Tiongkok: Pusaran Asia
Tionghoa di Indonesia
[sunting]Bangsa Tionghoa telah semenjak zaman Jengis dan Kublai Khan mengenal Indonesia, mungkin juga sebelum itu sudah ada orang Tionghoa berdagang dan tinggal menetap di Indonesia. Di zaman kerajaan Sriwijaya ada sebuah sekolah tinggi di Palembang, tempat pelajar-pelajar Tionghoa belajar bahasa Sanskrit sebelum mereka meneruskan pelajarannya ke India dalam ilmu agama Buddha.
Menurut penyelidikan di abad ini, boyongan orang Tionghoa ke Indonesia secara besar-besaran berlangsung baru di abad kedelapan. Mula-mula mereka itu hanya berasal dari daerah Fuhkien (Hokkien) dan Kwangtung. Kemudian banyak juga orang Tionghoa yang datang dari daerah-daerah sebelah utara Kwangtung. Jumlah mereka yang tinggal di Indonesia di permulaan abad kedua puluh ini kira-kira setengah juta, sekarang ditaksir orang sesudah setengah abad lamanya berkembang menjadi 2½ juta lebih.
Berapakah di antaranya yang menganggap tanah airnya Tiongkok, dan berapa jumlahnya yang menetap di Indonesia sebagai warga negara Republik Indonesia, pada waktu menulis kitab ini belum diketahui. Tapi maksud buku ini bukan untuk meninjau bangsa Tionghoa di Indonesia, melainkan untuk mengarang buku tentang hal-ihwal negeri dan rakyat di Tiongkok yang besarnya seperti benua itu.
Bangsa Indonesia mengetahui adanya Tiongkok itu karena ada bangsa Tionghoa di Indonesia, sebab itu kita mulai mendahului isi kitab ini dengan apa yang diketahui oleh bangsa Indonesia tentang Tiongkok itu yakni bangsanya.
Bangsa Tionghoa di Indonesia terbagi dua, yakni "sin-kh'eh" (tamu baru) dan "peranakan". Kedua golongan itu di Tionghoa sendiri bernama "Hoa Kiao", yakni Tionghoa-perantauan. Mereka berada di seluruh Indonesia, yang terbanyak di luar Jawa, dan yang paling besar jumlahnya di luar Indonesia, yakni di Semenanjung Malaka, sejumlah 3 juta, lebih dari penduduk asli tanah semenanjung itu. Berhubung dengan keadaan baru, maka bangsa Tionghoa Totok dan peranakan ada sebagian yang jadi warga negara Indonesia, sedang yang tidak masuk itu terhitung bangsa asing.
Walaupun banyak jumlah bangsa Tionghoa yang kawin dengan perempuan Indonesia, dibandingkan dengan bangsa lain, dan penghidupannya disesuaikannya dengan keadaan di Indonesia, akan tetapi orang Tionghoa peranakan sebagian terbesar tidak menjadi anggauta masyarakat Indonesia dalam arti sefaham, senasib, sepenanggungan dan seperasaan, terbukti semenjak zaman penjajahan, zaman Jepang, zaman revolusi dan zaman sesudah terbentuk Republik Indonesia yang baru. Hal itu sebagian disebabkan oleh karena perbedaan dalam hal adat-istiadat, agama, bahasa dan huruf. Orang Tionghoa yang pergi ke perantauan tidak membuang bahasanya, hurufnya, kebudayaannya dan sifat-sifatnya, yang membedakan dia dari bangsa lain; mereka tetap memuja nenek moyangnya.
Tanah airnya yang besar itu, adalah tempat hidupnya dan berkuburnya nenek moyang mereka itu, tidak mungkin dilupakannya, sebagaimana orang putih tidak dapat melupakan Eropah pada umumya (kecualinya ada). Akan tetapi tanah airnya yang besar itu pun tidak melupakan Hoa-Kiaonya. Bantuan kesusilaan dan kebendaan yang diterima oleh negara Tiongkok dari bangsa Tionghoa di perantauan, dalam segala zaman, baik langsung atau tidak langsung, tidaklah sedikit jumlahnya.
Orang Indonesia tertutup pemandangannya terhadap Tiongkok, selama zaman penjajahan, karena perhubungan resmi antara Indonesia, yang di masa itu bernama Hindia Belanda, berlangsung via perwakilan Belanda belaka dan orang Indonesia yang berdagang tidak kesampaian membuka cabang-cabangnya ke bandar-bandar Tiongkok. Segala dagang ke Tiongkok berlangsung via [orang] Belanda, Inggeris dan Tionghoa.
Zaman beralih, bangsa Indonesia pun telah merdeka dan berdaulat, sedang sesudah Republik Rakyat Tiongkok berdiri, maka pemerintah Tiongkok Baru itu telah membuka perdutaannya di Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.
Pengetahuan bangsa Indonesia tentang Tiongkok tidak juga bertambah walaupun lebih 2 juta orang Tionghoa ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan perhubungan laut antara Indonesia-Tiongkok tidak seperlima dari jarak Indonesia-Eropah. Belum ada sebuah buku tentang Tiongkok karangan Indonesia yang agak luas. Buku pelajaran ilmu bumi di zaman penjajahan, biasanya dikarang pula oleh guru-guru Barat yang melihat dunia dengan pendirian yang eropah-centris, ertinya segala-galanya diukurnya dengan ukuran mereka sendiri, sedang perbandingan-perbandingannya pun diambilnya dari Eropah, khususnya dari negeri Belanda pula.
Kepincangan pemandangan itu haruslah diluruskan, sebab bangsa Indonesia harus pempunyai fikiran yang berdasar keadaan yang sebenarnya tentang negara-negara luar, apalagi Tiongkok yang besar itu, yang mempunyai penduduk terbanyak di dunia (+- 500 juta).
Banyak dan maha-besar sekali kemungkinan, yang terkandung dalam bumi dan bangsa (penduduk) Tiongkok) itu, yang harus pula kita ketahui sebagai negeri sahabat. Tidaklah dapat disangkal pula, bahwa ada di antara kemajuan yang didapatnya, yang boleh diteladan, ataupun kesalahan yang dibuatnya, dilangkaui. Banyak kesukaran yang diatasinya di sana seperti dalam hal melenyapkan kemiskinan dan penjadian industriialisasi, terdapat pula di Indonesia, bahkan tidak dapat disangkal pula, bahwa kesukaran masyarakat yang ada di Indonesia ialah sebagian besar kesukaran seluruh Asia pada tingkat kemajuan sekarang ini.
Jangan pula kita abaikan, bahwa Tiongkok di bawah Mao Tse Tung lain sifat persatuannya dari di zaman yang telah lewat, sebab selain dari persatuan hurufnya, di amempunyai persatuan ideologi baru yakni yang komunistis bercorak Tionghoa. Dengan luas negerinya yang sama dengan Eropah dan dengan 500 juta manusianya, tentu tidaklah bangsa itu akan menjadi mainan lagi dari politik dunia, melainkan dia akan bermain catur sendiri, dia menjadi negara salah satu dari Si Lima Besar, sejajar dengan Sowyet Russia, Amerika Seerikat, Inggeris dan Perancis.
Indonesia harus mengetahui Tiongkok lebih dalam dari pada selama ini, pertama untuk mengerti tanah asal bangsa Tionghoa yang ada di tengah-tengah masyarakatnya, yang berjumlah lebih dua juta jiwa dan yang sebagian telah menjadi warga negara Indonesia, kedua untuk mendapat pengetahuan tentang satu negara Asia yang terbesar dan terbanyak penduduknya dan yang besar pengaruhnya di atas papan catur politik dunia. Napoleon pernah mengibaratkan Tiongkok itu sebagai raksasa yang tidur. "Jangan dibangunkan raksasa itu, biarlah dia tidur terus" kata Napoleon.
"Raksasa" itu sudah bangun, karnea tidak ada suatu bangsa di Asia yang terjajah musna, apalagi bangsa Tionghoa yang beratus juta itu. Dan bangsa yang begitu besar jumlahnya, yang tua peradabannya, yang mempunyai kegiatan hidup (vitaliteit) bukan saja tidak bisa punah, tapi dia terus maju sesudah bangun, maju mencari tempat kedudukannya yang sepadan dengan kebesarannya.
Sudah hampir setengah abad lamanya Tiongkok berrevolusi. Revolusi timbul karena susunan masyarakat dan peraturan pemerintahan tidak sesuai lagi dengan kepentingan dan kemauan yang baru dari rakyat. Seperti di Indonesia, maka revolusi di Tiongkok mempunyai dua tujuan dan dasar, pertama nasional, kedua sosial, yang kesatu menyahkan pengaruh asing dan yang kedua memperbaiki nasib rakyat dan mendemokrasi masyarakat.
Politik Tiongkok ke dalam dan ke luar negeri berdasar pada anasir yang ada pada negeri itu sendiri. Membukakan tabir yang selama ini menutup keadaan bumi Tiongkok serta kehidupan rakyatnya itu bagi orang Indonesia, adalah maksud fasal-fasal berikut.
Perkenalan Sepintas Lalu
[sunting]Negeri Tiongkok itu bukan main besarnya, nomor dua di dunia. Nomor satu ialah Sowyet Russia dan nomor tiga Amerika Serikat. Rakyatnya paling banyak di dunia, jadi nomor satu. Sejarah mereka masuk yang tertua di dunia dan pada zaman 4000 tahun yang silam ketika bangsa-bangsa kulit putih di Eropah masih biadab, bangsa Tionghoa telah ada pada tingkatan peradaban yang tinggi.
Negeri Tiongkok terkenal dengan berbagai-bagai nama; dalam kitab[1] yang dikarang oleh Ptolemaeus di zaman Yunani kuno, tertulis untuk Tiongkok itu nama Sina, (China, Cina) mungkin sekali asalnya dari nama dinasti Tsyin (221 SM) yang mula-mula sekali menyatukan Tiongkok; ada lagi nama "Kerajaan Dewa", ada pula nama "Kerajaan tengah", adakalanya kita jumpai nama "Cathay", Dengan nama Cathay itulah Marco Polo memperkenalkan Tiongkok kepada bangsa Eropah, di permulaan abad keempat belas. Nama "Cathay" itu terpelihara dalam [bahasa] Russia dengan sebutan "Kitai" [Китай].
Berabad-abad lamanya sesudah abad ke-14 itu, bangsa Tionghoa mengunci dirinya dari dunia luar.
Dulu, dunia Barat melihat Tiongkok itu sebagai raksasa yang lembam dan tiada berdaya, tapi tahun 1945 sesudah ia mendapat kemenangan bersama dengan Sowyet Russia, Inggeris, Amerika Serikat dan Perancis, maka ia menjadi salah satu dari "The Big Five" (Si Lima Besar). Di kala Tiongkok telah aman dan teratur dan menguasai teknik Barat, maka dengan negerinya yang luas dan penduduknya yang terbanyak itu, dapatlah ia di hari depan menjadi negara Asia yang terbesar pengaruhnya dalam percaturan politik dunia.
Timbulnya Tiongkok sebagai negara besar yang berkuasa akan dalam sekali akibatnya pada seluruh sejarah perkembangan peradaban manusia baru di benua Asia dan besar sekali ertinya kalau mereka sudi mempertahankan keamanan di seluruh dunia berdasar demokrasi.
Tiongkok yang luas itu terbagi jadi 35 provinsi (tidak termasuk Tibet dan Mancuria) dan ibu kotanya Peking. Luasnya 8.755.000 km², termasuk pulau Taiwan atau Formosa. Kalau kita tambahkan pula kepadanya daerah-daerah di perbatasan, seperti Mancuria dan Tibet, jumlah luas itu menjadi enam kali seluas Indonesia.
Daerah-daerah perbatasan ini adalah: Mancuria (Jepang menamainya Mancukwo) luasnya 1.300.000 km²; Sinkiang atau Turkistan Tionghoa, luasnya 1.550.000 km², dan Tibet, luasnya 1.186.000 km². Jadi Tiongkok itu terbagi atas Tiongkok sejati dan daerah-daerah perbatasan di Utara dan di Barat, dan bersambungan dengan negara Sowyet Russia, Afghanistan, Kasmir-India, Nepal, Butan, serta Burma dan Viet Nam. Di sebelah Timur seluruh pantainya dibasahi oleh air lautan Teduh.
Meskipun belum pernah dilakukan perhitungan cacah-jiwa yang baik, umumnya orang menganggap penduduk Tiongkok berjumlah kurang lebih 500 juta orang. Dari tiap-tiap lima orang penghuni dunia, seorang di antaranya adalah orang Tionghoa, begitulah banyaknya jumlah mereka. Dalam hal jumlah penduduk itu yang di bawah Tiongkok jumlahnya adalah: India (360 juta), ketiga Russia (200 juta), keempat Amerika Serikat (150 juta), kelima Indonesia (78 juta) dan keenam Jepang (75 juta).
Jumlah orang Tionghoa dengan turunannya yang menetap di luar negeri ditaksir orang kira-kira 12 juta banyaknya. Dibandingkan dengan jumlah orang kulit putih yang boyong dari benua Eropah keluar negerinya, jumlah itu belum sepersepuluhnya, dan masih terhitung sedikit sekali.
Orang kulit putih di Amerika saja berjumlah lebih dari 150 juta, sedang di Australia ada diam 7 juta orang kulit putih, yang paling banyak bangsa Tionghoa merantau ke Asia Tenggara; di Siam jumlahnya sekarang ada 3 juta, di Semenanjung Malaka 3 juta, di Indonesia 2½ juta. Sedikit jumlahnya yang merantau ke benua lain. Di Eropah ada kira-kira 100.000, di Amerika Selatan dan Utara 500.000, di Afrika 10.000, di Australia dan Oceania 100.000.
Mereka teguh memegang adat-istiadat dan agamanya, pengikut Konghucu, Buddha dan Tao, seperti di negeri asalnya. Muslimin Tionghoa di Tiongkok kira-kira berjumlah 50 juta, tapi mereka tidak suka merantau ke seberang lautan.
Kesetiaan bangsa Tionghoa kepada adat istiadatnya, agamanya ada baik dan ada buruknya; baiknya yaitu mendatangkan persatuan yang kokoh di antara segala bangsa Tionghoa dan dapat mempertahankan kebudayaan Tionghoa beribu tahun; buruknya yang terbukti pula, karena adat-istiadat dan agama Konghucu itu, menurut pandangan pemimpin Kung Cang Tang yang komunis itu, mempunyai tabiat kolot dan reaksioner dan oleh sebab itu menghambat kemajuan rakyat.
Alam Tanah Air Bangsa Tionghoa
[sunting]Jikalau kita dari Pontianak pergi lurus ke utara, umpamanya terbang dengan kapal terbang, maka lepas lautan Tiongkok Selatan, sampailah kita ke satu pulau yang tiga kali sebesar pulau Bangka dengan berpenduduk sepuluh kali isi pulau Bangka itu. Pulau itu ialah Hainan, yang mempunyai iklim serta keadaan alam sama dengan Indonesia, yaitu hawanya panas dan penghidupan manusia dan binatang dan tumbuhn-tumbuhan di sana dipengaruhi oleh angin musim. Di sana telah mulai tanah air bangsa Tionghoa.
Di seberang pulau itu ialah daratan Tiongkok, yang di zaman dahulu kala oleh pelajar dan pengarang Indonesia disebut dengan sebutan benua Tiongkok tak lain, ialah karena besarnya. Daratan yang di seberang pulau Hainan itu ialah propinsi Kwangtung dan iklimnya masih serupa. Akan tetapi makin jauh ke utara, makin jarang tampak pohon kelapa dan pisang, dan hawanya pun makin berubah sifatnya. Apalagi kalau musim dingin, maka di Kwangtung Utara orang kita akan kedinginan benar, sebab iklim di sana dinginnya sampai ke bawah nol [derajat]. Jadi bagi kita bangsa Indonesia, Tiongkok mulai di mana daerah panas atau daerah tropika akan berakhir dan daerah empat musim mulai timbul. Negeri Tiongkok berakhir di Utara di mana iklimnya akan menjadi iklim Siberia, sebab Mancuria berwatas kepada Siberia dan di situ ilimnya dan keadaan alamnya sudah bersifat sangat dingin di musim dingin dan sangat panas di musim panas.
Daerah Tiongkok sejati dari Selatan sampai ke Utara dipengaruhi angin musim, baik di musim panas maupun di musim dingin, dan angin musim itu berhembus sekali enam bulan dari lautan ke daratan apabila Asia Tengah panas, dan dari daratan ke lautan apabila benua Australia panas. Pengaruh angin musim itu kira-kira sampai ke daerah-daerah sebelum mulai gurun-gurun pasir dan tanah-tanah tinggi.
Dalam sejarah kehidupan kebanyakan bangsa ternyata bahwa di tingkat permulaan pertumbuhannya, tempat kediamannya dipilih mereka di tepi sungai besar. Demikian di Indonesia, demikian pula di Tiongkok. Adalah tiga sungai di Tiongkok yang penting sekali ertinya bagi kehidupan bangsa Tionghoa dari abad ke abad, yakni -- kalau disebutkan mulai dari Selatan -- pertama Sikiang yang bermuara dekat Kanton, kedua Yangtsekiang yang bermuara dekat Syanghai dan ketiga Hwangho yang sudah 10 kali berubah muaranya.
- Permukaan bumi Tiongkok
Keadaan alam Tiongkok sejati tidak termasuk Mancuria, Mongolia, Tibet, dan Sinkiang, dapat dibagi tiga:
- bagian yang bertanah kuning di atas dataran tinggi,
- bagian dataran rendah, dan
- bagian pegunungan.
Berbeda sekali dengan negeri-negeri di kelilingnya, di seluruh Tiongkok tidak ada gunung api.
Di Tiongkok Utara letaknya tanah tinggi itu yang seluruhnya bertutupkan 'tanah-kuning'. Adapun tanah kuning ini, loess [Jerman: Löß] namanya, terjadi dari pasir halus-halus yang bercampur tanah liat dan kapur. Lapisan tanah 'loess' itu ada yang tipis, ada yang 100 m aau lebih tebalnya, menutupi dataran-dataran tinggi itu yang chususnya terletak di Kansu, Syensi, dan Syansi, dulu sarang tentera gerila melawan Jepang, di antara belokan Hwangho atau Sungai Kuning.
Pada asalnya loess itu terdapat di daerah jauh ke pedalaman di sepanjang sungai Hwangho mudik, luasnya tidaklah kurang dari 2 x pulau Jawa. Di beberapa tempat loess itu dihanyutkan air dan diendapkannya rata-rata di seluruh tanah datar yang rendah di propinsi Hopei, Honan, Kiangsu dan Syantung, sehingga terjadilah di daerah tersebut lapisan loess yang tipis. Tanah datar ini termashur karena kesuburannya, yang tidak saja disebabkan oleh loess itu, melainkan juga oleh iklimnya yang agak banyak membawa hujan, lagi pula oleh pengairan sungai Kuning itu sendiri.
Sungai Kuning ialah pembentuk bagian dataran rendah Tiongkok Utara itu, tetapi sungai yang baik itu menjadi pangkal bencana pula di daerah itu, sebab sungai itu sering banjir, maka sekali air besar banyaklah harta-benda, rumah dan sawah-ladang penduduk dimusnakannya, sehingga berjuta-juta orang mati kelaparan. Sungai itu panjangnya 5000 km, yakni 4½ kali sungai yang terpanjang di Indonesia (s. Kapuas di Kalimantan).
Sebab sungai yang panjang itu dari zaman ke zaman selalu banjir, tak ada henti-hentinya air sungai itu membawa lumpur, yang kemudian diendapkannya di dasarnya sendiri, maka palungnya makin lama makin tinggilah dan sungai itu makin lama makin dangkal dan lebar.
Sepanjang sungai itu dibuat oleh penduduk secara gotong-royong pematang-pematang. Bendung-bendung air itu tembus bila ada banjir yang amat kuat, maka air itu menggenangi seluruh dataran kiri-kanannya, bahkan kadang-kadang sungai itu mengubah muaranya sendiri, seperti pada tahun 1853 dan sebelum waktu itu, dalam abad yang ke-11, ia bebas mencari jalan sendiri yang baru ke teluk Petsyili, dan dalam abad yang ke-12 tiba-tiba ia menyimpang pula ke arah Selatan dan bermuara ke sungai Yangtse.
Karena arusnya keras maka Hwangho itu tak dapat dilayari, berbeda sekali dengan sifat sungai Yangtse. Rumah-rumah penduduk selalu jauh letaknya dari tepi sungai itu sebab takut dihanyutkan banjir, kecuali di Tsinan yang berbukit.
Sungai Hwangho itu hanya berguna untuk pengairan ladang. Tanah rendah Tiongkok Utara ialah daerah perkebunan, tanahnya rata dan beriklim sedang, sama letak lintangnya dengan Italia, Spanyol Selatan, dan daerah Amerika Serikat antara Washington dan San Francisco. Pertaniannya menghasilkan padi, gandum dan kaoliang yang dinamakan durra atau juga sorghum.
Dusun mereka besar-besar, rumah-rumah tani berkumpul-kumpul dekat-dekat, terbuat dari tanah liat dan batu-bakar, beratapkan gelagah atau jerami, tidak berlumbung, tidak berlantai batu dan tidak berloteng.
Untuk mendapat pemandangan ringkas dari hal ihwal negeri Tiongkok harus kita ingat, bahwa Tiongkok itu menurut iklimnya terbagi tiga, pertama daerah yang paling jauh ke selatan, seperti Hainan dan semenanjung Leitsyou yang semata-mata bersifat tropis, tidak berubah dari umpamanya keadaan iklim di Sumatra, Malaka, Kalimantan. Akan tetapi Kanton, walaupun letaknya di dalam garis Perpalingan Utara, di musim dingin adakalanya mempunyai ukuran panas 15 derajat di bawah nol. Jadi di Kanton orang telah merasai iklim dari alam yang bermusim empat.
Pada umumnya, dari Kanton sampai ke Peking iklimnya boleh dikatakan sedang, hanya tambah ke utara tambah berbeda. Begitulah sebabnya, maka di Peking ukuran pans yang paling tinggi menjadi 38° Celcius dan yang paling rendah sampai -20°. Pukul rata perbedaan yang terpanas dengan yang terdingin di Peking ialah 51 derajat, di Syanghai 47 derajat dan di Kanton 33 derajat. Jikalau kita pergi ke sebelah utara dari Peking sampai ke Mancuria, maka iklimmnya sudah seperti di Siberia Di sebelah barat ada tanah tinggi dan banyak padang pasir, maka di situ iklimnya iklim daratan.
Pada umumnya Tiongkok Timur takluk kepada angin musim. Pada suatu waktu berembus angin dari timur laut yaitu dari bulan Oktober sampai bulan April, maka itulah musim kemarau, dan dari bulan April sampai bulan Oktober berembuslah angin dari barat daya, itulah musim hujan.
Dari Agustus sampai Oktober selalu ada bencana angin di sebelah itu yang menjadikan badai dan taufan yang banyak mengambil kurban manusia dan hartabenda. Iklim daerah antara Mancuria chas buat Tiongkok paling utara, sedang di sebelah barat di daerah tanah tinggi yang banyak gurun pasir, di sana iklimnya sangat kasar sekali dan mempengaruhi juga sedikit banyaknya iklim Tiongkok sejati di sebelah Timur.
Tiongkok Tengah panas-sedang iklimnya; tanahnya semata-mata dikuasai oleh sungai Yangtse dan daerahnya berbukit-bukit. Yangtsekiang dapat dilayari dengan kapal api sampai 3000 km ke mudik.
Iklim di daerah itu subtropis, serupa dengan daerah Laut Tengah di Eropah. (Peking sama L.U.-nya dengan: Uzbekistan, Baku, Ankara, Napoli, Madrid, Philadelphia, Denver dan Akita (Jepang), sedang Syanghai dan Nanking selintang dengan Kairo di Mesir dan New Orleans di Amerika Serikat.
Tiongkok Tengah terkadang-kadang sangat dinginnya. Bagian Selatannya pun walaupun telah menghampiri daerah tropika, di musim dingin ia dingin juga. Hujannya banyak dalam musim panas, dan menghampiri iklim tropika.
- Binatang-binatang
Binatang-binatang yang ada di India dan di Siberia, ada pula di Tiongkok: harimau biasa, harimau campa, beruang, kesturi, kambing hutan, serigala, beruang, anjing, kucing, rusa yang tak bertanduk, antilopa, binturung, sejenis kancil, dlsb.
Burung-burungnya: bebek, angsa, pelikan, dll. unggas yang hidup di air. Yang tidak ada di negeri lain yaitu unggas matahari dan sejenis puyuh dan sejenis bulbul.
Ikan banyak di tepi pantai, di sungai-sungai dan di danau-danau. Di sungai Yangtsekiang ada sejenis ikan senangin (Psephurus gladius) yang di sini saja adanya.
Binatang amphibie yang bisa hidup di daratan dan di air cukup banyak pula di Tiongkok, demikian juga ular, sedang serangga beratus jenis.
Hewan yang terpenting ialah kerbau yang dipergunakan untuk membajak sawah. Kuda Tiongkok dipergunakan untuk mengangkut beban. Babi dipelihara untuk dagingnya. Unta berpungguk dua dipakai di Gobi untuk mengangkut beban.
- Tumbuh-tumbuhan
Di antara tumbuh-tumbuhan yang sifatnya seperti di Indonesia ialah bambu. Bambu itu bagi bangsa Tionghoa, Jepang dll. seperti juga di Indonesia adalah suatu jenis pohon yang penting dan berguna benar bagi kehidupan penduduk. Jenis yang kerasnya dipakai untuk rasuk rumah, alat perkakas dan meja-kursi. Karena batangnya bolong dapatlah ia dibuatjadi tempat penyimpanan air, tempat minum, dan saluran air. Rebungnya dimakan sebagai sayur.
Padi yang terbanyak ditanam di lembah-lembah Yangtsekiang; caranya bersawah seperti di Indonesia juga. Sawah-sawah itu diberi bergalangan. Tanah-tanah itu dibajak, digaru, kemudian sesudah menjadi lumpur dan dipupuk, ditanamilah dengan benih padi. Sesudah tumbuh, sawah itu tampaknya serupa permadani hijau. Sawah itu harus terus digenangi air; kemudian dikeringkan apabila buahnya hampri masak. Sesudah padi dipotong, tanahnya itu ditanami lagi dengan tanaman lain, tanaman selingan, sama dengan di Indonesia.
Tanah-tanah di kiri-kanan sungai Yangtse berlereng dan diberi bertingkat-tingkat dan selain dengan padi ditanami pula dengan teh, murbei (keretau, yang tumbuh juga di Indonesia) dll. Murbei itu ditanam orang untuk membuat kertas dan untuk ulat sutera. Ulat sutera makannya daun murbei. Kepompongnya dikumpulkan orang lalu ditaruh dalam kamar. Sebelum kepompong itu ditembus, ulat-ulatnya dibinasakan dahulu dengan air panas. Supaya sutera pemalut kapompong jangan putus-putus oleh rama-rama yang keluar dari kepompong itu. Sutera Tiongkok mashur ke seluruh dunia semenjak dahulu kala.
Lain dari padi, diusahakan orang gandum, jelai, anfiun, kapas, ginseng, jagung, tembakau, kacang tanah, teh dan tebu. Pohon-pohon yang di hutan terutama cemara, palm (di daerah subtropis) dan di pegunungan tinggi ada tumbuhan alpina seperti di Eropah. Menurut istilah ilmu bumi, tumbuh-tumbuhan Tiongkok itu termasuk dalam daerah oriental dan palaeo-arctic.
Sungai Yangtse untuk keadaan tumbuh-tumbuhan sama pentingnya dengan Hwangho, tapi dapat dilayari kapal jauh ke mudiknya; yang dapat dilayari 3000 km sampai ke kota Icang. Apabila salju di Tibet menjadi air dan hujan musim turun, air yang berlebih-lebih itu diatur alirnya oleh danau-danau (Tungting dan Poyang), sehingga tak timbul bencana banjir.
Dari seluruh bumi Tiongkok itu, ada seperimanya yang dikerjakan oleh tani, yaitu tanah alluvium di lembah-lembah, yang dibuat bertingkat-tingkat. Tani Tionghoa lebih suka kepada tanah rendah daripada tanah pegunungan.
Dari seluruh penduduk Tiongkok itu 3/4nya orang tani; yang diam di kota-kota hanya seperempatnya. Kota-kota itu padat-padat penduduknya dan kebanyakan kota yang besar-besar terletak terutama di Tiongkok Tengah dan Selatan, tempat perniagaan yang ramai. Revolusi di Tiongkok yang paling belakang dapat sokongan besar dari kaum tani yang miskin di luar kota-kota.
- Pegunungan dan padang pasir
Lima-perenam bagian Tiongkok itu adalah tanah pegunungan dan bukit-bukit. Selebihnya ialah lembah-lembah dan dataran-rendah yang subur. Propinsi Shantung di sebelah Timur laut, bergunung banyak dan kaya akan pelikan. Di seluruh Tiongkok Tengah dan Selatan kita berjumpa dengan barisan gunung dan bukit yang tidak banyak lagi hutannya. Di barat daya terdapat dataran-tinggi Tibet yang terpencil letaknya. Di sebelah barat (propinsi Sinkiang) ada pegunungan Tienshan yang tinggi dan menjadi batas antara Tiongkok dan Sowyet Russia. Di sebelah Utara terdapat stepa-stepa Mongolia yang luas dengan gurun Gobi.
Seolah-olah kain panjang yang koyak-koyak, demikianlah sambung-bersambung lima buah gurun pasir dengan bukit-bukitnya mleintang seluruh benua Asia dan Afrika, dari jurusan timur laut sampai ke barat daya, yang diibaratkan orang juga sebagai palung sungai yang maha besar: Gobi, Taklamakan, padang pasir Thar, padang pasir Belutsyistan, Arab dan Sahara.
Di antara padang pasir yang banyak itu adalah Taklamakan yang paling jahat dan paling kejam, menurut cerita Sven Hedin, yang menempuh daerah itu di tahun 1895. Dia bercerita sbb.:
"Pada tempat ini lekat ingatan saya yang paling mengerikan di antara segala pengalaman saya dalam 14 tahun lamanya hidup sebagai pengembara. Pada bulan April saya tinggalkan desa Merket akan menempuh Taklamakan. Pengiring saya adalah seorang pandu yang berpengalaman, empat orang bujang dan kami membawa 8 ekor unta dan perbekalan untuk dua bulan. Pada mulanya semuanya baik saja.
"Pada 23 April kami lalui sebuah danau. Di sini saya suruh orang saya mengisi tempat air untuk sepuluh hari dan setelah siap semuanya kami pun masuk lautan pasir itu, turun naik bukit pasir yang kadang-kadang sampai 60 meter tingginya. Tidak lama datanglah taufan yan gmenghembus pasir halus itu ke mana-mana dengan kuat dan terpaksalah kami menutup mulut, hidung dan telinga dengan kain, supaya jangan penuh pasir.
"Pada pagi hari saya periksa keadaan air dan saya terkejut ketika saya ketahui bahwa penunjuk jalan yang saya suruh menyimpan air untuk sepuluh hari, tidak menjalankan kewajibannya, melainkan hanya membawa perbekalan air untuk dua hari saja, sebab katanya dalam dua tiga hari lagi, kita akan sampai pada sebuah danau atau sungai. Akan tetapi setelah dua tiga hari itu lewat, ternyata tidaklah ada harapan sedikit juga akan dapat air.
"Oleh sebab itu air minuman kami bagilah seteguk-seteguk seorang sekali minum. Pada 27 April dua ekor unta terpaksa saya tinggalkan dengan banyak barang yang sayaa rasa tidak begitu perlu.
"Keesokan harinya datang pula taufan yang sangat dahsyat, sehingga siang hari itu menjadi gelap, lantaran udara penuh pasir halus dan kami terkubur dalam pasir beserta unta semuanya; untunglah sesudah itu kami dapat mengeluarkan diri dari timbunan pasir itu. Akan tetapi air minum tinggal sepertiga liter lagi. pada waktu air yang penghabisan itu dibagi-bagi, ternyata bahwa rasa haus itu tidak dapat dipuaskan.
"Tidak lama sesudah itu kami minum minyak yang telah apik dan berbau busuk. Sudah dua hari kami tidak minum air dan pikiran kami sudah kabur. Badan saya makin kering rasanya. Ada kami bawa sebotol air keras untuk minyak pembakar. Saya minum juga segelas minyak itu, selebihnya saya tumpahkan ke atas pasir sebab sama rasanya dengan racun.
"Minuman yang berbahaya itu menghabiskan tenaga saya. Waktu kafilah unta saya itu berangkat, tak dapat saya ikut lagi dengan berjalan lurus, melainkan saya merangkak. Saya dengan genta unta-unta itu nyaring bunyinya di udara, makin lama makin jauh dan kemudian hilang lenyap. Di keliling saya pasir, semuanya diam, hening, pasir, pasir, pasir, tidak lain dari pasir dan tidak ada habisnya.
"Setelah saya terbangun dan sedar lagi, saya ikutilah jejak unta-unta saya sampai ke puncak bukit dan jauh di seberang laut pasir itu, tampaklah oleh saya kafilah unta itu. Unta-unta itu meniarap di pasir. Pengiring saya yang bernama Kasim duduk di tanah, tangannya menutup mukanya, barangkali dia sudah gila. Sebentar ia menangis, sebentar lagi ia tertawa. Pengiring saya yang lain berlutut di tanah dan membaca doa, minta kepada Tuhan supaya diberi pertolongan.
"Habis akal kami maka kami sembelihlah ayam dan minum darahnya, kemudian kami potong domba dan minum darahnya, tapi rasanya pahit sekali dan busuk. anjing pun tidak mau meminumnya. Pengiring saya menampung kencing unta dan diminumnya.
"Penunjuk jalan sudah menjadi gila dan memasukkan pasir ke dalam mulutnya, katanya itu air. Dia dan Muhamad Syah meninggal di tempat itu. Malamnya Islam Bai tidak kuat lagi jalan dan tinggal sehingga saya dengan Kasim saja lagi yang dapat meneruskan perjalanan mencari air. Kerongkongan saya sangat kering, sehingga coklat yang ada dalam saku saya tidak dapat saya makan lagi.
"Pukul dua belas. Di tengah-tengah padang pasir yang luas itu kami karam seperti di laut. Kami tinggalkan unta-unta dan anjing dan jalan berdua."
Pertanian
[sunting]75% dari rakyat Tiongkok bertani. Tiap-tiap telempap tanah di Tiongkok yang mencukupi syarat untuk ditanami, diusahakannya. Telah berabad-abad lamanya orang Tionghoa mengadakan pengairan secara besar-besaran dan menyelenggarakan sawah mereka dengan hemat dan teliti. Malangnya kebanyakan dari pertanian ini kecil sekali. Luasnya milik seseorang biasanya kurang dari 1½ ha dan seluruh keluarga mesti bekerja pukul rata dua belas jam sehari untuk dapat hidup.
Kebanyakan keluarga petani itu, rata-rata 5 orang jumlahnya, hanya berpendapatan dua ratus rupiah setahun. Seorang tani yang mempunyai tanah 6 hectare sudah terhitung kaya. Kebanyakan dari tanah yang luasnya beratus hectare adalah kepunyaan tuan-tuan tanah yang mempersewakan tanahnya kepada tani miskin dengan cara lintah-darat. Di zaman sebelum ada Republik Rakyat Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung, penjualan hasil-bumi di pasar biasanya di tangan kaum tengkulak yang kejam. Kalau tani penyewa dan berhak mempunyai bagian panen, maka penjualan itu berlaku dengan perantaraan tuan-tanah atau paduka tuan bangsawan yang empunya tanah itu. Jumlah luas tanah yang diusahakan tidaklah begitu besar kalau dibandingkan dengan penduduk yang banyak itu. Pukul rata 390 orang harus hidup dari hasil satu km² tanah yang diusahakan.
Hasil per ha 25% kurangnya dari di Amerika. Perhubungan lalu-lintas di negeri ini masih jelek, tani masih memakai cara-cara dan alat-alat yang terkebelakang. Lagipula benih dan pupuk umumnya buruk kwaliteitnya. Oleh karena serba kurang itu, kaum tani Tionghoa miskin. Kalau hujan terlampau banyak turun, dan air bah datang, maka datanglah bahaya kelaparan.
Di zaman sebelum ada Republik Rakyat pajak dan sewa-tanah sangat tinggi dan tuan-tuan tanah bengis dan kejam sekali tabiatnya terhadap orang miskin, lelaki dan perempuan. Banyak sekali penyewa tanah yang menjadi korban lintah darat yang meminta bunga amat tinggi.
Petani Tionghoa tidak cukup menghasilkan makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bahan makanan harus banyak dimasukkan, terutama beras, dari Viet Nam, Siam dan Burma, gandum dari Amerika dan Kanada, dan ikan dari Daerah Selatan. Susunan pertanian Tionghoa, sampai ada pemrintah R.R.T., sifatnya masih feodal, sedang teknik dan caranya bertani masih primitif.
Dalam tahun-tahun yang baik, produksi padi adalah berjumlah kira-kira 58.000.000 ton, atau 30% dari produksi padi sedunia. Pun panen kapas besar sekali, kira-kira sama dengan India, dan kalau tahunnya baik kira-kira 20% dari produksi Amerika. Tanaman gandum banyak, hampir menyamai Amerika. Produksi jelai berjumlah kira-kira 33% dari panen gandum. Tanaman jagung (terutama untuk makanan hewan) dan tebu adalah 6% dan 1.9%, produksi kacang kedelai berjumlah 16% dari produksi sedunia. Bersama-sama dengan produksi di Mancuria, Tiongkok adalah produsen yang terbesar dari kacang kedelai ini (54%), yang penting sekali artinya bagi perlengkapan makanan, pupuk buatan dan bahan peledak. Produksi tembakau lebih dari penghasilan India. Hasil tanaman teh jauh lebih banyak dari hasil kebon teh di India dan Ceylon. Sebagian besar dari produksi teh dipakai dalam negeri. Teh adalah minuman rakyat seperti kopi di Indonesia.
Dahulu Tiongkok mempunyai monopoli dunia dalam penghasilan sutera. Pada waktu ini, meskipun pembuatan sutera itu masih penting juga, produksinya hanya 10% dari Jepang.[2] Produksi bulu domba besar juga yaitu 60.000 ton, dan Tiongkok adalah produsen yang penting dari cemara (rambut manusia). Pohon-pohon yang menghasilkan minyak banyak ditanam dan minyaknya dikirim ke luar negeri.
Yang penting di antara buah-buahan adalah jenis pruim yang dinamakan lici dan longan, jenis appel, nenas, kelapa, dan pisang. Tanaman jahe juga penting dan begitu pula kacang tanah.
Kalau kita melawat dari Kanton pergi ke arah utara melalui bukit-bukit dan pegunungan Tiongkok Selatan, maka kita akan tiba di lempah Yangtsekiang. Yangtsekiang berasal dari Tiongkok Barat yang bergunung-gunung. Mulai dari Tiongkok Tengah sampai ke pantai, kali ini menyebarkan tanah liat yang subur. Lereng-lereng bukit di daerah ini yang dulu ditumbuhi oleh hutan belantara, digundulkan oleh petani-petani Tiongkok. Akibatnya ialah kikis-tanah.
Agak jauh kita pergi ke utara sedikit, kita lewati pegunungan Tsinling, watas antara daerah perairan Yangtse dan Hwangho, maka terdapatlah dataran tinggi Tiongkok Utara. Di sepanjang Kali Kuning tampaklah dataran yang tidak berpohon, dataran-tinggi, yang ditimbuni oleh loess, yaitu seperti telah diceritakan terdahulu, dibawa oleh angin dari gurun Asiat Tengah. Kali-kali menghayutkan loess itu dan melahirkan dataran yang luas-luas. Yang dahulunya laut sekarang menjadi tanah daratan dan di sini petani-petani Tionghoa bekerja 14 jam sehari untuk mencari nafkahnya. Shantung yang dahulunya di zaman bahari-bumi adalah sebuah pulau, sekarang telah menjadi semenanjung.
Lebih ke utara lagi, kita melewati tembok Tiongkok yang 3000 km panjangnya, didirikan dalam abad ke-3 sebelum Masehi, mulai dari pantai sampai ia menghilang di gurun Monggoli-Dalam; sayup-sayup mata memandang ia melintasi sebelah barat pegunungan Richthofen.
Dari selatan ke utara dari timur ke barat kita jalani Tiongkok untuk mengetahui negeri dan rakyatnya, maka benarlah kira-kira 75% dari rakyat adalah petani: 375 miliun orang Tionghoa bersaungkutpaut dengan perusahaan tanah. 30% dari tani itu tanahnya kurang dari ½ ha dan yang selebihnya tidak mempunyai tanah, dan harus menyewanya dari tuan-tuan tanah.
Tiongkok adalah negeri padi yang pertama di dunia; untuk gandum, jelai, teh, dan tembakau negeri yang kedua, untuk jagung dan kapas negeri yang ketiga.
Seperti juga di Jepang, peternakan di Tiongkok tidaklah begitu penting. Petani Tionghoa jarang sekali memakan daging dan lemak hewan. Dibandingkan jumlah hewan dan penduduk, maka rata-rata 100 orang penduduk mempunyai 5 ekor sapi, 13 ekor babi dan 4 ekor domba. Hewan biasanya dipakai untuk mengangkut barang dan untuk mendapat pupuk.
Pertanian di Tiongkok itu menjadi mata-penghidupan penduduk sejak zaman purbakala. Orang yang bekerja di pertanian itu sangat banyak. Milik tanah itu terpecah-pecah hingga kadang-kadang menjadi bidang-bidang tanah sekecil-kecilnya. Pertanian di tanah-tanah yang hampir kehabisan zat-zat penghidupan tanaman-tanaman itu, memaksa mereka bertanam memakai pupuk.
Peternakan amat kurang, jika ada amatlah kurang penyelenggaraannya. Adapun sebabnya ialah:
- amat banyak tenaga yang dipergunakan untuk memelihara perhumaan sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengerjakan peternakan yang sungguh-sungguh; orang yang turut makan hasil pertanian amat banyaknya; segala usaha harus dipusatkan pada usaha menghasilkan hasil padi, kacang, gandum, sayur dsb, sehingga tak [ada] kesempatan lagi untuk usaha memperoleh makanan daging.
- di daerah itu tidak cukup rumput; peternakan mereka hanya terbatas pada binatang-binatang yang mudah pemeliharaannya (kerbau, babi, ternak bersayap); karena kurangnya pupuk tahi binatang, mereka mempergunakan pupuk kotoran manusia. Binatang unta, kuda, kerbau, sapi gunanya untuk penarik pedati, bukan untuk dimakan.
Orang Tionghoa itu terkenal sebagai tani yang rajin dan hemat-cermat sekali, perkebonannya sangat terpelihara. Pekerjaan itu dilakukannya dengan tangan, tidak memakai mesin. Ia merasa sudah memadai, jika ia bekerja dengan perkakas-perkakas tani yang amat bersahaja; bibit ditanamnya, ditimbuninya dengan pupuk, bukan ditaburkan.
Ia tidak mengenal payah, mencurahkan segala tenaganya lebih dari mesin. Dalam segala pekerjaan itu diikutinya jejak nenek moyangnya, terutama yang mengenai perairan. Walaupun serajin dan sehemat itu si tani bekerja, hasilnya tidak juga mencukupi.
Meskipun petani itu amat rajin bekerja, meskipun sangat banyak pula pekerja yang tersedia untuk pertanian, hasilnya tidaklah seimbang dengan usaha yang dicurahkannya (19 kwintal se-ha, di Indonesia 20 kw, di Jepang 30 kw); adapun sebabnya ialah, karena tekniknya dan pupuknya kurang dan akhirnya karena mereka itu miskin (sewa tanah terlampau tinggi).
Inilah keadaan yang menyebabkan mudahnya berjalan pembrontakan kaum tani terhadap pemerintah Tsyiang Kai Syek. hasil pertanian mereka itu tidak dapat senantiasa memenuhi kebutuhan di dalam negeri, tak dapat pula dijadikan mata perniagaan, karena buruk jenisnya; lain daripada itu jumlah produksinya pun kurang. Kapasnya kasar, pemeliharaan sutera dan pemungutan daun teh tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan.
Sebab itu dari negeri Tiongkok yang sudah pula kebanyakan penduduk itu, apabila dilihat nasibnya, tidaklah mengherankan mengapa banyak orang yang merantau. Orang Tionghoa yang melarat itu mudah benar meninggalkan kampung halamannya untuk mencari uang dan pulang lagi kelak ke negerinya; apabila ia merantau ke Mancuria, di sana ia menetap menjadi orang tani (jumlah kaum perantau ke sana ada 30 juta orang), tetapi di Indonesia dan lain-lain tempat di dunia ia terutama berkuli atau menjadi saudagar dan di atntaranya banyak juga yang kaya-raya.
Kaum perantau itu tingkatan kehidupannya pada mulanya rendah, hingga mereka merasa puaslah dengan upah yang rendah-rendah. Berhubung dengan itu , di negeri-negeri Amerika Serikat, Canada, Australia diadakan oleh pemerintah negara-negara tersebut, undah-undang yang melarang pekerja Tionghoa menetap di negeri-negeri itu.
Orang Tionghoa tahan hidup di segala iklim sebab bagian yang terbesar dari Tiongkok terletak di daerah iklim-sedang di sebelah utara, dan sebagian kecil di sebelah selatan beriklim tropika, sedang penduduk di Tiongkok Utara biasa hidup di iklim dingin yang ganas. Di Tiongkok Utara turun hujan sedikit, istimewa dalam musim panas. Pada umumnya mereka tahan iklim yang bersamaan dengan iklim Amerika Serikat bagian utara, sebab menurut letak lintangnya sama letaknya dnegan daerah Lautan Tengah dan Amerika Serikat.
Di daerah yang gundul di padang-padang pasir tidak ada pohon-pohonan dan rerumput sedikit jua pun. Di sini sering terjadi topan pasir.
Ada empat daerah-pertanian, semuanya di dalam daerah pengaliran kali-kali besar itu.
- Di sebelah utara; lembah Kali Kuning; inilah bagian Tiongkok yang tua sekali dan tempat kelahiran peradaban Tiongkok.
- Lembah Yangtsekiang, daerah yang paling kaya dan subur dari seluruh Tiongkok; pusat penanaman kapas, sutera dan padi. Terutama yang menarik perhatian sekali ialah daerah di dekat nanking dan Syanghai, di dekat pantai; sebab penduduknya rapat sekali dan pusat yang terpenting dari ekrajinan dan perniagaan.
- Di sebelah selatan yang rapat pula penduduknya distrik kanton yang berbukit; kali-kali banyak di sini; di lembah-lembahnya ditanami orang tanam-tanaman sub-tropika seperti: teh, padi dan buah-buahan.
- 'Lembah Merah' di propinsi Szecwan; pusat penanaman sutera, kapas dan padi. Pemerintah pada waktu ini mendirikan kperasi untuk menyokong perkembangan industri dan pertanian. Szecwan tidak pernah diduduki oleh orang Jepang.
Daerah pertanian yang mepat ini adalah pusat hidup ekonomi rakyat Tiongkok, sedang daerah batas Mancukwo, di waktu belakangan ini pesat sekali majunya tentang industri.
Menurut dongeng lama dari bangsa Tionghoa beribu-ribu tahun yang lewat ada seorang raja Tionghoa bernama Syen-Nung yang pandai bercocoktanam dan raja itulah [yang] mengajarkan rakyatnya bagaimana mengusahakan, tanah, menyemai padi dan memungut hasil tanah. Akibat pelajaran itu besar sekali. Bangsa Tionghoa asli itu tidak lagi hidup bertualang, melainkan menetap di tepi-tepi sungai, berkampung berkorong, dan menjadi bangsa tani terutama di dataran sungai Hwangho.
Pada zaman itu tani Tionghoa telah mengetahui, bahwa tanam-tanman itu menghabiskan zat-zat tanah untuk menghasilkan buah-buahannya, dan oleh karena itu perlu tanah itu setiap tahun dipupuk. Pupuk itu diambil dari segala barng yang dibuang oleh hewan dan manusia, sampah-sampah yang membusuk dan bangkai-bangkai. Segala itu dihancurkannya dnegna api dan abunya disebarkannya di atas ladang. Syen-Nung mengajar rakyat mengadakan pengarian (irigasi) dengan membuat kincir-kincir air dan saluran-saluran. Berkat ajaran raja itu senang dan makmurlah rakyat, sehingga makin lama jumlahnya bertambah juga.
Mereka makin perlu akan tanah peladangan dan ada yang boyong ke selatan sampai ke tepi sungai Yangtsekiang. Oleh sebab rakyat makin lama makin besar jumlahnya dan tempat kediamannya makin jauh dari pusat, perlulah ada pemerintahan negeri yang teratur, perlu pegawai-pegawai dan undang-undang.
Pemimpin baru timbul sesudah Syen-Nung, yang bergelar Huang-Ti (Kaisar Kuning), dialah yang menyatukan bangsa Tionghoa, dan membuat jalan-jalna untuk memperhubungkan seluruh Tiongkok dan mengajar rakyat membuat kapal. Raja itulah yang termashur di zaman itu karena memajukan peradaban Tionghoa. 2700 tahun yang lewat.
Industri, Pelikan dan Lalu Lintas
[sunting]Adat Istiadat Sebelum dan Sesudah Revolusi
[sunting]Hal Pemerintah
[sunting]Bahsa dan Pustaka
[sunting]Falsafah dan Kesenian
[sunting]Dinamika Penduduk Tionghoa
[sunting]Sejarah Tiongkok
[sunting]Bentuk Hidup Republik Rakyat
[sunting]Kata Penutup
[sunting]- ↑ Lihat artikel tentang buku peta Geografi oleh Ptolemaus.
- ↑ Saat ini produsen sutra terbesar masih Tiongkok. Jepang tidak masuk 8 besar https://www.worldatlas.com/articles/world-leaders-in-silk-production.html