"Fire and Ice" is one of Robert Frost's most popular poems, published in December 1920 in Harper's Magazine[1] and

in 1923 in his Pulitzer-prize winning book New Hampshire. It discusses the end of the world, likening the elemental force of fire with the emotion of desire, and ice with hate. It is one of Frost's best-known and most anthologized poems.[2] This short poem outlines the familiar question about the fate of the world, wondering if it is more likely to be destroyed by fire or ice. People are on both sides of the debate, and Frost introduces the narrator to provide his personal take on the question of the end of the world. The narrator first concludes that the world must end in fire after considering his personal experience with desire and passion, the emotions of fire. Yet, after considering his experience with ice, or hatred, the narrator acknowledges that ice would be equally destructive. Analysis Only nine lines long, this little poem is a brilliant example of Frost s concisely ironic literary style. The poem varies between two meter lengths (either eight syllables or four syllables) and uses three sets of interwoven rhymes, based on -fire, -ice, and -ate. In the first two lines of the poem, Frost creates a clear dichotomy between fire and ice and the two groups of people that believe in each element. By using the term some instead of I or an individual, Frost asserts that the distinction between the two elements is a universal truth, not just an idea promoted by an individual. In addition to the unavoidable contradiction between fire and ice, these first lines also outline the claim that the world will end as a direct result of one of these elements. It is unclear which element will destroy the world, but it is significant to note that fire and ice are the only options. The poem does not allow for any other possibilities in terms of the world s fate, just as there are not any other opinions allowed in the black-and-white debate between fire and ice. Interestingly, the two possibilities for the world s destruction correspond directly to a common scientific debate during the time Frost wrote the poem. Some scientists believed that the world would be incinerated from its fiery core, while others were convinced that a coming ice age would destroy all living things on the earth s surface. Instead of maintaining a strictly scientific perspective on this debate, Frost introduces a more emotional side, associating passionate desire with fire and hatred with ice. Within this metaphorical view of the two elements, the world can be recognized as a metaphor for a relationship. Too much fire and passion can quickly consume a relationship, while cold indifference and hate can be equally destructive. Although the first two lines of the poem insist that there can only be a single choice between fire and ice, the narrator undercuts this requirement by acknowledging that both elements could successfully destroy the world. Moreover, the fact that he has had personal experience with both (in the form of desire and hate) reveals that fire and ice are not mutually exclusive, as the first two lines of the poem insist. In fact, though the narrator first concludes that the world will end in fire, he ultimately admits that the world could just as easily end in ice; fire and ice, it seems, are strikingly similar

Beberapa mengatakan bahwa dunia akan berakhir dalam api, Beberapa mengatakan dalam es. Dari apa yang saya mencicipi keinginan Aku terus dengan mereka yang mendukung api. Tapi jika itu harus binasa dua kali, Saya pikir saya cukup tahu kebencian Untuk mengetahui bahwa untuk es kehancuran Juga bagus Dan akan cukup "Api dan Es" adalah salah satu puisi Robert Frost paling populer, diterbitkan pada bulan Desember 1920 di Majalah Harper [1] dan pada tahun 1923 di-hadiah Pulitzer bukunya New Hampshire. Ini membahas akhir dunia, yang menyamakan kekuatan unsur api dengan emosi keinginan, dan es dengan kebencian. Ini adalah salah satu puisi Frost terbaik dikenal dan paling anthologized. [2] Puisi pendek ini menguraikan pertanyaan akrab tentang nasib dunia, bertanya-tanya apakah itu lebih mungkin akan dihancurkan oleh api atau es. Orang-orang di kedua sisi perdebatan, dan Frost memperkenalkan narator untuk memberikan mengambil pribadinya pada pertanyaan tentang akhir dunia. Narator pertama menyimpulkan bahwa dunia harus berakhir dalam api setelah mempertimbangkan pengalaman pribadinya dengan keinginan dan gairah, emosi api. Namun, setelah mempertimbangkan pengalaman dengan "es," atau kebencian, narator mengakui bahwa es akan sama-sama merusak.

Analisis Hanya sembilan antrean panjang, puisi yang pendek ini adalah contoh brilian singkat ironis gaya sastra Frost. Puisi ini bervariasi antara dua panjang meter (baik delapan suku kata atau empat suku kata) dan menggunakan tiga set sajak terjalin, berdasarkan "-kemarahan," "-es," dan "-makan." Pada dua baris pertama dari puisi itu, Frost menciptakan dikotomi yang jelas antara api dan es dan dua kelompok orang yang percaya pada setiap elemen. Dengan menggunakan istilah "beberapa" bukan "saya" atau "individu," Frost menegaskan bahwa perbedaan antara dua elemen adalah kebenaran universal, bukan hanya sebuah ide yang dipromosikan oleh seorang individu. Selain kontradiksi tak terhindarkan antara api dan es, baris-baris pertama juga menguraikan mengklaim bahwa dunia akan berakhir sebagai akibat langsung dari salah satu elemen. Tidak jelas yang elemen akan menghancurkan dunia, tetapi penting untuk dicatat bahwa api dan es adalah pilihan saja. Puisi tidak memungkinkan untuk setiap kemungkinan lain dalam hal nasib dunia, sama seperti tidak ada pendapat lain diperbolehkan dalam perdebatan hitam-putih antara api dan es. Menariknya, dua kemungkinan untuk kehancuran dunia sesuai langsung ke suatu debat ilmiah yang umum selama waktu Frost menulis puisi itu. Beberapa ilmuwan percaya bahwa dunia akan diinsinerasi dari inti api, sementara yang lainnya yakin bahwa zaman es datang akan menghancurkan semua makhluk hidup di permukaan bumi. Bukannya mempertahankan perspektif ketat ilmiah tentang perdebatan ini, Frost memperkenalkan sisi lebih emosional, yang menghubungkan hasrat dengan api dan kebencian dengan es. Dalam pandangan metafora dari dua elemen, "dunia" dapat diakui sebagai metafora untuk hubungan. Terlalu banyak api dan gairah cepat dapat mengkonsumsi suatu hubungan, sementara ketidakpedulian dingin dan benci bisa sama-sama merusak. Meskipun dua baris pertama puisi itu bersikeras bahwa hanya ada pilihan tunggal antara api dan es, narator memotong persyaratan ini dengan mengakui bahwa kedua elemen dapat berhasil

menghancurkan dunia. Selain itu, fakta bahwa dia telah memiliki pengalaman pribadi dengan baik (dalam bentuk keinginan dan kebencian) mengungkapkan bahwa api dan es tidak saling eksklusif, sebagai dua baris pertama puisi itu bersikeras. Bahkan, meskipun narator yang pertama menyimpulkan bahwa dunia akan berakhir dalam api, ia akhirnya mengakui bahwa dunia hanya bisa dengan mudah berakhir pada es; api dan es, tampaknya, yang sangat mirip