Riaw Wan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

DETERMINAN PEFULAKU PENCARIAN PENGOBATAN INFEKSI SALURAN

PERNAFASAN ATAS (ISPA) PADA BALITA


Sarimawar ~j aj a*, Iwan riaw wan**, Tin Afifah*
ABSTRACT
THE DETERMINANT OF HEALTH SEEKING BEHA ?TOR OF
ACUTE RESPIRA TORY INFECTION IN INFANT AND
CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD
Acute Respiratory Infection (ARI) is one of the main causes of death of infants and
children under five years old in the developing countries. The knowledge of mothers of severe
ARI symptoms and immediately seeking modern treatment in severe ARI cases will decrease
the mortality rate in infant and children under five. The National Socio-Economic Survey
(SUSENAS) I998 has ident$ed mothers who had infants and children under five years old
who suffered cough, colds, fever as well as the treatment choices in one month before the
survey. This paper analyzed the pattern and the determinants of health seeking behavior of
ARI. The analysis method was descriptive and analytical with simple logistic regression
(PcO.25 for candidate covariate) and multiple logistic regression (P<O. 05).
The results showed that from 83,656 infants and children under five years old, 47.1 %
did selftreatment, 66.3% went to health facilities and 0.7% chose traditional healers (dukun).
Almost one third (28.5%) of mothers chose health center (Puskesmas), 14.7% chose doctor's
private practice and 14.5% chose paramedic's private practice. Mothers with low educational
level prefers to go to traditional healers. Multiple logistic regression analysis showed that the
health seeking behavior of ARI of mothers of infant and children under five years old was
injuenced by educational level of the mother, the ratio of food expenditure to total
expenditure (as aproxy of economic variable), age of the children, and number of the children
under five years old in the household.
PENDAHULUAN Hasil SKRT 1995 menunjukkan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab
liematian utama pada bayi dan anak balita
di negara berkembangl). Sebagian besar
hasil penelitian di negara berkembang
menunjukkan bahwa 20--35% kematian
bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA.
Diperkirakan bahwa 2--5 juta bayi dan
anak balita di berbagai negara setiap tahun
mati karena ISPA. Dua per tiga dari
kematian ini terjadi pada kelompok usia
bayi, terutama bayi pada usia 2 bulan
pertama sejak kelahiran2).
bahwa 21,2% kematian bayi dan 30,3%
kematian anak balita disebabkan oleh
IS PA^). ISPA menyangkut saluran
pernapasan atas dan saluran pernapasan
bawah. Hampir semua kematian ISPA pada
anak-anak umumnya adalah ISPA bagian
bawah dan hampir semuanya adalah
pnemonia. Dalam mencapai keberhasilan
program penanggulangan ISPA secara
nasional dituntut pengetahuan ibu untuk
mengenal gejala ISPA yang disertai napas
cepat serta sikap ibu untuk segera melaku-
kan konsultasi.
*
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
"
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
Susenas merupakan survei sosial
ekonomi yang dilaksanakan tiap tahun
mencakup 27 propinsi di Indonesia; dan di
dalamnya juga berisi informasi tentang
kesehatan. Informasi kesehatan yang
diidentifikasikan dari Susenas 1998 adalah
keluhan kesehatan dalam satu bulan
terakhir, diantaranya panas, batuk, pilek,
yang mudah dikenal oleh penderita maupun
oleh ibu dari anak yang menderita. Selain
itu juga diidentifikasikan mengenai
berbagai alternatif pencarian pengobatan
terhadap keluhan kesehatan yang dialami;
apakah tidak berobat atau berobat, dan
tempat berobat.
Identifikasi dan determinan peri-
laku pencarian pengobatan ISPA pada
balita berdasarkan hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1998
ini dapat bermanfaat memberi masukan
bagi program Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat (PKM) mengenai faktor-faktor
yang berperan pada perilaku ibu-ibu dalam
mengobati bayi dan anak balitanya ketika
sakit ISPA.
METODOLOGI
Kerangka Analisis
Kerangka Analisis diambil dari The
Health Belief Model 4), yang dimodifikasi
karena terbatasnya variabel yang tersedia di
Susenas. Preventive Health Action dalam
kerangka analisis ini didefinisikan sebagai
perilaku ibu dalam mengobati sendiri atau
membawa berobat anak yang sakit agar
penyakitnya tidak menjadi lebih berat,
melainkan sembuh.
Sampel
dengan menggunakan kuesioner Kor
(VSEN98.K) . dan kuesioner Modul
(VSEN98.MKG). Pewawancara adalah
petugas Biro Pusat Statistik yang datang
mengunjungi rumah tangga dan mewawan-
carai setiap anggota rumah tangga dari
rumah tangga terpilih.
Sampel analisis studi ini diambil
dari semua balita (0--5 tahun) yang terdiri
dari 83.656 balita, yang berasal dari
kuesioner Kor dan Modul yang berisi
pertanyaan tentang keterangan tiap anggota
rumah tangga mengenai kesehatan dan gizi.
Pertanyaan tentang gangguan kesehatan
pada balita dan tindakan pengobatan yang
diambil ditujukan kepada ibu kandungnya.
Definisi Operasional
Analisis secara deskriptif untuk
memperoleh perilaku pencarian pengo-
batan ISPA pada balita menurut
karakteristik demografi dan sosio-
psikologi. Analisis analitik, bertujuan
untuk mengidentifikasikan: Berbagai
faktor yang berhubungan dengan perilaku
pencarian pengobatan pada balita yang
menderita ISPA.
Pada analisis ini kelompok variabel terdiri
dari:
a. Variabel terikat: dibedakan menjadi
berobat ke tenaga kesehatan dan tidak
berobat ke tenaga kesehatan dengan
keluhan batuk dan atau keluhan lain
seperti pilek, demam lebih dari 3 hari
namun tidak disertai napas cepat.
b. Variabel bebas terdiri dari :
variabel demografi: tempat tinggal,
klasifikasi daerah.
variabel sosiopsikologi: pendidikan
ibu, umur balita, jenis kelamin,
Analisis ini menggunakan data
jumlah balita di rumah tangga, status
Susenas 1998, dengan ukuran sampel ekonomi.
208.064 rumah tangga tersebar di seluruh variabel pedoman untuk berperilaku:
Indonesia baik di daerah perkotaan maupun menonton televisilmendengar radio/
di pedesaan. Rurnah tangga akan dicacah membaca swat kabar.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001 2
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
Demographic variables
(tempat tinggal, klasifikasi
daerah, wilayah)
Individual Perception
(Persepsi Individu)
Sociopsychological variables
(pendidikan ibu, umur balita ,
banyaknya balita di rumah
tangga, jenis kelamin balita,
status ekonomi)
Structural variables (tidak ada
variabel yang mewakili)
ModifVing factors
(Fakior mod1~7kasi)
Perceived benefits of
preventive action
(Manfaat tindakan
preventif)
Likelihood of action
(Kemungkinan bertindak)
Perceived barriers to
preventive action
(Rintangan tindakan
preventif)
Perceived Susceptibility Perceived Threat of
& Seriousness of ISPA Diseases (ISPA)
Preventive Health Action:
(Lama sakit yang dialami)
Berobat 1 Tidak berobat
(Ancaman dari ISPA)
I Cues to Action/ Pedoman I
untuk berperilaku
I Advice from others (tidak ada
1 variabel yang mewakili)
I
Newspaper article (proxi
variabel menonton televisi,
mendengar radio, membaca
surat kabar)
Definisi operasional untuk analisis
multivariat sebagai berikut:
1. Preventive Health Action yaitu sebagai
berikut :
a. Berobat untuk mengobati ISPA yaitu
jika ibu pergi membawa anak berobat ke
tenaga kesehatan dengan lama sakit
lebih dari 3 hari.
b. Tidak berobat untuk ISPA yaitu jika ibu
mengobati sendiri, tidak membawa anak
berobat ke tenaga kesehatan atau pergi
membawa anak berobat ke dukun
dengan lama sakit lebih dari 3 hari.
2. Tempat tinggal, dibedakan antara di
perkotaan dan di pedesaan.
3. Klasifikasi daerah, dibedakan antara
daerah tidak tertinggal dengan
tertinggal.
4. Pendidikan ibu adalah pendidikan
tertinggi yang ditamatkan ibu, di-
bedakan menjadi tarnat SLTPIlebih,
tarnat SD, tidak tarnat SD, tidak
sekolah.
5. Umur balita dibedakan menjadi <24
bulan, dan 224 bulan.
6. Jenis kelarnin dibedakan laki-laki dan
perempuan
7. Banyaknya balita di rurnah tangga
dibedakan menjadi 1 balita dan 2 balita
atau lebih.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et a1
8. Status ekonomi keluarga dari balita
yang sakit digambarkan dari rasio
pengeluaran makanan dibagi dengan
pengeluaran total per bulan, dibedakan
menjadi 160%, 60%--79% dan 280%.
9. Mendengarkan siaran radio dibedakan
menjadi ya dan tidak.
10. Menonton acara televisi dibedakan
menjadi ya dan tidak.
1 1. Membaca surat kabarlmajalah dibeda-
kan menjadi ya dan tidak.
Analisis Data
a. Analisis deskriptif untuk perilaku
pencarian pengobatan ISPA menurut
karakteristik demografi dan sosio-
psikologi
b. Analisis analitik dengan metode regresi
logistik sederhani dan ganda dengan
prosedur sebagai berikut:
1. Memilih variabel dengan nilai P<0,25
sebagai variabel yang secara teoritis
dianggap penting (kandidat kovariat)
2. Memasukkan semua variabel dengan
nilai P<0,25 (kandidat kovariat) sebagai
variabel yang berpotensi sebagai model
multipel regresi dan mengeliminasi
kandidat kovariat dimulai dengan
variabel yang mempunyai nilai P
terbesar (tidak bermakna).
3. Mendapatkan model akhir dari regresi
logistik ganda (batasan P<0,05).
Analisis data deskriptif dengan SPSS
dan analisis logistik regresi dengan
STATA.
HASIL
Pola Pengobatan ISPA
Secara umum prevalensi balita yang
menderita ISPA dalam 1 bulan terakhir
sebesar 9,4%. Prevalensi di perkotaan
(1 1,2%) lebih tinggi daripada di pedesaan
(8,4%), serta lebih tinggi di Jawa-Bali
(10,7%) daripada di luar Jawa-Bali (7,8%).
Pengobatan sendiri oleh ibu pada
balita dengan ISPA bermaksud agar
sembuh atau meringankan penyakit yang
diderita, dan biasanya merupakan tindakan
pertama yang diambil sebelum
memutuskan untuk dibawa berobat.
Apabila belum sembuh, kemungkinan akan
mencari alternatif pengobatan lain. Selain
mengobati sendiri, kemungkinan lain
membawa berobat ke pelayanan kesehatan
atau ke dukun. Balita yang menderita
ISPA 47,1% pernah diobati sendiri dan
sisanya berobat jalan. Dari yang pernah
berobat jalan, 66,3% berobat jalan ke
pelayanan kesehatan dan 0,7% berobat ke
dukun. Menurut tempat tinggal, di
perkotaan lebih banyak yang dibawa
berobat ke pelayanan kesehatan, sedangkan
di pedesaan lebih banyak yang berobat ke
dukun. Di desa tertinggal, banyak ibu yang
memanfaatkan Puskesmas, Polindes dan
Posyandu, sedangkan di desa tidak
tertinggal lebih banyak yang berobat ke
~raktik dokter dan rumah sakit.
Menurut wilayah, di Jawa-Bali
lebih banyak ibu yang membawa bayi dan
anak balita berobat ke pelayanan kesehatan
daripada di Luar Jawa-Bali, sedangkan di
Luar Jawa-Bali lebih banyak ibu membawa
anaknya berobat ke dukun.
Menurut status ekonomi, menun-
jukkan bahwa bila rasio pengeluaran
makanan dibagi pengeluaran total per
bulan bertambah besar, maka lebih banyak
ibu yang membawa anaknya berobat ke
dukun ketika sakit. Ibu dengan pendidikan
lebih tinggi, akan lebih banyak membawa
anak berobat ke fasilitas kesehatan,
sedangkan ibu dengan pendidikan rendah
lebih banyak mengobati sendiri ketika anak
sakit ataupun berobat ke dukun (Tabel 1).
Ibu yang membawa berobat ke
fasilitas kesehatan ketika anak menderita
ISPA, terbanyak ke Puskesmas (28,5%),
selanjutnya ke praktik dokter (14,7%) dan
ke praktik petugas kesehatan (14,5%), dan
sisanya ke rumah sakit (19,1%), Polindes
(1,9%), Posyandu (l,9%).
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
Tabel 1. Pengobatan dari Bayi dan Anak Balita dengan ISPA dalam 1 Bulan Terakhir
Menurut Karakteristik Demografi dan Sosiopsikologi.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001 5
Karakteristik
Tempat tinggal
kota
desa
Klasifikasi daerah
tertinggal
tidak tertinggal
Wilayah
Jawa-Bali
Luar Jawa-Bali
Rasio pengeluaran
makanan : pengeluaran
total per bulan
< 20%
20--9%
40--59%
60--79%
280%
Umur balita (bln)
<6
6--11
12--23
24--3 5
36--47
48--59
Jenis kelamin
Laki-laki
perempuan
Pendidikan ibu
tidak sekolah
tidak tamat SD
tamat SD
tamat SLTP
tamat SMU
tamat diploma +
Jumlah
Prevalensi
ISPA
11,2
8,4
8,4
9,7
10,7
7 3
3,1
9,7
10,l
9,6
8,2
4,5
11,5
11,8
9,9
9 2
8,o
9,4
9,3
8,9
9,o
9 2
10,O
10,3
8,7
9,4
pernah
diobati
sendiri
44,6
49,O
51,3
53,3
46,9
47,4
0
42,2
44,6
47,4
50,5
37,7
35,2
41,9
50,3
51,9
53,3
47,4
46,8
51,6
55,l
49,O
46,O
373
27,O
47,l
Balita
berobat jalan
ke pelkesl
tenaga kes
68,8
64,5
62,8
67,2
67,7
63,6
60,O
68,l
72,1
66,4
58,l
70,6
75,l
73,O
65,3
61,2
58,9
66,O
66,7
57,9
58,l
66,O
69,8
72,9
84,O
66,3
dengan ISPA
berobat
ke
dukun
0 2
1 ,o
1,3
0,5
0,4
1,2
0,o
0,o
0,2
0,7
1,3
1 ,o
1,1
0,9
0,3
0,5
0,7
0,9
0,4
0,9
1,3
0,6
0,7
0,5
0,o
0,7
tidak
berobat
jalan
31,O
34,5
35,9
32,3
31,9
35,2
40,O
31,9
27,7
32,9
40,6
28,4
23,8
26,l
34,4
38,3
40,4
33,l
32,9
41,2
40,6
33,4
29,5
26,6
16,O
33,O
Jumlah
balita
ISPA
2729
3582
1297
5014
4 134
2178
4
172
1283
3 804
1026
272
685
1443
1418
1369
1125
3247
3 064
547
1161
2296
970
1137
200
6311
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
Menurut tempat tinggal, ibu di
pedesaan lebih banyak yang berobat
ke Puskesmas dan petugas kesehatan,
sedangkan di perkotaan terbanyak
berobat ke dokter. Pemanfaatan rurnah
sakit lebih banyak di perkotaan.
Di pedesaan pemanfaatan Polindes
sebagai tempat berobat sebesar 3%
(Tabel 2).
Pemanfaatan Puskesmas mening-
kat dengan semakin besar rasio penge-
luaran makanan dibagi pengeluaran total
per bulan. Ibu dengan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi lebih banyak yang
membawa anaknya berobat ke praktik
dokter dan ke rumah sakit, sedangkan ibu
dengan tingkat pendidikan lebih rendah
lebih banyak yang membawa anaknya ke
Puskesmas (Tabel 2).
Tabel 2. Persentase Balita dengan ISPA yang Berobat ke Pelayanan Kesehatan.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001 6
Karakteristik
Tempat tinggal
kota
desa
Klasifikasi daerah
tertinggal
tidak tertinggal
Wilayah
Jawa-Bali
Luar Jawa-Bali
Rasio pengeluaran
makanan : pengeluaran
total per bulan
<20%
20--39%
40--59%
60--79%
280%
Umur balita (bln)
<6
6--11
12--23
24--35
36--47
48--59
Jenis kelamin
laki-lali
perempuan
Pendidikan ibu
tidak sekolah
tidak tamat SD
tamat SD
tamat SLTP
tamat SMU
tamat diploma +
Jumlah
Jumlah
balita
ZSPA
2 729
3582
1297
501 4
4134
21 78
4
172
1283
3804
1026
2 72
685
1443
1418
1369
1125
3247
3064
54 7
1161
2296
9 70
1137
200
6311
RS
3,4
0,7
1,l
2,O
1,5
2,4
0,O
7,l
3,8
1,4
0,3
2,6
2,5
2,5
1,s
1,2
1,s
1,9
1,s
1,2
0,s
1,2
2,l
3,6
6,O
1,s
ke pelayanan
RS
3,4
0,8
0,6
2,2
2,1
1,3
0,0
7,1
3,8
1,4
0,3
1,l
1,9
2,O
1,7
2.4
1,4
1,7
2,O
0,5
0,5
0,8
2,4
4,4
8,5
1,9
Puskes
mas
27,O
29,6
35,2
26,7
26,8
31,6
0,O
14,3
25,5
29,4
31,5
29,5
27,7
30,2
28,8
27,2
27,4
28,O
28,9
28,9
31,l
30,3
30,2
22,4
16,5
28,s
Poli
klinik
3,I
1,2
1,O
2,3
2,1
1,9
0,O
2,5
3,8
1,8
0,6
2,O
2,3
2,2
2,2
2,O
1,4
2,I
1,9
1,9
1,6
1,6
2,5
2,8
3,O
2,O
Berobat
Pemerintah
Polin
des
0,5
3,O
4,8
1,2
1,7
2,2
37,4
0,0
0,4
2,2
2,3
2,6
3,l
2,l
1,4
1,9
1,3
1,9
1,9
1,8
1,3
2,6
2,2
1,0
0,5
1,9
jalan
Pos
yandu
0,3
1,6
2,O
0,8
1,2
0,8
0,0
1,9
0,6
1,0
1,l
1,5
2,2
0,8
0,9
I,2
0,6
1,0
I ,
1,0
1,5
1,4
1,0
0,2
0,0
1,O
kesehatan
Swasta
Praktik
dokter
21,6
9,5
5 9
17,O
16,9
10,6
0,o
31,9
23,3
13,2
7,o
12,9
18,2
IS,]
14,5
13,3
14,7
15,5
14,O
7,7
5 0
11,3
16,4
28,6
43,5
14,7
Praktik
petugas kes
9,5
182
12,l
15,l
15,3
12,8
22,5
l0,O
12,l
15,6
14,l
18,6
17,2
17,9
14,4
11,8
10,6
13,8
15,l
15,O
16,3
16,8
13,l
10,l
6 5
14,5
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
Faktor-faktor yang Berhubungan atas, menunjukkan bahwa semua variabel
dengan Perilaku Pencarian Pengobatan yang ada dalam variabel demografi,
ke Tenaga Kesehatan sosiopsikologi dan 2 variabel cues to
action (variabel independen) dengan
Dari hasil analisis uji rasio odds P<0,25 yang dianggap sebagai kandidat
sederhana yang bertujuan untuk kovariat yang akan dimasukkan dalam
mengidentifikasi berbagai faktor tersebut di model multipel regresi (Tabel 3).
Tabel3. Rasio Odd Sederhana antara Variabel Independent dengan Pencarian
Pengobatan ke Tenaga Kesehatan Ketika Sakit ISPA.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001 7
Variabel
Tempat tinggal :
pedesaan
perkotaan
Klasifikasi daerah
tertinggal
tidak tertinggal
Wilayah
Jawa-Bali
Luar Jawa-Bali
Pendidikan ibu
tidak sekolah
tidak tamat SD
tamat SD
tamat SLTP +
Kelompok usia (bulan)
<24
224
Jenis kelamin
laki-laki
perempuan
Banyak balita di RT
1 balita
> 1 balita
Rasio pengeluaran makanan :
pengeluaran total
280%
60--79%
160%
Mendengarkan radio
tidak
ya
Menonton televisi
tidak
ya
Membaca koranlmajalah
tidak
Ya
Jumlah balita
ISPA
1088
1486
2050
525
1646
929
223
485
959
908
1044
153 1
I341
1234
1927
648
405
1573
588
88 1
161 1
444
2048
1928
564
'YO
berobat
76,6
73,7
76,2
70,2
76,2
72,7
64,8
68,4
74,7
81,2
78,9
72,3
73,5
76,5
76,4
70,8
66,7
74,8
81,5
743
75,3
70,5
76,O
73,3
80,9
OR
1
0,8
1
0,7
1
0,8
1
12
1,6
2,3
1
0,7
1
12
1
0,7
1
1,5
2,2
1
1 ,o
1
1,3
1
1,5
C. I.
0,7 - 1,l
0,5 - 0,9
0,7 - 1,0
0,8 - 1,8
1,1 -2,3
1,6 - 3,4
0,6 - 0,9
0,9 - 1,4
0,6 - 0,9
1,l - 1,9
1,5 - 3,2
0,8 - 1,3
1,0 - 1,7
1,l - 2,l
P
0.20 *
0,02 *
0,11 *
0,43
0,Ol *
0,OO *
0,OO *
0,14 *
0,02 *
0,OO *
0,OO *
0,74
0,03 *
0,004 *
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
Dari hasil analisis logistik
regresi, menunjukkan bahwa pencarian
pengobatan pada balita ketika sakit ISPA
dipengaruhi oleh variabel pendidikan ibu,
rasio pengeluaran makanan dibagi
pengeluaran total, usia balita, jumlah balita
dalam rumah tangga. Ibu dengan
pendidikan tamat SD lebih banyak yang
membawa anaknya berobat ke tenaga
kesehatan daripada ibu yang tidak tamat
SDItidak sekolah (OR 1,5; CI 1,l--2,2),
demikian pula ibu dengan pendidikan
tamat SLTP + 2 kali lebih banyak akan
membawa anaknya berobat ke tenaga
kesehatan daripada ibu yang tidak
sekolah (OR 2,2; CI 1,5--3,2). Ibu dengan
rasio pengeluaran 560% lebih banyak
berobat ke tenaga kesehatan (OR 1,8; CI
1,2--2,7) daripada ibu dengan rasio penge-
luaran 280%. Ibu yang mempunyai balita
lebih dari satu mempunyai rasio berobat ke
tenaga kesehatan yang lebih kecil daripada
ibu yang mempunyai balita hanya satu
(OR 0,7; CI 0,6--0,9). Balita dengan usia
24 bulan ke atas akan dibawa berobat ke
tenaga kesehatan lebih sedikit daripada
balita dengan usia kurang dari 24 bulan
(OR 0,7; CI 0,6--0,9) (Tabel 4).
Tabel 4. Analisis Logistik Regresi Pencarian Pengobatan Ketika Sakit ISPA dengan
Variabel Independent.
PEMBAHASAN
Prevalensi ISPA dari hasil studi ini
rendah (9,4%) bila dibandingkan dengan
hasil SDKI 1997 sebesar 26,9%'). Menurut
daerah tempat tinggal dan wilayah, hasil
analisis menunjukkan bahwa prevalensi
ISPA lebih tinggi di perkotaan dan di
Jawa-Bali. Hasil SDKI 1997 menunjukkan
Variabel
Pendidikan ibu
tidak sekolah
tidak tamat SD
tamat SD
tarnat SLTP +
Kelompok usia
<24
224
Jurnlah balita di RT
1 balita
> 1 balita
Rasio pengeluaran makanan :
pengeluaran total
180%
60--79%
560%
pola yang sama pula. Menurut kelompok
umur balita, prevalensi ISPA tertinggi pada
umur 12--23 bulan, sedangkan dari hasil
SDKI 1997 prevalensi ISPA tertinggi
pada umur 6--11 bulan.
OR
1
1 2
1,5
2 2
1
O,7
1
0,7
1
193
1,8
95% CI
0,8 - 1,8
1,l - 2,2
1,5 - 3,2
0,6 - 0,9
0,6 - 0,9
1,0 - 1,7
1,2 - 2,7
Banyak gejala ISPA yang tidak
dicermati dengan baik sehingga banyak
kasus ISPA yang menimbulkan risiko
P
0,44
0,02 *
0,OO *
0,OO *
0,Ol *
0,05
0,OO *
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
kematian yaitu ISPA bagian bawah yang seseorang sakit, ada persamaan persepsi
sebagian besar adalah pneumonia. Akses antara orang yang merasa tidak sehat
dengan pelayanan kesehatan tepat waktu dengan orang-orang di sekitarnya.
a k k menurunkan risiko kemaian akibat
komplikasi. Persentase ibu yang membawa
berobat anak yang sakit ISPA ke pelayanan
kesehatan sebesar 66,3%. Dari hasil SDKI
1997 tidak menunjukkan data pengobatan
ISPA, namun anak dengan batuk disertai
napas cepat 68,8% berobat ke pelayanan
kesehatan.
Sarafino (1 990)~) mengemukakan
bahwa gejala sakit sangat dipengaruhi oleh
sejauh mana gejala ini lazim menurut
pengalaman seseorang. Gejala yang sering
muncul atau yang prevalensinya tinggi
cenderung diabaikan sehingga dalam ha1
ini ibu mempercayai bahwa batuk disertai
napas sesak lebih serius daripada ISPA.
Namun, dari kedua hasil survei di atas
menunjukkan perilaku pencarian pengo-
batan antara batuk disertai dengan napas
cepat hanya sedikit berbeda dengan ISPA.
Persepsi masyarakat mengenai
keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi
seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan ha1 yang penting
dalam menangani penyakit tersebut. Untuk
bayi dan anak balita persepsi ibu sangat
menentukan tindakan pengobatan yang
akan diterima oleh si anak. Dari hasil studi
ini ibu yang tidak membawa berobat
anaknya ketika sakit ISPA sebesar 33%.
Namun dari studi ini tidak tersedia variabel
yang dapat menunjukkan alasan-alasan ibu
sehingga ia tidak membawa berobat
anaknya. Penelitian di pedesaan
Bangladesh, sebanyak 47% ibu tidak
membawa berobat anak yang sakit ISPA
adalah karena tidak mengenal gejala yang
berbahaya dari penyakit'). Studi yang
dilakukan oleh Blaxter dan paterson8)
membuktikan bahwa untuk menyatakan
Analisis lainnya menunjukkan
bahwa variabel demografi dan pendidikan
menunjukkan perbedaan dalam pemilihan
berobat untuk penyakit ISPA. Ibu yang
bertempat tinggal di pedesaan, di daerah
tertinggal, maupun di luar Jawa-Bali
lebih banyak yang tidak berobat jalan
sedangkan ibu yang tinggal di kota, di
daerah tidak te&nggal maupun di
Jawa-Bali lebih banyak yang berobat ke
pelayanan kesehatan. Persentase ibu
dengan tingkat pendidikan tinggi yang
membawa berobat anaknya ke pelayanan
kesehatan lebih besar dibandingkan ibu
dengan pendidikan yang lebih rendah yang
lebih banyak mengobati sendiri atau tidak
berobat jalan.
Upaya pencarian pengobatan
merupakan tindakan yang dilakukan
seseorang yang mengalami sakit untuk
memilih pengobatan profesional atau
tidak4). Pengobatan profesional adalah
pengobatan yang berdasarkin ilmu
kedokteran. Pencarian pengobatan
dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
antara lain faktor demografi, struktur
sosial, kepercayaan, pendapatan keluarga,
akses terhadap pelayanan kesehatan, rasio
tenaga dan fasilitas kesehatan terhadap
penderita, persepsi individu terhadap
penyakitnya dan jumlah hari sakit9).
Persentase perilaku pencarian pengobatan
terbanyak ke Puskesmas (28,5%),
selanjutnya ke praktik petugas kesehatan
(14,5%) dan dokter (14,7%). Menurut
tempat tinggal, di perkotaan ataupun di
Jawa-Bali lebih banyak ibu membawa
berobat anaknya ke praktik dokter,
sedangkan di pedesaan atau di luar Jawa-
Bali lebih banyak yang berobat ke
Puskesmas atau praktik petugas kesehatan.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001 9
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et al
Ibu yang berobat ke rumah sakit dan
poliklinik lebih banyak di perkotaan
daripada di pedesaan.
Karakteristik pendidikan ibu dan
rasio pengeluaran makanan dibagi
pengeluaran total per bulan mempunyai
pola pengobatan yang sama untuk ketiga
penyakit di atas, persentase memilih dokter
lebih besar pada ibu dengan pendidikan
yang lebih tinggi atau rasio pengeluaran
yang lebih kecil, sedangkan persentase
memilih Puskesmas lebih besar pada ibu
dengan pendidikan yang lebih rendah atau
rasio pengeluaran yang lebih besar.
Dari hasil analisis logistik regresi,
perilaku pencarian pengobatan ke tenaga
kesehatan ketika sakit ISPA dipengaruhi
oleh variabel pendidikan ibu, rasio
1. Prevalensi ISPA 9,4%.
2. Prevalensi ISPA lebih tinggi di
perkotaan daripada di pedesaan.
Sedangkan prevalensi ISPA lebih tinggi
di Jawa-Bali daripada di luar Jawa-
Bali.
3. Pervalensi ISPA tertinggi ditemukan
pada golongan umur 12--23 bulan.
4. Persentase pernah mengobati sendiri
untuk penyakit ISPA 47,1%, berobat ke
pelayanan kesehatan 66,3%, dan
berobat ke dukun 0,7%.
5. Persentase yang berobat ke pelayanan
kesehatan, terbanyak mengunjungi
Puskesmas 28,5%, selanjutnya praktik
dokter 14,7%, dan praktik petugas
kesehatan 14,5%.
pengeluaran makkan dibagi pengeluaran
6. Dari hasil regresi logistik perilaku
total, usia balita, jumlah balita dalam
pencarian pengobatan pada penderita
rumah tangga. Peran variabel pendidikan ISPA dipengaruhi oleh variabel
dan rasio pengeluaran paling dominan pendidikan ibu, rasio pengeluaran
dibandingkan dengan variabel lainnya makanan dibagi pengeluaran total, usia
dalam mempengaruhi perilaku pencariab
balita dan jumlah balita dalam rumah
pengobatan ke tenaga kesehatan. tangga.
Kemungkinan ibu yang tamat SLTP ke atas
lebih mengenal gejala penyakit sehingga
anak dibawa berobat ke pelayanan
kesehatan lebih banyak (2,2 kali)
dibandingkan ibu yang tidak bersekolah.
Ibu dengan status ekonomi yang lebih
tinggi lebih banyak yang pergi berobat (1,s
kali) daripada mereka dengan status
ekonomi yang lebih rendah. Dari hasil
penelitian ISPA di pedesaan Bangladesh,
tidak ditemukan hubungan antara
pendidikan ibu dan perilaku pencarian
pengobatan7).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih karni
sampaikan kepada:
1. Kepala Pusat Penelitian Ekologi
Kesehatan.
2. Pengurus Yayasan Pusat Pengkajian
Sistem Kesehatan dan Biro
Perencanaan Sekretariat Jenderal
Depkes RI, yang telah memberi
bantuan dana dalam melaksanakan
analisis ini.
3. Soeharsono Soemantri, Ph.D, atas
koreksi dan masukan yang berarti
selama kegiatan analisis data.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001
Determinan perilaku pencarian pengobatan . . . . . . . . . .. Sarimawar Djaja et a1
DAFTAR RUJUKAN
1. Denny, F.W. and Loda F.A. (1986). Acute
Respiratory Infections Are The Leading Cause of
Death in Children in Developing Countries. Am J
Trop Med, 35: 1-2
2. World Health Organization. What Happens In
Field? Acute Respiratory Infections in Children.
Geneva: WHO
3. Djaja, S et a1 (1999). Statistik Penyakit Penyebab
Kematian SKRT 1995. Seri Survei Kesehatan
Rumah Tangga No. 15. Departemen Kesehatan RI,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Jakarta, Mei 1999.
4. Becker, M.H. (1974). The Health Belief Model and
Health Behavior. Carles B. Slack Inc., New Jersey.
5. Demographic and Health Survey 1997, CBS, State
Ministry of Population National Family Planning
Coordinating Board, Ministry of Health, DHS
Macro Int. Inc. 1998
6. Sarafino, E.P. (1 994). Health Psychology:
Biopsychosocial Interaction, New York: John Wiley
& Sons 1990 (cited in Bart Smet, 1994).
7. Zaman, K. et al (1997). Acute Lower Respiratory
Infections in Rural Bangladesh Children: Patterns
of Treatment and Identijication of Barriers.
Southeast Asian J Trop Med Public Health. 28: 1 :99-
106.
8. Helman, C.G. (1994). Culture, Health and Illness:
An Introduction For Health Professionals, London:
Wright 1994 (cited in Bart Smet, 1994).
9. Andersen, R. et a1 (1975). Equity in Health Service:
Empirical Analysis in Social Policy. Ballinger
Publishing Company, Massachusetts.
Bul. Penelit. Kesehat. 29 (1) 2001

You might also like