Lompat ke isi

Kode etik jurnalistik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.[1] Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik.[2] Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.[2]

Pengertian

[sunting | sunting sumber]

Ditinjau dari segi bahasa, kode etik berasal dari dua bahasa, yaitu “kode” berasal dari bahasa Inggris “code” yang berarti sandi, pengertian dasarnya adalah ketentuan atau petunjuk yang sistematis.[3] Sedangkan “etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak atau moral.[3] Dari pengertian itu, kemudian dewasa ini kode etik secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan atau kumpulan etika.[4]

Di Indonesia terdapat banyak Kode Etik Jurnalistik.[2] Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya organisasi wartawan di Indonesia, untuk itu kode etik juga berbagai macam, antara lain Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (KEJ-AJI), Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia, dan lainnya.[2]

Sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Sejarah perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan pers di Indonesia.[4] Jika diurutkan, maka sejarah pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia terbagi dalam lima periode.[4] Berikut kelima periode tersebut:[4]

1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik

Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.[4] Meski baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru.[4] Berhubung masih baru, pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat menerbitkan atau memberikan informasi kepada masyarakat pada era kemerdekaan, maka belum terpikir soal pembuatan Kode Etik Jurnalistik.[4] Akibatnya, pada periode ini pers berjalan tanpa kode etik.[4]

2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1

Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, tapi ketika organisasi ini lahir pun belum memiliki kode etik.[4] Saat itu baru ada semacam konvensi yang ditungakan dalam satu kalimat, inti kalimat tersebut adalah PWI mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun kemudian, pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI yang pertama.[4]

3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI

Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya.[4] Walaupun dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik Jurnalistik PWI hanya berlaku bagi anggota PWI sendiri, padahal organisai wartawan lain juga memerlukan Kode Etik Jurnalistik.[4] Berdasarkan pemikiran itulah Dewan Pers membuat dan mengeluarkan pula Kode Etik Jurnalistik.[4] Waktu itu Dewan Pers membentuk sebuah panitia yang terdiri dari tujuh orang, yaitu Mochtar Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey, Soendoro, Wonohito, L.E Manuhua dan A. Aziz.[4] Setelah selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boediarjo dan T. Sjahril, dan disahkan pada 30 September 1968.[4] Dengan demikian, waktu itu terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik.[4] Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang menjadi anggota PWI, sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers berlaku untuk non PWI.[4]

4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2

Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan.[4] Menurut pasal 4 Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai wartawan, ditegaskan, wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan pemerintah.[4] Namun, waktu itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah.[4] Baru pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia.[4] Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut, maka secara otomatis Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah milik PWI.[4]

5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik

Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi, paradigma dan tatanan dunia pers pun ikut berubah.[4] Pada tahun 1999, lahir Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang ini membebaskan wartawan dalam memilih organisasinya.[4] Dengan Undang-Undang ini, munculah berbagai organisasi wartawan baru.[4] Akibatnya, dengan berlakunya ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak.[4] Pada tanggal 6 Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000.[4] Kemudian pada 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.[4]

Kode Etik Jurnalistik

[sunting | sunting sumber]

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.[1]

Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan, bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan.[4] M. Alwi Dahlan sangat menekankan betapa pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan.[5] Menurutnya, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu:[5]

a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;

b. Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang profesional;

c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;

d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;

e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber

Asas Kode Etik Jurnalistik

[sunting | sunting sumber]

Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:[4]

1. Asas Demokratis

Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik[4]

Asas demokratis ini juga tercermin dari pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional.[4] Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun.[4] Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional.[4]

2. Asas Profesionalitas

Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya.[4] Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual.[4] Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya.[4]

Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.[4]

3. Asas Moralitas

Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan.[4] Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi wartawan.[4] Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik.[4] Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat atau keliru.[4]

4. Asas Supremasi Hukum

Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku.[4] Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.[4] Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b "Kode Etik Jurnalistik PWI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-01. Diakses tanggal 2014-04-17. 
  2. ^ a b c d Tebba. Sudirman. 2005. Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia.
  3. ^ a b Bertens. K. 2005. Etika. Jakarta: Gramedia Pustakan Utama.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as Sukardi. Wina Armada. 2007. Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Jakarta: Dewan Pers.
  5. ^ a b Siregar. R.H. 2005. Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta: Dewan Kehormatan PWI.