Lompat ke isi

Kasein

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kasein mengacu pada komponen protein utama pada susu.[1] Protein ini mempunyai aplikasi yang luas, terutama dalam bidang industri keju.[2]

Struktur dan Senyawa

[sunting | sunting sumber]

Kasein merupakan golongan protein yang komposisinya mencapai 80% dari komposisi keseluruhan protein susu.[1] Protein kasein terbagi menjadi beberapa komponen, komponen yang umum dijumpai adalah αs1-kasein, αs2-kasein, β-kasein, dan κ-kasein.[1]

Protein kasein memiliki daerah hidrofobik dan hidrofilik yang bervariasi.[1] Kasein relatif tidak sensitif terhadap panas, dibutuhkan temperatur diatas 120 °C untuk merusak struktur kasein hingga menjadi tidak larut dalam air.[1] Di sisi lain, kasein cukup sensitif terhadap pH, maka itu protein kasein akan mengendap pada titik isoelektriknya.[1] Protein kasein mempunyai masa molekul sebesar 106 hingga 109 Dalton.[1] Kasein mampu menyebarkan cahaya. Oleh karena keberadaan kasein di dalam susu, susu berwarna putih.[1]

Protein kasein bersama dengan kalsium fosfat, dapat membentuk semacam partikel koloid yang terdispersi, yang disebut misel (micelles).[1] Karena protein kasein berupa suspensi, protein tersebut dapat dipisahkan dari campuran menggunakan sentrifugasi.[3] Setelah sentrifugasi, beberapa protein tertingal di dalam larutan. Protein yang larut di dalam supernatan tersebut disebut protein whey.[3]

Kasein mengandung asam beragam asam amino yang diperlukan mamalia muda untuk tumbuh.[1] Karena memiliki protein berkualitas tinggi seperti kasein, susu sapi dianggap sebagai salah satu makanan manusia yang paling penting.[3] Lebih jauh lagi, protein kasein terdesain untuk berikatan dengan kalsium fosfat, yang secara langsung mengendap pada lambung bayi baru lahir. Hal ini membuat protein tersebut mudah dicerna. Karena protein kasein dinilai mempunyai signifikansi yang besar terhadap kehidupan manusia, struktur kasein telah dipelajari secara menyeluruh, akan tetapi struktur pasti kasein masih diperdebatkan.[1]

Industri keju

[sunting | sunting sumber]
Endapan keju

Pembuatan keju merupakan salah satu bentuk bioteknologi tradisional.[2] Pada pembuatan keju, komponen protein diendapkan dan dipisahkan dari cairan whey.[2] Endapan susu yang terbentuk kemudian diasinkan, dibentuk, dan disimpan pada kondisi tertentu untuk mencapai kematangan.[2]

Untuk membantu mengendapkan kasein, rennet banyak digunakan.[2] Rennet mengandung enzim kimosin yang mampu memecah struktur kasein dan mengubah sifat protein tersebut dari hidrofilik, menjadi hidrofobik.[2] Perubahan sifat ini membuat protein kappa kasein mengendap, sehingga dapat dikumpulkan dan diolah menjadi keju.[2]

Secara tradisional, rennet diperoleh dari lambung sapi muda.[2] Dewasa ini, penggunaan bioteknologi modern telah memperbolehkan produksi enzim kimosin yang efisien dengan memanfaatkan mikroorganisme hasil rekayasa genetika.[2]

Pembuatan lem

[sunting | sunting sumber]

Penggunaan kasein sebagai bahan perekat telah dilaporkan dilakukan oleh berbagai pengrajin pada zaman Eropa kuno.[4] Mereka menggunakan endapan susu asam yang dicampur dengan kapur untuk menghasilkan bahan perekat.[4] Adapun kelebihan lem berbahan dasar kasein, yaitu mempunyai daya rekat yang cukup kuat, serta tahan air dan serangan cendawan.[4]

Suplemen protein

[sunting | sunting sumber]

Meskipun diketahui lebih lambat diserap dibanding protein whey, beberapa produsen suplemen protein tetap menambahkan kasein di dalam produknya. Hal ini didukung oleh kasein yang diketahui mampu memperlambat pemecahan sel otot.[5]

Industri roti

[sunting | sunting sumber]

Hidrolisat kasein, atau kasein yang telah diproses oleh enzim, mempunyai aplikasi dalam industri roti.[6] Hidrolisat tersebut diketahui dapat mempunyai fungsi emulsifikasi, pengikatan air, dan penciptaan busa dalam makanan.[6] Lebih jauh lagi, penambahan kasein yang dihidrolisis oleh asam telah dilaporkan mampu meningkatkan kualitas roti.[6]

Kasein dan autisme

[sunting | sunting sumber]

Diet bebas kasein dan gluten sebagai bentuk perawatan terhadap pengidap autisme telah menuai perdebatan.[7] Dasar teori diet tersebut adalah pada individu yang mengalami masalah gastrointestinal, seperti kebocoran pada dinding usus, komponen protein seperti kasein dapat menyusup kedalam peredaran darah.[7] Hal tersebut menyebabkan respon imun dan mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat yang menyebabkan gejala psiko-patologis dan penarikan sosial. Oleh karena itu, bedasarkan teori ini, pengidap autisme tidak disarankan untuk menkonsumsi makanan yang mengandung gluten atau kasein.[7]

Di sisi lain, teori ini masih belum diperkuat oleh studi klinis yang memadai.[7] Studi klinis yang sudah ada menunjukkan bahwa diet bebas kasein dan gluten tidak menunjukan efektivitas dalam pengobatan autisme.[7] Akan tetapi, karena jumlah sampel yang kecil dan indikasi adanya bias eksperimental, beberapa pakar menganggap bahwa studi mengenai pengaruh kasein terhadap autisme perlu diteliti lebih lanjut.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k Phadungath C (May 2004). "Casein micelle structure : a concise review" (PDF). Songklanakarin J. Sci. Tehnol. 27 (1): 201–12. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-12-28. 
  2. ^ a b c d e f g h i (Inggris) The University of Waikato (11 April 2014). "The science of cheese". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-10. Diakses tanggal 17 Apr 2014. 
  3. ^ a b c (Inggris) Department of Animal Sciences, University of Illinois at Urbana-Champaign. "Milk Composition Proteins". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-21. Diakses tanggal 17 Apr 2014.  line feed character di |title= pada posisi 17 (bantuan)
  4. ^ a b c (Inggris) U.S Department of Agriculture (1967). "Casein Glues: Their Manufacture, Preparation, and Application" (PDF). Diakses tanggal 17 Apr 2014. [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ (Inggris) Mike Greenwood, Douglas Kalman, Jose Antonio. Nutritional Supplements in Sports and Exercise. Springer. ISBN 9781597452311. 
  6. ^ a b c (Inggris)P. Crowley, C. O'Brien, H. Slattery, D. Chapman, E. Arendt, C. Stanton (August 2002), "Functional properties of casein hydrolysates in bakery applications", European Food Research and Technology, 215 (2): 131–7, doi:10.1007/s00217-002-0510-5 
  7. ^ a b c d e f (Inggris) Bernier RA, (2010). Autism Spectrum Disorders: A Reference Handbook. ABC-CLIO. ISBN 9781598843347.