196 407 1 SM PDF
196 407 1 SM PDF
196 407 1 SM PDF
Abstract
Today, the w orld is fa c in g a new era. The ch a n g in g breeze keep s flo w in g to
apprehend a new schem e o f business. The new era o f business a n d industry which now
fo c u s on inform ation a nd technology are m uch m ore intangible to be m easured. They are
as w ell know n as intellectual capitals. In addition, the level o f business co m plexity has
increased rapidly with the breaching developm ent o f intangible assets. Now, assets are
valued based n ot o nly on th eir intrinsic beneficiary b ut a lso on the effects on the company.
G oodw ill has been m uch m ore fa m ilia r in the last decade than before as the m erger &
acquisition trends are spreading all o v e r the world. A gro u p o f assets o f a co m pany has
been valued m ore (or less) than its intrinsic value b ecause o f m any fa cto rs. This residual
value is treated a nd know n a s goodw ill. A s brand develops a n d becom e m uch stronger, it
has its ow n value. A s p reviously brand was n ot d efined as tangible assets, we d id even not
know that it actually was an asset. As one o f the com ponents o f new intangible assets,
brand equity has p u t its e lf a m ark on the fin a n c ia l statem ent o f corporations. This article
is intended to give d eeper analysis on the developm ent o f intangible assets, especially on
those described above. With a com bination o f theories fro m textbooks a n d standards, this
article will give the readers a new understanding o f w hat intangible asset are and therefore
broaden o ur horizontal p ersp ective in anticip a tin g the a rriva l o f new in ta n g ib les that
m ay com e, as the environm ent is still developing.
Kata Kunci: aktiva tak berwujud, m erek dagang, goodw ill, b ra n d equity
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Aktiva tak berwujud merupakan non-m onetary asset yang tidak memiliki wujud
fisik yang terdapat dalam neraca perusahaan, yang digunakan untuk memproduksi barang
dan jasa. Dalam melakukan analisa terhadap aktiva tak berwujud terdapat berbagai kesulitan,
seperti kapan aktiva tak berw ujud diakui serta bagaim ana penilaian, pengukuran, dan
pelaporannya dalam neraca perusahaan.
Seiring dengan tuntutan seluruh pihak yang m engin ginkan adanya perlakuan
akuntansi yang memadai untuk aktiva tak berwujud, maka pada tanggal 24 Juni 2000 Ikatan
A kuntan Indonesia (IAI) menerbitkan E xposure D ra ft P ernyataan S tandar Akuntansi
Keuangan (ED PSAK) No. 19 Revisi 2000 tentang Aktiva Tak Berwujud.
Oleh karena itu, setiap orang yang akan dan telah berkecimpung dalam dunia profesi
akuntan selayaknya dapat benar-benar memahami konsep aktiva tak berwujud, perlakuan
akuntansinya, dan penyajiannya dalam laporan keuangan.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah mencoba melihat sejauh mana perlakuan
akuntansi untuk aktiva tak berwujud telah ditetapkan dalam Standar Akuntansi Keuangan
dan implementasinya dalam dunia nyata melalui analisa kasus atas merek dagang; apakah
perlu ditampilkan dalam neraca.
2.
3.
dengan pendapatan hanya apabila ada hubungan langsung di antara keduanya. N amun
karena pengeluaran untuk aktiva tak berwujud jarang berhubungan dengan pendapatannya,
maka aktiva tak berwujud harus langsung dijadikan biaya dim ana hal ini ju g a merupakan
proses alokasi, yaitu alokasi pada tahun pertama.
Pada tingkat semantik, aktiva tak berwujud harus dilaporkan sedemikian rupa
sehingga memungkinkan adanya real w orld interpretation. P andangan um um bahw a aktiva
tak berwujud, sebagaimana halnya dengan aset yang lain, merupakan hak atas keuntungan
di masa depan, yaitu apabila pengeluaran untuk memperoleh aktiva tak berwujud mempunyai
keuntungan potensial di masa depan, m aka pengeluaran ini seharusnya diperlakukan sebagai
suatu a sset sampai keuntungan di masa depan tidak dapat diharapkan lagi. K arena aktiva tak
berwujud biasanya tidak mempunyai current m a rketp rice, maka deskripsinya dalam bentuk
satuan moneter juga menjadi tidak memadai. Adanya deskripsi dalam pengungkapan sifatnya
akan m emungkinkan interpretasi yang lebih baik. Pada tingkat behavioral cenderung lebih
m enekankan adanya pelaporan aktiva tak berw ujud dalam neraca untuk m em udahkan
pengambilan keputusan oleh investor dan kreditur.
yang kita anut sekarang tidak memperbolehkan pembelian aktiva tak berwujud sekaligus
dibebankan sebagai biaya pada saat pembeliannya.
Aktiva tak berwujud yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan secara bertahap akan
langsung dibebankan sebagai biaya. N amun aktiva tak berwujud yang diperoleh melalui
pembelian secara lum p sum dengan aset lainnya atau yang dihasilkan sendiri melalui
pengeluaran besar yang langsung dapat diidentifikasi, biasanya dikapitalisasi sebagai aset
dan kemudian dibebankan sebagai biaya amortisasi. Apabila nilai aktiva tak berwujud yang
akan diamortisasi sudah diketahui, maka faktor-faktor utama yang harus ditaksir adalah
umur kegunaan aset tersebut dan pola alokasi pem bebanan selama um ur tersebut. Nilai sisa
biasanya tidak material atau nihil.
Oleh karena itu dalam melakukan amortisasi, maka aktiva tak berwujud terlebih
dahulu diklasifikasikan atas dasar:
1. Bagaimana mereka diperoleh dan apakah mereka dapat diidentifikasikan satu persatu.
2. A pakah um u r m ereka terbatas atau dapat ditaksir, ataukah dian g g ap tidak dapat
ditentukan sama sekali.
Sekalipun satu atau beberapa metode klasifikasi dapat diterangkan, klasifik isi
berdasarkan dapat atau tidaknya aktiva tak berwujud itu ditentukan um urnya memberikan
perincian yang berguna dalam mempelajari kemungkinan amortisasi.
co st, sebagaimana halnya dengan LIFO. Selain itu, metode ini mempunyai kelemahankelemahan, yaitu:
a.
Apabila nilai aktiva tak berwujud meningkat karena adanya pengeluaran dalam tahun
berjalan, maka current income dikenakan beban biaya yang terlampau besar. Begitu
pula sebaliknya.
b. Nilai aktiva tak berwujud pada tahun-tahun berikutnya akan semakin ketinggalan zaman,
seperti halnya dengan LIFO
c.
Pembebanan biaya untuk tahun berjalan bisa diatur oleh pimpinan perusahaan.
d. Metode ini tidak menghasilkan penyesuaian sistematis antara biaya dan hasil yang
diterima dalam tahun berjalan.
G oodw ill yang dihasilkan sendiri (bukan dari p engga bungan usaha) tidak dapat
dikapitalisasi karena tidak dapat diidentifikasi dan tidak dapat dialihkan secara terpisah
dan sulit diukur.
Loyalitas pelanggan dan pengetahuan karyawan tidak dapat dikapitalisasi karena tidak
dapat dikendalikan perusahaan.
B iaya pelatihan tidak dapat dikapitalisasi karena m anfaat pelatihan tid ak dapat
dikendalikan perusahaan, karena karyawan bisa saja keluar dari perusahaan.
Pengeluaran-pengeluaran lainnya yang tidak memenuhi empat kriteria pengakuan aktiva
tak b erw u ju d , meliputi merek dagang, daftar pelanggan yang dihasilkan secara internal,
judul publikasi, biaya iklan, biaya perintisan, biaya pendirian, dan biaya realokasi dan
restrukturisasi.
Kalau kita bertanya mengenai bagaimana kita menentukan berapa h istorical cost
dari suatu aktiva tak berwujud, maka ja w abannya adalah sama dengan aktiva tetap, yaitu
sebesar semua biaya yang dikeluarkan sampai dengan aktiva tak berwujud itu siap untuk
digunakan. Apabila aktiva tak berwujud diperoleh dengan menukarkannya dengan aktiva
lain yang tidak sejenis, maka harga perolehannya sama dengan nilai wajar aktiva yang
diserahkan. Tetapi jika aktiva tak berwujud diperoleh melalui pertukaran dengan aktiva sejenis,
maka harga perolehannya diukur sebesar nilai tercatat aktiva yang diserahkan.
P en geluaran Selanjutnya: Tidak B oleh D ikapitalisasi
Biaya-biaya yang dikeluarkan selanjutnya setelah aktiva tak berwujud diakui, harus
dibebankan pada laba-rugi periode berjalan. Ini dikarenakan sulit menentukan apakah biaya
tersebut akan memberikan tambahan manfaat ekonomis bagi aktiva tak berwujud. Namun
Pengukuran Selanjutnya
Menurut PSAK No. 19 (Revisi 2000), setelah aktiva tak berwujud diakui pertama kali
menurut harga perolehannya, maka di kemudian hari aktiva tak berwujud tersebut diukur
sebesar harga perolehannya dikurangi akumulasi amortisasi dan akumulasi penurunan nilai.
PSAK mengizinkan perlakuan alternatif bagi pengukuran aktiva, yaitu sebesar nilai revaluasi.
Amortisasi
Aktiva tak berwujud diamortisasi selama masa manfaatnya, pada um um ny a tidak
melebihi 20 tahun sejak tanggal aktiva siap untuk digunakan. H anya dalam beberapa kasus
yang jarang terjadi, yang harus diperkuat oleh bukti yang meyakinkan, aktiva tak berwujud
boleh disusutkan lebih dari 20 tahun. Peraturan ini sebenarnya sedikit lebih fleksibel dari
PSAK No. 19 tahun 1994 yang secara tegas menyatakan bahw a periode amortisasi maksimal
20 tahun, walaupun ada analisis yang menunjukkan masa manfaat aktiva tersebut lebih dari
20 tahun.
Di banyak negara lain, amortisasi aktiva tak berwujud menim bulkan kontroversi.
Banyak yang berpandangan bahwa masa manfaat sebagian aktiva tak berwujud tidak terbatas,
sehingga tidak perlu ditangani. Namun di Indonesia sendiri, dengan adanya P SA K No. 19,
jelas bahwa masa manfaat aktiva tak berwujud ada batasnya.
Mengenai metode amortisasi, PSA K yang lama m engharuskan metode garis lurus,
kecuali bila ada metode lain yang lebih sesuai bagi kondisi perusahaan. PSAK No. 19 (Revisi
2000) mengizinkan metode amortisasi lainnya sepanjang metode tersebut mencerminkan
pola konsumsi manfaat ekonom is perusahaan. Kalau pola tersebut tidak dapat ditentukan,
maka digunakan metode garis lurus.
Pengungkapan
Ketentuan mengenai pengungkapan yang terkait dengan aktiva tak berwujud dapat
dilihat pada paragraf 100 dan seterusnya pada PSA K 19 (Revisi 2000)
Value
Value merupakan pemikiran subjektif yang ditentukan oleh kemampuan perubahan
dari orang-orang yang melakukan evaluasi dan tujuan-tujuan khusus mereka. Penilaiannya
muncul pro dan kontra mengenai pemasukan merek dagang ke dalam neraca. Kontroversi
yang timbul disebabkan oleh 2 keadaan, yaitu:
1. Belum ditentukannya metode penilaian merek dagang yang diterima umum
2. Banyaknya ketidakpastian mengenai pembiayaan merek dagang sehingga menimbulkan
keragu-raguan atas kegunaannya bagi pengguna laporan keuangan
Isu akuntansi merek dagang yang berkembang tidak dapat dipisahkan dari perlakuan
akuntansi untuk goodw ill, seperti yang terdapat dalam IC A E W s Research Board (1989).
Untuk membuat laporan keuangan lebih konsisten ASC mengeluarkan TR 738 (1989), yang
isinya menyarankan agar perusahaan dapat memasukkan merek dagang yang dibeli dalam
disclosure sebagai aktiva tetap tak berwujud dalam neraca. Akan tetapi, merek dagang yang
dihasilkan sendiri tidak dapat diperlakukan sebagai aset.
Sejak saat itu, muncul pemisahan antara merek dagang yang dibeli dengan merek
dagang yang dihasilkan sendiri dalam praktik akuntansi. Pada tahun 1990, A SC mengambil
langkah berani dengan menyatakan bahwa merek dagang seharusnya dimasukkan dalam
goodw ill dan diperlakukan sama dengan goodw ill. Bahkan secara jelas dinyatakan bahwa
merek dagang yang dimiliki karena adanya penggabungan bisnis (merger) dihitung sebagai
goodw ill yang dibeli dan harus diamortisasikan tidak lebih dari 20 tahun. Sedangkan goodwill
yang dihasilkan sendiri harus dikeluarkan dari neraca. Meskipun begitu, A A RF ED-49 tidak
menjelaskan secara detail kapan periode amortisasi melebihi 20 tahun.
Sedangkan para CFO dari Amerika dan Kanada menolak untuk memasukkan merek
dagang ke dalam neraca perusahaan apabila merek dagang itu digunakan untuk keperluan
internal perusahaan. Allan Baldinger, D irektur Riset Pem asaran A d vertisin g Research
Foundation (ARF) menyatakan bahw a pada tahun 1990 keuntungan yang besar datang dari
merek dagang yang dominan. Sehingga pembuatan dan pemeliharaan merek dagang sangat
penting. Dia ju g a menambahkan bahw a persepsi mengenai kualitas produk yang ditimbulkan
merek dagang lebih berharga daripada harga produk itu sendiri.
Dalam TR 780 diberikan ketentuan mengenai akuntansi untuk aktiva tak berwujud,
sebagai berikut:
1. Sebuah aktiva tak berwujud harus ditampilkan dalam neraca
2. H isto rica l co st yang diadakan dalam pem buatan aktiva tak berwujud harus dapat
diketahui
3.
Karakteristik aktiva tak berwujud harus dibedakan dengan karakteristik goodw ill
4.
Biaya-biaya aktiva tak berwujud dapat diukur terlepas dari goodw ill aset lain
Namun di UK, isu merek dagang masih menghadapi banyak perdebatan. Terutama
berkaitan dengan akuntansi untuk merek dagang dan disclosure-nya yang masih berlaku
saat ini. Untuk itu sebuah conceptual fr a m ew ork akuntansi untuk merek dagang sangat
diperlukan.
Di Australia, banyak perusahaan yang m em isahkan nam a merek dagang dari
goodw ill dan memasukkannya ke dalam neraca. Berdasarkan survei Ernest & Young. terdapat
30 dari 150 perusahaa n top saat ini memasukkan merek dagang dan hak milik intelektual dalam
perkiraan mereka.
Sedangkan di USA, semua pengeluaran pemasaran dibebankan sebagai pengeluaran
yang terjadi. Tidak ada aktiva yang dibuat untuk keuntungan di masa depan dari pengeluaran
10
itu. Dan juga tidak ada perhitungan yang dibuat untuk menaksir nilai merek dagang. Hal ini
ak a n m e n y e s a tk a n k e s e lu r u h a n a k u n ta n si u n tu k p e n g e m b a lia n in v e sta si dan j u g a
menciptakan masalah bagi investor.
Samakah merek dagang dengan konsep g o o d w ill? Di sinilah sebenarnya terletak
inti permasalahan antara pandangan akuntan dengan pandangan marketer. M arketer memberi
perhatian yang tinggi pada branding the produ ct agar dapat merebut pangsa pasar pada
kekuasaan yang tinggi. Sebaliknya, dalam menilai nilai keuangan brand equity akuntan
harus senantiasa mem pertim bangkan banyak hal seperti konsistensi, dapat diverifikasi,
materialitas, komparabilitas dan tingkat akurasi. Berkaitan dengan tujuan evaluasi merek
d a g a n g ini, m a k a dap a t d ip e rta n y a k a n se lam a p erio d e p e m b e b a n a n m e re k d a g a n g
ditandingkan dengan pendapatan yang telah direalisasikan.
Sebuah studi menyatakan bahw a brand equity value perusahaan Marlboro sebesar
$31 milyar, Coca Cola $24 milyar dan Kodak $13 milyar. Merek dagang superpow er yang
menduduki 10 besar dunia yaitu C oca Cola, Kelloggs, M c D ona lds, Kodak, Marlboro,
American Express, Sony, Mercedez Benz, dan Nescafe. Bahkan perusahaan produk makanan
terbesar dunia membayar $4,5 miliar untuk membeli Rowntree atau 5 kali lebih besar dari nilai
bukunya. N am un, perusahaan-perusahaan itu tidak m enu n ju k k an b ra n d eq u ity dalam
neracanya. Hal ini disebabkan oleh estimasi yang terus berubah-ubah.
Adapun alasan-alasan dibelakang penilaian brand equity adalah:
1. B ra n d equity yang tinggi m e ngurangi biaya pem asaran karena b ra n d aw areness
konsumen menjadi target tinggi dan konsumen mempunyai loyalitas.
2. B rand equity yang tinggi mempunyai sejumlah keunggulan kompetitif.
3. B rand equity yang kuat menjamin persepsi terhadap kualitas produk yang dijual.
4. Perusahaan menikmati tingkat penjualan yang lebih tinggi dari kompetitornya.
5. B rand equity yang tinggi mendorong nilai tambah dengan pembebanan harga yang
lebih tinggi dari harga yang diperlihatkan oleh kompetitor dengan kualitas yang lebih
baik.
6. Perusahaan dapat meluncurkan merek dagang baru sebagai pengembangan karena nama
merek dagang m em baw a kepercayaan.
7. Terhadap itu semua, merek dagang menawarkan beberapa pertahanan untuk melawan
perang harga yang dahsyat.
8. Makin tinggi bra n d equity maka makin besar borrow ing p o w e r untuk pembiayaan.
Merek dagang yang diperoleh dari pihak lain maupun yang dihasilkan sendiri
berdasarkan definisi aset dapat dikapitalisasi menjadi aktiva pemasaran. Namun manajemen
harus berhati-hati agar brand equity tidak mengalami penyusutan. Untuk mengelola secara
tepat, butuh investasi riset dan pengembangan yang terus menerus, kemahiran beriklan,
penjualan dan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, serta pengembangan yang konstan
dan terus-menerus untuk menjaga kualitas. Bahkan beberapa perusahaan, seperti Canada
Dry dan Coltage Palm olive siap menunjuk B rand Equity M anager untuk mengarahkan
im age atas kualitas merek dagang serta membuat strategi jangka pendek untuk melindungi
merek dagang dari kerugian. Perhatian yang tepat terhadap merek dagang akan menambah
nilai manfaat bagi konsumen yang loyal. Dan B ra n d E quity M ana g er dapat digunakan
sebagai alat pemasaran yang utama dalam m arketing mix.
B ra n d s D evelopm en t In dex (BDI)
BDI merupakan bagian dari merek dagang dengan membandingkan kinerja total
industri atau bagian kompetitor untuk melihat apakah acuan keuntungan atau kerugian
melebihi pangsa pasar yang dikuasai. Melalui BDI, maka perusahaan akan dapat menentukan
pangsa pasarnya.
Saat ini pemberian merek dagang merupakan semacam alat am puh yang secara
cepat meninggalkan produk tanpa merek dagang. D imana semua produk telah meningkat
penjualannya dengan pengiklanan merek dagang yang kuat. Sehingga hampir secara pasti,
merek dagang menjamin kualitas sesuai dengan keinginan konsumen.
1
3
dunia. Untuk itu harus dilakukan b ra in sto rm in g atas bahan-bahan yang berhubungan dengan
penilaian merek dagang, perlakuan akuntansi dan d is c lo s u r e -n y a sehingga dapat lebih
berguna bagi pengguna laporan keuangan untuk tujuan pengambilan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA
AAAs Financial Accounting Standard Committee. 1998. Response to IASC Exposure Draft
E60, Intangible Assets. A ccounting Horizons: 312-316.
Aaker, D. A. 1991. M anaging B rand Equity. New York: T he Free Prees.
Barwise, P., et al. 1989. A ccounting f o r Brands. London : London Business and ICAEW.
Hendriksen, E. S., dan M. F. V. Breda, 1992. A ccounting Theory, 5'h Edition. Boston: McGraw
Hill.
Hoegh-Krohn, N.E.J., dan K.H. Knivsflan, 2001. A ccounting for Intangible Assets in
Scandinavia, the UK, the US, and by the IASC: Challenges and a Solution. Working
Paper, www.ssrn.com
Ikatan Akuntan Indonesia. 2002. Standar A kuntansi K euangan p e r 1 A p ril 2002. Jakarta:
Salemba Empat.
International Accounting Standard C om m ittee (IASC). Intangible A ssets. IASC Exposure
Draft E60.
Kapfeer, J. N. 1994. Strategic B rand M anagem ent. New York : FreePress.
Kotler, P. 2000. M arketing M anagem ent The M illennium Edition. New Jersey: Prentice Hall
Inc.
Scoeder, R. G, M. W. Clark, dan J. M. Cathey. 2000. F inancial A ccounting Theory and
A nalysis, 7lh E dition. N ew York: John Wiley & Sons, Inc.