Scenario 2 264
Scenario 2 264
Skenario 2
Memory Loss
The patient was a 66 year old woman who was referred to a memory clinic for
further evaluation of a 5 month history of rapidly progressive dementia. The initial
symptoms included memory loss, feeling odd, anorexia, and unintentional
weight loss. At her first visit to the memory clinic, her son and husband reported
that her cognitive problems had acutely worsened in the previous two weeks. She
now had problems with short-term memory and functional abilities, including
getting dressed, using the toilet, and getting lost in her house. Her physical exam
was significant for perserveration, anomic aphasia, alexia, agnosia, and apraxia.
She was unable to perform other complicated tasks due to perseveration. For
example, when asked about the month, date, day, and year, she answered
December for each, when in fact, it was already March. Besides dementia, this
patient also underwent treatment for chronic kidney disease due to uncontrolled
hypertension.
Step 1
1. Dementia
Step 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Step 3
1. Penyebab demensia, terdiri dari:
a. D = drugs
b. E = emotional
c. M = metabolik
d. E = ear & eyes
e. N = nutrio
f. T = tumor/trauma
g. I = infeksi
h. A = aterosklerosis
2. Macam-macam demensia:
a. Demensia Alzheimer/ degeneratif primer 50-60%
b. Demensia multi-infark
10-20%
c. Demensia reversible/irreversible
20-30%
d. Demensia neurologic
5-10%
e. Berdasarkan usia
1) Demensia senilis
2) Demensia prosenalis
f. Berdasarkan perjalanan penyakit
1) Reversible
2) Ireversibel
g. Berdasarkan kerusakan struktur
1) Tipe Alzheimer
2) Demensia vascular
3) Tipe campuran
4) Tipe non-alzheimer
h. Berdasarkan sifat klinis
1) Demensia propius
2) Pseudodemensia
3. Patomekanisme dari demensia :
a. Gangguan SSP
1) Anatomi
2) Metabolic
b. Gangguan vascular SSP
c. Pembentukan amyloid
4. Penegakkan diagnosis :
a. Menurunnya daya ingat
b. Peningkatan gangguan kesadaran
c. Adanya gejala disabilitas 6 bulan
d. Anamnesis
e. Pemeriksaan fisik
f. Pemeriksaan penunjang
5. Penatalaksanaan demensia
a. Mengoptimalkan fungsi dari penderita
b. Kenali dan obati komplikasi
c. Upayakan perumatan berkesinambungan
d. Pelayanan social
e. Nasihat keluarga
Farmakologi :
a. Alzheimer
1) Inhibitor kolisterase : Donepzile 5-10 tablet
2) Antagonis reseptor : Glutaminergi
b. Vascular : Antiplatelet : Aspirin, Tioklodipin
6. Pencegahan demensia
a. Tekanan darah dikendalikan
b. Pencegahan cedera kepala
c. Melakukan kegiatan yang merangsang intelektual
d. Mencegah paparan elektromagnetik
e. Diet vitamin C
7. Terjadinya keluhan-keluhan pada kasus:
a. Sindroma cerebral
terganggu
b. Kognitif
aterosklerosis
aliran darah berkurang ke otak
sel otak
menurun fungsinya
Step 4
1. Penyebab demensia
a. Drug
: dopamine, serotonin, ACTH
b. Emosional
: penurunan serotonin
c. Metabolic
: amyloid
d. Eye and ears : informasi terganggu
e. Nutrisi
: antioksidan meningkat
f. Tumor
: mengganggu sel otak
g. Infeksi
: AIDS
h. Aterosklerosis : (-) kolateral
i. Lingkungan : aluminium
2. Macam-macam demensia
a.
Demensia multi-infark : akibat penyakit pembuluh darah
b.
Demensia reversible : akibat gangguan vascular (oklusi), aneurisma,
c.
d.
e.
f.
penyakit Parkinson
Demensia irreversible : akibat trauma, ensefalitis
Demensia Alzheimer : kerusakan genetic
Demensia neurologic: penyakit Parkinson gangguan substansia nigra
dopamine terganggu
gangguan neurologic
Demensia fronto-temporal : menurunnya metabolism otak akibat
aterosklerosis
Demensia senilis
: >65th
h.
Demensia prasenalis : <65th
3. Patomekanisme demensia
a. Sirkulus viulis terganggu
lobus temporal
g.
degenerasi
atrofi
mensia
b. amyloid
akibat oksidasi, agresi -amyloid
kematian sel
Neuron
neurotransmitter
demensia, Alzheimer
4. Penegakkan diagnosis
de-
a. Anamnesis
1) Kebingungan akut/subakut (Delirium)
2) Daya ingat menurun bertahun-tahun (Alzheimer)
3) Halusinasi
4) Riwayat dahulu (Stroke, hipertensi, DM)
b. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital
2) Keadaan umum
c. Differential diagnosis
1) Demensia
2) Alzheimer
3) Delirium
4) Depresi
5. Penatalaksanaan
a. Obati penyakit penyerta : hipertensi
b. Mempertahankan perbaikan gizi
c. Obati komplikasi (Depresi, inkontinensia)
7. Hubungannya dengan gejala yang terdapat pada kasus:
Apraxia : lobus frontal terganggu
rigiditas
Penyebab
Penatalaksanaan
Macam-macam
Farmakokinetik
Gangguan
Farmakodinamik
Non-farmakologi
Kognitif pada
Penegakkan
Step 5
diagnosis
1. Bagaimana Patomekanisme demensia
a. Fisiologi
b. Patologi
2. Bagaimana Penatalaksanaan demensia
a. Farmakokinetik
b. Farmakodinamik
3. Differential diagnosis pada kasus
Step 6
Belajar mandiri
Step 7
1. Patomekanisme demensia
a. Secara Fisiologis
Lansia
Pencegahan
Patomekanisme
Penatalaksanaan
(Sherwood, 2012)
b. Secara Patologis
(Sudoyo, 2009)
paling
d. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu
dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat
umumnya lebih rendah.
e. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah
ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien
f. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan
obat yang tidak diperlukan lagi
FARMAKOKINETIK
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga
mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya
aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu
pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan
dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada
beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam
cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin,
tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein),
dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia
lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan
cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma.
Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih
menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat
lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas
dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih
nyata tetapi eliminasi lebih cepat. (Bustami, 2001).
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan
dan cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak
dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati
yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi
metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal.
Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan
(uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya
tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut,
penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi
obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. (Bustami,
2001).
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh
karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin
dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal
berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan
filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang
lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang
fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat
bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif
disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan
tubulus. (Bustami, 2001)
INTERAKSI FARMAKOKINETIK
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah
berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance,
walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal.
Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life
panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya
berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah
glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja
panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan
dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang
dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan
merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di
Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang
digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah
jantung sebagai first-line drug. (Boedi, 2006)
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal,
maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan
dosis obat yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin.
10
Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering
menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat. (Boedi, 2006)
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi
ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan
yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada
lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga
perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia. (Boedi, 2006)
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga
suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT
tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan
fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena
kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh
sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter
kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa
diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti
obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian
methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh
hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal
atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa
terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat
tertentu. (Boedi, 2006)
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral
diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan
langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan
melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme
ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang
kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu
produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat
yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi
langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat
11
tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil
daripada dosis oral. (Boedi, 2006)
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat
yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang
berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar
aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek
samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99%
dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi
menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian
diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak,
yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin
sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini
juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma
hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis,
tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan
penderita (Boedi, 2006)
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler
pada lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol
pada respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya
obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas
pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial
diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek
sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan
obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya
akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)
INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan
respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap
efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan
sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek
yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis
normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan.
12
Absorbsi
13
1. Absorbsi
Absorbsi obat dari lambung dan usus secara keseluruhan tidak
mengalami perubahan yang berarti. Penurunan vaskularisasi dan motilitas
14
usus tidak mengurangi jumlah yang fiabsorbsi. Tapi bila obat yang
diabsorbsi mengalami metabolisme lintas pertamanya di hepar maka
bioavaibilitas obat yang masuk sirkulasi mayor akan lebih besar karena
fungsi metabolisme hepar sudah menurun. Perlu penurunan dosis misalnya
obat-obat kelompok penyekat beta.(Martono, 2011)
2. Distribusi
Distribusi adalah penyebaran obat keseluruh tubuh melalui lintas
kompartemen. Setelah obat masuk kedalam darah sebagian akan terikat
oleh protein plasma darah, sebagian tetap bebas. Jadi ada fraksi obat
terikat (FOT) dan fraksi obat bebas (FOB) yang mengalami distribusi
keseluruh jaringan tubuh hanyalah FOB. Diantara FOT dan FOB terdapat
keseimbangan yang dinamis. (Martono, 2011)
Protein plasma pada lansia telah mengalami perubahan dimana
kadar albumin menurun dan kadar alfa-acid glycoprotein bertambah.
Keadaan ini mengubah proporsi FOT dan FOB. Obat-obat yang bersifat
asam FOBnya meningkat. Pemberian loading dose/ suntikan tanpa
penyesuaian dosis dapat membahayakan. Sebaliknya obat-obat yang
bersifat base FOTnya naik, dapat menurunkan efek terapi dan
memperpanjang waktuparuh. Obat-obat yang mempunyai daya kelarutan
lemak tinggi akan terdistribusi lebih luas ( volume distribusinya menjadi
lebih besar), sehingga mula kerja obat menjadi lebih lambat. (Martono,
2011)
3. Metabolisme
Kapasitas fungsi hepar pada lansia menurun banyak oleh karena
massa, aliran darah sudah berkurang. Eliminasi obat menjadi lebih kecil
dan lebih lambat. Metabolisme obat di hepar berlangsung dengan katalis/
aktifitas enzyme mikrosoma hepar. Aktivitas enzim ini dapat dirangsang
oleh obat dan dapat dihambat oleh inhibitor. Obat-obat yang mengalami
metabolisme dihepar misalnya parasetamol, salisilat, diazepam, prokain,
propanorol, warfarin, eliminasinya akan menurun oleh karena kemunduran
kapasitas fungsi hepar. Bila obat tersebut diberikan bersama-sama dengan
obat inhibitor enzim maka perlu eliminasi obat akan bertambah lambat .
(Martono, 2011)
15
He,
simetidin,
kloramfenikol,
eritomisin,
valproate,
16
A. Delirium
a. Definisi
Delirium disebut juga sebagai brain syndrome, acute brain
syndrome, acute brain failure, dan acute confusional episode. Delirium
didefinisikan sebagai suatu sindrom yang etiologinya tidak khas.
Ditandai dengan gangguan kesadaran disertai dengan gangguan atensi,
kognitif, persepsi, daya ingat, perilaku psikomotor, emosi dan ganguan
siklus tidur yang terjadi secara akut dan fluktuatif. Gejala utama dari
delirium adalah gangguan kesadaran dan bingun mendadak yang terjadi
bersama-sama dengan perubahan kognitif yang berkembang dengan
periode yang sangat singkat biasanya dalam beberapa jam hingga hari
dan cenderung berfluktatif dalam periode satu hari. (Martono, 2011)
b. Etiologi
Delirium biasanya memiliki etiologi multifaktorial yaitu terdiri
dari : (Martono, 2011)
a) Penyebab penyebab delirium yang umumnya reversibel
1. Hipoksia
2. Hipoglikemi
3. Hepernatremi
4. Delirium antikolinergik
b) Penyebab lain
1. Infeksi
2. Gangguan metabolik
3. Lesi struktural otak
4. Pasca operasi
5. Intoksikasi
1) Antikolinergik
2) Narkotik (meperidin)
3) Hipnotik sedatif
4) Histamin 2 (H-2) blocker (simetidine)
5) Kostikosteroid
6) Antihipertensi sentral
c) Demensia merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar.
Faktor risiko demensia pada pasien delirium sebesar 25-50%.
Adanya demensia meningkatkan risiko delirium 2-3 kali
d) Delirium yang berhubungan dengan operasi:
1. Praoperatif (demensia, polifarmasi, putus obat, gangguan
elektrolit dan cairan)
17
2.
18
neurotransmitter
atau
penggunaan
substrat
untuk
metabolisme sistem saraf pusat dapat menyebabkan delirium.Obatobat yang menyebabkan terjadinya delirium : (Martono, 2011)
a) Obat antikolinergik
Hubungan penyebab obat untuk delirium pada obat
antikolinergik dengan afinitas reseptor muscarine. Anthistamin,
19
antipsikotik,
trisiklik
antidepresan,
digoxin,
furosemid,
codeine dan
antidepresan
trisiklik
memiliki
efek
nortriptyline.
Delirium
telah
dilaporkan
menunjukkan
elektroensefalografik
delirium
yang
20
untuk
memberikan
perhatian
serta
berkonsentrasi,
21
Delirium Hiperaktif
Gejala
Halusinasi
Delusi
Hiperaroural
Peningkatan
Patogenesis
atau
Delirium Hipoaktif
normal
metabolisme cerebral
Pada gambaran EEG terlihat
normal atau cepat
Penurunan aktivitas sistem
Tidur
Menarik diri
Lambat
Penurunan metabolisme
cerebral secara global
EEG diffus tambat
Overstimulasi
pada
sistem GABA
GABA
g.
Diagnosis Banding
Delirium
Demensia
Depresi
Skizofernia
Awitan
Akut
Insidious
Bervariasi
Bervariasi
Periode waktu
Fluktuasi
Progresif
Variasi
Bervariasi
diurnal
Revensibilitas
Selalu
Tidak selalu
terjadi
Tingkat
Terganggu
kesadaran
inatensi
atensi
Poor
memory
tanpa
inatensi
Selalu
namun dapat
rekurens
Tidak
terganggu
problem
Tidak terganggu,
atensi
buruk,inkonsisten,
22
memori
memory
Halusinasi
Selalu visual,
dapat
juga
pendengaran,
Bisa
Biasanya
penglihatan
pendengaran
atau
yang
pendengaran
terganggu
Biasanya
pendengaran
pengecapan,
dan
pembauan
Paranoid dan Kompleks
Delusi
Fragmented,
persekutorik
Kompleks
biasanya
dengan
menetap
mood
yang sistemik
sesuai
paranoid
dan
sering
A. Dementia
a. Definisi
Demensia adalah berkurangnya kognisi pada tingkat kesadaran yang
stabil. Fungsi kognisi yang terserang demensia meliputi intelegensi umum,
pengetahuan dan memori, bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi,
atensi dan konsentrasi, daya nilai, serta kemampuan sosial. (Martono,
2011)
Gangguan ini dapat bersifat progresif atau statis, permanen atau
reversible.Potensi reversibilitas demensia berhubungan dengan kondisi
patologis yang mendasari dan ketersediaan serta penerapan terapi yang
efektif. (Martono, 2011)
23
sindroma
penurunan
kemampuan
intelektual
progresifyang
alkoholik,
demensia
infeksiosa
(misalnya
human
24
2011)
Tabel 2.2. Berbagai Penyebab Dementia
Demensia Degeneratif
a. Penyakit Alzheimer
b. Demensia frontotemporal
Infeksi
Sindrom Gerstmann-Straussler)
b. Acquired immune deficiency
syndrome (AIDS)
c. Sifilis
yang progresif
Lain-lain
a.
b.
c.
d.
Penyakit Huntington
Penyakit Wilson
Leukodistrofi metakromatik
Neuroakantosistosis
Kelainan Metabolik
Trauma
a. Dementia
pugilistica,posttraumatic
dementia
b. Subdural hematoma
Kelainan jantung, vaskuler dan anoksia
Kelainan Psikiatrik
Penyakit demielinisasi
25
a. Sklerosis multiple
lanjut
Tumor
c.
a.
b.
c.
d.
Alkohol
Logam berat
Radiasi
Pseudodemensia akibat
pengobatan (misalnya
penggunaan antikolinergik)
e. Karbon monoksida
Subtipe Demensia
Terdapat 4 subtipe demensia yang paling sering ditemukan. Keempat
subtype tersebut antara lain: (1) Penyakit Alzheimer, (2) Demensia Vaskular
(VaD), (3) Demensia jisim Lewy (DLB) dan (4) Demensia Frontotemporal
(FTD). (Martono, 2011)
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif pada
otak yang menyebabkan deteriorisasi memori, kemampuan intelektual,
dan kepribadian. Penyakit ini bersifat progresif dan termasuk penyakit
yang paling ditakuti, mengingat kematian adalah konsekuensi akhirnya
dan hingga saat ini, belum ada pengobatan untuk penyakit Alzheimer.
Ada beberapa perawatan yang bertujuan untuk mencegah progresifitas
Alzheimer, namun tidak ada pengobatan yang dapat membalikkan
jalannya perkembangan penyakit ini. Bahkan James Watson, seorang
peraih nobel karena menemukan struktur heliks ganda DNA, takut
terhadap Alzheimer. Watson telah mengurutkan semua genom yang ia
miliki dan selalu memiliki rasa penasaran untuk melakukan penelitian,
kecuali untuk 1 hal; Watson tidak ingin mengetahui apakah ia
membawa gen untuk penyakit Alzheimer. (Martono, 2011)
26
27
28
gangguan
pada
mekanisme
kerja
otak
dan
ini
belum
dipahami
sepenuhnya
bagaimana
mekanisme
Gambaran
sindrom
Kluver-Bucy
(contohnya:
29
d. Penatalaksanaan Klinik
Pengobatan kolinergik menyebabkan defisit asitelkolin pada penyakit
Alzheimer. Tiga macam obat yang sudah diteliti oleh FDA : takrin,
donepezid, dan rivastigorin, Dosis takrin dimulai 10 mg 4x/hari dan
ditingkatkan perlahan sampai 160 mg/hari. Peningkatan
enzim hati
obat
30
31
Demensia
1. Keluarga sering tidak menyadari
agak tepat.
3. Gejala terjadi singkat sebelum
psikiatrik
medis
4. Perkembangan
gejala
yang
1. Pasien
Demensia
biasanya
sedikit
32
kehilangan kognitif
mengeluhkan
biasanya terinci
kognitif
Keluhan
3. Pasien menekankan
3. Pasien
ketidakmampuan
4. Pasien menonjolkan kegagalan
Pasien melakukan sedikit usaha
menyangkal
ketidakmampuan
4. Pasien senang akan pencapaian,
tetapi menyepelekan
mengomunikasikan perasaan
penderitaan yang kuat
tugas
Pasien
menggunakan
6. Pasien
sering
tampak
tidak
dipertahankan
8. Perilaku biasanya sesuai dengan
sering
Demensia
dan
1. Atensi
1. Atensi
biasanya terganggu
2. Sering jawaban yang hampir
yang sering.
pasien
sering
konsentrasi
memberikan
pasien
3. Sering keliru antara jarang
dengan sering
lebih
parah
dibandingkan
33
kejadian
kejadian
periode
atau
spesifik
adalah
sering ditemukan
6. Variabilitas yang jelas dalam
Daftar Pustaka
Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB.
Bandung
Darmojo B, Martono H. 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta
Harold I. Kaplan M, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb MD. Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta : Binarupa
Aksara, 2010 : 544
Martono,H and Kris,P. 2011. Buku Ajar Geriatri. Edisi ke 4.Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Resnick NM. 2011. Ilmu Kedokteran Geriatri. Dalam: Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Isselbacher, dkk (editor). Edisi XIII. Volume 1. EGC.
Jakarta.
Sherwood L. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi VI. EGC. Jakarta.
Sudoyo AW. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Vol 1. Interna Publishing.
Jakarta.
34