Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia
Nama Anggota:
1. Aden Abduloh
2. Andrea A. H
3. Dita Yuwinda
4. Erina Devianti
6. Lisa Aurellia
7. Safira Amalia
Dewi Lestari, yang juga dikenal dengan nama pena Dee, lahir di Bandung, 20
Januari 1976. Sepanjang kiprahnya sebagai penulis sejak tahun 2001, Dee telah
memeperoleh berbagai penghargaan karya sastra dan semua bukunya selalu
menjadi bestseller. Beberapa bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Namun baginya, hadiah terbesar sebagai penulis ada ketika karyanya dapat
menyentuh, bahkan mengubah, hidup pembacanya.
Madre merupakan buku Dee yang ketujuh sekaligus kumpulan fiksi ketiganya
setelah Filosofi Kopi (2006) dan Rectoverso (2008). Ia tinggal di pinggir kota Jakarta
yang tenang bersama suami dan dua anaknya tercinta.
Madre yang menceritakan kisah hidup seorang bernama Tansen tiba-tiba
mendapat warisan dari orang yang sangat belum dia kenal. Bernama Tan Sie Gie,
orang yang mencantumkan namanya dalam daftar warisan di surat wasiatnya.
Seketika itu Tansen bingung karena merasa dimasukkan ke dalam cerita yang dia
tidak mengetahui sama sekali apa yang sedang terjadi.
Suatu hari, Tansen bersama seorang pengacara yang ditunjuk Pak Tan menuju
sebuah toko tua tanpa plang. Masuklah kedua orang itu dan di dalam disambut
oleh Pak Hadi, penjaga toko tua itu. Rupanya penjaga rumah itu sangat
menantikan sekali kedatngan Tansen ke tempat yang mati itu.
Sempat Tansen menolak dan ingin memberikan warisan yang menjadi hak nya
itu untuk diberikan kepada Pak Hadi. Namun seiring berjalannya waktu, saat Pak
Hadi menceritakan silsilah dah cerita asal muasal kenapa nama Tansen disebut
dalam surat wasiatnya. Namun pada akhirnya Tansen mau menerima harta
warisan itu dari pak Hadi. Dikeluarkannya amplop dan diberikan kepada Tansen.
Ternyata isi amplop itu adalah kunci untuk membuka brankas yang saat dibuka
berisi sebuah biang yang disebut Madre.
Sejak itu, kehidupan Tansen yang semula tak teratur, hidup bebas hari demi hari
mulai berubah. Pekerjaan yang ia geluti kini adalah untuk menghidupkan kembali
toko yang telah lama mati. Padahal dulu toko roti itu merupakan yang terlaris di
Jakarta. Mulai saat itu, Tansen mulai serius menggarap pekerjaan besarnya itu
sesuai dengan jiwa pemudanya hingga sukses dan berjaya seperti dulu kala.
Sebagaimana karya-karya Dewi Lestari ada pada isi dan bentuk ceritanya. Gaya
bercerita Dee yang pandai menciptakan cerita-cerita yang tidak begitu berat
untuk dibaca. Kekuatan antar kalimat yang mengalir ringan dan selalu membuat
penasaran namun tidak asalan, selalu ditunjukkan dari setiap karya-karya Dewi
Lestari. Dalam gaya bercerita yang sangat imajinatif, mengutamakan sesuatu
yang sangat luar biasa menjadi ciri khas Dewi Lestari. Konflik yang berat dibuat
ringan menurut gaya pemikiran Dewi Lestari.
Madre, memiliki tema yang bisa dikatakan lain. Dia mampu membuat cerita
yang mengangkat sesuatu yang ada dimasyarakat walaupun dari sesuatu yang
kecil menjadi karya yang bagus. Keseimbangan antara isi dan bentuk membuat
berbeda dengan yang biasa dijumpai dari pengarang-pengarang yang lain.
Selain itu gaya bahasa yang digunakan tidak monoton.
Batman
Batman tak pernah satu. Maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan
sejak Batman Begins (2005) sampai dengan The Dark Knight Rises (2012) berbeda jauh
dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun
1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan sebenarnya tak menampilkan sosok yang
sama, meskipun Christian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.
Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-
itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap
tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak
terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota
Gotham yang berbeda-beda.
Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tapi asal mula dalam posisinya
yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud
yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi
dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model. Yang ada adalah
simulacrum—yang masing-masing justru menegaskan yang-Beda dan yang-Banyak dari
dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa
dibandingkan. Mana yang “asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi.
Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berangkat ke masa depan.
Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang telah silam itu tentu saja baru ada
setelah ditemukan kembali. Tapi arkeologi, yang menggali dan menelaah
petilasan tua, perlu dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang
tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika kita tak merasa
terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreativitas lahir.
Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik Night on Earth karya Warren Ellis
dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah organisasi rahasia, menyebut diri
“archeologists of the impossible”.
Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari seorang anak yang bisa
membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia dengan remote
control menukar salurantelevisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan
ke kemungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak dalam pelbagai
penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane;
ada Batman yang muncul dari serial televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh
Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram
menakutkan dalam cerita bergambar Frank Miller. Dan semua itu terjadi di gang
tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang membuat si anak jadi
pelawan laku kriminal.
Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Tapi sintesis itu
berbeda dengan penyatuan. Ia tak menghasilkan identitas yang satu dan pasti. Dan
lebih penting lagi, sintesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang
baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk
selama-lamanya.
Sebab itu Kota Gotham dalam Night on Earth bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa
mengajarkan kepada kita tentang aneka perubahan yang tak bisa dielakkan dan
sering tak terduga. Ia bisa mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan
antara sesuatu yang “utuh” dan sesuatu yang kacau.
Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah “dunia terbaik
dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja
optimisme itu berlebihan. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang
kocak, Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi bermacam-
macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Joker dengan segala mala yang
diakibatkannya. Kesalahan Leibniz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Maha
Pemurah dan Pengasih—justru telah memandang Tuhan sebagai kekuasaan yang tak
murah hati: Tuhan yang hanya menganggap kehidupan kita sebagai yang terbaik, dan
dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.
Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah pengalaman yang seakan-akan
tak akan berubah. Padahal, seperti Kota Gotham dalam Night on Earth, dunia mirip ribuan
gambar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya.
Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, Thirteen Ways of Looking at a Blackbird. Salah
satu bait dari yang 13 itu mengatakan,
But I know, too,
That the blackbird is involved
In what I know
Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilakukan dengan lebih dari satu
cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan “yang aku ketahui”. Dan “yang
aku ketahui” tak pernah “aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—seperti halnya
Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bisa seketika disimpulkan.
Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tampak wujud dan
ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian,
wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari “yang aku ketahui”. Dunia di luarku
selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari pengalamanku—tafsir yang tak akan
bisa stabil sepanjang masa.
Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak
akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan
dan keambrukan. Itu sebabnya dalam The Dark Knight Rises, Inspektur Gordon tetap mau
menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian
bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim “aku tahu”.
N Kritik Esai
O
1.
Objek kajian adalah karya, Objek kajian dapat berupa karya
misalnya seni musik, sastra, tari, atau fenomena.
drama, film, pahat dan lukis.
Ada deskripsi karya, bila karya Tidak ada ringkasan atau sinopsis
2. berwujud buku deskripsinya karya.
berupa sinopsis atau novel.
Menyajikan data-data objektif. Tidak selalu membutuhkan data.
3.
Perbandingan Kritik dan Esai Berdasarkan Pandangan Penulisnya
NO Kritik Esai
. Penilaian terhadap karya Kajian dilakukan secara
1. dilakukan secara objektif subjektif, menurut pendapat
disertai data dan alasan yang pribadi penulis esai.
logis.
2. Dalam memberikan penilaian Jarang atau hampir tidak
seringkali menggunakan kajian pernah mencantumkan kajian
teori yang sudah mapan. teori.
3. Pembahasan terhadap karya Objek atau fenomena yang
secara utuh dan menyeluruh. dikaji tidak dibahas secara
menyeluruh, tetapi hanya
pada hal yang menarik
menurut pandangan
penulisnya. Meskipun
demikian, pembahasan
dilakukan secara utuh.
B. Menyusun Kritik dan Esai
Kritik sastra dan esai secara umum memiliki struktur yang sama, yaitu :
1. Pendahuluan/orientasi
2. Isi
3. Penutup / reorientasi
Dalam menyusun kritik ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
kritikus atau penulis kritik. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penulis kritik atau kritikus harus benar benar membaca atau mengamati
karya yang akan di kritik.
2. Kritikus harus membekali diri dengan pengetahuan tentang karya yang
akan dkritisi.
3. Kritikus harus mengumpulkan data data penunjang dan alasan logis
untuk mendukung penilaian yang diberikan.
4. Kritik yang disampaikan tidak hanya mengungkap kelemahan, tetapi
harus seimbang dengan kelebihan.
5. Jika diperlukan, kritikus menggunakan kajian teori yang relevan untuk
mendukung penilaiannya.
Cara menulis kritik sastra :
1. Tentukan topik
2. Siapkan outline
3. Kumpulkan materi
4. Uraikan isi
5. Tulis pendahuluan
6. Tulis kesimpulan
7. Baca ulang dan beri sentuhan akhir
C. Menganalisis Sistematika
dan Kebahasaan
Menganalisis Sistematika Kritik Sastra dan Esai
Teks kritik dan esai berdasarkan fungsinya dapat
dimasukkan dalam genre teks eksposisi. Sistematika
teks kritik dan esai sama dengan struktur teks eksposisi
yaitu pernyataan pendapat (tesis), argumen, dan
penegasan ulang.
Dalam teks kritik, pendapat/tesis yang disampaikan
adalah hasil penilaian terhadap sebuah karya.
Argumen yang disajikan berupa data-data obyektif
dalam karya serta alasan yang logis. Penegasan
ulang dalam kritik dapat berupa ringkasan atau
pengulangan kembali tesis dalam kalimat yang
berbeda.
Perhatikan hasil analisis sistematika kritik “Penulis Mengubah Sejarah Hidup
Dengan Madre” berikut ini