Ampo
Ampo,[1] napal,[2] atau nampal[3] adalah makanan atau camilan tradisional yang terbuat dari tanah liat yang berasal dari Jawa Tengah[4] dan Jawa Timur, terutama wilayah Tuban. Bahan dasar makanan ini murni terbuat dari tanah liat tanpa ada campuran bahan apapun.[4] Ampo biasanya dikonsumsi sebagai makanan ringan atau camilan, terutama digemari oleh kalangan wanita yang sedang hamil. Efek buruk dari kebiasaan makan ampo adalah dapat membuat seseorang sering merasa mengantuk dan tertidur dengan sendirinya.[5] Kebiasaan makan lempung ini disebut juga dengan geofagi, dilakukan oleh beberapa masyarakat di belahan dunia, biasanya dimiliki oleh orang yang tinggal di daerah tropis dan hangat. Kebiasaan ini banyak dimiliki oleh masyarakat dari berbagai negara di dunia, meski sebagian besar negara yang memiliki kebiasaan memakan tanah liat ini tidak pernah mengakuinya.[6][7]
Dampak kesehatan
[sunting | sunting sumber]Mitos
[sunting | sunting sumber]Makanan dari tanah liat yang diberi nama "Ampo" ini sudah menjadi makanan tradisional yang dipercaya oleh masyarakat di Pulau Jawa, terutama masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipercaya dapat menguatkan sistem pencernaan. Bahkan memakan tanah liat juga dipercaya sebagai obat yang dapat mengobati beberapa macam penyakit.[8][9]
Keuntungan
[sunting | sunting sumber]Sebuah studi menyebutkan bahwa ternyata tanah liat atau lempung yang steril tersebut memiliki efek menyamankan perut dan membantu melindungi dari serangan virus dan bakteri.[7][10][11] Tanah liat juga bisa mengikat hal yang berbahaya seperti mikrob, patogen dan virus. Sehingga lempung yang dimakan itu bisa menjadi semacam pelindung, semacam masker lumpur untuk usus.[6][7]
Kerugian
[sunting | sunting sumber]Ada risiko yang jelas dalam konsumsi tanah liat yang terkontaminasi oleh kotoran hewan atau manusia, khususnya risiko dari telur parasit, seperti cacing gelang yang dapat tinggal selama bertahun-tahun di dalam tanah dan dapat menimbulkan masalah. Juga dapat meningkatkan risiko terjangkit Tetanus. Namun, risiko ini umumnya sudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat atau suku yang mengonsumsi tanah liat. Kegemaran anak-anak untuk terlibat dalam mengonsumsi ampo membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi cacing. Bahaya lain yang terkait dengan mengonsumsi tanah liat mencakup kerusakan enamel gigi, menelan berbagai bakteri, berbagai bentuk pencemaran tanah, dan obstruksi usus. Namun proses pengolahan tanah liat yang cukup bagus dengan cara memasak atau dipanggang dapat mengurangi risiko tersebut.[12]
Cara Pembuatan
[sunting | sunting sumber]Cara membuat Ampo sangat sederhana dan mudah. Namun, tanah yang digunakan sebagai bahan baku membuat ampo tidak bisa sembarangan, melainkan harus berjenis tanah liat yang bertekstur lembut dan bebas dari pasir, kerikil, atau batu.[13]
Dari tanah yang sudah dikumpulkan, pembuat kemudian membentuk semacam adonan berbentuk kotak atau bentuk tertentu lainnya dengan menambahkan air secukupnya agar adonan tanah menjadi kalis dengan ciri tidak lengket di tangan. Untuk membuat adonan kotak tersebut, tanah ditambah air sedikit demi sedikit sambil sesekali ditumbuk dengan alat semacam palu besar dari kayu. Setelah adonan kotak siap, proses berikutnya adalah mengikis atau menyerut tanah di bagian atas adonan sedikit demi sedikit dengan menggunakan bilah pisau bambu. Hasil serutan tanah yang berbentuk seperti stik wafer dengan panjang 6–8 cm itu yang disebut ampo. Ampo kemudian dikumpulkan dan ditempatkan pada semacam periuk gerabah tanah liat untuk diasapi di atas tungku kayu bakar.[13]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Arti kata Ampo". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. KBBI Daring. Diakses tanggal 31 Januari 2024.
- ^ "Arti kata napal". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. KBBI Daring. Diakses tanggal 31 Januari 2024.
- ^ "Arti kata nampal". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. KBBI Daring. Diakses tanggal 31 Januari 2024.
- ^ a b Ampo, Camilan dari Tanah Liat. indosiar.com Diarsipkan 2014-08-31 di Wayback Machine.
- ^ Peter Abrahams, Human Geophagy: A Review of Its Distribution, Causes, and Implications. in H. Catherine W. Skinner, Antony R. Berger, Geology and health: closing the gap. Oxford University Press US, 2003, p. 33. ISBN 0-19-516204-8
- ^ a b Sera Young dari Cornell University, New York, AS, yang meneliti mengenai geophagy.
- ^ a b c (Indonesia) NEWS & FEATURES / HEALTH CONCERN - ARTIKEL - Kompas.com "Makan Tanah Liat Baik untuk Pencernaan?". Diakses tanggal 22-08-2013.
- ^ Unik Aneh. Ampo, Makanan Khas Tuban yang Terbuat dari Tanah Liat Diarsipkan 2014-10-11 di Archive.is
- ^ (Indonesia)"unik aneh - Inilah Satu-Satunya Suku yang Memakan Tanah Liat Panggang". Diakses tanggal 2013-08-22.
- ^ Makan Tanah Itu Liat Baik www.kopimaya.com
- ^ (Indonesia)Kompasiana - "Ampo, Tanah Liat Panggang Penguat Sistem Pencernaan". Diakses tanggal 22-08-2013. [pranala nonaktif permanen]
- ^ Henry dan Kwong, "Why is geophagy treated like dirt?", halaman 355
- ^ a b Jelajah Nesia. 2012. Camilan Ampo Dari Tanah Liat di Tuban