Pedoman Inovasi Bara Ko Daa

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 44

“BARA KO DAA”

(Berikan Kartu Pengingat


Kontrol Tekanan Darah)

BUKU PEDOMAN

Pedoman ini disusun sebagai panduan dalam pelaksanaan Inovasi

DISUSUN OLEH :

UPTD PUSKESMAS KETAPING


DINAS KESEHATAN
KABUPATEN PADANG PARIAMAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Pedoman inovasi BARA KO DAA (Berikan
Kartu Pengingat Kontrol Tekanan Darah) tahun 2023
Inovasi ini merupakan Upaya Kesehatan Masyarakat yang kegiatannya diprioritaskan
untuk pra lansia dan lansia dengan penyakit hipertensi khusunya yang tidak patuh minum obat,
sering lupa minum obat, tidak konsisten minum obat dan pra lansia dan lansia yang berisiko
hipertensi. Inovasi ini akan dievaluasi dan dimonitor setiap tiga bulan. Selain itu evaluasi
tahunan juga dilaksanakan untuk melihat tingkat kemajuan capaian kegiatan dalam setahun,
serta menjadi bahan dalam penyusunan kegiatan untuk tahun berikutnya.
Semoga dengan tersusunnya Pedoman Inovasi BARA KO DAA (Berikan Kartu
Pengingat Kontrol Tekanan Darah) ini mengurangi angka kesakitan dan angka kematian
pada pra dan Lansia yang mempunyai penyakit hipertensi

Kataping, Februari 2023


KEPALA UPTD PUSKESMAS KETAPING

drg. Fidiah
Nip. 19770814 200902 2 001
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi sekarang ini perubahan gaya hidup, seperti pola makan
berlebih, kurang aktivitas fisik, kurang olahraga, kebiasaan merokok menyebabkan
angka kejadian penyakit tidak menular (PTM) terus meningkat. Hipertensi merupakan
salah satu penyakit tidak menular, yang bisa menyebabkan mortalitas dan morbiditas
tinggi. Hipertensi suatu peningkatan tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg. Hipertensi merupakan suatu keadaan kronis
yang menyebabkan jantung bekerja keras memompa darah dari jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh. Jika hipertensi terus
menerus dibiarkan akan mengganggu kerja organ-organ vital lainnya, seperti jantung
dan ginjal. Hipertensi termasuk silent killer disease atau penyakit pembunuh diam-
diam karena penderita sering kali tidak merasakan gejalanya. (Departemen Kesehatan
RI, 2015).
Hipertensi adalah kondisi dimana meningkatnya tekanan darah baik sistolik
ataupun diastolik ≥ 140/90 mmHg (James Dkk, 2014). Data WHO (World Health
Organization) menunjukkan penderita hipertensi di seluruh dunia berjumlah sekitar 1
miliar. Prevalensi hipertensi diprediksi akan terus meningkat, pada tahun 2025
diprediksi sebanyak 29% orang dewasa yang mengidap hipertensi di seluruh dunia.
Sekitar 8 juta orang yang mengidap hipertensi meninggal dunia setiap tahunnya,
dimana 1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara (KemenKes RI, 2016).
Berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) prevalensi
hipertensi di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 28,5%, sedangkan prevalensi
hipertensi di Indonesia pada tahun 2017 meningkat menjadi 30,9% menurut hasil
survei Indikator Kesehatan Nasional. Prevalensi hipertensi di Indonesia ditentukan
berdasarkan pengukuran tekanan darah pada penduduk dengan usia ≥ 18 tahun
(KemenKes RI, 2017).
Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan faktor penting dalam kesehatan lanjutan
dan kesejahteraan pasien hipertensi. Kepatuhan dan ketaatan merupakan prasyarat
untuk keefektivan terapi hipertensi dan potensi terbesar untuk perbaikan pengendalian
hipertensi yang terletak dalam meningkatkan perilaku pasien tersebut. Sedangkan,
ketidakpatuhan pasien terhadap obat antihipertensi adalah salah satu faktor utama
kegagalan terapi (Annisa Dkk, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nurlaili dan Sudhana (2014) kepatuhan
pasien hipertensi dalam minum obat juga terbukti cukup buruk (53,8%) sehingga
berakibat tidak ada perbaikan yang signifikan pada hasil pengukuran tekanan
darahnya. Hasil penelitian Hazwan (2017) juga menunjukkan menunjukkan sebanyak
30% pasien mempunyai kepatuhan tinggi terhadap minum obat hipertensi sedangkan
sisanya sebesar 70% pasien mempunyai kepatuhan rendah..
Penelitian Smantummakul (2014), menyebutkan bahwa pasien hipertensi
yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi hanya sebesar 16,55%, sedangkan
sisanya memiliki kepatuhan yang sedang (50,56%) dan kepatuhan rendah (32,58%).
Pengobatan yang dilakukan oleh penderita hipertensi hanya dilakukan ketika
penderita mengalami sakit. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya pengobatan rutin pada penderita PTM. Selain itu ketika penderita
hipertensi tidak merasakan gejala pusing maka menganggap penyakit itu adalah wajar
dan tidak berbahaya. Pasien yang berobat di Puskesmas Ketaping juga beranggapan
bahwa mengkonsumsi obat-obatan PTM secara terus menerus dapat menyebabkan
ketergantungan. Minimnya kesadaran untuk pengobatan penyakit tidak menular dapat
mengakibatkan meningkatnya angka penderita penyakit tidak menular di Puskesmas
Ketaping. Selain itu munculnya gejala PTM yang terabaikan akan memperparah
kesakitan pada penderita. Tingginya kejadian dan kematian akibat PTM menjadikan
pengendaliannya penting dilakukan.
Salah satu program puskesmas berupaya memberikan pelayanan kesehatan
geriatrik bagi para lansia. Jumlah penduduk yang berusia lansia di wilayah kerja
Puskesmas Ketaping yaitu sebayak 2420 jiwa dan yang mendapatkan screening masih
49% (SPM tahun 2022), dan penderita HT yang berobat teratur sebanyak 58% (SPM
tahun 2022)
Pada dasarnya para lansia sudah malas melakukan olahraga walaupun olahraga
ringan dengan berjalan kaki atau senam lansia, selalu beranggapan bahwa sudah tua
dan tak perlu lagi berolahraga, lansia merasa cukup sehat dengan bantuan konsumsi
obat- obatan saja jika dibiarkan dalam waktu lama hal ini akan memberikan efek
ketergantungan obat, da nada juga yang tidak mengkonsumsi obat-obatan, depresi
karena merasa sendiri, memperberat fungsi organ – organ tubuh yang sudah menurun
disebabkan oleh kurangnya mobilitas dan mengkonsumsi obat-obatan.
Lansia belum begitu paham manfaat olahraga yang dapat membantu
melancarkan aliran darah, meningkatkan kebugaran tubuh, menguatkan otot dan
meningkatkan kepadatan tulang, menjaga keseimbangan dan koordinasi tubuh serta
merupakan media yang baik untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman sebaya
sehingga mereka dapat saling berbagi dan merasa tidak sendiri.
Makin bertambahnya usia, makin besar kemungkinan seseorang mengalami
permasalahan fisik, jiwa, spiritual, ekonomi dan social. Salah satu permasalahan yang
sangat mendasar pada lanjut usia adalah masalah kesehatan akibat proses degeneratif,
hal ini ditunjukkan oleh data pola penyakit pada lanjut usia. Berdasarkan riset
kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013, penyakit terbanyak pada lanjut usia terutama
adalah penyakit tidak menular antara lain hipertensi, osteo artritis, masalah gigi-mulut,
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan Diabetes Mellitus (DM). Kegiatan senam
pada lansia yang diadakan setiap 1 minggu sekali yang bertujuan untuk membantu
lansia selalu berada dalam keadaan sehat baik secara fisik, spiritual maupun social
yang memungkinkan mereka hidup produktif secara social dan ekonomis serta mandiri
yang berarti dapat melakukan aktifitas sehari hari tanpa bantuan orang lain
Inovasi BARA KO DAA ( Berikan Kartu Pengingat Kontrol Tekanan Darah
) memberi dampak yang positif bagi kelompok lanjut usia dimana mereka langsung
merasakan dampak dari inovasi ini yaitu kelompok pra lansia dan lansia bisa
memanfaatkan kartu pengingat dalam kegiatan olahraga yang dilakukan, diantaranya
menambah semangat hidup, mengontrol kesehatan, kemampuan mandiri untuk
melakukan kegiatan/aktivitas sehari–hari tanpa bantuan orang lain, serta mengurangi
beban sakit akibat penyakit degenerative dan dalam pengingat dalam konsumsi obat-
obatannya. Indikator keberhasilan antara lain kehadiran, tekanan darah pasien,
kebugaran, konsumsi obat-obatan dan pemantauan kondisi pasien dengan mengunjungi
rumah-rumah pasien dilakukan oleh program Perawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas), yang mana program ini mengikut sertakan keluarga untuk memantau
perkembangan kesehatan lansia, dan kepatuhan minum obat, serta memahami kondisi
kesehatan lansia jika memburuk segera mendapatkan pelayanan.
Inovasi ini merupakan Upaya Kesehatan Masyarakat yang kegiatannya
diprioritaskan untuk pra lansia dan lansia dengan penyakit hipertensi khusunya yang
tidak patuh minum obat, sering lupa minum obat, tidak konsisten minum obat dan pra
lansia dan lansia yang berisiko hipertensi. Inovasi ini akan dievaluasi dan dimonitor
setiap tiga bulan. Selain itu evaluasi tahunan juga dilaksanakan untuk melihat tingkat
kemajuan capaian kegiatan dalam setahun, serta menjadi bahan dalam penyusunan
kegiatan untuk tahun berikutnya.

B. TUJUAN
1) BARA KO DAA merupakan kegiatan pendekatan kepada pra lansia dan lansia) di
wilayah Puskesmas Ketaping dalam mencegah terjadinya kompikasi penyakit
hipertensi sehingga bisa menambah semangat hidup, mengontrol kesehatan,
kemampuan mandiri untuk melakukan kegiatan/aktivitas sehari–hari tanpa bantuan
orang lain, serta mengurangi beban sakit akibat penyakit degenerative.
2) Mengoptimalkan peran Kader dalam mendukung inovasi ini dan selalu melakukan
pendampingan kepada pasien HT
3) Menginformasikan kepada pasien HT pra lansia dan lansia dalam pemanfatan kartu
pengingat olah raga dan konsumsi obat-obatan
4) BARA KO DAA mendorong terjadinya perubahan perilaku dan memberdayakan
para keluarga untuk bertanggungjawab terhadap Kesehatan lansia dengan
menggunakan pengetahuan yang telah diberikan.
BAB II

TAHAPAN INOVASI SAYAPKU PAYAH

1. Tahapan inovasi*;
Latar belakang Inovasi BARA KO DAA adalah :
Inovasi BARA KO DAA (Berikan Kartu Pengingat Kontrol Tekanan Darah)
yang direncanakan pada 23 Januari 2023 dan telah diterapkan pada 6 Maret 2023
dengan timeline proses pembuatan Inovasi sebagai berikut:

JAN FEB 2023 MAR 2023


NO KEGIATAN
2023
1 FGD PENYAMAAN PERSEPSI TENTANG MASALAH UTAMA

RENDAHNYA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KUNJUNGAN KE
POSYANDU BALITA, POSBINDU DAN POSYANDU LANSIA DALAM
MELAKUKAN DDTK DAN DETEKSI DINI FAKTOR RESIKO PENYAKIT
2 PROSES PEMBUATAN RANCANG BANGUN √
SAYAP KU PATAH DAN MAPPING PROSES DATA D/S, USIA
PRODUKTIF YANG MENDAPATKAN DETEKSI DINI DAN
KUNJUNGAN LANSIA
3 KOORDINASI DENGAN KEPALA PUSKESMAS DAN TEAM √ √
DEVELOPMENT TERKAIT RANCANG BANGUN,TUJUAN DAN
MANFAAT INOVASI
4 PENGEMBANGAN FITUR DAN KEMUDAHAN AKSES √
5 UJI FUNGSI, ANALISIS PROGRAM, VALIDASI DAN EVALUASI √
6 SOSIALISASI √
7 PELAKSANAAN DAN PENGEMBANGAN INOVASI √
1. INISIATOR INOVASI DAERAH
OPD
2. JENIS INOVASI
Inovasi NON Digital
3. BENTUK INOVASI
Inovasi Pelayanan Publik
4. URUSAN INOVASI DAERAH
Kesehatan
5. WAKTU UJI COBA INOVASI DAERAH
23 Januari 2023
6. WAKTU INOVASI DAERAH DITERAPKAN
6 Maret Tahun 2023
7. RANCANG BANGUN INOVASI DAERAH DAN POKOK PERUBAHAN YANG
AKAN DILAKUKAN DASAR HUKUM
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
 Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
HK.01.07/ MENKES/ 2015/ 2023 tentang Petunjuk Teknis Integrasi Pelayanan
Kesehatan Primer,
 Permenkes nomor 71 tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak
Menular
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar di Pos Pelayanan Terpadu Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia,.
 Serta menjadi bagian dari Inovasi Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman
yang di sahkan melalui Perbup Kab Padang Pariaman Tahun 2023 tentang
Inovasi Daerah Kabupaten Padang Pariaman.

PERMASALAHAN MAKRO
Penyakit Hipertensi disebut sebagai the silent killer karena penyakit
mematikan ini sering sekali tidak menunjukkan gejala atau tersembunyi. Hipertensi
tidak secara langsung membunuh penderita, tetapi melalui timbulnya berbagai
penyakit serius. Dengan kata lain, komplikasi dari hipertensi itulah yang sebenarnya
banyak mengakibatkan kematian pada penderitanya. Hipertensi baru di sadari ketika
telah menyebabkan gangguan organ, seperti gangguan fungsi jantung, koroner, ginjal,
gangguan fungsi kognitif ataupun stroke. Hipertensi pada dasarnya akan mengurangi
harapan hidup pada para penderitanya.
Menurut riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menunjukan bahwa 63,2%
kasus hipertensi masih belum terdiagnosis. Keadaan ini mengakibatkan penanganan
menjadi sulit, terjadi komplikasi bahkan berakibat kematian lebih dini. Dalam kurun
waktu tahun 1995 -2007, kematian akibat hipertensi mengalami peningkatandari
41,7% menjadi 59,5%. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan prevalensi
penyakit Stroke 12,1 per 1000, Penyakit Jantung Koroner 1,5%, Gagal Jantung 0,3%.
Hipertensi dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risikonya, yaitu merokok, diet
yang tidak sehat, kurang aktifitas fisik dan konsumsi minuman beralkohol. Mencegah
dan mengendalikan faktor risiko relatif lebih murah bila dibandingkan dengan biaya
pengobatan. Pengendalian hipertensi sangat diperlukan mengingat komplikasi dan
resiko kematian akibat hipertensi. Pengendalian penderita hipertensi merupakan upaya
untuk mengembalikan kondisi menjadi normal kembali dan atau mencegah
komplikasi, kecacatan dan kematian dini serta meningkatkan kualitas hidup.
PERMASALAHAN MIKRO
Di wilayah kerja Puskesmas Ketaping, hipertensi juga merupakan masalah
kesehatan yang perlu diperhatikan, berdasarkan data 10 besar penyakit kunjungan di
pengobatan umum Puskesmas Ketaping, hipertensi menempati urutan ke 3, Hasil SMD
tahun 2022 diperoleh data : Sebanyak 46 % responden memiliki pengetahuan kurang
tentang hipertensi. Dukungan keluarga yang kurang dalam pengobatan sebanyak 29%.
Sebagian besar responden menyatakan peran petugas kesehatan kurang yaitu sebanyak
39% dalam menjelaskan / memberikan penyuluhan tentang penyakit, 38 % responden
memiliki keterjangkauan akses yang jauh ke pelayanan kesehatan bahwa puskesmas
sangat jauh dari rumah pasien dan susah menjangkaunya karena harus menggunakan
kendaraan.masih rendahnya kunjungan lansia, usia produktif
Capaian standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan di Puskesmas
Ketaping tahun 2022 masih jauh dari target yang ditetapkan seperti
1. jumlah orang usia 15-59 tahun di Kab yang mendapat pelayanan skrining
kesehatan sesuai standar hanya 85%,
2. Jumlah penderita hipertensi usia ≥15 tahun di dalam wilayah kerjanya
yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar hanya 42%,
3. Jumlah warga negara usia 60 tahun atau lebih yang mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar minimal 1 kali hanya 86%

Mengingat resiko dan komplikasi penyakit hipertensi yang sangat berbahaya,


kematian dini dan kecacatan Berdasarkan data tersebut upaya penanganan hipertensi
perlu mendapatkan prioritas. Sampai saat ini, usaha-usaha baik untuk mencegah
maupun mengobati penyakit hipertensi belum berhasil sepenuhnya, hal ini
dikarenakan salah satu factor yang menghambat adalah keteraturan penderita dalam
melakukan pengobatan.
Berdasarkan data dari SPM dan PIS PK diperlukan strategi yang efektif untuk
meningkatkan ketaatan penderita hipertensi dalm melakukan pengobatan secara
teratur. Maka untuk mencapai hal tersebut pemegang program lansia dan PTM
membuat suatu inovasi BARA KO DAA yang merupakan akronim (Berikan Kartu
Pengingat Kontrol Tekanan Darah).
Pada dasarnya usia produktif dan lansia kebanyakan malas melakukan olahraga
seperti senam, selalu beranggapan bahwa tak perlu lagi berolahraga, merasa cukup
sehat dengan bantuan konsumsi obat- obatan saja jika dibiarkan dalam waktu lama hal
ini akan memberikan efek ketergantungan obat, dan ada juga yang tidak
mengkonsumsi obat-obatan, depresi karena merasa sendiri, memperberat fungsi organ
– organ tubuh yang sudah menurun disebabkan oleh kurangnya mobilitas dan
mengkonsumsi obat-obatan.
Lansia belum begitu paham manfaat olahraga yang dapat membantu
melancarkan aliran darah, meningkatkan kebugaran tubuh, menguatkan otot dan
meningkatkan kepadatan tulang, menjaga keseimbangan dan koordinasi tubuh serta
merupakan media yang baik untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman
sebaya sehingga mereka dapat saling berbagi dan merasa tidak sendiri.
Makin bertambahnya usia, makin besar kemungkinan seseorang mengalami
permasalahan fisik, jiwa, spiritual, ekonomi dan social. Salah satu permasalahan yang
sangat mendasar pada lanjut usia adalah masalah kesehatan akibat proses degeneratif,
hal ini ditunjukkan oleh data pola penyakit pada lanjut usia. Berdasarkan riset
kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013, penyakit terbanyak pada lanjut usia terutama
adalah penyakit tidak menular antara lain hipertensi, osteo artritis, masalah gigi-mulut,
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan Diabetes Mellitus (DM). Kegiatan
senam pada lansia yang diadakan setiap 1 minggu sekali yang bertujuan untuk
membantu lansia selalu berada dalam keadaan sehat baik secara fisik, spiritual maupun
social yang memungkinkan mereka hidup produktif secara social dan ekonomis serta
mandiri yang berarti dapat melakukan aktifitas sehari hari tanpa bantuan orang lain
Inovasi BARA KO DAA (Berikan Kartu Pengingat Kontrol Tekanan Darah)
memberi dampak yang positif diantaranya mengontrol kesehatan, dan dalam pengingat
dalam konsumsi obat-obatannya serta jadwal pengambilan obat pasien setiap bulannya
Indikator keberhasilan antara lain jika diluar gedung adalah kehadiran, tekanan darah
pasien terkendali atau tidak terkendali, konsumsi obat-obatan dan pemantauan kondisi
pasien dengan mengunjungi rumah-rumah pasien dilakukan oleh program Perawatan
Kesehatan Masyarakat (Perkesmas), yang mana program ini mengikut sertakan
keluarga untuk memantau perkembangan kesehatan lansia, dan kepatuhan minum
obat, serta memahami kondisi kesehatan lansia jika memburuk segera mendapatkan
pelayanan. Jika dilakukan dipuskesmas dipantau pemanfaatan kartu pengingatnya
dalam pengingat dalam mengambil obat kepuskesmas.
Adanya inovasi BARA KO DAA (Berikan Kartu Pengingat Kontrol Tekanan
Darah) ini akan menguatkan pelayanan kesehatan primer dengan mendorong
peningkatan upaya promotif, preventif dan kuratif sesuai dengan siklus hidup, yaitu:
ibu hamil, nifas, dan menyusui; bayi dan balita; usia sekolah dan remaja; usia
produktif dan lanjut usia dengan memberikan rujukan ke puskesmas bagi penderita
yang beresiko menderita Hipertensi dan Diabetes Mellitus
ISU STRATEGIS GLOBAL
transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan kapasitas serta
kapabilitas pelayanan kesehatan primer, sehingga mampu melayani seluruh penduduk
dengan pelayanan kesehatan yang lengkap dan berkualitas melalui posyandu yang
merupakan salah satu jenis Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) yang merupakan
wadah partisipasi masyarakat bertugas membantu Wali Nagari di bidang pelayanan
kesehatan dan bidang lainnya sesuai kebutuhan.
ISU STRATEGIS NASIONAL
Standard pelayanan minimal terkait :
1. Pelayanan Kesehatan pada Usia Produktif
2. Pelayanan Kesehatan pada Usia Lanjut
3. Pelayanan Kesehatan Penderita Hipertensi

METODE PEMBAHARUAN
Inovasi BARA KO DAA (Berikan Kartu Pengingat Kontrol Tekanan Darah)
memberi dampak yang positif bagi kelompok lanjut usia dimana mereka langsung
merasakan dampak dari inovasi ini yaitu kelompok pra lansia dan lansia bisa
memanfaatkan kartu pengingat dalam kegiatan sehari-hari, diantaranya mengontrol
kesehatan, dan dalam pengingat dalam konsumsi obat-obatannya serta jadwal
pengambilan obat pasien setiap bulannya Indikator keberhasilan antara lain jika diluar
gedung adalah kehadiran, tekanan darah pasien terkendali atau tidak terkendali,
konsumsi obat-obatan dan pemantauan kondisi pasien dengan mengunjungi rumah-
rumah pasien dilakukan oleh program Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas),
yang mana program ini mengikut sertakan keluarga untuk memantau perkembangan
kesehatan lansia, dan kepatuhan minum obat, serta memahami kondisi kesehatan
lansia jika memburuk segera mendapatkan pelayanan. Jika dilakukan dipuskesmas
dipantau pemanfaatan kartu pengingatnya dalam pengingat dalam mengambil obat
kepuskesmas.
Adapun sasaran inovassi ini adalah Penderita hipertensi yang ditemukan di
wilayah kerja Puskesmas yang tidak melakukan pengobatan secara teratur dan yang
sudah berobat secara teratur.
SEBELUM PEMBAHARUAN
Capaian standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan di Puskesmas
Ketaping tahun 2022 masih jauh dari target yang ditetapkan seperti Jumlah penderita
hipertensi usia ≥15 tahun di dalam wilayah kerjanya yang mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai standar hanya 42%,
SESUDAH PEMBAHARUAN
Pelaksana inovasi adalah kader dan penderita hipertensi yang sudah teratur
melaksanakan pengobatan, diharapkan Peran aktif penderita hipertensi yang terlibat
dalam inovasi bisa memberikan motivasi, edukasi / pendampingan bagi sesama
penderita hipertensi yang belum melaksanakan pengobatan secara rutin, sehingga
penderita hipertensi yang belum melakukan pengobatan secara rutin diharapkan
termotivasi berobat secara rutin. Dengan demikian penderita hipertensi bisa
dimonitoring dan dievaluasi oleh tenaga kesehatan siapa saja dan dimana saja dengan
menggunakan kartu tersebut

KEUNGGULAN/KEBARUAN

Dengan adanya inovasi ini dilaksanakan tahapan Sosialisasi program melalui


Media sosial dan Pertemuan Lokakarya mini bulanan serta Pertemuan Lokakarya mini
tribulan Linsek , sosialisasi juga dilakukan pada kegiatan pemberdayaan kader PTM
posbindu , Pertemuan jejaring dan jaringan Puskesmas
Pelaksanaan kegiatan Pelaksanaan kegiatan dimulai pada tahun 2023 yang dilaksanakan
dengan alur sebagai berikut :
1) Pemegang program PTM dan lansia Memberikan kartu pengingat untuk
memantau pengobatan hipertensi
2) Pelaksana Inovasi mendistribusikan kartu pengingat kepada sasaran
3) Pelaksana Inovasi memberikan edukasi kepada penderita hipertensi yang
menjadi sasaran untuk selalu berobat secara teratur
4) Setiap berobat penderita harus membawa kartu pengingat dan
memintakan hasil pemeriksaan kepada pemeriksa untuk menulis hasil
pemeriksaan ( tgl periksa, tanggal control, Tensi, obat )
5) Pemeriksa untuk menulis hasil pemeriksaan ( tgl periksa, tanggal control,
Tensi, obat ) pada kartu pengingat
6) Setiap bulan diakhir bulan pelaksana Inovasi memantau pengobatan
penderita hipertensi melalai kartu pengingat
7) Pelaksana melaporkan hasil pantauannya kepada pemegang program PTM
dan lansia Puskesmas
8) Pemegang program PTM Puskesmas memonitoring dan mengevaluasi
hasil pemantauan pelaksana inovasi
9) Pendokumentasian kegiatan

TUJUAN INOVASI
secara umum tujuannya agar semua penderita hipertensi melakukan
pengobatan secara teratur, tujuan khusus meningkatkan kesadaran penderita hipertensi
untuk berobat secara rutin dan teratur, memantau keteraturan pengobatan penderita
hipertensi dan mendapatkan data yang akurat bagi penderita hipertensi yang berobat
secara teratur.

MANFAAT
Manfaat inovasi ini salah satunya sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat
dan kader posyandu dan Peran aktif penderita hipertensi, karena pelaksana inovasi
adalah kader dan penderita hipertensi yang sudah teratur melaksanakan pengobatan,
diharapkan Peran aktif penderita hipertensi yang terlibat dalam inovasi bisa memberikan
motivasi, edukasi / pendampingan bagi sesama penderita hipertensi yang belum
melaksanakan pengobatan secara rutin, sehingga penderita hipertensi yang belum
melakukan pengobatan secara rutin diharapkan termotivasi berobat secara rutin. Dengan
demikian penderita hipertensi bisa dimonitoring dan dievaluasi oleh tenaga kesehatan
siapa saja dan dimana saja dengan menggunakan kartu tersebut.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit degeneratif yang penularannya
tidak terjadi dari orang ke orang. Penyakit ini terjadi secara perlahan yang semakin lama
semakin serius dan terjadi dalam periode waktu yang lama atau biasanya disebut dengan
penyakit kronis(Kementerian Kesehatan RI, 2017).Secara global,World Health
Organization(WHO) tahun 2015, penyakit tidak menular menyebabkan 40 juta atau sekitar
70% dari 56 juta kematian di dunia. Sekitar 52% kematian usia <70 tahun disebabkan oleh
penyakit tidak menular. Salah satu penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit tidak
menular tersebut yaitu hipertensi. Hipertensi selain dikenal sebagai penyakit, juga
merupakan faktor risiko penyakit jantung, pembuluh darah, ginjal, stroke dan diabetes
mellitus.
Hipertensi merupakan penyakit yang dapat menyerang siapa saja. Hipertensi juga
disebut sebagai the silent killer karena sering terjadi tanpa keluhan sehingga penderita tidak
mengetahui dirinya terkena hipertensi dan baru diketahui setelah terjadinya
komplikasi(Kementerian Kesehatan RI, 2019). Menurut Joint National Committe on
Prevention Detection, Evaluation,and Treatment of High Blood Pressure VII/ JNC 2003
hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara
kronis, yaitu tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih
dari 90 mmHg (Depkes RI, 2018).
World Health Organization(WHO)tahun 2015 menunjukkan bahwa sekitar 1,13 miliar
orang di dunia terkena hipertensi. Jumlah penderita hipertensi terus meningkat setiap
tahunnya, sehingga diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 miliar orang terkena
hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal akibat hipertensi dan
komplikasinya. Dari 50% penderita hipertensi yang terdeteksi hanya 25% yang mendapat
pengobatan dan hanya 12,5% yang bisa diobati dengan baik.
Institute for Health Metrics and Evaluation(IHME) tahun 2017 menyatakan tentang
faktor risiko penyebab kematian prematur dan disabilitas di dunia berdasarkan angka
Disability Adjusted Life Years (DAILYs) untuk semua kelompok umur. Berdasarkan
DAILYs tersebut, tiga faktor risiko tertinggi pada laki-laki yaitu merokok, peningkatan
tekanan darah sistolik dan peningkatan kadar gula. Sedangkan faktor risiko pada wanita yaitu
peningkatantekanan darah sistolik, peningkatan kadar gula dan IMT tinggi.
Hipertensi memiliki tingkat prevalensi yang tinggi dalam populasi secara umum,
meskipun terdapat ketersediaan obat yang luas, hanya sekitar 25% pasien hipertensi yang
mempunyai tekanan darah terkontrol (Bhagani et al., 2018). Menurut penelitianBaran et al.,
(2017)di Turki didapatkan kepatuhan yang tinggi terhadap penggunaan obat
konvensional/tradisional sehingga banyak pasien hipertensi yang tidak patuh minum obat
antihipertensi. Pasien hipertensi mengalami kesulitan dalam kepatuhan terhadap pengobatan
antihipertensi yang dapat memperburuk status kesehatannya. Kurangnya kepatuhan terhadap
obat hipertensi adalah alasan utama tekanan darah yang tidak terkontrol dan merupakan
faktor risiko utama terjadinya penyakit lain, seperti penyakit jantung koroner, trombosis
serebral, stroke dan gagal ginjal kronis.
Menurut data Survey Indikator Kesehatan Nasional (Sirkernas) tahun 2016, laki-laki
dengan hipertensi yang patuh minum obat antihipertensi sebesar 30,0% dan tidak patuh
minum obat antihipertensi sebesar 70,0% sedangkan perempuan dengan hipertensi yang
patuh minum obat sebesar 30,7% dan tidak patuh minum obat 69,3%. Hal ini menunjukan
bahwa hanya 30% pasien hipertensi yang minum obat antihipertensi (Sirkernas, 2016). Data
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menyebutkan bahwa biaya
pelayanan hipertensi mengalami peningkatan setiap tahunnya yaitu pada tahun 2016 sebesar
2,8 triliun rupiah, tahun 2017 dan tahun 2018 sebesar 3 triliun rupiah (BPJS, 2018).
Dari prevalensi hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8% terdiagnosis
hipertensi dan 54,4% orang yang terdiagnosis hipertensi rutin minum obat, 32,3% tidak rutin
minum obat serta 13,3% tidak minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penderita hipertensi sudah mengetahui bahwa dirinya hipertensi sehingga mendapatkan
pengobatan.
Adapun penderita yang masih tidak minum obat dengan alasan karena penderita
hipertensi merasa sehat (59,8%), kunjungan tidak teratur ke fasyankes (31,3%), minum obat
tradisional (14,5%), menggunakan terapi lain (12,5%), lupa minum obat (11,5%), tidak
mampu beli obat (8,1%), terdapat efek samping obat (4,5%), dan obat hipertensi tidak
tersedia Fasyankes (2%).
Pasien yang taat terhadap pengobatan memiliki prognosis yang akan jauh lebih baik
dibandingkan dengan pasien yang tidak taat terhadap pengobatannya sehingga akan
memperburuk kondisi kesehatannya sendiri(WHO, 2013). Hal tersebut akan sangat
berbahaya karena akan lebih meningkatkan tekanan darah sebelumnya sehingga
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi akibat hipertensi dan bahkan kematian.
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah salah satu masalah kesehatan
masyarakat terbesar dan dianggap sebagai penyebab utama dari hipertensi. Kurangnya
kepatuhan kepada obat antihipertensi adalah alasan utama untuk kontrol hipertensi yang
buruk. Kepatuhan yang rendah terhadap obat antihipertensi juga telah diamati di antara
pasien hipertensi, lebih dari setengah dari mereka tidak mencapai tekanan darah yang
terkontrol, sehingga menyerah pada penyakit dan kualitas hidup berkurang.
Kepatuhan menjalani pengobatan bagi penderita hipertensi merupakan hal penting
karena hipertensi merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan namun harus selalu
dikontrol atau dikendalikan agar tidak terjadi komplikasi yang dapat berujungpada
kematian (Nugraha, 2019). Permasalahan ketidakpatuhan umum dijumpai dalam
pengobatan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang seperti penyakit
hipertensi.
Obat-obat antihipertensi yang ada saat initelah terbukti dapat mengontrol tekanan
darah pada pasien hipertensi dan juga sangat berperan dalam menurunkan risiko
berkembangnya komplikasi kardiovaskular. Namun demikian, penggunaan antihipertensi
saja terbukti tidak cukup untuk menghasilkan efek pengontrolan tekanan darah jangka
panjang apabila tidak didukung dengan kepatuhan dalam menggunakan antihipertensi
tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam faktor-
faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi.
Carpenito (2012) berpendapat bahwa faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan adalah
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi penderita sehingga penderita tidak mampu lagi
mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh.
Oleh karena itu, berdasarkan masalah tersebut puskesmas ketaping membuat sebuah
Inovasi BARA KO DAA “(Pendampingan melalui Kartu pengingat pada penderita
Hipertensi )” Inovasi ini dilakukan karena berdasarkan data SPM tahun 2020 ditemukan
bahwa hanya 36 % pasien hipertensi yang usia ≥15 tahun di dalam wilayah kerjanya yang
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar (target 2007 pasien hipertensi), dilakukan
analisis situasi penyebab hal tersebut adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai
pentingnya pengendalian factor resiko, tekanan darah dan berobat teratur ke fasilitas
pelayanan kesehatan, serta kurangnya motivasi keluarga dalam mendukung pasien untuk
berobat.
Penderita hipertensi kebanyakan tidak minum obat secara teratur dan rutin karena
disaat gejala sudah tidak terasa lagi penderita berhenti minum obat, obat yang dikonsumsi
dibeli di warung karena tidak punya kartu BPJS, tidak cocok mengkonsumsi obat
Hipertensi sehingga membiarkan gejala penyakit dirasakan terus menerus oleh tubuh (hasil
kunjungan awal PIS PK).
Dari data SPM tahun 2020 juga ditemukan masih ada 27 % orang usia 15-59 tahun
yang tidak mendapat pelayanan skrining kesehatan sesuai standar, hal ini dapat
mengakibatkan masyarakat tidak mengetahui kondisi kesehatan diri sendiri, tidak bisa
mencegah factor resiko PTM, tidak bisa mencegah terjadinya penyakit PTM bagi yang
memiliki factor resiko dan tidak bisa mencegah terjadinya komplikasi berat seperti jantung,
gagal ginjal, glukoma serta stroke.
3.2 Tinjauan Tentang Perilaku
1. Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2005:133) perilaku adalah hubungan antara stimulus
(perangsang) dengan respon (tanggapan). Perilaku merupakan reaksi (respon)
seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar. Oleh karena itu terjadi proses
sampai terbentuknya suatu perilaku. Menurut teori Skinner dalam (Notoatmodjo,
2003:133-134) dijelaskan bahwa terdapat dua jenis respon yaitu :
a. Respondent respons (refleksif)
Merupakan respon yang timbul akibat rangsangan tertentu (eliciting stimuli)
karena dapat menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Contohnya; cahaya yang
terang akan menimbulkan reaksi mata untuk tertutup, mendengar berita baik akan
menimbulkan respon yang senang atau gembira, dan lain sebagainya.
b. Operant respons
Respon yang timbul lalu diikuti dengan rangsangan (stimulus) yang lain.
Disebut sebagai reinforcing stimuli karena fungsinya untuk memperkuat respon.
Contohnya; seorang karyawan jika mendapatkan upah yang banyak atau reward dari
atasannya, akan mengakibatkan karyawan tersebut semakin giat dalam bekerja.
Perilaku seseorang terbentuk karena dua faktor utama, yaitu; faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal (stimulus) merupakan faktor lingkungan; yaitu
lingkungan fisik maupun non fisik dalam lingkungan sosial, budaya, politik dan
ekonomi. Sedangkan faktor internal seperti; perhatian, persepsi, pengamatan, motivasi,
sugesti dan lain sebagainya.
2. Domain Perilaku
Benyamin Bloom (1980) dalam (Notoatmodjo, 2010:139) perilaku manusia
terbagi atas 3 (tiga) domain diantaranya: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan
psikomotor (tindakan).
a. Pengetahuan (Knowledge)
Adalah hasil dari tahu yang terjadi pasca orang tersebut menggunakan alat indranya
untuk memahami suatu obyek tertentu. Alat indra yang dimaksud seperti penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Namun sebagian besar pengetahuan seseorang
diperoleh dari indra penglihatan dan pendengaran.
b. Sikap (Attitude)
Adalah respon atas reaksi manusia terhadap ransangan atau stimulus yang masih
terselubung dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap bukanlah suatu
tindakan atau aktivitas, tapi sikap merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.
Seseorang yang bersikap artinya mempersiapkan dirinya untuk bereaksi terhadap
objek di lingkungannya sebagai suatu pengahayatan terhadap objek tersebut.
c. Tindakan (Practice)
Merupakan proses untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan atau
tindakan yang nyata didukung oleh faktor atau kondisi yang memungkinkan untuk
bertindak, seperti fasilitas.
3. Perilaku Kesehatan
Menurut (Annisa & Ansar, 2013)bahwa perilaku kesehatan terdiri atas :
a. Healthy Behavior (Perilaku Sehat)
Merupakan bentuk perilaku melalui usaha seseorang dalam mempertahankan serta
meningkatkan derajat kesehatannya. Seperti : makan makanan yang seimbang
(mengandung zat gizi yang dibutuhkan serta sesuai dengan kuantitas atau jumlah
yang cukup), tidak merokok, melakukan olahraga secara teratur, menjauhi minuman
keras, istirahat, mengendalikan stress, serta menerapkan gaya hidup sehat.
b. Illnes Behavior (Perilaku Sakit)
Perilaku ini mencakup respon seseorang terhadap rasa sakit dan penyakit,
pengetahuan tentang gejala, penyebab dan pengobatan serta persepsi sakit dan lain
sebagainya.
c. The Sick Role Behavior (Perilaku Peran Sakit)
Jika ditinjau dari segi sosiologi, orang sakit memiliki peran yang mencakup hak-hak
orang sakit dan kewajibannya. Hak serta kewajiban tersebut tentunya harus diketahui
oleh orang sakit tersebut atau orang lain (keluarga). Hak dan kewajiban tersebut
adalah
1) Tindakan untuk mendapatkan kesembuhan.
2) Mengetahui sarana atau fasilitas kesehatan untuk penyembuhan penyakit
dengan layak.
3) Mengetahui hak dalam memperoleh pelayanan dan perawatan kesehatan serta
kewajibannya (mengabarkan penyakitnya kepada orang lain, terutama kepada
dokter/petugas kesehatan dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain,
dsb).
4) Determinan Perilaku
Perilaku manusia merupakan resultan dari dua faktor utama, yaitu internal dan
eksternal (lingkungan) sehingga sulit untuk dibatasi. Karena secara garis besar
perilaku terdiri atas 3 aspek yaitu : aspek fisik, psikis dan sosial. Perilaku
manusia juga merupakan refleksi dari aspek kejiwaan, meliputi pengetahuan,
kehendak, minat, motivasi, persepsi dan sikap. Aspek kejiwaan tersebut juga
bisa dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lain meliputi : pengalaman,
keyakinan, sosiobudaya masyarakat, sarana fisik dan sebagainya.
Teori Lawrence Green (1980) dalam (Notoatmodjo,2010:178) menyatakan
bahwa determinan perilaku manusia dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh
faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (nonbehaviour
causes). Kemudian perilaku manusia terbentuk atas 3 (tiga) faktor utama, yaitu :
a. Predisposing Factors (faktor-faktor prediposisi). Faktor ini terwujud dalam bentuk
pengetahuan, kepercayaan, sikap, keyakinan serta nilai-nilai.
b. Enabling Factors (faktor-faktor pendukung). Faktor ini terwujud dari segi
lingkungan fisik yang menyediakan fasilitas atau sarana kesehatan. Seperti obat-
obatan, puskesmas, alat kontrasepsi dan lain sebagainya.
c. Reinforcing Factors (faktor-faktor pendorong). Faktor ini terwujud melalui sikap
atau perilaku dari orang yang berpengaruh di lingkungan sekitar, petugas kesehatan
ataupun petugas lain yang menjadi referensi terbentuknya perilaku seseorang. Seperti
keluarga, masyarakat, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan dan sebagainya.

3.3 Tinjauan Tentang Kepatuhan


1. Pengertian kepatuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepatuhan berasal dari kata patuh yaitu
suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan disiplin. Kepatuhan
dapat diartikan sebagai ketaatan melakukan sesuatu yang dianjurkan atau yang
ditetapkan. Sementara itu, WHO (2013) mendefinisikan kepatuhan sebagai seberapa
baik perilaku seseorang dalam mengonsumsi obat, mengikuti diet atau mengubah
gaya hidup sesuai dengan tatalaksana terapi(Violita, 2015).
Kepatuhan seorang pasien yang menderita hipertensi tidak hanya
dilihatberdasarkan kepatuhan dalam meminum obat antihipertensi tetapi juga
dituntutperan aktif pasien dan kesediaanya untuk memeriksakan ke dokter sesuai
dengan jadwal yang ditentukan. Keberhasilan dalam mengendalikan tekanan darah
tinggi merupakan usaha bersama antara pasien dan dokter yang menanganinya.
Kepatuhan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu kepatuhan yang
disengaja dan kepatuhan yang tidak disengaja. Kepatuhan yang disengaja disebabkan
oleh keterbatasan dalam biaya pengobatan, sikap apatis oleh pasien, dan
ketidakpercayaan pasien terhadap efektivitas obat. Sedangkan kepatuhan yang tidak
disengaja dikarenakan pasien lupa, ketidaktahuan terhadap petunjuk pengobatan dan
kesalahan dalam halpembacaan etiket(Liberty et al., 2017).
2. Faktor yang memengaruhi kepatuhan
Derajat atau tingkat ketidakpatuhan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup
yang dibutuhkan, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mematuhi nasihat tersebut,
apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan, apakah pengobatan tersebut
berpotensi menyelamatkan hidup serta tingkat keparahan penyakit yang dirasakan
oleh pasien.
Beberapa penelitian memaparkan bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi
kepatuhan berobat pasien hipertensi terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal meliputi karakteristik penderita yaitu usia, latar belakang
sosial, nilai, sikap danemosiyang disebabkan oleh penyakit. Adapun faktor eksternal
yaitu dampak pendidikan kesehatan, hubungan penderita dengan petugas
kesehatandan dukungan dari keluarga, petugas kesehatan dan teman(Awaluddin et
al., 2018).
Niven (2002)menggolongkan empat faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan.
Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Pemahaman tentang instruksi
Sebagian besar pasien tidak memahami intruksi yang diberikan oleh karena
kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,
penggunaan istilah-istilah medis dan banyaknya instruksi yang harus diingat
oleh pasien.
b. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian
penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Keterampilan interpersonal yang
memengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan menunjukkan pentingnya
sensitifitas dokter terhadap komunikasi verbal dan nonverbal pasien serta empati
terhadap perasaan pasien yang kemudian akan menghasilkan suatu kepatuhan.
c. Isolasi sosial dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang
program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi
dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga
yang sakit.
d. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Ciri-ciri kepribadian seperti mengalami depresi, ansietas, memiliki kekuatan ego
yang lemah dan memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri menyebabkan
seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program pengobatannya.
Selain empat faktor yang dikemukakan oleh Niven (2002), menurut (Puspita,
2016) menjelaskan ada beberapa faktoryang memengaruhi kepatuhan dalam
pengobatan hipertensi, faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
a. Faktor tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan bisa memengaruhi penderita dalam kepatuhan
menjalankan pengobatan hipertensi. Hal ini terjadi karena individu
merupakan sosok yang unik karena memiliki beranekaragam kepribadian,
sifat budaya, dan kepercayaan yang berbeda (Ekarini, 2012).
b. Lama menderita hipertensi
Tingkatkepatuhan penderita hipertensi dalam berobat di Indonesia cukup
rendah. Semakin lama seseorang mengalami penyakit hipertensi maka
tingkat kepatuhan seseorang akan menurun atau rendah, karena kebanyakan
penderita merasa bosan karena harus mengonsumsi obat hipertensi(Gama et
al., 2014).
c. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan adalah salah satu faktor yang bisa memengaruhi
seseorang dalam kepatuhan dalam pengobatannya. Dengan ini seseorang
yang memiliki pengetahuan yang cukup terhadap penyakitnya, maka
seseorang akan termotivasi atau terdorong untuk patuh dalam
pengobatannya dan akan menjalankan pengobatan terhadap
hipertensi(Pratama & Ariastuti, 2016).
d. Adanya dukungan dari keluarga
Dukungan dari keluarga merupakan suatu sikap, tindakan, dan penentuan
keluarga pada penderita hipertensi (Friedman, 2010). Dukungan dari
keluarga sangat penting untuk menyemangati dan meningkatkan jika
penyakit hipertensi naik menjadi sangat parah. Dukungan emosional
keluarga diharapkan bisa membantu untuk mengurangi kecemasan yang
dipengaruhi oleh beberapa komplikasi hipertensi. Dengan hal ini maka perlu
untuk ditingkatkannya lagi dukungan sosial keluarga yang posistif baik itu
dukungan instrumental, emosional, informasional atu penghargaan
(Tumenggung, 2013).
e. Peran dalam petugas kesehatan
Petugas kesehatan bisa memantau efek samping yang akan terjadi pada
penderita dan bisa mengajarkan ke pasien untuk mengenal keluhan dan
gejala yang terjadi pada penderita. Selain itu petugas juga bisa
menganjurkan mereka untuk melaporkan kondisinya kepada petugas
kesehatan. Petugas kesehatan juga harus melakukan pemeriksaan rutin dan
menanyakan keluhan pada saat penderita melakukan pemeriksaan, untuk itu
sebagai seorang petugas kesehatan maka harus memberikan dorongan
motivasi kepada penderita untuk melakukan pengobatan yang rutin.
f. Motivasi terhadap kepatuhan pengobatan
Motivasi tinggi bisa terbentuk karena adanya hubungan antara dorongan,
tujuan dan kebutuhan. Dengan adanya kebutuhan ingin sembuh, penderika
akan terdorong patuh untuk menjalani pengobatan, yang tujuannya
merupakan akhir dari siklus motivasi (Ekarini, 2012).
3. Cara mengukur kepatuhan
Keberhasilan pengobatan pada pasien hipertensi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu peran aktif pasien dan kesediaanya untuk memeriksakan ke
dokter sesuai dengan jadwal yang ditentukan serta kepatuhan dalam
meminumobat antihipertensi. Kepatuhan berobat dapat diketahui melalui tujuh
cara yaitu keputusan dokter yang didasarkan pada hasil pemeriksaan,
pengamatan, terhadap jadwal pengobatan, penilaian pada tujuan pengobatan,
perhitungan jumlah tablet/pil pada akhir pengobatan, pengukuran kadar obat
dalam darah dan urin, wawancara pada pasien dan pengisian formulir khusus.
Kepatuhan pasien dalam berobatjuga dapat diukurmenggunakan berbagai
metode, salah satu metode yang dapat digunakan adalahmetode MMAS-8
(ModifedMorisky Adherence Scale)(Evadewi & Suarya, 2013).

4. Cara meningkatkan kepatuhan


Sejumlah strategi telah dikembangkan untuk mengurangi ketidakpatuhan minum
obat. Aulia (2018) memaparkan cara-cara untuk mengatasi masalah ketidakpatuhan
sebagai berikut :
a. Memberikan informasi mengenai manfaat dan pentingnya kepatuhan untuk
mencapai keberhasilan pengobatan.
b. Mengingatkan baik melalui telepon atau alat komunikasi lainnya, bahwa dalam
melakukan segala sesuatu harus dilakukan dalam rangka mencapai kerbehasilan
pengobatan.
c. Menunjukkan kemasan obat yang sebenarnya atau bentuk obat aslinya.
d. Memberikan keyakinan mengenai efktivitas obat untuk penyembuhan.
e. Memberikan informasi mengenai resiko atau dampak dari ketidakpatuhan
minum obat.
f. Menggunakan alat bantu kepatuhan seperti multikompartemen atau sejenisnya.
g. Perlu adanya dukungan dari pihak keluarga, teman dan kerabat terdekat untuk
meningkatkan kepatuhan minum obat.

3.4 Tinjauan Tentang Hipertensi


1. Pengertian Hipertensi
Menurut Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation,and
Treatment of High Blood Pressure VII/ JNC 2003 hipertensi adalah suatukeadaan
dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan diastolik ≥90 mmHg(Depkes
RI, 2013). Hipertensi merupakan suatu gangguan yang terjadi di pembuluh
darahyang dapat mengakibatkan suplai oksigendan nutrisi yang dibawa oleh darah
terhambathingga ke jaringan tubuhyang membutuhkanya. Jika dibiarkan, penyakit
ini dapat mengganggu fungsi organorgan lain terutama organ-organ vital seperti
jantung dan ginjal (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Hipertensi atau biasa disebut dengan tekanan darah tinggi menjadi penyebab
utama stroke sehingga penyakit hipertensi ini pun dikatakan dapat meningkatkan
angka morbiditas dan mortalitas. Penyakit ini menjadi ancaman berat bagi
masyarakat karena dengan tiba-tiba seseorang dapat divonis menderita darah tinggi
tanpa disertai keluhan(Puspita, 2016).
2. Klasifikasi Hipertensi
Tekanan darah manusia meliputi tekanan darah sistolik yaitu tekanan darah
ketika jantung menguncup dan tekanan darah diastolik yaitu tekanan darah ketika
jantung beristirahat. Klasifikasi tekanan darah terbagi menjadi 4 kategori, dengan
nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah
diastolik (TDD) <80 mmHg. Pre-hipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit
tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat
ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi,
dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat(Puspita, 2016). Terdapat
klasifikasi hipertensi menurut
JNC sebagai berikut :
Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi menurut The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) Tahun 2003

Kategori Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80


Prehipertensi 120-139 80-90
Hipertensi ≥ 140 90
Tingkat 1 140-159 90-99
Tingkat 2 ≥ 160 ≥ 100
Su
mber : Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI 2017:2
Adapun berdasarkan kausa atau penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua jenis
sebagai berikut(Violita, 2015):
a. Hipertensi primer atau esensial yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.
Terdapat beberapa faktor yang dikaitkan dengan hipetensi primer ini antara lain,
genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem rennin-angiotensin,
defek dalam eksresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler, serta faktor lainnya
seperti obesitas (kelebihan berat badan), alkohol, rokok, dan polisitemia. Lebih dari
90%-95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi
primer).
b. Hipertensi sekunder atau renal yaitu hipertensi yang sudah diketahui penyebab
spesifiknya, seperti kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid,
penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vascular renal, dan lain-lain.
Sebanyak 10% penderita hipertensi digolongkan dalam hipertensi sekunder.
3. Gejala Hipertensi
Sebagian penderita hipertensi tidak menyadari dirinya menderita hipertensi
sedangkan sekitar 70% penderita hipertensi mengabaikan penyakitnya hingga
kemudian menjadi parah.Hal tersebut dikarenakan tidak adanya gejala. Gejala akan
terlihat ketika terjadinya komplikasi pada organ tubuh lainnya seperti ginjal, jantung
dan otak(Pratiwi & Perwitasari, 2017). Ada kesalahan pemikiran yang sering terjadi
di kalangan masyarakat bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit
padahal kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan
adanya gejala penyakit (WHO, 2013).
Satu-satunya tanda atau gejala dari hipertensi primer yakni hasil pemeriksaan
tekanan darah yang tinggi. Namun, gejala yang paling sering dijumpai yaitu, pusing,
gelisah, jantung berdebar-debar, sakit kepala, penglihatan kabur dan mudah lelah
(Depkes RI, 2013). Adapun komplikasi penyakit lainnya, seperti gangguan
penglihatan, gangguan jantung, gangguan saraf, gangguan fungsi ginjal, gangguan
otak yang mengakibatkan kejang, kelumpuhan akibat pendarahan otak dan gangguan
kesadaran hingga koma (Violita, 2015).

4. Diagnosis Hipertensi
Diagnosis yang akurat merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan
hipertensi. Akurasi cara pengukuran tekanan darah dan alat ukur yang digunakan,
serta ketepatan waktu pengukuran. Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan
dalam satu kali pengukuran, namun perlu dilakukan pengukuran kedua kali atau pada
kunjungan berikutnya, kecuali jika hasil pengukuran pertama sangat tinggi atau
terdapat gejala-gejala klinis. Pengukuran tekanan darah pun harus dilakukan dengan
prosedur yang baik yaitu pasien duduk bersandar, tidur atau berdiri dan telah
beristirahat selama lima menit sebelum pengukuran. Jika perlu untuk mengurangi
penyimpangan dilakukan dua kali pengukuran dalam selang waktu 5-20 menit pada
sisi kanan dan kiri(Aulia, 2018).
Pemeriksaan hipertensi meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya,
riwayat dan gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit ginjal, jantung dan
lainnya. Selain itu dilihat dari faktor risiko seperti riwayat penyakit keluarga,
perubahan aktivitas (alkohol dan merokok), konsumsi makanan, obat-obatan bebas,
hasil dan efek samping obat antihipertensi sebelumnya bila ada serta faktor
psikososial lingkungan (keluarga, pekerjaan dan lain-lain).
Di puskesmas, diagnosis hipertensi ditegakkan oleh dokter, setelah mendapatkan
peningkatan tekanan darah dalam dua kali pengukuran dengan jarak satu minggu.
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥140/90 mmHg, bila salah satu
baik sistolik maupun diastolik meningkat sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
hipertensi (Depkes RI, 2013). Pemeriksaan lebih teliti pun diperlukan untuk menilai
adanya komplikasi hipertensi. Penegakkan diagnosis komplikasi penyakit akibat
hipertensi dilakukan melalui upaya mengidentifikasi adanya pembesaran jantung,
gagal jantung, gangguan neurologi, dan pemeriksaan fundoskopi(Puspita, 2016).
5. Faktor Risiko Hipertensi
Faktor risiko kejadian hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu faktor risiko minor (tidak dapat diubah) dan faktor risiko mayor (dapat diubah)
sebagai berikut(Depkes RI, 2006):
a. Faktor Risiko Minor
Faktor risiko minor atau yang tidak dapat diubah antara lain umur, jenis kelamin
dan keturunan.
1) Umur,dikatakan memengaruhi kejadianhipertensi.Dengan bertambahnya
umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar. Pada usia lanjut,
hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah
sistolik.Kejadian ini disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh
darahbesar.
2) Jenis Kelamin, menurut jenis kelamin pria disebut memiliki gayahidup yang
beresiko meningkatkan tekanan darah. Terdapat perbedaan rasio sekitar
2,29% antara pria dan wanita untuk peningkatan tekanan darah sistolik.
Namun, jumlah penderita hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan pria, hal tersebut disebabkan oleh adanya menopause
(faktor hormonal) yang dialami wanita. Menurunnya kadar hormon seks
(hormone estrogen yang terbuat dari kolesterol) setelah menopause
menyebabkan wanita cenderung terkena hipertensi.
3) Keturunan (genetik), dapat dilihat dari riwayat keluarga. Untuk jenis
hipertensi primer sangat dipengaruhi oleh keturunan. Faktor keturunan atau
genetik ini berkaitan dengan proses metabolisme pengaturan garam dan renin
membran sel. Davidson menyatakan bahwa jika kedua orang tua menderita
hipertensi maka kemungkinan 45% akan diturunkan ke anakanaknya.
b. Faktor Risiko Mayor
Faktor risiko mayor atau yang dapat diubah antara lain berasal dari perilaku
atau pola hidup, seperti obesitas, stress, merokok, alkohol, konsumsi garam
berlebih, kurang aktivitas/olahraga dan lain-lain.
1) Obesitas (kelebihan berat badan), atau biasa disebut kegemukan ialah
keadaan dimana terjadi abnormalitas kadar lemak dalam tubuh yang
dinyatakan melalui Indeks Massa Tubuh (IMT). Obesitas berkaitan dengan
tekanan darah, hal tersebut telah dibuktikan dalam beberapa studi yang
menghasilkan adanya risiko lima kali lebih tinggi pada orang gemuk untuk
terkena hipertensi.
2) Stress atau rasa tertekan, marah, dendam, takut, murung dan rasa bersalah
dikatakan sebagai ketegangan jiwa. Dimana hal tersebut dapat berpengaruh
terhadap pelepasan hormon adrenalin sehingga memacu jantung berdenyut
lebih cepat dan kuat maka terjadilah peningkatan tekanan darah.
3) Merokok, terdapat hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular telah banyak dibuktikan. Zat kimia dalam rokok jika
masuk kedalam tubuh akan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri,
kemudian berakibat kepada munculnya proses antereosklerosis dan tekanan
darah tinggi. Merokok juga dapat meningkatkan denyut jantung karena
meningkatnya kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
4) Alkohol, diduga dapat meningkatkan kadar kortisol dan volume sel darah
merah sehingga menyebabkan darah mengental yang kemudian memicu
terjadinya peningkatan tekanan darah. Hasil studi menunjukkan bahwa
mengonsumsi alkohol sebanyak 2-3 gelas setiap harinya dapat berdampak
langsung kepada tekanan darah.
5) Konsumsi garam berlebih, adanya kadar garam yang tinggi dalam tubuh
mengakibatkan terserapnya cairan diluar sel sehingga terjadi penumpukan
cairan dan meningkatkan volume tekanan darah. Untuk asupan garam
berlebih (7-8 gram) dapat menaikkan tekanan darah diatas rata-rata.
6) Kurang aktivitas atau kurang olahraga, dapat membantu menurunkan tekanan
darah. Namun pada orang yang kurang aktivitas fisik dan olahraga dikatakan
dapat terjadi obesitas atau kegemukan yang mana merupakan faktor risiko
hipertensi.

6. Epidemiologi Hipertensi
Hipertensi sering disebut sebagai the silent killer dikarenakan banyaknya
penderita hipertensi yang tidak menyadari dirinya menderita hipertensi. Sebesar 50%
penderita yang tidak menyadari dirinya menderita hipertensi, akhirnya semakin parah
karena tidak ada upaya pengobatan ataupun pengendalian hipertensi(Kementerian
Kesehatan RI, 2019).
Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi penderita hipertensi di
Indonesia sebanyak 25,8% (usia ≥ 18 tahun). Berdasarkan umur, penderita hipertensi
tertinggi ialah pada lanjut usia (> 75 tahun) dengan prevalensi sebesar 63,8%, hal
tersebut dikarenakan kejadian hipertensi berbanding lurus dengan bertambahnya
usia. Adapun berdasarkan jenis kelamin, penderita didominasi oleh perempuan yaitu
28,8% sedangkan laki-laki 22,8%.
Hipertensi merupakan penyakit yang selalu menempati posisi 10 tertinggi
ditingkat puskesmas, yang mana setiap tahunnya terjadi peningkatan. Berdasarkan
aspek geografis, hipertensi banyak terjadi di daerah kota dan wilayah pantai. Data
Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa presentase penderita hipertensi di
perkotaan sebesar 26,1% sedangkan pedesaan 25,5%. Pola hidup masyarakat
perkotaan seperti pola makan tidak seimbang, stress, merokok, kegemukan dan
alkohol bisa jadi penyebab tingginya kejadian hipertensi. Adapun untuk wilayah
pantai diduga banyak penderita hipertensi dikarenakan tingginya konsumsi garam.
7. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi dapat menimbulkan komplikasi jika tidak ditangani secara serius.
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan
mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ
tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.Diantara
penyakit komplikasi tersebut, kematian akibat hipertensiyang tidak diobati utamanya
berupa stroke pada penderita hipertensi beratdan resisten, gagal ginjal pada penderita
hipertensi dengan kerusakan ginjal serta penyakit jantung koroner dan gagal jantung
pada penderita hipertensi sedang(Ningrum et al., 2018).

8. Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan
angkakesakitan dan angka kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara
seminimalmungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita
(Depkes RI, 2006). Untuk tahap pencegahan hipertensi dapat dilakukan melalui
dengan cara berikut ini(Puspita, 2016):
a. Promosi kesehatan, melalui pendidikan dan penyuluhan kesehatan memberikan
pemahaman kepada masyarakat mengenai hipertensi.
b. Proteksi spesifik, dengan cara mengurangi faktor risiko kejadian hipertensi.
c. Diagnosis dini, yaitu melalui screening dengan memeriksakan tekanan darah
sebelum penyakit menjadi parah.
d. Pengobatan yang tepat, yaitu pemberian pengobatan komprehensif dan kausal
awal keluhan.
e. Rehabilitasi, yakni upaya perbaikan dampak lanjut hipertensi yang tidak bisa
diobati.
Upaya penatalaksanaan hipertensi pada dasarnya dapat dilakukan melalui terapi
non farmakologi dan terapi farmakologi (Depkes RI, 2006).
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Penatalaksanaan hipertensi non farmakologis disebut juga modifikasi
pola hidup. Modifikasi pola hidup ini dapat dikatakan upaya pengendalian faktor
risiko yang berguna untuk menurunkan tekanan darah penderita hipertensi,
mengurangi risiko kardiovaskular dan meningkatkan efek antihipertensi.
Modifikasi pola hidup yang dimaksud antara lain :
1) Menurunkan berat badan bila gemuk (IMT > 27)
Hal ini terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi.
Mengonsumsi buah dan sayur 5porsi per hari dapat menurunkan tekanan
darah sistolik 4,4mmHg dan tekanan darah diastolik 2,5 mmHg. Insiden
hipertensi meningkat 54 sampai 142 % pada penderita-penderita yang gemuk.
Penurunan berat badan dalam waktu yang pendek dalam jumlah yang cukup
besar biasanya disertai dengan penurunan tekanan darah(Sukma et al., 2018).
Hubungan erat antara obesitas dengan hipertensi telah banyak dilaporkan.
Upayakan untuk menurunkan berat badan sehingga mencapai IMT normal
18,5-22,9 kg/m2, lingkar pinggang<90 cm untuk laki-laki atau <80 cm untuk
perempuan.
2) Latihan fisik secara teratur
Yaitu selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali/minggu. Olahraga isotonik
seperti berjalan kaki, jogging, berenang dan bersepeda berperan dalam
penurunan tekanan darah. Aktivitas fisik yang cukup dan teratur membuat
jantung lebih kuat. Hal tersebut berperan pada penurunan Total Peripher
Resistance yang bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah. Melakukan
aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistoliksekitar 5-10 mmHg.
Olahraga secara teratur juga berperan dalam menurunkan jumlah dan dosis
obat anti hipertensi (Ningrum et al., 2018).Berolahraga seperti senam aerobik
atau jalan cepat selama 30-45menit (sejauh 3 kilometer) lima kali perminggu,
dapat menurunkan TDS 4mmHg dan TDD 2,5 mmHg. Berbagai cara
relaksasi seperti meditasi,yoga, atau hipnosis dapat mengontrol sistem syaraf,
sehingga menurunkan tekanan darah.
3) Mengurangi konsumsi garam
Batas maksimal lima gram atau setara dengan satu sendok teh per hari
pada saat memasak. Modifikasi diet terbukti dapat menurunkan tekanan darah
pada pasien hipertensi. Dianjurkan untuk makan buah dan sayur 5 porsi
perhari, karena cukup mengandung kalium yang dapat menurunkan tekanan
darah sistolik (TDS) 4,4 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) 2,5
mmHg. Asupan natrium hendaknya dibatasi <100 mmol (2g)/hari serata
dengan 5 g (satu sendok teh kecil) garam dapur, cara ini berhasil menurunkan
TDS 3,7 mmHg dan TDD 2 mmHg. Bagi pasien hipertensi, asupan natrium
dibatasi lebih rendah lagi, menjadi 1,5 g/hari atau 3,5 – 4 g garam/hari.
Walaupun tidak semua pasien hipertensi sensitif terhadap natrium, namun
pembatasan asupan natrium dapat membantu terapi farmakologi menurunkan
tekanan darah dan menurunkan risiko penyakit kardiosvaskuler.
4) Mengurangi minum alkohol
Penderita hipertensi yangmengurangi konsumsi alkohol akan
menurunkan tekanan darahsistolik 3,8 mmHg. Satu studi meta-analisis
menunjukan bahwa kadar alkohol seberapapun, akan meningkatkan tekanan
darah. Mengurangi alkohol pada penderita hipertensi yang biasa minum
alkohol, akan menurunkan TDS rerata 3,8 mmHG. Batasi konsumsi alkohol
untuk laki-laki maksimal 2 unit per hari dan perempuan 1 unit per hari,
jangan lebih dari 5 hari minum per minggu (1 unit = setengah gelas bir
dengan5% alkohol, 100 ml anggur dengan 10% alkohol, 25 ml minuman 40%
alkohol).
5) Berhenti merokok
Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko yang tidak saja dapat
dimodifikasi melainkan dapat dihilangkan sama sekali(Violita, 2015).
Merokok sangat besar perananya dalam meningkatkan tekanan darah, hal
tersebut disebabkan oleh nikotin yang terdapat didalam rokok yang memicu
hormon adrenalin yang menyebabkan tekanan darah meningkat. Tekanan
darah akan turun secara perlahan dengan berhenti merokok. Selain itu
merokok dapat menyebabkan obat yang dikonsumsi tidakbekerja secara
optimal(Puspita, 2016). Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk
memberhentikan kebiasaan merokok. Beberapa metode yang secara umum
dicoba adalah inisiatif sendiri, menggunakan permen yang mengandung
nikotin, kelompok program, dan konsultasi/konseling ke klinik berhenti
merokok (Depkes RI, 2013).
Beberapa ahli mengatakan bahwa penatalaksanaan non farmakologi
sama pentingnya dengan penatalaksanaan farmakologi. Khususnya pada
penderita hipertensi derajat I, modifikasi pola hidup terkadang dapat
mengendalikan tekanan darah dengan baik sehingga tidak lagi diperlukan
pengobatan atau pemberian obat dapat ditunda. Modifikasi pola hidup
merupakan pelengkap dari pengobatan hipertensi untuk mendapat hasil yang
lebih baik. Tanpa kombinasi modifikasi pola hidup utamanya pola makan
akan sulit untuk mengontrol tekanan darah yang normal.
b. Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalasanaan farmakologis pada hipertensi ialah dengan obat. Prinsip
pemberian obat antihipertensi ialah sebagai berikut :
1) Pengobatan hipertensi sekunder diutamakan untuk menghilangkan penyebab atau
kausal hipertensi.
2) Pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan
harapan dapat memperpanjang umur serta mengurangi risiko timbulnya komplikasi.
3) Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat antihipertensi.
4) Pengobatan untuk penderita hipertensi primer ialah pengobatan jangka panjang
bahkan kemungkinan seumur hidup.
Pengobatan pada sebagian besar penderita hipertensi dimulai dengan dosis kecil
yang kemudian ditingkatkan secara perlahan sesuai umur, kebutuhan dan hasil
pengobatan. Obat hipertensi yang sebaiknya dipilih adalah obat yang dapat memberikan
efek penurunan tekanan darah dalam 24 jam dengan dosis sekali sehari. Pengobatan
dengan dosis tunggal lebih baik dikarenakan kepatuhan lebih baik, harga obat
terjangkau, kontrol tekanan darah perlahan dan persisten serta dapat melindungi
penderita dari risiko serangan jantung, stroke, dan kematian mendadak akibat
peningkatan tekanan darah saat bangun tidur.
Dalam pengobatan hipertensi, jika tekanan darah menurun dan dosis
antihipertensi stabil dalam jangka waktu 6-12 bulan maka dosis dapat diturunkan tetapi
tidak dapat dihentikan. Terapi obat ini disesuaikan dengan tingkat hipertensi serta ada
tidaknya komplikasi penyakit atau keadaan khusus pada penderita. Bila terapi tunggal
tidak berhasil maka perlu diberikan terapi kombinasi(Aulia, 2018).
Obat antihipertensi yang paling sering digunakan sebagai tahap pertama sebagai
berikut (Depkes RI, 2006) :
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat
kencing) sehingga volume cairan ekstraseluler dan plasma ditubuh berkurang
sehingga terjadi penurunan curah jantung. Contoh obatobatan yang termasuk
golongan diuretik adalah hidroklorotiazid, klortalidon, bendroflumentiazid,
indamapid, xipamid, furosemid (diuretik kuat), amilorid dan spironolakton.
2) Penghambat simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas saraf simpatis secara
sentral (saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk
dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonidin, dan reserpin.
3) Betabloker
Mekanisme kerja antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa/curah
jantung dan penekanan sekresi renin. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam
golongan beta bloker adalah : metoprolo, propanolol, cabutolol, atenolol, nadolol,
oksprenolol, pindolol, dan timolol.

4) Vasodilator
Mekanisme jenis obat ini adalah bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara
relaksasi otot polos (otot pembuluh darah) yang akan mengakibatkan terjadinya
penurunan resistensi pembuluh darah. Contoh obat dalam golongan ini adalah
doksazosin, prazosin, hidralazin, minoksidil, diazoksid, dan sodium nitropusid.
5) Penghambat enzim konversi Angiotension (ACE)
Mekanisme kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan Angiotnsion II
yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Contoh obat yang termasuk
golongan ini adalah kaptopril, lisinopril, fosinopril, ramipril, silazapril, benazepril,
kuinapril, dan delapril.
6) Angiotension kalsium
Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat kontraksi jantung
(kontraktilitas) sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Contoh golongan obat ini
adalah nifedipin, diltiasem, verapamil, amlodipin, felodipin, isradipin, dan
nikardipin.
7) Penghambat reseptor angiontension II
Mekanisme kerja obat jenis ini ialah dengan cara menghalangi penempelan zat
angiontension II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa
jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah valsartan dan
irbesartan.
Selanjutnya untuk tatalaksana penderita hipertensi, The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evalution, and Treatment of High Blood
Pressure 7 menganjurkan memulai pengobatan awal sesuai dengan derajat atau
klasifikasi hipertensi yang dapat dilihat pada table 2.2
Tabel 2.2
Tatalaksana Hipertensi menurut The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC) 7
Klasifikasi Tekanan Tekanan Terapi Obat Awal
Tekanan Sistolik Diastolik Dengan
Darah (mmHg) (mmHg) Terapi Indikasi yang Memaksa Indikasi yang
Memaksa
Normal < 120 < 80 - -
Prehipertensi 120-139 80-90 Tidak ada indikasi obat Obat-obatan untuk
indikasi yang memaksa

Hipertensi 140-159 90-99 Diauretika jenis Obat-obatan untuk


Tingkat 1 Thiazide, untuk sebagian besar indikasi yang memaksa
kasus dapat
dipertimbangkan ACEI, ARB,
BB, CCB, atau kombinasi
Hipertensi ≥ 160 ≥ 100 Kombinasi 2 obat untuk Obat
Tingkat 2 sebagian besar antihipertensi lain
kasus umumnya diauretika jenis (ACEI, ARB, BB,
Thiazide dan CCB) sesuai kebutuhan
ACEI atau ARB atau BB atau
CCB
Sumber : Health, 2003 ;(Sudoyo et al., 2006)

3.5 Tinjauan Tentang Keterjangkauan Akses Pelayanan Kesehatan


Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku dan usaha yang dilakukan dalam
menghadapi kondisi sakit, salah satu alasan untuk tidak bertindak karena fasilitas
kesehatan yang jauh jaraknya. Akses pelayanan kesehatan merupakan tersedianya
sarana kesehatan (seperti rumah sakit, klinik, puskesmas), tersedianya tenaga
kesehatan, dan tersedianya obat-obatan (Depkes RI, 2013). Pelayanan kesehatan yang
baik adalah pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Akses
pelayanan kesehatan dapat dilihat dari sumber daya dan karakteristik pengguna
pelayanan kesehatan.
Akses terhadap layanan kesehatan artinya pelayanan kesehatan harus dapat
dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial,
ekonomi,organisasi dan bahasa, lama dan biaya atauhambatan fisik lain yang dapat
menghalangi seseorang untuk menerimalayanan kesehatan. Keterjangkauan akses yang
dimaksud dalam penelitian ini dilihat dari segi jarak, waktu tempuh, kemudahan
transportasi dan lama waktu tunggu untuk mencapai pelayanan kesehatan. Semakin
jauh jarak rumah pasien dari tempat pelayanan kesehatan dan sulitnya transportasi
maka akan berhubungan dengan keteraturan berobat (Sujudi, 1996:64). Penelitian yang
dilakukan oleh Prayogo(2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara akses
pelayanan kesehatan menuju fasilitas kesehatan dengan kepatuhan minum obat.

3.6 TinjauanTentang Dukungan Keluarga


Dukungan dapat menjadi sumber motivasi untuk perubahan perilaku kesehatan.
Friedman (1998) mengatakan bahwa terdapat empat jenis dukungan yaitu dukungan
informasional yaitu dalam bentuk informasi, nasihat, ide, arahan dan sebagainya yang
dibutuhkan. Dukungan kedua adalah dukungan emosional untuk mencapai rasa damai
dan aman berupa simpatik, empatik, kepercayaan, perhatian dan cinta. Dukungan ketiga
ialah dukungan instrumental yaitu memberikan peralatan lengkap, obat-obatan dan lain-
lain yang dibutuhkan. Dan yang terakhir yaitu dukungan penilaian dalam bentuk
pemberian penghargaan atau bentuk apresiasi(Awaluddin et al., 2018).
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Untuk mencapai perilaku sehat di
masyarakat, maka mestinya dimulai pada masing-masing tatanan keluarga. Dalam teori
pendidikan dikatakan, bahwa keluarga adalah tempat persemaian manusiasebagai
anggota masyarakat. Karena itu bila persemaian itu jelek maka jelas akan berpengaruh
pada masyarakat. Agar masing-masing keluarga menjadi tempat yang kondusif untuk
tempat tumbuhnya perilaku sehat bagi anak-anak sebagai calon anggota
masyarakat,maka promosi sangat berperan (Notoatmodjo, 2010).
Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan terhadap
penderita yang sakit. Hipertensi memerlukan pengobatan seumur hidup, dukungan sosial
dari orang lain sangat diperlukan dalam menjalani pengobatannya. Dukungan dari
keluarga dan teman-teman dapat membantu seseorang dalam menjalankan program-
program kesehatan dan juga secara umum orang yang menerimapenghiburan, perhatian
dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorangatau kelompok biasanya
cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis (Sukma et al., 2018).
Dukungan keluarga seperti nasehat, mendampingi ke pelayanan kesehatan dan
mengingatkan jadwal minum obat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat.
Hal tersebut dibuktikan dalam penilaian pada tahun 2018 menemukan bahwa
pengawasan keluarga berpengaruh terhadap perilaku minum obat sebagai pengendalian
hipertensi (p = 0,000)(Ningrum et al., 2018). Penelitian serupa pada tahun Sukmai, dkk
juga menemukan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum
obat (p = 0,006) (Sukma et al., 2018).
3.7 TinjauanTentang Dukungan petugas kesehatan
Dukungan dari tenaga kesehatan profesional merupakan faktor lain yang dapat
memengaruhi perilaku kepatuhan. Pelayanan yang baik dari petugas dapat
menyebabkan berperilaku positif. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati
pasien tanpa menunggu lama-lama, serta penderita diberi penjelasan tentang obat yang
diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur.
Peran serta dukungan petugas kesehatan sangatlah besar bagi penderita, dimana
petugas kesehatan adalah pengelola penderita sebab petugas adalah yang paling sering
berinteraksi, sehingga pemahaman terhadap konsisi fisik maupun psikis menjadi lebih
baik dan dapat memengaruhi rasa percaya dan menerima kehadiran petugas kesehatan
dapat ditumbuhkan dalam diri penderita dengan baik (Puspita, 2016).
Selain itu peran petugas kesehatan (perawat) dalam pelayan kesehatan dapat
berfungsi sebagai comforter atau pemberi rasa nyaman, protector,dan advocate
(pelindung dan pembela), communicator, mediator, danrehabilitator. Peran petugas
kesehatan juga dapat berfungsi sebagai konseling kesehatan, dapat dijadikan sebagai
tempat bertanya oleh individu, keluarga,kelompok, dan masyarakat untuk memecahkan
berbagai masalah dalam bidang kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat.
Adapun menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, pada bagian Pasal satu menjelaskan bahwa tenaga kesehatan ialah setiap
orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Violita, 2015).
BAB IV

PELAKSANAAN INOVASI

4.1 Latar Belakang Masalah


A. Identifikasi Masalah

Berdasarkan Analisa Situasi tahun 2020 (SPM no 4 tahun 2019), maka dapat
diidentifikasikan permasalahan-permasalahan yang ada di Puskesmas Ketaping, yaitu:
1. 37 % Jumlah warga negara usia 60 tahun atau lebih yang mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar minimal 1 kali.
2. 72% Penduduk usia > 15 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar.
3. 36 % Penderita hipertensi mendapatakan pelayanan kesehatan sesuai standar.
4. 49 % Penderita Diabetes Mellitus mendapatakan pelayanan kesehatan sesuai standar.
5. 39 % Jumlah orang terduga TBC yang dilakukan pemeriksaan penunjang dalam
kurun waktu satu tahun.
6. IKS 0,05 dengan kategori tidak sehat.

B. Prioritas Masalah
Penentuan Prioritas Masalah berdasarkan metode USG
Tabel 1 Prioritas masalah mengggunakan metode USG

No Masalah
U S G Jumlah
1. Masih ada 28% penduduk usia > 15 tahun yang tidak 2 3 2 7
mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar
2. Masih ada 63% warga negara usia 60 tahun atau lebih yang 5 3 2 10
tidak mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar
minimal 1 kali
3. Masih ada 64% Penderita hipertensi yang tidak 5 4 2 11
mendapatakan pelayanan kesehatan sesuai standar
4. Masih ada 51% Penderita Diabetes Mellitus yang tidak 4 4 2 10
mendapatakan pelayanan kesehatan sesuai standar
5. 61% orang terduga TBC tidak dilakukan pemeriksaan 5 2 3 10
penunjang dalam kurun waktu satu tahun

*Data SPM tahun 2020


Dari data diatas dapat dilihat yang menjadi prioritas sesuai dengan urutan tabel
prioritas masalah adalah :

1. Masih ada 64% Penderita hipertensi yang tidak mendapatakan pelayanan kesehatan
sesuai standar
2. Masih ada 63% warga negara usia 60 tahun atau lebih yang tidak mendapatkan
skrining kesehatan sesuai standar minimal 1 kali

3. Masih ada 51% Penderita Diabetes Mellitus yang tidak mendapatakan pelayanan
kesehatan sesuai standar

38
4. 61% orang terduga TBC tidak dilakukan pemeriksaan penunjang dalam kurun
waktu satu tahun

5. Masih ada 28% penduduk usia > 15 tahun yang tidak mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar
Terdapat lima prioritas yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelayan an
kesehatan primer dalam RPJMN 2020-2024 itu, yakni peningkatan kesehatan ibu
dan anak, percepatan perbaikan gizi masyarakat, peningkatan pengendalian
penyakit, pembudayaan gerakan masyarakat hidup sehat (germas), serta
penguatan sistem kesehatan dan pengawasan obat dan makanan.
Peningkatan pengendalian penyakit dengan melakukan skrining kesehatan,
pengendalian faktor resiko dan komplikasi berat pada pasien Hipertensi diperlukan
dalam mempercepat dan mensinergikan upaya promotif dan preventif guna
meningkatkan produktivitas penduduk dan menurunkan beban pembiayaan pelayanan
kesehatan akibat penyakit. Peran dan dukungan (komitmen) pemerintah pusat,
pemerintah daerah, peran serta organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, serta
sektor swasta (dunia usaha) turut menentukan keberhasilan pelaksanaan pengendalian
faktor resiko dan komplikasi berat penyakit tidak menular ini.

39
C. Akar Penyebab Masalah (PENJARINGAN IDE)
Masih ada 64% Penderita hipertensi yang tidak mendapatakan pelayanan kesehatan sesuai standar (SPM 2020)

MANUSIA DANA
Penderita Hipertensi tidak
mempunyai kartu BPJS sehingga
Kurangnya pengetahuan penderita HT obat dibeli di warung/ tidak resep
mengenai pentingnya pengendalian dokter
faktor resiko dan pencegahan komplikasi
berat.
Penderita hipertensi tidak
Pasien HT tidak rutin mengkonsumsi obat HT jika sanggup membayar premi BPJS
setiap bulan
gejala sudah hilang, tidak cocok (timbul gejala lain)

Kurangnya informasi yang diberikan petugas Penambahan kuota kepesertaan


kesehatan dalam hal pengendalian faktor resiko, BPJS untuk PBI belum ada
dan menurunkan tekanan darah
Masih ada 64% Penderita
hipertensi yang tidak
Belum ada UKBM yang melibatkan PKK dan Belum adanya rencana penyuluhan Motivasi keluarga kurang mendapatakan pelayanan
lintas sector lainnya kekorong mengenai HT baik itu karena pengetahuan tentang kesehatan sesuai standar
tempat dan sasarannya (pendekatan pengendalian faktor resiko (SPM 2020)
ke kelompok postensial belum dan pencegahan komplikasi
UKBM yang ada dalam pemberdayaan individu, pernah dilakukan)
keluarga dan masyarakat adalah posyandu lansia HT masih rendah
dan Posbindu PTM (tidak ada bermitra dengan
perangkat daerah dan mitra)
Pemberian Penyuluhan HT tidak Dukungan keluarga ttg
merata diberikan di Nagari Kataping,
pengobatan untuk pasien
baik dari tempat, dan sasaran
HT masih rendah
SARANA
METODE LINGKUNGAN

Ket:*

yang diberi tanda kuning yang akan segera diintervensi

40
D. Alternatif pemecahan masalah /PEMILIHAN IDE
NO PRIORITAS PENYEBAB MASALAH ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH KET
MASALAH (PEMILIHAN IDE)

1 Masih ada 64% 1. Motivasi pasien 1. .Melakukan pemberdayaan keluarga pasien


Penderita hipertensi Hipertensi dan keluarga Hipertensi dalam pengawasan minum obat
yang tidak pasien masih kurang pasien HT dengan menggunakan KARTU
mendapatakan karena pengetahuan PENGINGAT untuk penderita hipertensi
dengan inovasi BARA KO DAA
pelayanan kesehatan tentang pengendalian
sesuai standar (SPM faktor resiko dan
2020) pencegahan komplikasi
HT masih rendah

2. Kurangnya informasi 2. Memberikan penyuluhan kepada


yang diberikan petugas masyarakat dan penderita HT mengenai
kesehatan pentingnya berobat teratur, pengendalian
faktor resiko dan pencegahan komplikasi
berat, berkonsultasi dengan dokter
puskesmas jika gejala tidak berkurang
setelah minum obat.
3. Belum ada UKBM yang
melibatkan PKK dan 3. Melakukan identifikasi kelompok potensial
lintas sector lainnya untuk dijadikan UKBM dalam melakukan
pemberdayaam individu, kelompok dan
masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pengendalian faktor resiko PTM dan
pencegahan komplikasi berat (adanya peran
serta PKK. perangkat nagari, mitra,
perangkat daerah, TOMA, dan lintas sector
lainnya.

4.2 MANFAAT INOVASI


1 Kader : Menambah pengetahuan terkait pentingnya pendampingan pada pasien HT dan
deteksi dini penyakit tidak menular di masyarakat
2 Keluarga pasien : Menambah pengetahuan terkait pengelolaan penyakit tidak menular
untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi
3 Pasien : Meningkatkan kepedulian kesehatan dalam pengendalian Tekanan darah
sehingga selalu ingat untuk minum obat.
4 Pasien : Memenuhi kebutuhan lansia Hipertensi sehingga tidak sampai terjadi
komplikasi pada penyakitnya.
5 Pasien : Dengan merasakan dampak dari kegiatan olahraga yang dilakukan dan obat-
obatan yang dikonsumsi, diantaranya : menambah semangat hidup, mengontrol
kesehatan, kemampuan mandiri untuk melakukan kegiatan/aktivitas sehari–hari tanpa
bantuan orang lain, serta mengurangi beban sakit akibat penyakit degenerative.
6 Pasien : Mengurangi angka kesakitan dan angka kematian pada pra dan Lansia yang
mempunyai penyakit hipertensi

4.3 Tujuan inovasi daerah*;

 BARA KO DAA merupakan kegiatan pendekatan kepada pra lansia dan lansia) di
wilayah Puskesmas Ketaping dalam mencegah terjadinya kompikasi penyakit
hipertensi sehingga bisa menambah semangat hidup, mengontrol kesehatan,
kemampuan mandiri untuk melakukan kegiatan/aktivitas sehari–hari tanpa bantuan
orang lain, serta mengurangi beban sakit akibat penyakit degenerative.

1
 Mengoptimalkan peran Kader dalam mendukung inovasi ini dan selalu melakukan
pendampingan kepada pasien HT
 Menginformasikan kepada pasien HT pra lansia dan lansia dalam pemanfatan kartu
pengingat olah raga dan konsumsi obat-obatan
 BARA KO DAA mendorong terjadinya perubahan perilaku dan memberdayakan para
keluarga untuk bertanggungjawab terhadap Kesehatan lansia dengan menggunakan
pengetahuan yang telah diberikan.
4.4 Hasil inovasi
 Pra lansia dan Lansia Hipertensi mempunyai kartu pengingat.
 Pra lansia dan Lansia Hipertensi aktif melakukan kegiatan yang mencegah terjadinya
kompikasi penyakit hipertensi sehingga bisa menambah semangat hidup, mengontrol
kesehatan, kemampuan mandiri untuk melakukan kegiatan/aktivitas
 Pengisian kartu ingat aktif posyandu lansia dan minum obat hipertensi adalah sebagai
berikut :
1. Pra Lansia dan Lansia mengisi kolom kehadiran ke posyandu lansia dan minum
obat, ketika hadir dan obat tensi sudah diminum setiap harinya.
2. Kolom tanggal kontrol ambil obat : di isi oleh dokter, perawat saat kontrol di
fasilitas kesehatan utk ambil obat tensi
3. Kartu berlaku untuk satu tahun
4. Jika pra lansia dan lansia dengan kondisi tertentu mengalami kesulitan maka yang
mengisikan adalah keluarga dekat yang setiap hari mendampingi
5. Bagi pra lansia dan lansia yang mampu membaca menulis dan memahami
pengisian kartu maka dapat diisi secara mandiri
6. Pendekatan keluarga lansia di masyarakat dilakukan oleh kader melalui kelompok
posyandu lansia.

2
4.5 Profil bisnis,

Anda mungkin juga menyukai