Penerapan Filsafat Dan Ideologi
Penerapan Filsafat Dan Ideologi
Penerapan Filsafat Dan Ideologi
Johri Sabaryati
PENGANTAR
PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologi, istilah dari ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia serta
philoshophos. Philo memiliki arti cinta, sedangkan untuk shopia atau shopos ini memiliki arti
kebijaksanaan, pengetahuan, serta juga hikmah. Sehingga dari dalam hal itu, pengertian
filsafat ialah sejumlah gagasan yang penuh dengan kebijaksanaan, pengetahuan, serta juga
hikmah.Berikut pengertian filsafat menurut para ahli yang dapat dijadikan rujukan dalam
memahami filsafat secara komprehensif antara lain :
Dalam konteks yang bersifat melengkapi, Rudner (1966) mengemukakan bahwa filsafat ilmu
adalah bagian dari epistemologi yang memiliki fokus pada kajian tentang karakteristik
pengetahuan ilmiah. Selanjutnya, Rudner (1966) juga menyatakan bahwa filsafat ilmu pun
memiliki bagian-bagian yang berkembang tersendiri berdasar pada objek-objek spesifiknya.
Bagian-bagian itu antara lain adalah filsafat ilmu-ilmu sosial, filsafat ilmu-ilmu alam, filsafat
ilmu pendidikan, dan filsafat ilmu fisika.
Menurut French & Saatsi (2011) sejarah filsafat ilmu sebagai disiplin yang bersifat mandiri
(memiliki jurnal, komunitas ilmiah, dan pertemuan ilmiah) termasuk masih muda dengan usia
sekitar 80 tahun. Namun demikian, sebenarnya keberadaan filsafat ilmu telah ada sejak
berkembangnya ilmu itu sendiri pada masa Aristoteles yang dapat dianggap sebagai ilmuwan
pertama. Filsafat ilmu melakukan penelaahan terhadap isu-isu metode ilmiah, hakekat teori
ilmiah dan bagaimana hubungan teori dengan realitas, dan tujuan-tujuan ilmu.
Berdasar berbagai definisi tentang filsafat ilmu yang telah diuraikan kemudian dapat
disimpulkan pengertian singkat filsafat ilmu:
Berpijak pada beberapa definisi tentang filsafat ilmu itu maka kemudian dapat dibuat
aplikasi pengertian filsafat ilmu dalam bidang pendidikan, yang dapat disebut dengan istilah
filsafat ilmu pendidikan. Filsafat ilmu pendidikan adalah filsafat, khususnya adalah cabang
dari filsafat pengetahuan (epistemologi), yang secara mendalam, spekulatif, dan
komprehensif mempelajari tentang hakekat ilmu pendidikan.
Apabila dilihat secara lebih mendalam, yaitu karena filsafat ilmu pendidikan termasuk cabang
dari filsafat maka dapat dikemukakan bahwa dasar-dasar berpikir dalam melakukan
perenungan filsafat ilmu pendidikan harus mengacu pada dasar-dasar filsafat yang utama,
yaitu dasar metafisika (ontologi), dasar epistemologi, dan dasar aksiologi,
Dasar metafisika ilmu berarti bahwa suatu ilmu pendidikan harus memiliki dasar eksistensi
untuk dapat menetapkan realitas dirinya dalam dunia pengetahuan ilmiah secara khusus dan
dunia pengetahuan pada umumnya. Keberadaan ilmu pendidikan biasanya dihubungkan
dengan pandangan metafisika dan objek utama yang menjadi kajian ilmu. Pandangan
metafisika itu misalnya terkait dengan pertanyaan-pertanyaan:
Apakah hakekat keberadaan ilmu itu bersifat monis (satu) di seluruh dunia atau
bersifat plural?
Selanjutnya, apabila bersifat monis timbul pertanyaan lanjutan: Apakah hakekat
keberadaan ilmu bersifat material atau spiritual?
Selanjutnya, apabila bersifat plural timbul pertanyaan lanjutan: Bagaimana
hubungan hakekat keberadaan ilmu yang bersifat material, kejiwaan, dan
spiritual?
Dalam bidang ilmu pendidikan, dasar metafisika yang terkait dengan objek ilmu pendidikan
dapat ditemui dalam keberadaan aliran-aliran besar dalam ilmu pendidikan. Aliran-aliran
besar dalam ilmu pendidikan itu misalnya dapat ditemui dalam aliran pendidikan
behavioristik yang menganut paham monisme materialistik dan aliran pendidikan
transpersonal yang cenderung bersifat plural.
Dasar epistemologi ilmu atau dasar filsafat pengetahuan ilmu berarti bahwa suatu ilmu harus
memiliki kriteria dasar bagi penentuan suatu pengetahuan dapat disebut sebagai pengetahuan
ilmiah. Dalam bidang ilmu pendidikan, dasar epistemologi ilmu terkait dengan objek kajian
ilmu pendidikan, metode pemerolehan pengetahuan dalam ilmu pendidikan, batas-batas
pengetahuan ilmu pendidikan, dan validitas pengetahuan ilmiah dalam ilmu pendidikan
(kriteria kebenaran suatu pengetahuan ilmiah).
Dasar aksiologi ilmu berarti bahwa ilmu harus dapat menetapkan kriteria yang seharusnya
ada tentang hubungan antara ilmu dan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan itu
mencakup nilai etika dan nilai keindahan. Dalam ilmu pendidikan, dasar aksiologi terkait
dengan penerapan prinsip etika dan estetika dalam penelitian dan praktek ilmu pendidikan.
Ruang Lingkup Filsafat Ilmu Pendidikan
Berdasar dasar-dasar metafisika, epistemologi, dan aksiologi ilmu maka secara umum, ruang
lingkup yang menjadi bidang kajian filsafat ilmu adalah sebagai berikut:
Selain tinjauan ruang lingkup yang bersifat umum berdasar cabang-cabang utama yang
menjadi dasar landasan ilmu, secara lebih teknis ruang lingkup yang menjadi bidang kajian
filsafat ilmu dapat dipilah berdasar topik-topik yang bersifat lebih khusus. Dalam hal ini
seperti telah termaktub dalam pendapat Lacey (1996) tentang pengertian filsafat ilmu
sebelumnya, maka ruang lingkup filsafat ilmu dapat dipilah menurut topik-topik sebagai
berikut:
Hakekat ilmu
Tujuan aktivitas keilmuan
Metode keilmuan
Bagian-bagian ilmu
Jangkauan ilmu
Hubungan ilmu dengan masalah-masalah kehidupan lain di luar ilmu.
Dalam konteks yang hampir sama dengan pendapat Lacey (1996), Earle (1992) secara tersirat
mengemukakan bidang-bidang kajian yang menjadi ruang lingkup perenungan filsafat ilmu,
yaitu:
Pengertian ilmu
Tujuan ilmu
Masalah metodologi dalam kegiatan keilmuan
Penggolongan ilmu
Pengembangan teori, model, dan paradigma keilmuan
Ilmu dan kesejahteraan manusia
Aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat ilmu.
Demikianlah beberapa pemikiran tentang ruang lingkup yang menjadi bidang kajian filsafat
ilmu. Apabila diperbandingkan ruang lingkup-ruang lingkup tersebut satu dengan yang lain
maka kemudian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya beberapa uraian
tentang ruang lingkup itu bersifat saling melengkapi dan memiliki inti yang kurang lebih
sama.
Apabila ruang lingkup filsafat ilmu itu diterapkan dalam ilmu pendidikan maka diperoleh
rumusan ruang lingkup filsafat ilmu dalam ilmu pendidikan adalah sebagai berikut:
Selain itu, ruang lingkup filsafat ilmu yang diterapkan dalam ilmu pendidikan juga dapat
dirumuskan sebagai sebagai berikut:
Syarat-Syarat Ilmu
Giorgi (1995) menjelaskan bahwa tidak semua ragam pengetahuan dapat diklasifikasikan
sebagai pengetahuan ilmiah. Suatu jenis pengetahuan dapat memiliki status sebagai
pengetahuan ilmiah karena memenuhi empat syarat. Empat syarat itu adalah bahwa
pengetahuan itu harus bersifat sistematis, metodis, kritis, dan universal.
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan terkait deskripsi filsafat ilmu dalam bidang pendidikan adalah sebagai
berikut:
DAFTAR RUJUKAN
Connole, H.C. 1993. Issues and Methods in Research. Dalam H.C. Connole, B. Smith, & R.
Wiseman (Eds.) Research Methodology 1: Issues and Methods in Research. Geelong: Deakin
University.
Dalton, J.H. Elias, M.J., & Wandersman, A. 2007. Community Psychology: Linking
Individuals and Communities. Belmont CA: Thomson.
Pengerian Ideologi
Pengertian Ideologi menurut beberapa ahli adalah debagai berikut, Louis Althuser Ideologi
adalah suatu gagasan yang spekulatif namun tetapi ideologi tersebut bukan gagasan palsu
dikarenakan gagasan spekulatif itu bukan dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas
melainkan untuk dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana semestinya manusia itu
dapat menjalani hidupnya. Dr. Alfian Ideologi adalah pandangan atau juga sistem nilai yang
menyeluruh serta juga mendalam mengenai bagaimana cara yang tepat, yakni secara moral
dianggap benar serta juga adil, mengatur adanya tingkah laku bersama didalam berbagai segi
kehidupan. Soerjanto Poespowardoyo Ideologi ialah sebagai kompleks pengetahuan serta
juga macam-macam nilai, yang secara universal menjadi landasan bagi seseorang atau juga
masyarakat untuk dapat memahami jagat raya serta juga bumi seisinya dan juga menentukan
sikap dasar untuk dapat mengolahnya. Dengan berdasarkan pemahaman yang diyakini itu,
seseorang menangkap apa yang dilihat baik serta juga tidak baik. M.Sastra Prateja Ideologi
ialah sebagai seperangkat gagasan atau juga pemikiran yang berorientasi pada suatu tindakan
yang diorganisir dan menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam hal tersebut , ideologi ini
mengandung beberapa unsur, yakni : a. Adanya suatu penafsiran atau juga suatu pemahaman
terhadap kenyataan. v b. Tiap Ideologi memuat seperangkat nilai atau juga suatu persepsi
moral. c. Ideologi adalah suatu pedoman kegiatan atau aktivitas untuk dapat mewujudkan
nilai-nilai di dalamnya. Napoleon Ideologi adalah keseluruhan pemikiran politik serta juga
rival-rivalnya
Inovasi Pendidikan
Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan
discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru, artinya hasil karya
manusia. Adapun discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada
sebelumnya). Secara etimologi, inovasi berasal dari bahasa Latin, yaitu innovaation yang
berarti pembaharuan dan perubahan. Kata kerjanya innovo, yang artinya memperbarui dan
mengubah. Jadi, inovasi adalah perubahan baru menuju arah perbaikan dan berencana (tidak
secara kebetulan) (Idris, Lisma Jamal, 1992: 70). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
inovasi diartikan sebagai pemasukan satu pengenalan hal-hal yang baru; penemuan baru yang
berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya, yang (gagasan, metode
atau alat) (Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 1989: 333).
Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan
melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini, Ibrahim (1989)
mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang,
kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok
orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi
dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah, 1992: 80).
Inovasi pendidikan adalah inovasi untuk memecahkan masalah dalam pendidikan. Inovasi
pendidikan mencakup hal-hal yang berhubungan dengan komponen sistem pendidikan, baik
dalam arti sempit, yaitu tingkat lembaga pendidikan, maupun arti luas, yaitu sistem
pendidikan nasional. Inovasi dalam dunia pendidikan dapat berupa apa saja, produk ataupun
sistem. Produk misalnya, seorang guru menciptakan media pembelajaran mock up untuk
pembelajaran. Sistem misalnya, cara penyampaian materi di kelas dengan tanya jawab
ataupun yang lainnya yang bersifat metode. Inovasi dapat dikreasikan sesuai
pemanfaatannya, yang menciptakan hal baru, memudahkan dalam dunia pendidikan, serta
mengarah pada kemajuan
Peter M. Drucker dalam bukunya Innovation and Enterpreneurship (Tilaar, 1999: 356),
mengemukakan beberapa prinsip inovasi, yaitu sebagai berikut. a. Inovasi memerlukan
analisis berbagai kesempatan dan kemungkinan yang terbuka. Artinya, inovasi hanya dapat
terjadi apabila mempunyai kemampuan analisis. b. Inovasi bersifat konseptual dan
perseptual, artinya yang bermula dari keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang
dapat diterima masyarakat. c. Inovasi harus dimulai dengan yang kecil. Tidak semua inovasi
dimulai dengan ide-ide besar yang tidak terjangkau oleh kehidupan nyata manusia. Keinginan
yang kecil untuk memperbaiki suatu kondisi atau kebutuhan hidup ternyata kelak mempunyai
pengaruh yang sangat luas terhadap kehidupan manusia selanjutnya. d. Inovasi diarahkan
pada kepemimpinan atau kepeloporan. Inovasi selalu diarahkan bahwa hasilnya akan menjadi
pelopor dari suatu perubahan yang diperlukan. Apabila tidak demikian maka intensi suatu
inovasi kurang jelas dan tidak memperoleh apresiasi dalam masyarakat
PEMBELAJARAN
Belajar dan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang tak terpissahkan dari kehidupan
manusia. Dengan belajar manusia bisa mengembangkan potensipotensi yang dibawa sejak
lahir. Tanpa belajar manusia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhannya tersebut.
Kebutuhan belajar dan pembelajaran dapat terjadi dimana-mana, misalnya di lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kebutuhan manusia akan belajar tidak akan pernah
berhenti selama manusia ada di muka bumi ini. Hal itu disebabkan karena dunia dan isinya
termasuk manusia selalu berubah. Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang agar
dapat mencapai kompetensi yang diinginkan. Melalui proses belajar seseorang dapat
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang lebih baik. Proses belajar pada
dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensi personal (Pribadi,
2009:21). Definisi pembelajaran menurut Sadiman, dkk., (1986:2) “Belajar (learning) adalah
suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup,
sejak ia masih bayi sampai ke liang lahat nanti.” Belajar dapat terjadi di rumah, di sekolah, di
tempat kerja, di tempat ibadah, dan di masyarakat, serta berlangsung dengan cara apa saja,
dari apa, bagaimana, dan siapa saja. Salah satu tanda seseorang telah belajar adalah adanya
perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut meliputi perubahan
pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan perubahan sikap atau tingkah laku
(afektif)
Metode Pembelajaran
a. Pengertian metode secara umum Dari beberapa definisi menurut para ahli
menyebutkan bahwa metode pembelajaran merupakan suatu cara yang
digunakan oleh pendidik dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas.
Berikut definisi-definisi menurut para ahli : 1) Menurut Sanjaya (2010:147)
“metode adalah cara yang digunakan untuk melengimplementasikan rencana
yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun
tercapai secara optimal.” 2) Hasibuan dan Moedjiono (2013:3) “metode adalah
alat yang dapat merupakan bagian dari perangkat alat dan cara dalam
pelaksanaan suatu strategi belajar mengajar.” 3) Warsita (2008:273) “Metode
pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan
pesan pembelajaran kepada peserta didik dalam mencapai tujuan
pembelajaran.” Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa metode
pembelajaran merupakan langkah-langkah dalam proses pembelajaran yang
dapat dilakukan oleh guru atau pendidik. Pendidik atau guru memilih metode
yang tepat disesuaikan dengan materi pelajaran agar tujuan pembelajaran
dapat tercapai.
AKSIOLOGI
Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya
seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan
seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep
semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri dari
analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka
menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa
sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang
bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut
itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif.
Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka
menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan
antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku
manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia
berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-
preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya
pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa
seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar,
sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan,
seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan
manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai
adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan
masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis
mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum
(infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat
subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya
menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa
konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-
emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa
diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan
manusia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu
merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi
malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu
merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal
baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu filsafat
sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang
membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem
ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah
kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu; filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan; Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan
masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar
dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih
enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat
sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail
itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap dunia
pendidikan karena meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik.
Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan
otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk mengembangkan potensinya.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru
yang memberikan warna dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari situasi yang tercipta
secara edukatif.
Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang
berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk
memecahkan problema-problema yang dihadapinya.
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi dengan
lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan
pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan
prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi
sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of
value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.
Aliran essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai budaya
yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah
teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang
menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu.
Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk pembinaan
kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan harus
diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan
nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa kepribadian
secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing pribadi,
masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.
Daftar Pustaka:
Ali, Hamdani. 1993. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka
Cipta
Salam, Burhanudin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: PT. RINEKA
CIPTA
Soe, Soejono Margono. 1986. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu Dan Perkembanganya Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Sumatriasumatri, Jujun S. 1988. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu : sebuah pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
EPISTIMPLOGI
engertian Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan erat dengan asal, sifat, karakter, dan
jenis pengetahuan. Epistemologi berasal dari Yunani yaitu ‘Episteme’ yang berarti
pengetahuan, dan ‘Logos’ yang berarti ilmu. Epistemologi merupakan cabang filsafat
yang sering dibicarakan, diperdebatkan, dan dibahas. Hal ini dikarenakan epistemologi
mengacu pada akar pemikiran dari ilmu pengetahuan; apa itu pengetahuan, macam-
macam pengetahuan, bagaimana karakteristik pengetahuan, serta hubungan pengetahuan
dengan kebenaran dan keyakinan.
Menurut Jujun S. Suriasumantri salah satu tokoh filsafat Indonesia, objek epistemologi
merupakan segala proses yang terlibat untuk memperoleh pengetahuan, di mana di
dalamnya terdapat usaha kita dalam melakukan proses tersebut. Proses ini kemudian
menjadi sasaran teori pengetahuan dan berfungsi untuk mencapai tujuan yang dibuat.
Sasaran adalah hal yang penting karena ia menjadi perantara yang harus dilalui dalam
mewujudkan tujuan. Tujuan menjadi sangat mustahil bisa terealisasi jika tanpa sebuah
sasaran, begitu juga sebaliknya. Sasaran tanpa tujuan membuat sasaran menjadi tidak
terarah sama sekali.
Landasan epistemologi keilmuan disebut metode ilmiah. Seperti yang kita ketahui,
metode ilmiah adalah prosedur untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi,
ilmu pengetahuan diartikan sebagai pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.
Berdasarkan pengertian di atas, kita dapat mengetahui bahwa tidak semua pengetahuan
bisa disebut ilmiah. Sebab, ilmu merupakan pengetahuan yang harus memenuhi syarat-
syarat tertentu untuk bisa mendapatkannya. Syarat-syarat tersebut tercantum dalam
metode ilmiah.
1. Epistemologi Idealisme
2. Epistemologi Realisme
3. Epistemologi Pragmatisme
Pada sudut pandang pragmatisme, epistemologi yang dianut adalah pengetahuan yang
ditemukan harus membawa perubahan bagi kehidupan manusia. Jika tidak membawa
perubahan maka tidak bisa dikatakan pengetahuan. Jadi, pengetahuan dinilai melalui
kadar instrumentalnya atau hasil akhir yang didapat. Guru harus mampu mengonstruksi
proses pembelajaran dengan menempatkan masalah tertentu yang pemecahannya dapat
membawa siswa untuk memahami lingkungan sosial dan fisik mereka yang lebih baik.
4. Epistemologi Eksistensialisme
Mereka meyakini hanya orang yang berani sajalah yang mampu mengambil keputusan,
dan hal tersebut akan menentukan arah hidupnya di masa depan. Jika seseorang tidak
berani mengambil keputusan, maka bagi mereka adalah sosok yang tidak bereksistensi
dalam arti yang sebenarnya.
Setelah kita merangkum penjelasan tentang pengertian epistemologi dan berbagai macam
aliran pemahamannya, kita semakin yakin bahwa epistemologi memiliki peran yang
sangat penting dalam dunia pendidikan. Hal ini dikarenakan epistemologi merupakan
induk dari temuan ilmu pengetahuan yang telah tercipta. Dan dalam dunia pendidikan,
ilmu pengetahuan merupakan bekal yang diberikan pengajar kepada peserta didik lalu
diberikan lagi kepada generasi selanjutnya di masa mendatang.
Manusia adalah makhluk yang memiliki pikiran dan akal. Terkadang, tidak semua
manusia memiliki pola pikir dan akal yang sama. Isi kepala manusia itu berbeda antara
satu dan lainnya. Dan sesungguhnya manusia itu tidak bisa hidup dengan mengandalkan
satu kebenaran pengetahuan saja. Kita membutuhkan beraneka ragam kebenaran
pengetahuan untuk memantapkan langkah kita ke masa depan. Semua itu bisa kita
dapatkan dengan mengenyam pendidikan.
Selain itu, epistemologi dapat membantu agar manusia tidak mudah terjebak dalam
sebuah pemahaman tertentu yang belum divalidasi kebenarannya. Terutama di zaman
sekarang yang dengan mudahnya kita menemukan informasi asal-asalan di media sosial.
Informasi tersebut biasa kita sebut sebagai hoax. Dengan menerapkan epistemologi
dalam dunia pendidikan, kita membantu untuk memerangi hoax yang semakin hari
semakin mudah diyakini oleh mereka yang kurang mendapatkan literasi pendidikan
maupun literasi media massa.
“Pada akhirnya, epistemologi dalam dunia pendidikan telah membantu manusia dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan yang mampu dibuktikan kebenarannya dan memberikan
banyak manfaat untuk masyarakat luas.”
ONTOLOGI PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan membahas tentang filsafat pendidikan, yang titik tekannya pada
aspek ontologi, yang menjadi salah satu landasan filosofis dalam memahami lebih jauh
mengenai ruang lingkup pendidikan yang telah akrab dengan umat manusia, sejak awal mula
peradaban manusia sampai dengan berakhirnya peradaban tersebut.
Terkait dengan hal di atas, maka bahasan tentang filsafat pendidikan, tidak bisa kita pisahkan
dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat.
Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya
filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan
ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan
(Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya
kebudayaan dan peradaban manusia.
Sekalipun demikian, mustahil untuk memberikan definisi yang memuaskan tentang filsafat
kecuali jika ditetapkan waktu untuknya. Alasannya, tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf
berbeda-beda tergantung dari periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern
yang mau bersusah payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana yang
harus dilakukan oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani kuno. Jika kita beranggapan bahwa
bagian paling berharga dari kontribusi Yunani adalah ditemukannya akal budi sebagai sebuah
instrumen baru, maka kita dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap filsafat kuno
dan modern, dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen itu sendiri mulai diuji
dengan kritis.
Selanjutnya, secara garis besar, objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang
mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang disebut objek material filsafat. Kalau demikian,
apakah yang membedakan antara objek filsafat dan objek ilmu pengetahuan lainnya? Objek
filsafat yang dimaksud adalah objek materialnya, sebab ilmu pengetahuan pun mempunyai
objek material yang sama dengan filsafat, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Ilmu
pengetahuan bebas dan tidak terikat untuk menentukan objek penelitiannya, dan sampai saat
ini, belum ada pembatasan dalam objek ilmu pengetahuan (objek material). Oleh karena itu,
kalau dilihat dari objek materialnya, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, memiliki objek
yang sama.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu ilmu
pengetahuan, paling sedikit kita akan mempertanyakan 3 hal, pertama, apa hakikat
gejala/objek itu (landasan ontologis). Kedua, bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan
gejala/objek itu (landasan epistemologis). Ketiga, apa manfaat gejala/objek itu (landasan
aksiologis).
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala
sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu,
ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan
tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada
dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles.
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales merupakan orang
pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku
saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu
memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai
kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-
substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada
pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih
penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang
mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan
sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima
dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan
Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan
kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud
(yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh
pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah
teori tentang wujud.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan
bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monoism yang terpecah menajdi
idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan
kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi
kebenaran yang kita cari.
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontologi, berarti persoalan tentang hakikat keberadaan
pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam hubungannya dengan
eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia ditentukan asal-mula dan
tujuannya. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan
dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa
manusia, pendidikan tak pernah ada. Tetapi, bagaimana halnya dengan keberadaan manusia
tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?
Dengan demikian, jelaslah bahwa adanya pendidikan begitu sentral di dalam eksistensi
manusia di muka bumi ini. Sehingga dapat diasumsikan bahwa adanya pendidikan dapat
memberikan pengetahuan yang cerah tentang asal-mula manusia dan tujuan hidup manusia.
2. Objek dan Metode dalam Ontologi
2.1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di
ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya “De Anima”. Dalam tafsiran-tafsiran
para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat
khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi
ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi
metafisik.
3. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai
dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian
muncullah beberapa aliran dalam filsafat, antara lain:
1. Filsafat Materialisme.
2. Filsafat Idealisme.
3. Filsafat Dualisme.
4. Filsafat Skeptisisme.
5. Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok permasalahan yang
menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (Benar-Salah), (b) etika
(Baik-Buruk), dan (c) estetika (Indah-Jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut
Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat
keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum
dalam metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal,
terangkum dalam politik. Kelima cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan
politik – menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat
yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idea-
nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang
dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato
mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang
berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam,
putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham,
gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua
manapun di dunia ini.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang
dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang demikian ini meripakan
pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak
terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan
pendekatan secara kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami
secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya
antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai
dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian
muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:
A. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a) Monoisme
b) Dualisme.
c) Pluralisme.
B. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
a) Spiritualisme.
b) Materialisme.
C. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a) Mekanisme.
b) Teleologi.
c) Vitalisme.
d) Organisisme.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan cabang filsafat
metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan
sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik. Aristoteles tidak memakai istilah
metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian
tentang sesuatu yang ada dibelakang gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.
4. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan
tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala
kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis,
antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang
spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
َأ َأْل
َوِإْذ َقاَل َر ُّبَك ِلْلَماَل ِئَكِة ِإِّني َج اِع ٌل ِفي ا ْر ِض َخِليَفًة َقاُلوا َتْجَعُل ِفيَها َمْن ُيْفِسُد ِفيَها َوَيْس ِفُك
)30( الِّدَماَء َوَنْح ُن ُنَس ِّبُح ِبَح ْمِدَك َوُنَقِّدُس َلَك َقاَل ِإِّني َأْعَلُم َما اَل َتْعَلُموَن
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam
dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu
tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam
pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta
didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan
nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan
pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas
dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik
harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap
individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam
anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu
menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan
di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan
fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi
anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik,
tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta
didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang
benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran
pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara
melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu,
bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah,
sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu
berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan
diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan
sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga
muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut
ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini
menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri
adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan
bermanfaat bagi seluruh alam.
5. Pendidikan dan Kaitannya Dengan Aspek-Aspek Lain
5.1. Pendidikan dan Manusia
Manusia, siapa pun, sebagai apa pun, di mana dan kapan pun berada, berhak atas pendidikan.
Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam perwujudannya sebagai individu
yang yang menjadi bagian Integral dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang
penting dan perlu untuk diproses dalam sistem pendidikan, agar dikemudian hari manusia
dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan bahwa tanpa
pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam
kehidupan, sesuai dengan hakikat asal-mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan
dengan hal itu, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala
potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
5.2. Pendidikan dan Filsafat
Filsafat secara etimologis berarti ‘cinta kearifan’. Mencintai kearifan berarti mendambakan
kehidupan yang diliputi dengan sikap dan perilaku adil. Kehidupan yang berkeadilan adalah
kehidupan yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan. Kehidupan demikian adalah
kehidupan dinamis; kehidupan kreatif untuk pertumbuhan dan perkembangan ke arah masa
depan yang lebih baik.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebut, pendidikan muncul dan memulai sesuatu. Manusia
mulai mencoba untuk mendidik diri sendiri dan sesamanya, dengan sasaran menumbuhkan
kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan
pada materi yang berisi tentang pengetahuan umum berupa wawasan asal-mula, eksistensi
dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal-mula dan tujuan kehidupan adalah landasan
dasar bagi perilaku sehari-hari, sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu
bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.
5.3. Pendidikan dan Sejarah
Ada satu lagi persoalan khas manusia, yakni sejarah. Maksudnya, sejarah adalah suatu
rentetan kejadian yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat manusia. Rentetan
kejadian tersebut tidak terjadi secara kebetulan, namun berlangsung dalam kesengajaan. Ciri
khas objek sejarah adalah rentetan kejadian yang selalu bergerak menuju perkembangan
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, sejarah bisa dikatakan sebagai suatu sistem
rentetan kejadian yang bersumber dari kesadaran, dengan objek khusus yaitu kesadaran
tentang perlunya perubahan-perubahan demi perkembangan dan kemajuan bagi kehidupan
masyarakat manusia.
Untuk itu, berdasarkan sejarahnya, manusia selalu mengubah dan mengembangkan sistem
pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah mengideakan masa mendatang yang lebih
baik dan maju. Sementara itu, pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan
mengembangkan sistem pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan yang
relevan dengan kehidupan yang diideakan sejarah itu.
C. KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah kami paparkan di atas, maka pada akhir makalah ini kami akan
menyimpulkan segala macam-ragam pandangan dan tulisan yang telah kami rangkai tersebut.
Adapun kesimpulannya adalah sebagai berikut.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan, maka penting
rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya. Pembahasan pendidikan selalu terkait
dengan hakikat keberadaan manusia. Dari pembahasan panjang lebar itu, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness), sebaliknya,
tanpa pendidikan, mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan
mengembangkan kehidupannya. Jadi, ontologi pendidikan sepenuhnya mutlak berakar dari
dalam diri dan keberadaan manusia.
Dari pembahasan tentang pendidikan secara ontologis, dapat diperoleh pengetahuan tentang
bagaimana menata hubungan pendidikan dengan asal-mula dan tujuan kehidupan, serta
hubungan pendidikan dengan filsafat, sejarah, dan iptek dalam eksistensi kehidupan.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa
menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan
fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari
waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami
perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan
manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah
terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak
bisa, bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi
saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia
dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis,
sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hawton, Hector, Filsafat yang Menghibur, Terj. Supriyanto Abdullah, Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2003.
O. Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Penerbit
Tiara Wacana Yogya, 2004.
S. Praja, Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2008.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Suprihatiningrum, Jamil dkk., Makalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu, Prodi
Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2008.