Jurnal Retinopati Diabetik

Download as txt, pdf, or txt
Download as txt, pdf, or txt
You are on page 1of 11

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

Retinopati Diabetik
Ratna Sitompul
Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakar
ta
Abstrak: Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik degeneratif yang morbid
itas dan
mortalitasnya tinggi di dunia. Indonesia, menurut World Health Organization (WHO
), menduduki
peringkat keempat terbanyak dalam jumlah penyandang DM. Berdasarkan The DiabCare
Asia
2008 Study, 42% penyandang DM di Indonesia mengalami komplikasi retinopati yang
6,4% di
antaranya adalah retinopati DM proliferatif. Kebutaan akibat retinopati DM harus
dicegah
karena akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita, serta menimbu
lkan beban
sosial dalam masyarakat. Keterlambatan diagnosis merupakan tantangan utama dalam
tata
laksana sehingga dokter umum diharapkan mampu mendeteksi retinopati DM sejak din
i melalui
pemeriksaan funduskopi direk atau fundus photography. Selain itu, dokter umum be
rperan
penting dalam pemberian edukasi, pengendalian faktor risiko, dan penentuan kasus
rujukan.
Apabila dokter umum mampu bertindak optimal, maka risiko kebutaan akibat retinop
ati DM
akan menurun hingga lebih dari 90%. J Indon Med Assoc. 2011;61:337-41.
Kata kunci: retinopati diabetes mellitus, deteksi dini, funduskopi
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 8, Agustus 2011

Retinopati Diabetik
Diabetic Retinopathy
Ratna Sitompul
Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta
Abstract: Diabetic mellitus (DM) is the most common chronic degenerative disease
accounting for
high morbidity and mortality rate. The number of people with DM in Indonesia is
the fourth
highest among nations worldwide. According to The Diabcare Asia 2008 Study, 42%
of diabetic
patients in Indonesia suffered from retinopathy, 6.4% of which are proliferative
retinopathy.
Blindness from diabetic retinopathy is a major health concern as it reduces pati
ents quality of life
and productivity, resulting in social burden. Delayed diagnosis remains the main
challenge in
diabetic retinopathy management. General practitioners are required to be able t
o diagnose
diabetic retinopathy in early stage through direct ophthalmoscope or fundus phot
ography. General practitioners also hold prominent role in providing thorough education, man
aging diabetic
retinopathy-related risk factors and determining referral cases. The risk of bli
ndness due to
diabetic retinopathy will be decreased by more than 90% when general practitione
rs accomplish
their role optimally. J Indon Med Assoc. 2011;61:337-41.
Keywords: diabetic retinopathy, early detection, ophthalmoscope
Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik degeneratif
tersering dengan angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi di dunia. World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan keempat
negara yang jumlah penyandang DM terbanyak. Jumlah ini
akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.1
Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular
DM yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang
dewasa.2,3 Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia,
Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita
retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun
2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% di
antaranya terancam mengalami kebutaan.4 The DiabCare
Asia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM pada 18
pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan
melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi
retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM
proliferatif.5
Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding
dengan semakin lamanya seseorang menyandang DM.
Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah ketergantungan
insulin pada penyandang DM tipe II, nefropati, dan
hipertensi.6,7 Sementara itu, pubertas dan kehamilan dapat
mempercepat progresivitas retinopati DM.8,9

Kebutaan akibat retinopati DM menjadi masalah


kesehatan yang diwaspadai di dunia karena kebutaan akan
menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita yang
akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat. Masalah
utama dalam penanganan retinopati DM adalah keterlambatan
diagnosis karena sebagian besar penderita pada
tahap awal tidak mengalami gangguan penglihatan.6,9
Dokter umum di pelayanan kesehatan primer memegang
peranan penting dalam deteksi dini retinopati DM, penatalaksanaan
awal, menentukan kasus rujukan ke dokter spesialis
mata dan menerimanya kembali. Apabila peranan tersebut
dilaksanakan dengan baik, maka risiko kebutaan akan menurun
hingga lebih dari 90%.9 Melalui tulisan ini diharapkan
pengetahuan dokter umum akan meningkat sehingga ia
mampu berperanan optimal dalam tata laksana retinopati DM.
Peranan Dokter Umum dalam Tata Laksana Retinopati DM
Peranan dokter umum dalam tata laksana retinopati DM
adalah mengendalikan faktor risiko, yaitu kadar gula, kadar
lipid, dan tekanan darah yang abnormal. Pengendalian atas
ketiga faktor ini terbukti mampu menurunkan risiko dan
memperlambat progresivitas retinopati DM.9 Target optimal
yang harus dicapai adalah kadar HbA1c <7%, kadar low-density
lipoprotein (LDL) <100 mg/dL, kadar high-density lipoprotein
>50 mg/dL, kadar trigliserida <150 mg/dL dan tekanan
darah <130/80 mmHg.7
Edukasi oleh dokter umum mengenai DM dan komplikasi
retinopati akan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
penderita DM menjalani pemeriksaan mata rutin. Dengan
demikian rujukan ke dokter spesialis mata dapat dilakukan
pada saat yang tepat. Hal tersebut akan menurunkan angka
kebutaan akibat retinopati DM.9
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 8, Agustus 2011

Retinopati Diabetik
Patofisiologi Retinopati DM
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis
pada retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur.
Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen
intermediates (ROIs) dan advanced glycation
endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan
endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor
vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like
growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah
kerusakan.
Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol
yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase
sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi
sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel
pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel.
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal
intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi
oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan
antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut
menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis
dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan
gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada
retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik
yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan
pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada
membran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya,
dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi
kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina
dan vitreous.9-11
Gejala dan Tanda Retinopati DM
Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap
awal tidak mengalami gejala penurunan tajam penglihatan.6
Apabila telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat
ditemukan mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein, edema,
serta perdarahan intraretina.6,11,13 Selanjutnya, terjadi oklusi
kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di
lapisan serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan
transportasi aksonal. Hambatan transportasi tersebut
menimbulkan akumulasi debris akson yang tampak sebagai
gambaran soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi.12
Kelainan tersebut merupakan tanda retinopati DM nonproliferatif.
6,11,13
Hipoksia akibat oklusi akan merangsang pembentukan
pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda patognomonik
retinopati DM proliferatif.6,11,13 Kebutaan pada DM dapat
terjadi akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif
intravitreous, atau ablasio retina traksional.8,9,11

Diagnosis Retinopati DM
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan
primer dilakukan melalui pemeriksaan funduskopi direk dan
indirek. Dengan fundus photography dapat dilakukan
dokumentasi kelainan retina.9 Metode diagnostik terkini yang
disetujui oleh American Academy of Ophthalmology (AAO)
adalah fundus photography. Keunggulan pemeriksaan terTabel 1. Sistem Klasifikasi Retinopati DM Berdasarkan ETDRS13
Klasifikasi Tanda pada pemeriksaan mata
retinopati DM
Derajat 1
Tidak terdapat retinopati DM
Derajat 2
Hanya terdapat mikroaneurisma
Derajat 3
Retinopati DM non-proliferatif derajat ringan sedang
yang ditandai oleh mikroaneurisma dan satu
atau lebih tanda:
Venous loops
Perdarahan
Hard exudates
Soft exudates
Intraretinal microvascular abnormalities
(IRMA)
Venous beading
Derajat 4
Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-berat
yang ditandai oleh:
Perdarahan derajat sedang-berat
Mikroaneurisma
IRMA
Derajat 5
Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh
neovaskularisasi dan perdarahan vitreous
A B
Gambar 1. Retinopati DM Nonproliferatif Derajat sedang dengan Edema Makula (A) d
an Retinopati DM
Proliferatif dengan Edema Makula dan Perdarahan Pre-retina (B)
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 8, Agustus 2011

Retinopati Diabetik
A B
Gambar 2. Hasil OCT Normal (A) dan Edema Makula pada Retinopati DM (B)
tersebut adalah mudah dilaksanakan, interpretasi dapat dilakukan
oleh dokter umum terlatih sehingga mampu laksana
di pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya, retinopati DM
dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) yang tampak pada Tabel
1.14
Di pelayanan primer pemeriksaan fundus photography
berperanan sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada
pemeriksaan ditemukan edema makula, retinopati DM nonproliferatif
derajat berat dan retinopati DM proliferatifmaka
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata lengkap oleh
dokter spesialis mata.7,15
Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata
terdiri dari pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit-lamp
biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic
fundus photography dengan pemberian midriatikum sebelum
pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan optical
coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography
bila perlu.6,16
OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk
menemukan kelainan yang sulit terdeteksi oleh pemeriksaan
lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap
terapi. Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi
retina bila visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous
atau kekeruhan media refraksi.6
Pemeriksaan Funduskopi Direk pada Retinopati DM
Pemeriksaan funduskopi direk bermanfaat untuk menilai
saraf optik, retina, makula dan pembuluh darah di kutub posterior
mata. Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta
untuk melepaskan kaca mata atau lensa kontak, kemudian
mata yang akan diperiksa ditetesi midriatikum. Pemeriksa
harus menyampaikan kepada pasien bahwa ia akan merasa
silau dan kurang nyaman setelah ditetesi obat tersebut.
Risiko glaukoma akut sudut tertutup merupakan kontraindikasi
pemberian midriatikum.17
250 bp
Pemeriksaan funduskopi direk dilakukan di ruangan
yang cukup gelap. Pasien duduk berhadapan sama tinggi
dengan pemeriksa dan diminta untuk memakukan (fiksasi)
pandangannya pada satu titik jauh. Pemeriksa kemudian
mengatur oftalmoskop pada 0 dioptri dan ukuran apertur
yang sesuai. Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan
pemeriksa dan oftalmoskop dipegang di tangan kanan.
Mula-mula pemeriksaan dilakukan pada jarak 50 cm
250 bp

untuk menilai refleks retina yang berwarna merah jingga dan


koroid. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan pada jarak 2-3
cm dengan mengikuti pembuluh darah ke arah medial untuk
menilai tampilan tepi dan warna diskus optik, dan melihat
cup-disc ratio. Diskus optik yang normal berbatas tegas,
disc berwarna merah muda dengan cup berwarna kuning,
sedangkan cup-disc ratio <0,3. Pasien lalu diminta melihat
ke delapan arah mata angin untuk menilai retina. Mikroaneurisma,
eksudat, perdarahan, dan neovaskularisasi
merupakan tanda utama retinopati DM.
Terakhir, pasien diminta melihat langsung ke cahaya
oftalmoskop agar pemeriksa dapat menilai makula. Edema
makula dan eksudat adalah tanda khas makulopati diabetikum.
17,18
Tata Laksana Retinopati DM
Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan
tingkat keparahan penyakit. Retinopati DM nonproliferatif
derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita
retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa
edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin
setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat
ringan-sedang dengan edema makula signifikan merupakan
indikasi laser photocoagulation untuk mencegah perburukan.
Setelah dilakukan laser photocoagulation,
penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan. Penderita
retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk
menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama
apabila kelainan berisiko tinggi untuk berkembang menjadi
retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap
3-4 bulan pascatindakan. Panretinal laser photocoagulation
harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM
proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai
edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan
panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan.16
Deteksi Dini Retinopati DM
Pada tahun 2010, The American Diabetes Association7
menetapkan beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk
deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak
berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus
menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 8, Agustus 2011

Retinopati Diabetik
mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.
Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani
pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata segera
setelah didiagnosis DM.Ketiga, pemeriksaan mata penderita
DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun
oleh dokter spesialis mata.Keempat, frekuensi pemeriksaan
mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan
menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila
ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima, perempuan
hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin
sejak trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah
persalinan karena risiko terjadinya dan/atau perburukan
retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan
menyeluruh tentang risiko tersebut.7,9
Penutup
Retinopati DM merupakan komplikasi mikrovaskular DM
yang menjadi penyebab utama kebutaan pada orang dewasa
di negara maju. Keterlambatan diagnosis DM dan tidak
adanya gejala pada awal perjalanan penyakit menyebabkan
sebagian besar kasus retinopati DM tidak terdeteksi hingga
terjadi kebutaan. Deteksi dini, pengendalian faktor risiko, dan
terapi yang memadai merupakan kunci utama tata laksana
retinopati DM. Dua dari tiga hal tersebut dapat dilaksanakan
di pelayanan kesehatan primer sehingga peranan optimal
dokter umum sangat diperlukan dalam tata laksana retinopati
DM.
Daftar Pustaka
1.
Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of
diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030.
Diabetes Care. 2004;27:1047-53.
2.
Noble J, Chaudhary V. Diabetic retinopathy. CMAJ. 2010;
182(15):1646.
3.
Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blankenship G,
Cavallerano JD. Diabetic retinopathy. Diabetes Care. 2003;
26(Suppl1):S99-102.
4.
Wong TY, Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamoureux EL, Kowalski
J. Global prevalence of diabetic retinopathy: Pooled data from
population studies from the United States, Australia, Europe and
Asia. Prosiding The Association for Research in Vision and
Opthalmology Annual Meeting; 2011.
5.
Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji
DW, Tjokroprawiro A. The DiabCare Asia 2008 study - Outcomes
on control and complications of type 2 diabetic patients
in Indonesia. Med J Indones. 2010;19(4):235-43.
6.
Paulus YM, Gariano RF. Diabetic retinopathy: A growing concern

in an aging population. Geriatrics. 2009;64(2):16-26.


7.
American Diabetes Association. Standards of medical care in
diabetes - 2010. Diabetes Care. 2010;33(Suppl1):S11-61.
8.
Fong DS, Aiello L, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD,
Ferris FL. Retinopathy in diabetes. Diabetes Care. 2004;27
(Suppl1):S84-7.
9.
Garg S, Davis RM. Diabetic retinopathy screening update. Clinical
Diabetes. 2009;27(4):140-5.
10.
Westerfeld CB, Miller JW. Neovascularization in diabetic retinopathy.
In: Levin LA, Albert DM, editor. Ocular disease: mechanisms
and management. USA: Saunders; 2010. p. 514-7.
11.
Bloomgarden ZT. Screening for and managing diabetic retinopathy:
Current approaches. Am J Health-Syst Pharm.2007;64
(Suppl12):S8-14.
12.
Chui TYP, Thibos LN, Bradley A, Burns SA. The mechanism of
vision loss associated with a cotton wool spot. Vision Res.
2009;49:2826-34.
13.
Kern TS, Huang S. Vascular damage in diabetic retinopathy. In:
Levin LA, Albert DM, editor. Ocular disease: mechanisms and
management. USA: Saunders; 2010. p. 506-12.
14.
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) Research
Group. Fundus photographic risk factors for progression of diabetic
retinopathy: report number 12. Ophthalmology.1991;
98:823-33.
15.
Williams GA, Scott IU, Haller JA, Maguire AM, Marcus D,
McDonald HR. Single-field fundus photography for diabetic retinopathy
screening: a report by American Academy of Ophthalmology.
Ophthalmology. 2004;111:1055-62.
16.
American Academy of Ophthalmology. Preferred Practice Patern
for Diabetic Retinopathy; 2008.
17.
Chu C, Salmon J. Examination of the fundus. The Journal of
Clinical Examination. 2007;2:7-14.
18.
Benjamin L, James B. Examination of the retina and optic disc.
In: Benjamin L, James B, editor. Ophthalmology investigation
examination techniques. China: Elsevier; 2007. p. 45-50.
MH/FS
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 8, Agustus 2011

You might also like