0% found this document useful (0 votes)
314 views34 pages

Scenario 2 264

This patient, a 66-year-old woman, was referred to a memory clinic for evaluation of rapidly progressive dementia over the past 5 months. She exhibited memory loss, disorientation, lack of appetite, and unintentional weight loss. Her cognitive abilities had sharply declined in the previous two weeks, and she now had problems with short-term memory, daily functioning, and getting lost. Her exam found perseveration, anomic aphasia, alexia, agnosia, and apraxia. She was unable to perform complex tasks due to perseveration, such as answering "December" to questions about the current month. She also had chronic kidney disease from uncontrolled hypertension.

Uploaded by

Ingrid Maria K
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
314 views34 pages

Scenario 2 264

This patient, a 66-year-old woman, was referred to a memory clinic for evaluation of rapidly progressive dementia over the past 5 months. She exhibited memory loss, disorientation, lack of appetite, and unintentional weight loss. Her cognitive abilities had sharply declined in the previous two weeks, and she now had problems with short-term memory, daily functioning, and getting lost. Her exam found perseveration, anomic aphasia, alexia, agnosia, and apraxia. She was unable to perform complex tasks due to perseveration, such as answering "December" to questions about the current month. She also had chronic kidney disease from uncontrolled hypertension.

Uploaded by

Ingrid Maria K
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 34

1

Skenario 2
Memory Loss
The patient was a 66 year old woman who was referred to a memory clinic for
further evaluation of a 5 month history of rapidly progressive dementia. The initial
symptoms included memory loss, feeling odd, anorexia, and unintentional
weight loss. At her first visit to the memory clinic, her son and husband reported
that her cognitive problems had acutely worsened in the previous two weeks. She
now had problems with short-term memory and functional abilities, including
getting dressed, using the toilet, and getting lost in her house. Her physical exam
was significant for perserveration, anomic aphasia, alexia, agnosia, and apraxia.
She was unable to perform other complicated tasks due to perseveration. For
example, when asked about the month, date, day, and year, she answered
December for each, when in fact, it was already March. Besides dementia, this
patient also underwent treatment for chronic kidney disease due to uncontrolled
hypertension.
Step 1
1. Dementia

: sindroma klinik dengan hilangnya fungsi intelektual &

ingatan yang berat


2. Apraxia
: kondisi tidak bisa bergerak karena gangguan motorik
3. Alexia
: hilangnya kemampuan membaca
4. Agnosia
: kehilangan mengenali benda akibat kerusakan lobus
temporal
5. Perseveration

: gangguan arus pikiran dengan gerakan berulang

Step 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Apa penyebab demensia?


Apa saja macam-macam demensia?
Bagaimana patomekanisme demensia?
Bagaimana penegakkan diagnosis demensia?
Bagaimana penatalaksanaan demensia?
Pencegahan demensia?
Mengapa bisa terjadi keluhan-keluhan kasus tersebut(apraxia, alexia, agnosia,
aphasia)?

Step 3
1. Penyebab demensia, terdiri dari:
a. D = drugs
b. E = emotional
c. M = metabolik
d. E = ear & eyes
e. N = nutrio
f. T = tumor/trauma
g. I = infeksi
h. A = aterosklerosis
2. Macam-macam demensia:
a. Demensia Alzheimer/ degeneratif primer 50-60%
b. Demensia multi-infark
10-20%
c. Demensia reversible/irreversible
20-30%
d. Demensia neurologic
5-10%
e. Berdasarkan usia
1) Demensia senilis
2) Demensia prosenalis
f. Berdasarkan perjalanan penyakit
1) Reversible
2) Ireversibel
g. Berdasarkan kerusakan struktur
1) Tipe Alzheimer
2) Demensia vascular
3) Tipe campuran
4) Tipe non-alzheimer
h. Berdasarkan sifat klinis
1) Demensia propius
2) Pseudodemensia
3. Patomekanisme dari demensia :
a. Gangguan SSP
1) Anatomi
2) Metabolic
b. Gangguan vascular SSP
c. Pembentukan amyloid
4. Penegakkan diagnosis :
a. Menurunnya daya ingat
b. Peningkatan gangguan kesadaran
c. Adanya gejala disabilitas 6 bulan
d. Anamnesis
e. Pemeriksaan fisik
f. Pemeriksaan penunjang
5. Penatalaksanaan demensia
a. Mengoptimalkan fungsi dari penderita
b. Kenali dan obati komplikasi
c. Upayakan perumatan berkesinambungan
d. Pelayanan social

e. Nasihat keluarga
Farmakologi :
a. Alzheimer
1) Inhibitor kolisterase : Donepzile 5-10 tablet
2) Antagonis reseptor : Glutaminergi
b. Vascular : Antiplatelet : Aspirin, Tioklodipin
6. Pencegahan demensia
a. Tekanan darah dikendalikan
b. Pencegahan cedera kepala
c. Melakukan kegiatan yang merangsang intelektual
d. Mencegah paparan elektromagnetik
e. Diet vitamin C
7. Terjadinya keluhan-keluhan pada kasus:
a. Sindroma cerebral
terganggu
b. Kognitif
aterosklerosis
aliran darah berkurang ke otak

sel otak

menurun fungsinya
Step 4
1. Penyebab demensia
a. Drug
: dopamine, serotonin, ACTH
b. Emosional
: penurunan serotonin
c. Metabolic
: amyloid
d. Eye and ears : informasi terganggu
e. Nutrisi
: antioksidan meningkat
f. Tumor
: mengganggu sel otak
g. Infeksi
: AIDS
h. Aterosklerosis : (-) kolateral
i. Lingkungan : aluminium
2. Macam-macam demensia
a.
Demensia multi-infark : akibat penyakit pembuluh darah
b.
Demensia reversible : akibat gangguan vascular (oklusi), aneurisma,
c.
d.
e.

f.

penyakit Parkinson
Demensia irreversible : akibat trauma, ensefalitis
Demensia Alzheimer : kerusakan genetic
Demensia neurologic: penyakit Parkinson gangguan substansia nigra
dopamine terganggu
gangguan neurologic
Demensia fronto-temporal : menurunnya metabolism otak akibat

aterosklerosis
Demensia senilis
: >65th
h.
Demensia prasenalis : <65th
3. Patomekanisme demensia
a. Sirkulus viulis terganggu
lobus temporal
g.

degenerasi

atrofi

mensia
b. amyloid
akibat oksidasi, agresi -amyloid
kematian sel
Neuron
neurotransmitter
demensia, Alzheimer
4. Penegakkan diagnosis

de-

a. Anamnesis
1) Kebingungan akut/subakut (Delirium)
2) Daya ingat menurun bertahun-tahun (Alzheimer)
3) Halusinasi
4) Riwayat dahulu (Stroke, hipertensi, DM)
b. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital
2) Keadaan umum
c. Differential diagnosis
1) Demensia
2) Alzheimer
3) Delirium
4) Depresi
5. Penatalaksanaan
a. Obati penyakit penyerta : hipertensi
b. Mempertahankan perbaikan gizi
c. Obati komplikasi (Depresi, inkontinensia)
7. Hubungannya dengan gejala yang terdapat pada kasus:
Apraxia : lobus frontal terganggu
rigiditas

Penyebab

Penatalaksanaan

Macam-macam

Farmakokinetik
Gangguan

Farmakodinamik
Non-farmakologi

Kognitif pada

Penegakkan
Step 5
diagnosis
1. Bagaimana Patomekanisme demensia
a. Fisiologi
b. Patologi
2. Bagaimana Penatalaksanaan demensia
a. Farmakokinetik
b. Farmakodinamik
3. Differential diagnosis pada kasus
Step 6
Belajar mandiri
Step 7
1. Patomekanisme demensia
a. Secara Fisiologis

Lansia
Pencegahan

Patomekanisme
Penatalaksanaan

Patomekanisme Penurunan Kognitif pada Lansia


Berat otak akan menurun sebanyak 10% pada penuaan antara umur 30
sampai 70. Disamping itu meningen menebal, giri, dan sulci otak
berkurang kedalamannya. Akan tetapi kelainan ini tidak menyebabkan
gangguan patologik yang berarti. Pada semua sitoplasma sel juga terjadi
deposit lipofuscin yang sering disebut sebagai pigmen wear and tear.
Yang bersifat patologis adalah adanya degenerasi pigmen substansia nigra,
kekusutan neurofibriler dan pembentukan badan hirano. Keadaan ini
bersesuaian dengan terjadinya patologi sindroma Parkinson dan dementia
tipe Alzheimer. Pada pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat
proses aterosklerosis dan tunika media sebagai akibat proses menua.
Akibatnya sering terjadi gangguan vaskularisasi otak yang berakibat
dengan terjadinya TIA, stroke, dan dementia vaskuler. Vaskularisasi yang
menurun pada daerah hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan
syaraf otonom, disamping mungkin sebagai akibat pengaruh berkurangnya
berbagai neurotransmitter. Perubahan patologik pada jaringan system
syaraf pusat sering menyertai penyakit metabolic, antara lain diabetes,
hipo/hipertiroid yang juga menyebabkan gangguan pada susunan syaraf
tepi baik yang bersifat otonom atau tidak. (Sherwood, 2012)
Lipofuscin adalah hasil buangan dalam sel-sel setelah memproduksi
berbagai zat dan energy yang diperlukan oleh tubuh. Secara alami ia
disingkirkan dari dalam sel-sel, namun lambat laun kemampuan sel untuk
membuangnya menurun. Sehingga ia dapat menumpuk hingga lebih dari
75% volume sel hingga mengakibatkan fungsi sel berkurang. Pada suatu
saat, penumpukan lipofuscin yang terlalu besar akan menyebabkan sel
mati sehingga terlihat sebagai bintik-bintik coklat kehitaman di kulit. Bila
tidak cepat ditangani, bintik-bintik ini akan bertambah banyak dan
melebar. Ia merupakan tanda peringatan bahwa telah terjadi degenerasi
oleh radikal bebas di seluruh tubuh. Tinggal menunggu saja yang mana
organ tubuh yang akan rusak karena degenerasi itu. Kematian sel-sel
akibat penumpukan lipofuscin terjadi pula pada sel-sel syaraf dengan
akibat gangguan syaraf seperti kehilangan memori dan pikun. (Sherwood,
2012)

(Sherwood, 2012)
b. Secara Patologis

(Sudoyo, 2009)

2. Penatalaksanaan secara farmakokinetik dan farmakodinamik


Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan
obat :
a. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
b. Kondisi organ tubuh
c. Farmakologi klinik obat
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum
penentuan obat yang dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh
serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak
hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat,
karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan
sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun
prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut :
a. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang
sesungguhnya
b. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang

paling

menguntungkan dan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau


penyakit lainnya
c. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang
biasa diberikan pada orang dewasa yang masih muda.

d. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu
dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat
umumnya lebih rendah.
e. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah
ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien
f. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan
obat yang tidak diperlukan lagi
FARMAKOKINETIK
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga
mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya
aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu
pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan
dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada
beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam
cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin,
tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein),
dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia
lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan
cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma.
Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih
menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat
lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas
dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih
nyata tetapi eliminasi lebih cepat. (Bustami, 2001).
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan
dan cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak
dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati
yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi
metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal.
Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan
(uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya
tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut,
penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi

obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. (Bustami,
2001).
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh
karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin
dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal
berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan
filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang
lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang
fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat
bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif
disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan
tubulus. (Bustami, 2001)
INTERAKSI FARMAKOKINETIK
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah
berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance,
walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal.
Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life
panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya
berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah
glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja
panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan
dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang
dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan
merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di
Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang
digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah
jantung sebagai first-line drug. (Boedi, 2006)
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal,
maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan
dosis obat yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin.

10

Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering
menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat. (Boedi, 2006)
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi
ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan
yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada
lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga
perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia. (Boedi, 2006)
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga
suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT
tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan
fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena
kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh
sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter
kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa
diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti
obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian
methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh
hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal
atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa
terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat
tertentu. (Boedi, 2006)
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral
diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan
langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan
melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme
ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang
kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu
produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat
yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi
langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat

11

tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil
daripada dosis oral. (Boedi, 2006)
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat
yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang
berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar
aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek
samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99%
dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi
menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian
diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak,
yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin
sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini
juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma
hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis,
tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan
penderita (Boedi, 2006)
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler
pada lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol
pada respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya
obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas
pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial
diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek
sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan
obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya
akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)
INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan
respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap
efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan
sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek
yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis
normal dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan.

12

Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam


dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia. (Boedi,
2006)
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada
usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu 1 adrenergic
blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik
furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Boedi,
2006)
Perubahan pada lansia dalam hubungannya dengan obat
Pada golongan lansia berbagai perubahan isi logic pada organ dan
system tubuh akan mempengaruh itanggapa ntubuh terhadap obat. Beberapa
perubahan tersebut dalam istilah farmakologi dikenal sebagai perubahan
dalam hal farmakokinetik, farmakodinamik, dan hal khusus lain yang
merubah perilaku obat dalam tubuh. (Martono, 2011)
a. Farmakokinetik
Farmakokinetik membahas perjalanan nasib obat dalam tubuh.
Farmakokinetik dalam terapi berfungsi sebagai alat prediksi terhadap
besaran KOP dan efek obat. Dosis dan frekuensi pemberian obat harus
menghasilkan KOP yang selalu berada dalam bingkai jendela terapi. Bila
lebih besar akan terjadi efek toksik dan bila terlalu kecil obat tidak
bermanfaat. (Martono, 2011)
Dalam farmako terapi agar supaya KOP lansia standar dalam
farmako terapi besaran dosis dan frekuensi pemberian obat harus
disesuaikan dengan perubahan-perubahan farmakokinetik yang terjadi
pada setiap penderita. Perubahan-perubahan farmakokinetik akibat proses
menua dapat dilihat pada table dibawah ini. (Martono, 2011)
Tabel 1 Perubahan farmakokinetik obat pada akibat proses menua
Parameter

Perubahan akibat proses menua

Absorbsi

Penurunan permukaan absorbs

13

Penurunan sirkulasi darah splanchnic


Penurunan motilitas gastrointestinal
Peningkatan pH lambung
Distribusi
Penurunan cardiac output
Penurunan total body water
Peningkatan lemak badan
Perubahan pengikatan terhadap protein
Metabolisme
Penurunan aliran darah hepar
Penurunan massa hepar
Ekskresi
Penurunan aliran darah ginjal
Penurunan filtrasi glomerulus
Penurunan sekresi tubuler
Sensitifitasjaringan
Perubahan pada jumlah reseptor
Afinitas reseptor

1. Absorbsi
Absorbsi obat dari lambung dan usus secara keseluruhan tidak
mengalami perubahan yang berarti. Penurunan vaskularisasi dan motilitas

14

usus tidak mengurangi jumlah yang fiabsorbsi. Tapi bila obat yang
diabsorbsi mengalami metabolisme lintas pertamanya di hepar maka
bioavaibilitas obat yang masuk sirkulasi mayor akan lebih besar karena
fungsi metabolisme hepar sudah menurun. Perlu penurunan dosis misalnya
obat-obat kelompok penyekat beta.(Martono, 2011)
2. Distribusi
Distribusi adalah penyebaran obat keseluruh tubuh melalui lintas
kompartemen. Setelah obat masuk kedalam darah sebagian akan terikat
oleh protein plasma darah, sebagian tetap bebas. Jadi ada fraksi obat
terikat (FOT) dan fraksi obat bebas (FOB) yang mengalami distribusi
keseluruh jaringan tubuh hanyalah FOB. Diantara FOT dan FOB terdapat
keseimbangan yang dinamis. (Martono, 2011)
Protein plasma pada lansia telah mengalami perubahan dimana
kadar albumin menurun dan kadar alfa-acid glycoprotein bertambah.
Keadaan ini mengubah proporsi FOT dan FOB. Obat-obat yang bersifat
asam FOBnya meningkat. Pemberian loading dose/ suntikan tanpa
penyesuaian dosis dapat membahayakan. Sebaliknya obat-obat yang
bersifat base FOTnya naik, dapat menurunkan efek terapi dan
memperpanjang waktuparuh. Obat-obat yang mempunyai daya kelarutan
lemak tinggi akan terdistribusi lebih luas ( volume distribusinya menjadi
lebih besar), sehingga mula kerja obat menjadi lebih lambat. (Martono,
2011)
3. Metabolisme
Kapasitas fungsi hepar pada lansia menurun banyak oleh karena
massa, aliran darah sudah berkurang. Eliminasi obat menjadi lebih kecil
dan lebih lambat. Metabolisme obat di hepar berlangsung dengan katalis/
aktifitas enzyme mikrosoma hepar. Aktivitas enzim ini dapat dirangsang
oleh obat dan dapat dihambat oleh inhibitor. Obat-obat yang mengalami
metabolisme dihepar misalnya parasetamol, salisilat, diazepam, prokain,
propanorol, warfarin, eliminasinya akan menurun oleh karena kemunduran
kapasitas fungsi hepar. Bila obat tersebut diberikan bersama-sama dengan
obat inhibitor enzim maka perlu eliminasi obat akan bertambah lambat .
(Martono, 2011)

15

Obat-obat yang termasuk enzim inhibitor adalah : allopurinol, INH,


Penyekat

He,

simetidin,

kloramfenikol,

eritomisin,

valproate,

ciprofloxacin, metronidazole, sulfoniramide.


Obat-obat yang termasuk enzim inducer adalah: rifampisin,
diazepam, fenitoin, karbamazepin, alcohol, nikotin. (Martono, 2011)
Dalam terapi polifarmasi pengaruh obat-obat inducer/ inhibitor
harus selalu diperhitungkan perubahan kinetic yang terjadi terlebih-lebih
pada pemakaian kronis (efek inducer dan inhibitor baru efektif setelah kira
kira satu minggu). (Martono, 2011)
4. Ekskresi
Aliran darah, filtrasi glomeruli dan sekresi tubuli ginjal terus
mengalami reduksi yang terkorelasi dengan pertambahan umur. Pada usia
90 tahun kapasitas ginjal tinggal 35%. Konsekuensi dari penurunan
fungsi ginjal ini adalah eliminasi obat berkurang sehingga pada pemberian
obat dengan dosis/f rekuensi lazim KOP dalam darah akan menjadi lebih
besar dengan t-nya menjadi lebih panjang oleh karena itu besaran dosis /
frekuensi pemberian dari obat yang dieliminasi lewat ginjal perlu
diperhitungkan dengan cermat seperti aminoglikosida, digoxin, obatanti
diabetik oral, simetidin, dan lain-lain. (Martono, 2011)
b. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat
menimbulkan rentetan reaksi biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor
sampai dengan efektor. (Martono, 2011)
Di dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respon
seluler .respon kimiawi pada lansia secara keseluruhan menurun.
Penurunan ini sangat menonjol pada mekanisme respon homeostatic yang
berlangsung secara fisiologis. Penurunan ini tidak dapat di prediksi dengan
ukuran-ukuran matematis seperti yang terjadi pada farmakokinetik .
(Martono, 2011)

3. Deferensial diagnosis pada kasus

16

A. Delirium
a. Definisi
Delirium disebut juga sebagai brain syndrome, acute brain
syndrome, acute brain failure, dan acute confusional episode. Delirium
didefinisikan sebagai suatu sindrom yang etiologinya tidak khas.
Ditandai dengan gangguan kesadaran disertai dengan gangguan atensi,
kognitif, persepsi, daya ingat, perilaku psikomotor, emosi dan ganguan
siklus tidur yang terjadi secara akut dan fluktuatif. Gejala utama dari
delirium adalah gangguan kesadaran dan bingun mendadak yang terjadi
bersama-sama dengan perubahan kognitif yang berkembang dengan
periode yang sangat singkat biasanya dalam beberapa jam hingga hari
dan cenderung berfluktatif dalam periode satu hari. (Martono, 2011)
b. Etiologi
Delirium biasanya memiliki etiologi multifaktorial yaitu terdiri
dari : (Martono, 2011)
a) Penyebab penyebab delirium yang umumnya reversibel
1. Hipoksia
2. Hipoglikemi
3. Hepernatremi
4. Delirium antikolinergik
b) Penyebab lain
1. Infeksi
2. Gangguan metabolik
3. Lesi struktural otak
4. Pasca operasi
5. Intoksikasi
1) Antikolinergik
2) Narkotik (meperidin)
3) Hipnotik sedatif
4) Histamin 2 (H-2) blocker (simetidine)
5) Kostikosteroid
6) Antihipertensi sentral
c) Demensia merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar.
Faktor risiko demensia pada pasien delirium sebesar 25-50%.
Adanya demensia meningkatkan risiko delirium 2-3 kali
d) Delirium yang berhubungan dengan operasi:
1. Praoperatif (demensia, polifarmasi, putus obat, gangguan
elektrolit dan cairan)

17

2.

Intraoperatif (meperidin, benzodiazepine longacting, dan

anti kolinergik seperti atropin)


3. Pasca operasi (hipoksia dan hipotensi)
Telah dilaporkan bahwa 90% dari pasien dengan delirium
memiliki 3-4 faktor gangguan etiologi dapat diidentifikasi, 24%
memiliki dua faktor,dan hanya 16% memiliki satu faktor etiologi dapat
diidentifikasi. Etiologi delirium adalah kompleks dan multifaktorial
dengan interaksi faktor pencetus pada pasien rentan dengan kondisi
predisposisi. Delirium dibagi menjadi beberapa subtipe menurut faktor
etiologi: (Martono, 2011)
1. Delirium karena kondisi medis umum yaitu delirium yang dilihat
dari riwayat dahulu, pemeriksaan fisik, atau laboratotium yang
gangguannya disebabkan langsung oleh gangguan fisiologi
2. Delirium karena intoksikasi
3. Delirium karena putus obat yaitu delirium yang diakibatkan karena
penarikan substansi obat.
4. Delirium karena etiologi yang multiple yaitu delirium yang dilihat
dari riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik atau laboratotium
yang deliriumnya memiliki lebih dari satu etiologi.
5. Delirium yang tidak terklasifikasikan
c. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah pasien yang rentan terjadinya
delirium antara lain usia lanjut, gangguan neurologi, jenis kelamin lakilaki, gangguan sensorik, depresi, imobilitas, patah tulang pinggul.
(Martono, 2011)
1) Umur
Salah satu faktor predisposisi yang paling penting adalah
usia. Baik geriatri dan populasi pediatrik berada pada risiko
terjadinya delirium. Orang tua yang lebih rentan untuk terjadinya
delirium delirium karena berkurangnya cadangan kolinergik yang
diperlukan untuk memori, belajar, dan perhatian. Sedangkan pada
usia anak-anak delirium diakibatkan karena perkembangan otak
struktural belum matang dan berkembang.
2) Gangguan neurologis
Demensia merupakan faktor predisposisi utama untuk
delirium, meta-analisis menunjukkan relatif risiko. Pasien lansia

18

dengan demensia memiliki risiko tinggi terjadinya delirium bukan


hanya diakibatkan karena penurunan asetikolin, tetapi diakibatkan
karena kematian sel-sel kolinergik pada nukleus basalis maynert
sebagai akibat dari proses penyakit. (Martono, 2011)
3) Hip fraktur
Pasien patah tulang pinggul berada pada peningkatan risiko
terjadinya delirium karena trauma yang terkait dengan cedera dan
perkembangan yang cepat untuk rawat inap dan operasi, selain rasa
sakit dan hilangnya fungsi. Yang paling umum dari delirium pada
pasien patah tulang pinggul dilaporkan akibat obat yang memiliki
efek sistem saraf pusat, infeksi, gangguan cairan elektrolit,
metabolisme/ gangguan endokrin, proses intrakranial, kompromi
cardiopulmonar dan/ atau penarikan obat dan penyebab sensorik/
lingkungan. (Martono, 2011)
4) Jenis Kelamin
Pada beberapa penelitian mengungkapkan bahwa laki-laki
lebih banyak terkena delirium dibandingkan dengan perempuan.
d. Faktor Pencetus
1) Bedah
Insiden delirium pasca operasi berkisar antara 5% sampai
15%. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko delirium pada pasien
bedah termasuk gangguan elektrolit, peningkatan usia, demensia,
perioperatif hipotensi, hipoksia pasca operasi, dan penggunaan
obat-obatan antikolinergik.(Martono, 2011)
2) Obat
Delirium ditandai dengan disfungsi otak global yang
mengakibatkan
penurunan metabolisme oksidatif otak dan ketidakseimbangan
beberapa neurotransmiter di otak. Setiap obat yang mengganggu
sistem

neurotransmitter

atau

penggunaan

substrat

untuk

metabolisme sistem saraf pusat dapat menyebabkan delirium.Obatobat yang menyebabkan terjadinya delirium : (Martono, 2011)
a) Obat antikolinergik
Hubungan penyebab obat untuk delirium pada obat
antikolinergik dengan afinitas reseptor muscarine. Anthistamin,

19

antipsikotik,

trisiklik

antidepresan,

digoxin,

isosorbid dinitrat, warfarin, dipyridamole,

furosemid,
codeine dan

captopril. Obat yang paling banyak digunakan memiliki efek


primer maupun sekunder antikolinergik yang berkontribusi
terhadap terjadinya delirium. Umumnya obat-obat yang
digunakan terutama pada usia lanjut yaitu obat-obat untuk
penyakit jantung atau inkontinensia urine yang memiliki sifat
antikolinergik
b) Opioid
Delirium telah dilaporkan terkait dengan penggunaan
opioid. Asosiasi delirium dengan opioid berhubungan dengan
dosis. Pada penggunaan opioid pada dosis lebih besar dari
54mg/hr.
c) Antidepresan
Semua

antidepresan

trisiklik

memiliki

efek

antikolinergik, dengan amitryptiline memiliki terkuat dan


terlemah

nortriptyline.

Delirium

telah

dilaporkan

mengembangkan setelah penghentian mendadak fluoxetine.


d) Obat lain
Benzodiazepin, antipsikotik dengan efek antikolinergik
yang kuat (misalnya clozapine), obat antiparkinson (yaitu
levodopa).
e. Patogenesis
Patofisiologi delirium masih kurang dipahami.Namun faktor
risiko yang dijelaskan di atas dapat menjelaskan bahwa delirium akibat
ketidakseimbangan antara neurotransmiter. (Martono, 2011)
1) Defisiensi kolinergik
Neuron kolinergik memainkan peran penting dalam kognisi
dan memori. Bukti dari studi elektroensefalografik dan farmakologis
mendukung peran defisiensi kolinergik dalam genesis delirium.
Penelitian

menunjukkan

elektroensefalografik

delirium

yang

berhubungan dengan oksipital melambat, daya puncak dan


penurunan alpha, delta dan meningkatkan daya theta dan lambat

20

peningkatan rasio gelombang selama keadaan mengigau aktif. Jalur


thalamo-kortikal kolinergik bertanggung jawab untuk perhatian,
kewaspadaan dan regulasi kewaspadaan memodulasi dasar EEG
alpha ritme. Di pusat bertindak antikolinergik menghasilkan pola
yang sangat mirip dengan yang elektroensefalografik temuan dalam.
Pada penelitian farmakologi telah menunjukan ada hubungan anatara
delirium dan obat antikolinergik.
2) Sistem neurotransmitter monoamine
Sistem neurotransmitter lain yang memiliki peran dalam
patogenesis delirium adalah sistem monoamine neurotransmitter
dopamin, norepinefrin dan serotonin telah peran dalam gairah dan
siklus tidur-bangun, ketiganya memodulasi respon fisiologis
terhadap rangsangan dan memiliki peran balancing untuk kolinergik.
3) Cedera saraf, inflamasi, dan respon stress
Delirium diduga hasil dari peningkatan pelepasan proinflamasi
sitokin dalam kasus-kasus trauma, infeksi atau pembedahan. Sitokin
proinflamasi dapat mempengaruhi sintesis atau pelepasan asetilkolin,
dopamin, noradrenalin dan serotonin, dan dengan demikian
meningkatkan risiko delirium.
f. Gambaran Klinik
Kondisi delirium mengakibatkan kesadaran menjadi berkabut dan
kesulitan

untuk

memberikan

perhatian

serta

berkonsentrasi,

berhalusinasi atau menjadi paranoid dialami oleh beberapa orang,


disebabkan karena kesulitan untuk melakukan interpertasi lingkungan.
Gejala delirium lainya, dapat dialami dalam bentuk bicara melantur dan
pikiran yang kacau. Gejala tersebut cenderung berfluktatif selama satu
periode sepanjang hari. Kebingunan yang terjadi adalah kebingunan
terhadap kejadian atau peristiwa sehari-hari yang merupakan rutinitas
bagi dirinya. Bahkan pada delirium dapat terjadi suatu perubahan
kepribadian. Individu dapat menjadi tenang atau menarik diri,
sedangkan diwaktu lain bisa menjadi sangat agitasi. Gangguan ini juga
terjadi pada pola tidur dan makan penderita delirium. Delirium dibagi
menjadi 2 subtipe yaitu tipe hiperaktif dan hipoaktif.

21

Tabel 1.1. Gambaran Klinik Hiperaktif delirium dan Hipoaktif


delirium.
Tipe

Delirium Hiperaktif

Gejala

Halusinasi
Delusi
Hiperaroural
Peningkatan

Patogenesis

atau

Delirium Hipoaktif

normal

metabolisme cerebral
Pada gambaran EEG terlihat
normal atau cepat
Penurunan aktivitas sistem

Tidur
Menarik diri
Lambat
Penurunan metabolisme
cerebral secara global
EEG diffus tambat
Overstimulasi
pada
sistem GABA

GABA
g.

Diagnosis Banding

Delirium

Demensia

Depresi

Skizofernia

Awitan

Akut

Insidious

Bervariasi

Bervariasi

Periode waktu

Fluktuasi

Progresif

Variasi

Bervariasi

diurnal
Revensibilitas

Selalu

Tidak selalu
terjadi

Tingkat

Terganggu

kesadaran

inatensi

atensi

dan dengan poor

Poor
memory
tanpa
inatensi

Selalu
namun dapat
rekurens

Tidak
terganggu
problem

Tidak, tapi dapat


ekserbasi

Tidak terganggu,
atensi
buruk,inkonsisten,

22

memori

memory

atensi ringan memori intak


inkonsisten,
memori
intak

Halusinasi

Selalu visual,
dapat

juga

pendengaran,

Bisa

Biasanya

penglihatan

pendengaran

atau

yang

pendengaran

terganggu

Biasanya
pendengaran

pengecapan,
dan
pembauan
Paranoid dan Kompleks
Delusi

Fragmented,
persekutorik

Kompleks

biasanya

dengan

menetap

mood

yang sistemik

sesuai

paranoid

dan
sering

A. Dementia
a. Definisi
Demensia adalah berkurangnya kognisi pada tingkat kesadaran yang
stabil. Fungsi kognisi yang terserang demensia meliputi intelegensi umum,
pengetahuan dan memori, bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi,
atensi dan konsentrasi, daya nilai, serta kemampuan sosial. (Martono,
2011)
Gangguan ini dapat bersifat progresif atau statis, permanen atau
reversible.Potensi reversibilitas demensia berhubungan dengan kondisi
patologis yang mendasari dan ketersediaan serta penerapan terapi yang
efektif. (Martono, 2011)

23

Menurut Alzheimers Disease International, demensia merupakan


suatu

sindroma

penurunan

kemampuan

intelektual

progresifyang

menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan


gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Penurunan
kemampuan kognitif dalam kasus ini, mencakup berbagai fungsi kortikal
termasuk di antaranya kapasitas memori, pikiran, orientasi, komprehensi,
kalkulasi, kemampuan belajar dan berbicara serta kemampuan untuk
mengambil keputusan. Selain gangguan kognitif, deteriorisasi pada kontrol
emosional, perilaku sosial, dan motivasi seringkali menyertai demensia.
(Martono, 2011)
Penyakit alzeimer (berkontribusi terhadap 60-70% kasus) merupakan
bentuk tersering dari demensia. Kontributor mayor lainnya adalah
demensia vaskular, demensia Lewy bodies, dan sejumlah penyakit lainnya
yang berkaitan dengan demensia frontotemporal. Adapun batasan jelas dari
tiap subtipe demensia masih kurang jelas, dan seringkali ditemukan kasus
di mana pada 1 penderita, terdapat lebih dari 1 subtipe demensia.
(Martono, 2011)
Adapun manifestasi dari demensia dapat dibagi ke dalam 3 stadium :
(Martono, 2011)
1. Stadium awal untuk 1-2 tahun pertama
2. Stadium menengah untuk 2-5 tahun berikutnya
3. Stadium akhir setelah 5 tahun berlangsung
b. Etiologi
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia
diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan
(3) campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10
persen diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy bodydementia),
penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal,
demensia

alkoholik,

demensia

infeksiosa

(misalnya

human

immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson.


(Martono, 2011)

24

Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan


klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan
metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi
vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat
depresi.Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum dan mempunyai
banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat
pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebabnya.Pada
tabel 2.1 berikut ini dapat dilihat kemungkinan penyebab demensia : (Martono,

2011)
Tabel 2.2. Berbagai Penyebab Dementia
Demensia Degeneratif

a. Penyakit Alzheimer
b. Demensia frontotemporal

Infeksi

a. Penyakit Prion (misalnya


penyakit Creutzfeldt-Jakob,

(misalnya; Penyakit Pick)


c. Penyakit Parkinson
d. Demensia Lewy Bodies
e. Ferokalsinosis serebral

Sindrom Gerstmann-Straussler)
b. Acquired immune deficiency

idiopatik (penyakit Fahr)


f. Kelumphan supranuklear

syndrome (AIDS)
c. Sifilis

bovine spongiform encephalitis,

yang progresif
Lain-lain

a.
b.
c.
d.

Penyakit Huntington
Penyakit Wilson
Leukodistrofi metakromatik
Neuroakantosistosis

Kelainan Metabolik

a. Defisiensi vitamin (misalnya


vitamin B12, folat)
b. Endokrinopati (e.g.,
hipotiroidisme)
c. Gangguan metabolisme
kronik
(contoh : uremia)

Trauma

a. Dementia
pugilistica,posttraumatic
dementia
b. Subdural hematoma
Kelainan jantung, vaskuler dan anoksia

a. Infark serebri (infark tunggak


mauapun mulitpel atau infark
lakunar)
b. Penyakit Binswanger
(subcortical
arterioscleroticencephalopathy)
c. Insufisiensi hemodinamik
(hipoperfusi atau hipoksia)

Kelainan Psikiatrik

Penyakit demielinisasi

25

a. Pseudodemensia pada depresi


b. Penurunan fungsi kognitif
pada skizofrenia tingkat

a. Sklerosis multiple

lanjut
Tumor

Obat-obatan dan toksin

a. Tumor primer maupun


metastase (misalnya
meningioma atau metastasis
dari kanker payudara atau
paru)

c.

a.
b.
c.
d.

Alkohol
Logam berat
Radiasi
Pseudodemensia akibat
pengobatan (misalnya

penggunaan antikolinergik)
e. Karbon monoksida

Subtipe Demensia
Terdapat 4 subtipe demensia yang paling sering ditemukan. Keempat
subtype tersebut antara lain: (1) Penyakit Alzheimer, (2) Demensia Vaskular
(VaD), (3) Demensia jisim Lewy (DLB) dan (4) Demensia Frontotemporal
(FTD). (Martono, 2011)
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif pada
otak yang menyebabkan deteriorisasi memori, kemampuan intelektual,
dan kepribadian. Penyakit ini bersifat progresif dan termasuk penyakit
yang paling ditakuti, mengingat kematian adalah konsekuensi akhirnya
dan hingga saat ini, belum ada pengobatan untuk penyakit Alzheimer.
Ada beberapa perawatan yang bertujuan untuk mencegah progresifitas
Alzheimer, namun tidak ada pengobatan yang dapat membalikkan
jalannya perkembangan penyakit ini. Bahkan James Watson, seorang
peraih nobel karena menemukan struktur heliks ganda DNA, takut
terhadap Alzheimer. Watson telah mengurutkan semua genom yang ia
miliki dan selalu memiliki rasa penasaran untuk melakukan penelitian,
kecuali untuk 1 hal; Watson tidak ingin mengetahui apakah ia
membawa gen untuk penyakit Alzheimer. (Martono, 2011)

26

Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen


diantaranya menderita demensia tipe Alzheimer (Alzheimers disease).
Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya
usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6
persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun,
prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia tipe
Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah
(nursing home bed). (Martono, 2011)
Penyebab demensia tipe Alzheimer pada dasarnya masih belum
diketahui. Namun demikian, telah terjadi kemajuan dalam molekular
deposit amiloid dan neurofibrillary tangles(NFTs) yang merupakan
penanda patologi utama untuk penyakit ini. Neuron normal, memiliki
struktur penyokong internal yang sebagian besar terdiri dari
mikrotubulus. Mikrotubulus ini bertindak seperti jalur, mengarahkan
nutrisi dan molekul dari tubuh sel ke ujung akson. Suatu protein
khusus yang disebut tau, mengikat mikrotubulus dan menstabilkannya.
(Martono, 2011)
Pada penyakit Alzheimer,struktur kimia tau berubah.Protein ini
mulai memasangkan benangnya dengan benang protein tau lainnya.
Inilah yang disebut dengan istilah neurofibrillary tangles (gambar 2.2).
Ketika ini terjadi, mikrotubulus hancur, dan sistem transportasi untuk
nutrisi neuron tidak ada lagi. Akibat utama dari pembentukan
neurofibrillary tanglesadalah malfungsi dalam komunikasi antara
neuron yang kemudian diikuti oleh kematian sel. (Martono, 2011)
Selain NFTs, patologi anatomi dari AD juga ditandai adanya plak
senilis (SPs, juga dikenal sebagai plak beta-amyloid) di tingkat
mikroskopis dan atrofi cerebrocortical pada tingkat makroskopik
(gambar 2.3). Hipokampus dan lobus temporal medial adalah lokasi
awal deposisi NFTs dan juga proses atrofi. Hal ini dapat dilihat pada
gambaran MRI stadium awal AD. (Martono, 2011)

27

SPs dan NFTs pertamakali digambarkan oleh Alois Alzheimer


dalam laporan aslinya mengenai gangguan ini pada tahun 1907. Baik
SPs maupun NFTs sekarang diterima secara universal sebagai penanda
patologi utama untuk penyakit Alzheimer. (Martono, 2011)
2. Demensia Vaskular (VaD)
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah
demensia vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit
serebrovaskuler. Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang
multipel yang menimbulkan gejala berpola demensia. Gangguan
terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan
sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkim
multiple yang menyebar luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark
berupa oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau
tromboemboli dari tempat lain (misalnya katup jantung). Demensia
vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia 60 hingga
70 tahun dan lebih sering pada pria (khususnya dengan riwayat
hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya) daripada wanita.
Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia
tersebut dan hipertensi merupakan faktor predisposisinya. (Martono,
2011)
3. Demensia Jisim Lewy (DLB)
Demensia jisim Lewy merupakan bentuk demensia yang
karakteristiknya memiliki kemiripan dengan penyakit Alzheimer dan
Parkinson.Istilah Lewy bodies sendiri mengacu pada perubahan
patologis yang mendasari beberapa sindrom yang terkait erat.
Demensia jisim Lewy kadang-kadang disebut dengan nama lain,
termasuk di antaranya Lewy body dementia, Lewy body variant of
Alzheimer's disease, diffuse Lewy body disease, cortical Lewy body
disease dan senile dementia of Lewy body type. Semua istilah ini
mengacu pada gangguan yang sama. Secara klinis, kondisi ini ditandai
oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme (gangguan gerakan),
dan gejala ekstrapiramidal.

28

Inklusi Jisim Lewy merupakan inklusi eosinofil intraneuron


berbentuk sferis yang dikelilingi oleh halo dan terdiri dari sejumlah
gabungan protein berbeda.Umumnya ditemukan sebagai deposit yang
menyebabkan

gangguan

pada

mekanisme

kerja

otak

dan

neurotransmitter, khususnya acetilkolin dan dopamine.Namun, hingga


saat

ini

belum

dipahami

sepenuhnya

bagaimana

mekanisme

terbentuknya inklusi ini.


4. Demensia Frontotemporal
Demensia frontotemporal merupakan sindrom neurodegeneratif
progresif yang ditandai dengan adanya atrofi di daerah frototemporal.
Manifestasi dari kondisi ini sangatlah baeragam, namun yang paling
menonjol di antaranya adalah adanya afasia progresif, afek bizar dan
perubahan perilaku.
Demensia frontotemporal disebut pula dengan istilah Picks
disease, sebagai penghargaan kepada Arnold Pick, seorang neurologis
yang pertama kali mendeskripsikan penyakit ini.
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah
frontotemporal. Daerah tersebut mengalami kehilangan neuronal,
gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa
elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa specimen
postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab dari
penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5%
dari semua demensia ireversibel. Penyakit ini paling sering pada lakilaki, khususnya yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit yang
sama. Mereka yang mewarisinya sering mengalami mutasi gen pada
protein tau dalam kromosom 17 yang menyebabkan diproduksinya
protein tau yang abnormal. Tidak diketahui adanya faktor risiko lain.
Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer.
Walaupun stadium awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan
kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif
bertahan.

Gambaran

sindrom

Kluver-Bucy

(contohnya:

hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada


penyakit Pick daripada pada penyakit Alzheimer.

29

d. Penatalaksanaan Klinik
Pengobatan kolinergik menyebabkan defisit asitelkolin pada penyakit
Alzheimer. Tiga macam obat yang sudah diteliti oleh FDA : takrin,
donepezid, dan rivastigorin, Dosis takrin dimulai 10 mg 4x/hari dan
ditingkatkan perlahan sampai 160 mg/hari. Peningkatan

enzim hati

dimonitor tiap minggu sebanyak 40%mengalami peningkatan. Dosis awal


donepezil 5 mg/hari sampai 10 mg/hari setelah 4 minggu. Rivastigorin
dimulai 1,5 mg/hari dinaikkan tiap 2 minggu, maksimal 6 mg/hari.Baik
donepezid atau rivastigorine merupakan hepatoloksik.Obat bekerja efektif
memperlambat penurunan fungsi kognitif. Keberhasilan terapi bervariasi,
beberapa pasien mengalami perbaikan yang lainnya sedikit mengalami
perbaikan. Obat tidak bekerja luar biasa bila penyakit sudah parah dan
bekerja baik pada tahap awal penyakit.
Pengobatan lainnya ditujukan untuk mengurangi gejala ansietas,
psikosis atau depresi, yaitu ansiolitik, antipsikotik,antidepresan. Dokter
harus memberikan

dosis efektif terendah karena pasien demensia

memiliki toleransi obat rendah terhadap efek samping obat. Mengobati


depresi pada pasien demensia , dokter harus menghindari

obat

antidepresan trisiklik dan menggunakan obat dengan toleransi paling baik


yaitu inhibitorserotonin (contoh fluoxetine, paroxetive). Bagaimanapun
juga pasien demensia memakai dosis obat lebih rendah dari pasien tanpa
demensia.
Gangguan iritabilita, agresi,

tidak kooperatif dan kekerasan

merupakan masalah pada penderita dengan demensia. Hal tersebut


membuat penderita memebuat penderita sulit diterima dikeluarga dan
lingkungan sosial, dan akhirnya pasien ditempatkan di institusi.
Antipsikotik dapat mengontrol masalah tingkah laku tersebut. Pengobatan
antipsikotik potensi tinggi (contoh, haloperidol 1-2 mg/hari) sangat efektif
tetapi dapat menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Antipsikotik
atipik (contoh, risperidan 0,5-2 mg/hari) juga efektif dan lebih baik di
toleransi. Trazodone diberikan sebelum tidur (25 100 mg), efektif untuk

30

mengatasi agitasi dimalam hari. Anti konvulsan seperti karbamazepin dan


valproate, dapat digunakan untuk mengurangi agitasi dan biasanya
ditoleransi lebih baik. Buspiron, ansiolitik non benzodiazepim onset
kerjanya membutuhkan 2-3 minggu. Benodiazepim harus dihindari kecuali
pada pasien dengan agitasi akut yang tidak memerlukan antiagitasi jangka
panjang.Keberhasilan terapi tingkah laku tergantung pada pasien dan
dukungan kesejahteraan dari keluarga.Kenyataan orientasi mungkin
menjadi lebih berharga; kepedulian kelompok terapi membantu pasien
untuk mempertahankan kemampuan sosialmereka. Walaupun kasusnya
parah pasien dapat bereaksi terhadap kegiatan sosial yang familiar dan
terhadap musik. Kelompok terapi untuk anggota keluarga memberikan
dukungan psikologis dan menambah wawasan keluarga terhadap penyakit.
Pusat bantuan di Amerika dibuka bagi mereka yang membutuhkan.
Manual yang bermanfaat adalah 36 jam sehari.
Rekomendasi untuk penatalaksanaan demensia adalah sebagai berikut:

Rekomendasi untuk penatalaksanaan demensia


1. Dirawat di rumah dan di klinik, pasien biasanya memiliki respon lebih besar
dengan rangsang lingkungan yang rendah dibanding dengan rangsang lingkungan
yang tinggi
Pasien dengan demensia sulit menterjemahkan input sensoris dan mudah
menjadi gembira
2. Rutinitas dan konsistensi penting untuk mengembalikan agitasi dan kegelisahan
pasien
3. Keluarga harus lebih terbuka terhadap kerusakan kognitif yang diderita

Dokter harus menunjuk anggota keluarga yang bisa memberikan dukungan


pada pasien dilingkungannya

Dokter harus memberikan bahan bacaan

4. Keluarga harus diberikan dukungan psikologi bila pasien dirawat di institusi


untuk mengurangi rasa bersalah mereka

31

5. Pengobatan kolinergik memperlambat fungsi kognitif. Tacrine, donepezil, dan


rivastigmine efektif tetapi donepezil dan rivastigmine toleransinya lebih baik.
Depresi biasanya berespon baik dengan obat anti depresan, agitasi akut atau
psikosis beraksi baik dengan obat anti psikotik.

Inhibitor serotonin lebih baik ditoleransi dari antidepresan (fluoxetin, 5-20


mg/day)

Antipsikotik potensi rendah harus dihindari karena memiliki efek samping


antikolinergik, antipsikotik atipik lebih baik ditoleransi dan lebih efektif untuk
pasien (risperidone, 0,5-2 mg /day)

Untuk pengobatan tingkah laku jangka panjang menggunakan lithium


karbonat propranolol, valproate, karbamazepin, tidak menguntungkan dan
tidak konsisten

Trazodone, diberikan sebelum tidur, dosis 25-100 mg sangat efektif


menghilangkan agitasi malam di hari.

Tabel 5. Perbedaan Demensia dan Pseudodemensia


a. Berdasarkan Perjalanan Klinis dan Riwayat Penyakit (Harold, 2010)
Pseudodemensia
1. Keluarga
selalu
menyadari

Demensia
1. Keluarga sering tidak menyadari

disfungsi dan keparahannya.


2. Onset dapat ditentukan dengan

disfungsi dan keparahannya.


2. Onset dapat ditentukan hanya

agak tepat.
3. Gejala terjadi singkat sebelum

dalam batas yang luas.


3. Gejala biasanya berlangsung

dicari bantuan medis.


4. Perkembanganya gejala
cepat setelah onset.
5. Riwayat disfungsi

lama sebelum dicari bantuan


yang

psikiatrik

sebelumnya sering ditemukan.

medis
4. Perkembangan

gejala

yang

lambat pada perjalanan penyakit.


5. Riwayat disfungsi psikiatrik
sebelumnya adalah jarang

b. Berdasarkan Keluhan dan Perilaku Klinis (Harold, 2010)


Pseudodemensia
1. Pasien biasanya lebih mengeluh

1. Pasien

Demensia
biasanya

sedikit

32

kehilangan kognitif

mengeluhkan

2. Keluhan disfungsi kognitif pasien 2. kehilangan

biasanya terinci

kognitif

Keluhan

disfungsi kognitif pasien biasanya


tidak jelas

3. Pasien menekankan

3. Pasien

ketidakmampuan
4. Pasien menonjolkan kegagalan
Pasien melakukan sedikit usaha

menyangkal

ketidakmampuan
4. Pasien senang akan pencapaian,
tetapi menyepelekan

untuk melakukan tugas yang


sederhana sekalipun
5. Pasien biasanya

5. Pasien berusaha untuk melakukan

mengomunikasikan perasaan
penderitaan yang kuat

tugas

Pasien

menggunakan

catatan, kalender, dll, untuk tetap


ingat

6. Perubahan afektif serig pervasif

6. Pasien

7. Hilangnya ketrampilan sosial

khawatir afek labil dan dangkal


7. Ketrampilan
sosial biasanya

sering awal dan menonjol


8. Perilaku sering kali tidak sesuai
dengan keparahan disfungsi
kognitif
9. Pelemahan disfungsi nokturnal
adalah jarang

sering

tampak

tidak

dipertahankan
8. Perilaku biasanya sesuai dengan

keparahan disfungsi kognitif


9. Perlemahan disfungsi nokturnal

sering

C. Berdasarkan Gambaran klinis yang berhubungan dengan daya ingat,


kognitif, dan disfungsi intelektual. (Harold, 2010)
Pseudodemensia
dan
konsentrasi

Demensia
dan

1. Atensi

1. Atensi

dipertahankan dengan baik


2. Tidak tahu adalah jawaban

biasanya terganggu
2. Sering jawaban yang hampir

yang sering.

Pada pemeriksaan orientasi,

3. Pada pemeriksaan orientasi,

pasien

sering

konsentrasi

memberikan

jawaban tidak tahu

pasien
3. Sering keliru antara jarang
dengan sering

4. Kehilangan daya ingat untuk

4. Kehilangan daya ingat untuk

kejadian yang baru dan agak

kejadian yang baru biasanya

lama biasanya parah

lebih

5. Kehilangan daya ingat untuk

parah

dibandingkan

33

kejadian
kejadian

periode

atau

spesifik

adalah

sering ditemukan
6. Variabilitas yang jelas dalam

kejadian yang lama


5. Kekosongan daya ingat untuk

periode tertentu adalah jarang


6. Kinerja yang buruk secara

kinerja tugas dengan kesulitan


yang sama

konsisten pada tugas dengan


kesulitan yang serupa

Daftar Pustaka
Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB.
Bandung
Darmojo B, Martono H. 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta
Harold I. Kaplan M, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb MD. Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta : Binarupa
Aksara, 2010 : 544
Martono,H and Kris,P. 2011. Buku Ajar Geriatri. Edisi ke 4.Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Resnick NM. 2011. Ilmu Kedokteran Geriatri. Dalam: Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Isselbacher, dkk (editor). Edisi XIII. Volume 1. EGC.
Jakarta.
Sherwood L. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi VI. EGC. Jakarta.
Sudoyo AW. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Vol 1. Interna Publishing.
Jakarta.

34

You might also like