,

inspiratif,

menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta


memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat dan minat dari pebelajar. Di samping itu diperlukan juga model penilaian alternatif
yang dapat memberikan penekanan terhadap aktivitas siswa, mampu menghargai siswa
sebagai individu yang dinamis, aktif mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan
pengalamannya yang spesifik. Model pembelajaran ini sesuai dengan teori pembelajaran
konstruktivisme. Teori pembelajaran ini menganjurkan peran aktif siswa dalam
pembelajaran, sedangkan peran guru adalah membantu siswa dalam menemukan fakta,
konsep, atau prinsip, bukan mengendalikan seluruh kegiatan kelas. Salah satu model
pembelajaran yang menerapkan paham konstruktivis adalah model pembelajaran
bersiklus (learning cycle).
Model pembelajaran bersiklus pertama kali dikembangkan oleh Robert Karplus
dalam Science Curiculum Improvement Study/SCIS (Wena, 2009: 173). Pada mulanya
terdiri dari tiga tahap meliputi fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept
introduction),

dan

aplikasi

konsep

(concept

application).

Selanjutnya

model

pembelajaran ini dikembangkan oleh Bybee et. al. (2006) menjadi lima tahap yang
disebut dengan Learning Cycle (LC) 5E . Lima tahapan tersebut adalah engage, explore,
explain, elaborate, and evaluate . Model pembelajaran LC 5E memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mempelajari cara menemukan fakta, konsep dan prinsip melalui
pengalamannya secara langsung. Dalam model ini siswa diarahkan belajar secara
bertahap

mulai

dari

mendapat

stimulus,

mengeksplorasikan

permasalahan,

mengungkapkan ide, mengaplikasikan dalam situasi baru serta mengevaluasi. Dengan


224

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

demikian siswa dituntut untuk lebih aktif terlibat dalam membangun pengetahuananya
sendiri. Hasil penelitian Sadi dan Cakiroglu (2012) mengungkapkan bahwa siswa yang
diberikan pembelajaran LC 5E mempunyai nilai posttest lebih baik daripada siswa yang
diberikan pembelajaran langsung.
Dalam proses pembelajaran LC 5E masih terdapat kekurangan dalam hal
monitoring atau pengawasan terhadap siswa. Guru hanya memberikan evaluasi secara
keseluruhan di bagian akhir pembelajaran sehingga tidak semua siswa yang mengalami
kesulitan dapat diketahui dan segera ditangani. Karena proses pembelajaran ini melalui
beberapa fase dan siswa diharapkan mampu melaluinya dengan baik, sangat penting bagi
guru untuk dapat mengetahui sampai dimana pemahaman siswanya. Dalam
perkembangannya untuk mengatasi adanya kekurangan dalam model pembelajaran LC
5E dilakukan modifikasi dengan menerapkan asesmen dalam proses pembelajarannya.
Dalam hal ini secara khusus asesmen yang diterapkan adalah Assessment for Learning
(AfL). Arends (2008:237) mengungkapkan bahwa kegiatan asesmen guru dimaksudkan
untuk salah satu diantara tiga tujuan mendiagnosis pengetahuan dan keterampilan siswa
sebelumnya, memberikan umpan balik korektif dan mengevaluasi serta memberi nilai
pada prestasi siswa. Maksud utama dari asesmen adalah memberikan umpan balik kepada
siswa seberapa besar hasil kerjanya. Umpan-balik korektif memberikan informasi kepada
siswa tentang seberapa baik hasil kerjanya. Dalam pembelajaran yang disertai AfL,
menurut Duran et. al (2011) we have added a new formative assessment phase to
monitor the progress of individual students and their depths of understanding through the
cycle. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemberian penilaian formatif atau
dalam hal ini AfL adalah untuk mengetahui perkembangan dan kedalaman pemahaman
siswa selama siklus.
Di samping disebabkan oleh faktor eksternal, faktor dalam diri siswa juga sangat
menentukan prestasi belajarnya. Salah satu faktor internal tersebut adalah adversity
quotient (AQ). Individu yang memiliki AQ tinggi akan mempunyai tingkat kendali yang
kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk. Kendali yang tinggi akan memiliki implikasiimplikasi yang jangkauannya jauh dan positif, serta sangat bermanfaat untuk kinerja,
dan produktivitas. AQ yang tinggi mengajar orang untuk meningkatkan rasa
tanggung jawab sebagai salah satu cara memperluas kendali, pemberdayaan dan
motivasi dalam mengambil tindakan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Masfingatin
(2012) yang menunjukkan bahwa proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah
matematika berbeda-beda menurut tingkat AQ-nya, sehingga dalam pembelajaran
pemecahan masalah matematika perlu ditekankan pada pendekatan secara individual
berdasarkan tingkat AQ siswa.
225

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri se-Kabupatern Sukoharjo pada
semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah eksperimental
semu atau quasi experimental research. Populasinya adalah siswa kelas VIII SMP
semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
stratified cluster random sampling. Sampel yang terpilih adalah siswa SMP Negeri 1
Gatak mewakili sekolah kelompok tinggi, SMP 1 Negeri Bendosari mewakili sekolah
kelompok sedang, dan siswa SMP Negeri 2 Grogol mewakili sekolah kelompok rendah.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas yaitu model
pembelajaran dan AQ siswa serta satu variabel terikat yaitu prestasi belajar matematika.
Pengumpulan data dilakukan mengginakan metode dokumentasi, metode tes, dan metode
angket. Sebelum dilakukan eksperimen, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat terhadap
data kemampuan awal siswa meliputi uji normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors
dan uji homogenitas variansi menggunakan metode Barttlet. Selanjutnya teknik analisis
data digunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama. Apabila hasil analisis
variansi menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak, dilakukan uji lanjut pasca anava
menggunakan metode Scheffe. (Budiyono, 2009: 170-217)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil uji prasarat yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas
variansi diperoleh simpulan bahwa semua sampel berasal dari populasi berdistribusi
normal dan mempunyai variansi yang sama (homogen). Kemudian dilakukan uji
keseimbangan untuk mengetahui kemampuan awal masing-masing sampel, diperoleh
simpulan bahwa sampel eksperimen dan kontrol berasal dari populasi yang mempunyai
kemampuan awal matematika sama. Selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan
anava dua jalan dengan sel tak sama dan hasilnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan dengan Sel Tak Sama
Sumber

JK

dK

RK

Fobs

Model Pembelajaran (A) 5461,31


2 2730,66 27,53
Adversity Quotient (B)
4272,79
2 2136,39 21,54
Interaksi
1385,82
4
346,46 3,49
Galat
26776,08 270 99,17
Total
37896
278

Keputusan

3,03
3,03
2,41

H0A ditolak
H0B ditolak
H0AB ditolak

Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 1 terlihat bahwa H0A
ditolak berarti tedapat perbedaan efek antara model pembelajaran LC 5E disertai AfL,
model pembelajaran LC 5E dan model pembelajaran langsung terhadap prestasi belajar

226

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

matematika siswa pada materi prisma dan limas. H0B ditolak berarti tedapat perbedaan
efek antar kategori AQ siswa climber, camper, dan quitter terhadap prestasi belajar
matematika siswa pada materi prisma dan limas. H0AB ditolak berarti terdapat interaksi
antara model pembelajaran dengan AQ siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa
pada materi prisma dan limas. Dengan demikian ketiga hipotesis yaitu H0A, H0B, dan H0AB
ditolak. Oleh karena itu dilakukan uji lanjut pasca anava menggunakan metode Scheffe.
Pada Tabel 2 berikut ini disajikan rangkuman rerata masing-masing sel dan rerata
marginalnya.
Tabel 2. Rangkuman Rerata Sel dan Rerata Marginal
Model
Pembelajaran

Adversity Quotient
Rerata
Climber Camper Quitter Marjinal
LC 5E disertai AfL
76,93
70,98
62,59
71,36
LC 5E
71,41
60,53
59,67
63,35
Langsung
60,69
58,90
57,41
58,91
Rerata Marjinal
69,72
64,72
59,36
Dari uji anava diketahui bahwa H0A ditolak selanjutnya dilakukan uji komparasi rerata
antar baris. Rangkuman hasil uji lanjut rerata antar baris disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Komparasi Antar Baris
H0

1. = 2.
1. = 3.
2. = 3 .

Fobs

2F(0,05;2;279)

Keputusan Uji

30,22

6,06

H0 ditolak

9,20

6,06

H0 ditolak

72,65
6,06
H0 ditolak
Berdasarkan hasil pada Tabel 3 dan rerata marginal pada Tabel 2 dapat disimpulkan
bahwa prestasi belajar matematika siswa yang dikenai model pembelajaran LC 5E
disertai AfL lebih baik daripada dikenai model pembelajaran LC 5E maupun model
pembelajaran langsung dan prestasi belajar matematika siswa yang dikenai model
pembelajaran LC 5E lebih baik daripada dikenai model pembelajaran langsung. Hal ini
dikarenakan adanya umpan balik dalam AfL yang digunakan untuk mengetahui sejauh
mana pemahaman siswa dan apa yang perlu dilakukan ke depan serta seberapa besar
capaiannya dalam proses pembelajaran. Selain itu proses pembelajaran bersiklus lebih
banyak memberikan kesempatan bagi siswa untuk aktif terlibat dalam proses
pembelajaran. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu
(2011) bahwa modifikasi Assesment for Learning dalam model pembelajaran kooperatif
tipe Teams Games Tournaments (TGT) pada pembelajaran aplikasi turunan fungsi
mampu menghasilkan prestasi belajar siswa lebih baik daripada penggunaan model
pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT).

227

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

Karena H0B juga ditolak maka dilakukan uji komparasi rerata antar kolom. Berikut
disajikan rangkuman perhitungan uji lanjut rerata antar kolom dalam Tabel 4.
Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji Komparasi Antar Kolom
H0
.1 = .2

.1 = .3
.2 = .3

Fobs

2F(0,05;2;279)

Keputusan Uji

11,99

6,06

H0 ditolak

13,84

6,06

H0 ditolak

46,84
6,06
H0 ditolak
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4 dan rerata marginal pada Tabel 2 dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang termasuk climber lebih baik
daripada prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper maupun quitter, serta
prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper lebih baik dari prestasi belajar
matematika siswa yang termasuk quitter. Hal ini terlihat dari karakter yang dimiliki oleh
masing-masing kategori AQ. Siswa yang termasuk climber mempunyai kemauan yang
tinggi, tidak pantang menyerah, dan mau menerima saran dari guru dengan baik. Karakter
seperti ini tidak dimiliki oleh kategori AQ yang lain. Pada siswa yang termasuk camper
cenderung sudah merasa puas terhadap apa yang sudah dipahaminya. Sedangkan siswa
yang termasuk quitter kemauan belajarnya sangatlah kurang dan mudah menyerah.
Penelitian yang dilakukan oleh Masfingatin (2012) menunjukkan bahwa proses berpikir
siswa dalam memecahkan masalah matematika berbeda-beda menurut tingkat AQ-nya
sehingga dapat mempengaruhi hasil akhirnya.
Hasil perhitungan anava diperoleh H0AB ditolak, oleh karena itu dilakukan uji
komparasi rerata antar sel pada baris yang sama dan antar sel pada kolom yang sama.
Rangkuman perhitungan uji komparasi rerata antar sel pada baris yang sama disajikan
pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Hasil Uji Komparasi Rerata Antar Sel pada Baris yang Sama
H0

Fobs

8F(0,05;9;270)

Keputusan Uji

11 = 12
16,98
15,32
12 = 13
33,92
15,32
11 = 13.
89,74
15,32
21 = 22
56,61
15,32
22 = 23
0,36
15,32
21 = 23
60,11
15,32
31 = 32
1,54
15,32
32 = 33
1,06
15,32
31 = 33
4,69
15,32
Berdasarkan Tabel 5 dan rerata marginal pada Tabel

H0 ditolak
H0 ditolak
H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima
H0 ditolak
H0 diterima
H0 diterima
H0 diterima
2, dapat disimpulkan bahwa

pada model pembelajaran LC 5E disertai AfL, prestasi belajar matematika siswa yang
termasuk climber lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang termasuk
228

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

camper maupun quitter, serta prestasi belajar matematika siswa yang termasuk climber
lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang termasuk quitter. Pada model
pembelajaran LC 5E, prestasi belajar matematika siswa yang termasuk climber lebih baik
daripada prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper maupun quitter,
sedangkan prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper sama dengan prestasi
belajar matematika siswa yang termasuk quitter. Pada model pembelajaran langsung,
siswa yang termasuk climber, camper, dan quitter mempunyai prestasi belajar
matematika siswa yang sama. Adanya hasil penelitian ini yang tidak sesuai dengan
hipotesis awal yaitu pada model pembelajaran LC 5E prestasi belajar matematika siswa
yang termasuk camper sama dengan prestasi belajar matematika siswa yang termasuk
quitter dimungkinkan karena siswa pada kedua kategori tersebut merasa kesulitan ketika
diharuskan mengeksplorasi pengetahuannya sendiri dan kurangnya perhatian guru dalam
membimbing siswanya satu per satu. Sementara itu pada model pembelajaran langsung,
siswa yang termasuk climber mempunyai prestasi belajar matematika siswa yang sama
dengan siswa yang termasuk camper dikarenakan model pembelajaran ini tidak
memberikan kesempatan bagi siswa yang termasuk climber untuk aktif terlibat dalam
proses pembelajaran.
Selanjutnya berikut disajikan rangkuman perhitungan uji lanjut rerata antar sel pada
kolom yang sama dalam Tabel 6.
Tabel 6 Hasil Uji Komparasi Rerata Antar Sel pada Kolom yang Sama
H0

Fobs

8F(0,05;9;270)

Keputusan Uji

11 = 21
21 = 31
11 = 31
12 = 22
22 = 32
12 = 32
13 = 23
23 = 33
13 = 33

14,39
53,57
123,71
51,43
1,25
68,44
4,02
2,37
12,56

15,32
15,32
15,32
15,32
15,32
15,32
15,32
15,32
15,32

H0 diterima
H0 ditolak
H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima
H0 ditolak
H0 diterima
H0 diterima
H0 diterima

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 6 dan rerata marginal pada Tabel 2,
dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang termasuk climber yang
dikenai model pembelajaran LC 5E disertai AfL sama dengan yang dikenai model
pembelajaran LC 5E, sedangkan yang dikenai model pembelajaran LC 5E disertai AfL
maupun LC 5E lebih baik daripada yang dikenai model pembelajaran langsung. Hal ini
dikarenakan umpan balik yang diberikan mampu membuat siswa lebih paham dan lebih
teliti sehingga prestasi belajarnya meningkat. Prestasi belajar matematika siswa yang
229

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

termasuk camper yang dikenai model pembelajaran LC 5E disertai AfL lebih baik
daripada yang dikenai model pembelajaran LC 5E maupun model pembelajaran langsung,
dan siswa yang termasuk camper yang dikenai model pembelajaran LC 5E mempunyai
prestasi belajar sama dengan yang dikenai model pembelajaran langsung. Hal ini dapat
terjadi karena siswa yang termasuk camper ketika dikenai model pembelajaran LC 5E
merasa kesulitan untuk mencari referensi sendiri. Siswa yang termasuk quitter yang
dikenai model pembelajaran LC 5E disertai AfL, LC 5E maupun langsung menghasilkan
prestasi belajar yang sama. Adanya umpan balik pada model pembelajaran LC 5E disertai
AfL tidak begitu berpengaruh bagi siswa yang termasuk quitter karena ketika diberikan
pelajaran mereka cenderung mengabaikan. Hal ini didukung oleh pernyataan Carrol
Dwek dalam Stoltz (2003) bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistis
terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan
anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimistis.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan analisis data dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan
sebagai berikut. (1) Model pembelajaran LC 5E disertai AfL menghasilkan prestasi belajar
matematika lebih baik daripada model pembelajaran LC 5E dan model pembelajaran
langsung, serta model pembelajaran LC 5E menghasilkan prestasi belajar matematika
lebih baik daripada model pembelajaran langsung.(2) Prestasi belajar matematika siswa
yang termasuk climber lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang
termasuk camper dan quitter, serta prestasi belajar matematika siswa yang termasuk
camper sama dengan prestasi belajar matematika siswa yang termasuk quitter. (3) Pada
model pembelajaran LC 5E disertai AfL, prestasi belajar matematika siswa yang termasuk
climber lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper
maupun quitter, serta prestasi belajar matematika siswa yang termasuk climber lebih baik
daripada prestasi belajar matematika siswa yang termasuk quitter. Pada model
pembelajaran LC 5E, prestasi belajar matematika siswa yang termasuk climber lebih baik
daripada prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper maupun quitter,
sedangkan prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper sama dengan prestasi
belajar matematika siswa yang termasuk quitter. Pada model pembelajaran langsung,
siswa yang termasuk climber, camper, dan quitter mempunyai prestasi belajar
matematika siswa yang sama. (4) Prestasi belajar matematika siswa yang termasuk
climber yang dikenai model pembelajaran LC 5E disertai AfL sama dengan yang dikenai
model pembelajaran LC 5E, sedangkan yang dikenai model pembelajaran LC 5E disertai
AfL maupun LC 5E lebih baik daripada yang dikenai model pembelajaran langsung.
230

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

Prestasi belajar matematika siswa yang termasuk camper yang dikenai model
pembelajaran LC 5E disertai AfL lebih baik daripada model pembelajaran LC 5E dan
langsung, model pembelajaran LC 5E sama dengan model pembelajaran langsung. Siswa
yang termasuk quitter yang dikenai model pembelajaran LC 5E disertai AfL, LC 5E
maupun langsung menghasilkan prestasi belajar yang sama.
Dari simpulan tersebut disarankan sebagai berikut. (1) Guru sebaiknya memilih
model pembelajaran LC 5E disertai AfL dalam proses pembelajaran materi prisma dan
limas. Adanya balikan yang diberikan oleh guru dalam model pembelajaran ini
memudahkan guru untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemahaman siswanya
secara individu. Guru hendaknya memperhatikan faktor yang berasal dari dalam diri
siswanya karena dalam penelitian ini kategori AQ siswa memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap prestasi belajar matematika siswa. Model pembelajaran LC 5E dapat
diterapkan guru dalam pembelajaran matematika khususnya pada materi Prisma dan
Limas terhadap siswa yang termasuk kategori climber. Keterlibatan siswa yang begitu
dominan dalam proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran LC 5E mampu
memberikan keleluasaan dan dampak positif bagi siswa untuk dapat memaksimalkan
potensi yang dimilikinya. Pada siswa yang termasuk kategori camper, guru dapat
menerapkan model pembelajaran LC 5E disertai AfL. Adanya feedback yang diberikan
secara individu dalam model pembelajaran ini dapat dijadikan guru sebagai sarana untuk
mengetahui sejauh mana perkembangan pemahaman siswanya terhadap materi yang telah
diajarkan. Sedangkan pada siswa yang termasuk kategori quitter, guru dapat menerapkan
model pembelajaran langsung mengingat siswa pada kategori ini masih memerlukan
banyak arahan dan bimbingan dari guru. (2) Selain itu siswa diharapkan untuk dapat
berpartisipasi aktif selama mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu siswa
dibiasakan untuk berpikir kritis. Siswa diharapkan untuk dapat berpartisipasi aktif selama
mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu siswa dibiasakan untuk berpikir kritis.
(3) Para peneliti di bidang pendidikan diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini
dengan penelitian-penelitian sejenis pada materi pelajaran yang lain dan memperluas
cakupan penelitian ini agar penelitian ini dapat dimanfaatkan secara luas.

DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 2008. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Budiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Bybee, R.W., J.A. Taylor, A. Gardner, P.V. Scotter, J.C. Powell, A. Westbrook, N.
Landes, S. Spiegel, M. McGarrigle Stuhlsatz, A. Ellis, B. Resch, H. Thomas, M.
231

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika


Vol.3, No.2, hal 222-232, April 2015

ISSN: 2339-1685
http://jurnal.fkip.uns.ac.id

Bloom, R. Moran, S. Getty, dan N. Knapp. 2006. The BSCS 5E instructional


model: Origins, effectiveness, and applications. Colorado Springs, CO: Biological
Sciences Curriculum Study.
Duran, E., Duran, L., Haney, J., dan Scheuermann, A. 2011. A Learning Cycle for All
Students: Modifying The 5E Instructional Model to Address The Needs of All
Learners. The Science Teacher. 3. 56-60.
Masfingatin, T. 2012. Proses Berpikir Siswa Sekolah Menengah Pertama Dalam
Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Adversity Quotient. Tesis.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Tidak Diterbitkan.
Rahayu. 2011. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games
Tournament (TGT) yang Dimodifikasi dengan Assessment for Learning pada
Pokok Bahasan Aplikasi Turunan Fungsi Ditinjau dari Perhatian Orang Tua
Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri di Surakarta. Tesis. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret. Tidak Diterbitkan.
Sadi, O. dan Cakiroglu, J. 2012. Relation of Cognitive Variables with Students
Circulatory System Achievements in Traditional and Learning Cycle Classrooms.
Procedia - Social and Behavioral Sciences. 46. 399 403.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Stoltz, P. G. 2003. Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta:
Grasindo.
UU Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional.
Wena, M. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan
Konseptual Operasional. Jakarta : Bumi Aksara.

232

You might also like