Lompat ke isi

Narakasura

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi dari kitab Bhagawatapurana yang menggambarkan adegan Kresna dan Satyabama menyerang pasukan Narakasura.

Asura Naraka (Sanskerta: नरकासुर; Narakāsura) adalah tokoh dalam mitologi Hindu yang dikisahkan sebagai raja raksasa dari Kerajaan Pragjyotisha atau yang pada masa sekarang dikenal sebagai daerah Assam, di India Timur. Tokoh ini merupakan putra dari Pertiwi sehingga ia juga dikenal dengan sebutan Boma (Sanskerta: भौमासुर; Bhaumāsura), yang bermakna "anak Bumi".

Ayah dari Naraka adalah Waraha, salah satu awatara Wisnu saat menolong bumi dari bencana yang disebabkan oleh Hiranyaksa. Akan tetapi karena kejahatannya, Naraka kemudian tewas di tangan awatara Wisnu lainnya, yaitu Sri Kresna.

Selain dalam Bhagawatapurana, kisah kematian Naraka juga terdapat dalam karya sastra Jawa Kuno berjudul Kakawin Bhomakawya, yang ditulis pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Pada zaman selanjutnya, Naraka ditampilkan sebagai tokoh pewayangan dengan nama Boma Narakasura.

Versi Bhagawatapurana

[sunting | sunting sumber]

Beberapa sumber dari India menyebut Naraka sebagai putra Pertiwi (perwujudan dewi bumi) dengan Waraha, salah satu awatara Wisnu. Wisnu menjelma sebagai Waraha (babi hutan) untuk menolong Bumi yang ditenggelamkan Hiranyaksa ke dalam suatu lautan kosmik. Dengan menggunakan kedua taringnya, Waraha berhasil mengembalikan Bumi ke dalam orbitnya, serta membunuh Hiranyaksa.

Setelah peristiwa tersebut, Waraha menikahi Pertiwi (perwujudan Bumi). Dari perkawinan itu lahir Naraka yang berwujud asura. Ditinjau dari wujudnya, muncul pendapat lain bahwa Naraka bukan putra Wisnu, melainkan putra Waraha.

Kitab Bhagawatapurana mengisahkan Naraka memerintah Kerajaan Pragjyotisha dengan kejam. Ia mengalahkan banyak raja serta menawan putri-putri mereka, bahkan para dewa pun diserangnya. Karena merasa resah, Indra raja kahyangan melaporkan kejadian tersebut kepada Sri Kresna. Kresna berhasil menewaskan Naraka dengan menggunakan senjata Cakra Sudarsana. Setelah itu ia pun membebaskan para raja dan putri yang ditawan oleh asura tersebut.

Kresna kemudian mengangkat putera Naraka yang bernama Bhagadatta untuk menjadi raja Pragjyotisha selanjutnya. Tokoh Bhagadatta ini kemudian memihak Korawa saat meletus perang besar di Kurukshetra. Ia akhirnya tewas di tangan Arjuna pada hari ke-12.

Versi Bhomakawya

[sunting | sunting sumber]

Kisah kematian Naraka dalam naskah Bhagawatapurana disadur dan dimodifikasi oleh pujangga Jawa dengan judul Bhomakawya, atau "Kematian Boma". Naskah ini menggunakan bahasa Jawa Kuno dan ditulis pada zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa.

Naraka atau Boma dikisahkan sebagai raja kejam dari Kerajaan Pragjyotisha yang suka mengganggu para pertapa. Ia memiliki seorang istri cantik bernama Yadnyawati, reinkarnasi seorang bidadari kahyangan. Perkawinan keduanya kurang harmonis karena Yadnyawati selalu berusaha menghindari suaminya itu.

Kresna raja Kerajaan Dwarawati mengirim putra sulungnya yang bernama Samba untuk melindungi para pertapa dari serangan para prajurit Boma. Dengan bantuan seorang bidadari bernama Tilottama, Samba berhasil menyusup ke dalam istana Pragjyotisha dan menemui Yadnyawati.

Kisah selanjutnya ialah Boma menyerang Kerajaan Dwarawati karena Samba telah membawa lari Yadnyawati. Dalam suatu pertempuran Boma berhasil menewaskan Samba. Namun ia sendiri akhirnya tewas di tangan Kresna.

Setelah perang berakhir, Kresna menghidupkan Samba kembali. Samba kemudian menikahi Yadnyawati dan keduanya hidup bahagia.

Versi Pewayangan Jawa

[sunting | sunting sumber]

Tokoh Naraka juga dikenal dalam pewayangan Jawa sebagai Boma Narakasura, yaitu putra Batara Wisnu dengan Batari Pertiwi. Ia dilahirkan di Kahyangan Ekapratala tempat tinggal Batara Ekawarna, kakeknya dari pihak ibu. Menurut versi ini, nama kecil Boma adalah Sitija. Ia memiliki adik perempuan bernama Sitisundari yang kelak menjadi istri Abimanyu putra Arjuna dari keluarga Pandawa.

Setelah dewasa, Sitija diminta para dewa untuk mengalahkan pamannya sendiri, yaitu Bomantara yang berani menyerang kahyangan. Dalam pertempuran tersebut Sitija berhasil membunuh Bomantara. Roh Bomantara kemudian bersatu dalam diri Sitija sehingga menambah kekuatannya.

Setelah kematian Bomantara, Sitija pun menjadi raja Kerajaan Surateleng bergelar Boma Narakasura. Ia mengganti nama negeri peninggalan pamannya itu menjadi Trajutrisna. Selanjutnya, Boma mendengar bahwa ayahnya, yaitu Wisnu, telah terlahir ke dunia sebagai manusia bernama Kresna raja Kerajaan Dwarawati. Setelah melalui perjuangan berat, Boma akhirnya mendapat pengakuan sebagai putra sulung Kresna.

Boma dalam pewayangan dilukiskan sebagai sosok antagonis yang sering terlibat persaingan dengan Gatutkaca putra Bimasena dari keluarga Pandawa. Meskipun demikian kematiannya tetap dikisahkan oleh tangan Kresna, "ayahnya" sendiri.

Kematian Boma dalam pewayangan diadaptasi dari Kakawin Bhomakawya oleh para dalang, terutama Ki Narto Sabdo, tetapi dengan sedikit modifikasi sehingga lebih terkesan dramatis. Peristiwa tersebut dinamakan Gojalisuta atau perang antara ayah melawan anak.

Dalam versi Jawa istri Boma disebut dengan nama Agnyanawati, putri Karentagnyana raja Kerajaan Giyantipura. Ia hanya mau melayani Boma asalkan dibuatkan jalan raya lurus tanpa berbelok dari Trajutrisna menuju Giyantipura. Boma merasa bimbang karena jalan tersebut pasti menerobos bukit Gandamadana, tempat leluhur Kresna dimakamkan.

Atas pertimbangan ibunya, Boma akhirnya memutuskan untuk menolak permintaan Agnyanawati, bahkan ia bersedia menceraikan istrinya itu. Ternyata Agnyanawati telah dilarikan oleh Samba, putra Kresna yang lahir dari Jembawati. Namun Boma merelakannya, bahkan ia berencana untuk menikahkan keduanya.

Kresna di Dwarawati marah atas perilaku Samba yang berselingkuh dengan kakak iparnya sendiri. Utusan Boma bernama Pancadnyana kemudian datang meminta kepada Kresna supaya menyerahkan Samba dan Agnyanawati untuk dinikahkan di Trajutrisna. Kresna merestui dan menyerahkan pasangan tersebut. Namun di tengah jalan Arjuna muncul merebut Samba dan Agnyanawati karena mencurigai keputusan Boma. Arjuna juga melukai Pancadnyana dan ia mengirim surat tantangan kepada Boma supaya merebut Samba dan Agnyanawati melalui pertempuran.

Boma marah membaca surat tantangan Arjuna. Ia pun memimpin pasukan menyerbu Kerajaan Dwarawati. Perang besar terjadi. Boma semakin marah karena dihasut kendaraannya yang berwujud burung raksasa bernama Wilmana. Dengan kejam, Boma membunuh Samba dan Agnyanawati serta memotong-motong tubuh mereka.

Dalam pertempuran selanjutnya, Arjuna akhirnya mundur setelah dipermalukan di depan umum karena pakaiannya robek setelah diserang Wilmana, kendaraan Boma. Boma kemudian terlibat pertempuran sengit melawan Gatutkaca yang memihak Dwarawati.

Kresna muncul dan menyesali terjadinya perang. Ia pun melepaskan senjata Cakra Sudarsana ke angkasa agar para prajurit yang sedang berperang mengetahui kehadirannya dan segera menghentikan pertempuran. Namun peristiwa itu justru menyebabkan Boma mengalami kecelakaan fatal ketika hendak mendarat. Burung Wilmana yang dikendarainya silau melihat kilauan cahaya Cakra Sudarsana sehingga terbang tak terkendali dan akhirnya menabrak senjata tersebut. Akibatnya, Wilmana sekaligus Boma sama-sama tewas dengan tubuh hancur.

Berbeda dengan Bhomakawya, dalam versi ini Kresna tidak menghidupkan Samba kembali. Ia merelakan kedua putranya tersebut tewas sebagai korban Perang Gojalisuta.

Keturunan

[sunting | sunting sumber]

Bomanarakasura dalam pewayangan jawa, khususnya Gagrak Mataraman' memiliki seorang anak yang bernama Kismaka. Kismaka sendiri adalah buah hasil perkawinannya dengan Hagnyanawati atau Mustikawati menurut pedalangan yogyakarta sebagai nama lain Hagnyanawati.

Diceritakan' Kismaka yang telah beranjak dewasa dan menjadi raja di Trajutrisna, berkehendak untuk membalas dendam kematian ayahandanya dengan bergabung menjadi senapati perang Hastinapura dalam Baratayuda, Ia berniat menghukum Kresna yang terhitung kakek kandungnya sendiri atas tewasnya Bomanarakasura dalam tragedi gojalisuta. Namun, ketika ia bersama bala pasukannya hendak menangkap Kresna dan menghukumnya, Bhima yang melihat kedatangan Kismaka' langsung menggelindingkan senjata gadanya ke arah Kismaka dan bala pasukannya.

Seketika Kismaka dan bala pasukannya tewas terlindas gada milik Bhima yang menggelinding ke arah mereka. Kisah menegangkan ini bisa disimak dalam lakon wayang kulit "Gathutkaca Gugur".