Kel. 10 Skoliosis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN SKOLIOSIS

Dosen pengampu : Ratna Setiyaningsih, S. Kep., Ns., MPH

Oleh

Kelompok 10

Nama Anggota:

1. Rizki Imat Rohymat 21121213


2. Sekar Arum Aurelia Z.A.P 21121214
3. Sekar Nur Rufaidhah 21121215
4. Sherlina Agnestya Ningtias 21121216
5. Sindi Listiyani 21121217

POLITEKNIK KESEHATAN BHAKTI MULIA SUKOHARJO

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan nikmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Anak yang berjudul “Makalah Konsep
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Skoliosis” dan agar dapat memberi manfaat bagi
para pembaca. Shalawat dan salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat yang telah membebaskan kita dari jaman
jahiliyah.

Penulis berharap setelah para pembaca membaca makalah ini dapat mengetahui dan
memahami Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Skoliosis serta
pengetahuan yang lebih baik. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu penulis menerima berbagai kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Sukoharjo, 17 April 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selain bungkuk atau kifosis, salah satu kelainan tulang belakang yang banyak dijumpai
adalah skoliosis. Berbeda dengan bungkuk, penyakit skoliosis merupakan kelainan pada
rangka tulang belakang yang melengkuk ke samping secara tidak normal. Berdasarakan
data WHO, prebalensi penderita skoliosis semakin meningkat dan sudah menyerang 3
persen masyarakat dunia. Sedang di Indonesia, pasien skoliosis mencapai 4-5 persen dari
total penduduk. Skoliosis dapat terjadi pada siapa saja. Namun, pada banyak kasus,
skoliosis lebih banyak menimpa anak-anak dan perempuan. Sebanyak 75-85% kasus
skoliosis merupakan idiofatik, yaitu kelainan yang tidak diketahui penyebabnya.
Sedangkan 15-25% kasus skoliosis lainnya merupakan efek samping yang diakibatkan
karena menderita kelainan tertentu, seperti distrofi otot, sindrom Marfan, sindrom Down,
dan penyakit lainnya. Berbagai kelainan tersebut menyebabkan otot atau saraf di sekitar
tulang belakang tidak berfungsi sempurna dan menyebabkan bentuk tulang belakang
menjadi melengkung.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu skoliosis?
2. Apa saja klasifikasi dari scoliosis?
3. Apa etiologi dari skoliosis?
4. Bagaimana manifestasi klinik skoliosis?
5. Bagaimana patofisiologi dari skoliosis?
6. Bagaimana pathway dari scoliosis?
7. Apa saja komplikasi dari scoliosis?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang daei skoliosis
9. Bagaimana penatalaksanaan medis skoliosis?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan skoliosis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari scoliosis pada anak
2. Untuk mengetahui klasifikasi scoliosis pada anak
3. Untuk mengetahui penyebab scoliosis pada anak
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala scoliosis pada anak
5. Untuk mengetahui patofisiologi scoliosis pada anak
6. Untuk mengetahui pathway scoliosis pada anak
7. Untuk mengetahui komplikasi scoliosis pada anak
8. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang scoliosis pada anak
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan scoliosis pada anak.
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan skoliosis
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Skoliosis yang merupakan kelengkungan lateral pada vertebrata bisa disebabkan
sejumlah abnormalitas pada vertebrata sendiri (struktural) atau karena vertebrata
tergantung miring (postural). Berbeda dengan bungkuk, penyakit skoliosis merupakan
kelainan pada rangka tulang belakang yang melengkuk ke samping secara tidak normal
atau berbentuk huruf S.
B. Klasifikasi
Skoliosis dapat dibagi menjadi tiga jenis yakni
1. Skoliosis congenital (bawaan)
Biasanya berhubungan dengan suatu kelainan pembentukan tulang belakang atau
tulang rusuk yang menyatu.
2. Skoliosis neuromuskuler
Biasanya terjadi karena pengendalian otot yang buruk atau kelemahan/
kelumpuhan akibat beberapa penyakit yakni
a. Cerebral palsy (Kelumpuhan Otak) adalah suatu gangguan atau kelainan yang
terjadi pada waktu perkembangan anak, kerusakan yang mengenai sel-sel
motorik di dalam suatu susunan saraf pusat, bersifat kronis sehingga
menyebabkan cacat otak.
b. Distrofi otot adalah penyakit otot turunan dimana serat otot sangat rentan
terhadap kerusakan, secara progresif serat otot menjadi lebih lemah serat otot
sering digantikan oleh jaringan lemak dan jaringan ikat pada tahap akhir
distrofi otot.
c. Polio adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang dapat menyerang
seluruh tubuh termasuk otot serta saraf dan juga bisa menyebabkan kelemahan
otot yang sifatnya permanen.
d. Osteoporosis juvenile adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya.
3. Skoliosis Idiopatik
Scoliosis idiopatik merupakan scoliosis yang banyak terjadi. Penyebabnya tidak
diketahui secara pasti namun dapat diperoleh melalui beberapa ciri genetik,
dimana skoliosis idiopatik dapat bertambah parah selama masa pertumbuhan.
Skoliosis jenis ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain yaitu bisa
berasal dari lingkungan terdekatnya ataupun ketidaktahuan tentang sikap tubuh
yang optimal dan diperburuk oleh gaya hidup seperti postur tubuh yang tidak baik
contohnya ketika duduk,menulis dll.
C. Etiologi
Penyebab seseorang dapat mengalami skoliosis tidak dapat diketahui secara pasti
(idiopatik). Penyebab skoliosis 70-90 % belum dapat diketahui (idiopatik) sebagian kecil
yang penyebabnya sudah diketahui dikelompokan pada: Kelainan tulang dan sendi,
kelainan pada otot (miopati). Kelainan pada syaraf (neuropati) infeksi, trauma dan lain-
lain.
Selain itu ada beberapa perbedaan teori yang menunjukkan penyebabnya lain selain
idiopatik seperti :
1. Faktor genetic
Faktor genetik mempunyai komponen pada perkembangan skoliosis, terjadi
peningkatan insiden pada keluarga pasien dengan skoliosis idiopatik dibandingkan
dengan pasien yang tidak mempunyai riwayat penyakit skoliosis.
2. Faktor hormonal
Defisiensi melatonin diajukan sebagai penyebab skoliosis. Sekresi melatonin
pada malam hari menyebabkan penurunan progresivitas skoliosis dibandingkan
dengan pasien tanpa progresivitas. Hormon pertumbuhan juga diduga mempunyai
peranan pada perkembangan skoliosis. Kecepatan progresivitas skoliosis pada
umumnya dilaporkan pada pasien dengan growth hormone.
3. Perkembangan spinal dan teori biomekanik
Abnormalitas dari mekanisme pertumbuhan spinal juga menunjukkan
penyebab dari perkembangan dan progresivitas skoliosis, dimana dihubungkan
dengan waktu kecepatan pertumbuhan pada remaja.
4. Abnormalitas Jaringan.
Beberapa teori diajukan sebagai komponen struktural pada komponen tulang
belakang (otot, tulang, ligamentum dan atau diskus) sebagai penyebab skoliosis.
Beberapa teori didasari atas observasi pada kondisi seperti syndrome Marfan
(gangguan fibrillin), duchenne muscular dystrophy (gangguan otot) dan displasia
fibrosa pada tulang.
D. Manifestasi Klinis
Gejala skoliosis dapat berbeda, sesuai tingkat keparahan kondisinya. Gejala yang
umumnya timbul antara lain:
1. Tubuh penderita skoliosis condong ke satu sisi.
2. Salah satu bahu lebih tinggi.
3. Salah satu tulang belikat tampak lebih menonjol.
4. Tinggi pinggang tidak rata.
5. Nyeri punggung jangka panjang yang biasanya dialami oleh orang dewasa yang saat
kecil sudah mengidap kondisi skoliosis.
6. Gangguan pada jantung dan paru-paru.
E. Patofisiologi
Kelainan bentuk tulang punggung yang disebut skoliosis ini berawal dari adanya syaraf –
syaraf yang lemah atau bahkan lumpuh yang menarik ruas – ruas tulang belakang. Tarikan ini
berfungsi untuk menjaga ruas tulang belakang berada pada garis yang normal yang bentuk nya
seperti penggaris atau lurus. Tetapi karena suatu hal, diantaranya kebiasaan duduk yang miring,
membuat sebagian syaraf yang bekerja menjadi lemah. Bila ini terus berulang menjadi kebiasaan,
maka syaraf itu bahkan akan mati. Ini berakibat pada ketidakseimbangan tarikan pada ruas
tulang belakang. Oleh karena itu, tulang belakang yang menderita skoliosis itu bengkok atau
seperti huruf “S” ataupun huruf “C”. Dari 4% populasi terdapat 10-15 tahun yang kebanyakan
perempuan bentuk normal dari tulang belakang dilihat dari belakang berbentuk lurus dari atas
sampai os coccygeus. Bentuk skoliosis yang paling sering dijumpai adalah deformitas tripanal
dengan komponen lateral, anterior posterior dan rotasional (Rosadi, 2008).
Gambaran patologi anatomi skoliosis non-idhiopatik sangat berhubungan dengan penyebab
(etiologi). Pada skoliosis idiopatik, terdapat gambaran yang khas yang dapat diikuti. Pada skoliosis
idiopatik, kurva struktural dimulai sebagai kurva nonstruktural (fungsional). Tidak semua kurva
non-struktural akan menjadi struktural akan terjadi perubahan struktur jaringan lunak sebagai
berikut:
1. Kapsul sendi intervertebralis memendek pada sisi cekung (konkaf), terjadi komperesi
pada sendi facet
2. Pemendekan ligamen-ligamen pada sisi cekung (konkaf)
a. ligamen longitudinal anterior
b. ligamen longitudinal posterior
c. ligamen interspinosus
3. Pada otot-otot juga terjadi suatu perubahan seperti kontraktur (pemendekan) otot-otot
sisi konkaf yaitu:
a. otot erector spine
b. otot kuadratus lumborum
c. otot psoas mayor dan minor
d. otot latisimus dorsi
e. otot perut obeliqus abdominis, kecuali otot multifidus dikatakan lebih pendek disisi
konveks akibat kurva kelateral bersama rotasi vertebra.
Apabila sudah terjadi ”mal aligement” posisi struktur berubah kolumna vertebralis
terjadi rotasi korpus vertebra kearah konveks.
Perbedaan tekanan antara kedua sisi vertebra menyebabkan perbedaan kepadatan dan
kesempatan bertumbuh. Terjadi kondisi asimetris dimana sisi konkaf cekung menjadi lebih
pendek. Diskus intervertebralis sisi konkaf menipis. Vertebra yang mengalami gaya tekan
terbesar akan terdorong lebih menjauh dari gaya kompresi tersebut akan menjadi apex
puncak vertebra dari skoliosis. Ruas vertebra torakalis menyebabkan tulang-tulang iga pada
sisi konveks tergeser kearah posterior, akan timbul tonjolan iga rib hump ke posterior. Tulang-
tulang iga sisi konkaf bergeser ke anterior, sehingga rongga thorak bebentuk oval. Pada anak
wanita akan tampak buah dada (mammae) sisi konvek lebih kecil.
F. Pathway
Ditandai GANGGUAN ETIOLOGI
dengan BB NUTRISI ETIOLOGI

Pola makan yg Posisi duduk yg


Faktor genetik Faktor hormonal
buruk salah

Intake nutrisi << << asam folat pd Defisiensi


Kerja otot pd
dari kebutuhan ibu hamil melatolin
ruas TL. Belakang

Defisit vit. D & Ca Resiko tinggi sambungan Sekresi melatonin


Ketegangan otot
spinal pd bayi pd malam hari

Mempemgaruhi pertumbuhan Perkembangan otot TL.


TL. Belakang tdk << progresivitas
tulang belakang Belakang terganggu
normal skoliosis

Abnormalitas Otot lemah


perkembangan spinal

Ruas tulang belakang lemah


hemispinal

TL. Belakang melengkung


Deformitas TL. Belakang miring ke salah satu sisi
( angulasi )

SKOLIOSIS

Deviasi lateral Kelelahan tulang Tulang Belakang melengkung, dada


corpus spinal dan sendi kanan menonjol & skapula tampak GANGGUAN HDR
>> tinggi

Derajat deviasi Kaku otot Ditandai dengan


Menekan area paru
semakin besar klien ingin cpt
dioperasi
Menghambat untuk
bergerak Menghambat pergerakan
NYERI AKUT rusuk dan paru
Jenuh dan sedih
GANGGUAN MOBILITAS lama menunggu
FISIK Ekspansi paru

dispnea Ansietas

POLA NAPAS TIDAK


TERATUR
G. Komplikasi
1. Sesak Napas
Skoliosis yang dibiarkan tanpa penanganan bisa menambah derajat kemiringan
tulang belakang. Kondisi tersebut mengganggu kemampuan paru untuk mengembang
sempurna karena menyempitnya ruang paru, sehingga menyebabkan keluhan sesak
napas.
2. Nyeri Punggung Belakang
Nyeri punggung belakang terjadi karena semakin parahnya lengkungan tulang
belakang. Meski umumnya hilang timbul, nyeri akibat skoliosis bisa menetap dan
menyebar kebagian tubuh lain, seperti dari tulang belakang ke kaki, punggung, dan
tangan. Nyeri akibat skoliosis mereda jika pengidapnya berbaring dengan punggung
lurus atau pada salah satu sisi tubuh.
3. Masalah Jantung
Tulang belakang yang terlalu miring bisa menekan jantung dan membuatnya
kesulitan memompa darah ke seluruh tubuh. Akibatnya, pengidap skoliosis berisiko
lebih besar mengalami pneumonia (infeksi paru) hingga gagal jantung.
4. Masalah Saraf
Jika ujung saraf tertekan oleh tulang belakang yang melengkung, sistem saraf
akan terpengaruh oleh kondisi skoliosis. Kondisi ini berdampak pada kaki terasa
kebas dan menurunnya kemampuan untuk menahan buang air kecil maupun buang air
besar.
5. Gangguan Psikologis
Pengidap skoliosis rentan mengalami gangguan psikologis akibat kondisi yang
dialaminya. Alasannya adalah perbedaan postur tubuh pengidap skoliosis bisa
menurunkan rasa percaya diri dan membuatnya rentan mengalami masalah psikologis,
seperti stres dan depresi.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. X-Ray
Dilakukan dengan menggunakan radiasi untuk menghasilkan gambar bagian
tubuh yang menunjukkan struktur tulang belakang dan garis besar sendir. Sinar-X
tulang belakang diperoleh untuk mencari kemungkinan penyebab nyeri lainnya, yaitu
infeksi, patah tulang, kelainan bentuk, dan lainnya.
2. CT Scan
Gambar diagnostik yang dibuat setelah komputer membaca sinar-X, bisa
menunjukkan bentuk dan ukuran kanalis spinalis, isinya dan struktur di sekitarnya.
Pemeriksaan ini baik dalam memvisualisasikan struktur tulang.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan ini menghasilkan gambar tiga dimensi dari struktur tubuh
menggunakan magnet yang kuat dan teknologi komputer, bisa menunjukkan sumsum
tulang belakang, akar saraf, dan daerah sekitarnya, serta pembesaran, degenerasi dan
kelainan bentuk.
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan skoliosis dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan lengkungan tulang
belakang. Selain itu dokter juga akan mempertimbangkan faktor usia dan jenis
skoliosis. Namun pada umumnya, penanganan yang dapat dilakukan adalah:
a. Operasi
Tidak semua skoliosis memerlukan operasi. Indikasi dilakukannya operasi pada
skoliosis adalah progresifitas peningkatan derajat pembengkokan 40-45 derajat
pada anak yang sedang tumbuh, terdapat kegagalan setelah dilakukan pemakaian
alat orthosis, terdapat derajat pembengkokan 50 derajat pada orang dewasa.
b. Pemberian obat pereda nyeri
Untuk meredakan peradangan dan nyeri, dokter akan memberikan obat
antiinflamasi nonsteroid, seperti ibuprofen.
c. Suntik kortikosteroid di rongga tulang belakang
Suntikan kortikosteroid diberikan jika penderita mengalami tekanan pada saraf
tulang belakang, sehingga menimbulkan rasa nyeri, kaku, atau kesemutan.
Suntikan ini hanya bekerja dalam jangka waktu yang pendek, yaitu sekitar
beberapa minggu atau beberapa bulan. (Nazhira, Parida dkk . 2020)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Observasi
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu 25 derajat
pada tulang yang masih tumbuh atau 50 derajat pada tulang yang sudah berhenti
pertumbuhannya. Rata-rata tulang berhenti tumbuh pada saat usia 19 tahun.
b. Orthosis
Ini merupakan penggunaan alat penyangga yang dikenal dengan nama brace.
Biasanya indikasi pemakaian alat ini adalah derajat pembengkokan sekitar 30-40
derajat, terdapat progresifitas peningkatan derajat sebanyak 25 derajat. Braces
merupakan terapi konservatif yang sering digunakan pada pasien dengan spine
curvature disorder. Terdapat perdebatan mengenai efektivitas dari penggunaan
braces ini, maka dari itu Scoliosis Research Society membuat suatu kriteria untuk
menstandarisasi penggunaan Brace pada pasien Adolescent Idiopathic Scoliosis,
kriteria yang dimaksud adalah usia 10 tahun atau lebih, kelengkungan primer 30-
40 derajat, belum pernah dilakukan terapi apapun, dan untuk pasien wanita
dilakukan pada premenarch atau kurang setahun dari postmenarchal.
c. Terapi scoliosis pada anak – anak
Pengobatan belum diperlukan untuk skoliosis yang ringan, mengingat tulang
belakangnya masih dapat kembali lurus saat usia anak-anak bertambah. Meski
demikian, perkembangan penyakit perlu terus diamati oleh dokter. Dengan
pemeriksaan rutin ke dokter, dapat diketahui perkembangan kondisi tulang yang
melengkung. Dokter juga bisa melakukan pemeriksaan foto Rontgen untuk
memantaunya. Pada skoliosis yang lebih parah, anak akan diminta untuk
mengenakan penyangga tulang belakang. Penyangga ini tidak dapat meluruskan
tulang kembali, namun dapat mencegah lengkungan tulang belakang bertambah
parah. Penyangga biasanya terbuat dari plastik yang dikenakan di bawah lengan,
sekitar tulang rusuk, serta bagian bawah punggung dan pinggul. Bentuknya
disesuaikan dengan bentuk tubuh sehingga hampir tidak terlihat jika mengenakan
pakaian. Agar lebih efektif, penyangga ini perlu dikenakan sepanjang hari, kecuali
saat anak berolahraga.
Pemakaian penyangga dapat dihentikan saat pertumbuhan tulang belakang
berhenti, yaitu:
a) Dua tahun setelah anak perempuan mulai mengalami menstruasi.
b) Saat kumis atau jenggot pada wajah anak laki-laki mulai tumbuh.
c) Saat tidak ada penambahan tinggi badan lagi. (Nazhira, Parida dkk . 2020)
J. FOKUS PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Biodata Ibu dan Suami
1) Nama ibu
2) Nama suami
3) Umur ibu : Untuk mengetahui faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
abortus.
4) Agama ibu dan suami Suku bangsa ibu
5) Pendidikan ibu dan suami
6) Pekerjaan ibu dan suami
7) Alamat ibu dan suami
8) Golongan darah
b. Keluhan Utama
Untuk mengetahui keluhan utama yang dirasakan, sejak kapan dirasakan, dibagian
mana dirasakan, dan apa upaya ibu untuk mengatasinya. Dimana dari data tersebut
dapat menunjang diangnosa abortus. Penderita abortus bisa datang dengan
keluhan nyeri perut, perdarahan.
c. Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui kapan pasien menarche, apakah siklus menstruasi ibu teratur
atau tidak, mengetahui lama haid dan banyaknya pengeluaran darah saat haid,
serta apakah ibu pernah mengalami dismenorhea atau tidak.
d. Riwayat perkawinan
Untuk mengetahui berapa kali ibu menikah, lama perkawinan, umur ibu saat
menikah serta apakah ibu sudah mempunyai anak atau belum.
e. Riwayat obstetri terdahulu
Untuk mengetahui jumlah anak yang dimiliki, umur kahamilan saat lahir, apakah
ada penyulit saat hamil, tempat bersalin, penolong persalinan, berat badan bayi
saat lahir jenis kelamin anak, jenis persalinan, apakah ada penyulit saat nifas,
keadaan anak sekarang serta umur anak sekarang.
f. Riwayat ginekologi
Untuk mengetahui apakah ibu pernah atau sedang mengalami masalah dengan
organ reproduksinya serta sejak kapan masalah dirasakan. Riwayat penyakit /
kelainan ginekologi serta pengobatannya dapat memberikan keterangan penting,
terutama operasi yang pernah dialami. Apabila penderita pernah diperiksa oleh
dokter lain tanyakan juga hasil-hasil pemeriksaan dan pendapat dokter itu.
g. Riwayat penyakit ibu
Untuk mengetahui penyakit-penyakit yang pernah diderita ibu, apakah ibu
mempunyai riwayat penyakit tertentu terutama yang berhubungan dengan alat
reproduksi maupun penyakit lain yang mungkin dapat memicu terjadinya abortus
serta bisa menjadi pertimbangan untuk keperluan terapi atau pengobatan lebih
lanjut seperti gangguan hormone, kanker, tumor PMS dll. Dalam hal ini perlu
ditanyakan apakah penderita pernah menderita penyakit berat, penyakit TBC,
penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit darah, DM, dan penyakkit jiwa.
Riwayat operasi nonginekologik perlu juga diperhatikan, misalnya strumektomi,
mammektomi, apendektomi, dan lain-lain.
h. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui apakah pernah menderita tumor alat
kandungan/tidak ataupun tumor di luar alat kandungan.
i. Hubungan seksual
Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta
keluahnyang menyertainya
j. Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual
k. Pemeriksaan sistematis dan ginekologi
1) Kepala dan Leher
a) Kepala : Untuk mengetahui bagaimana kebersihan dan struktur rambut
b) Muka : Untuk mengamati pada muka apakah ada oedema / pucat
c) Mata : Untuk mengetahui bagaimana warna konjungtiva
d) Mulut : Untuk mengetahui bagaimana keadaan mulut apakah
lembab/kering, kemerahan/pucat
e) Leher : Untuk mengetahui apakah ada pembesaran kelenjar limfe,
pembesaran kelenjar tiroid maupun pembesaran vena jugularis
2) Payudara
Pemeriksaan payudara mempunyai arti penting bagi penderita wanita terutama
dalam hubungan dengan diagnostik kelainan endokrin
3) Abdomen
Untuk mengetahui apakah ada luka bekas operasi, apakah ada massa dan
pembesaran perut abnormal yang dapat menunjang diagnosa ke diagnosa
penyakit organ reproduksi lainnya. Pemeriksaan abdomen sangat penting pada
penderita gynekologi, tidak boleh diabaikan, dan harus lengkap apapun
keluhan penderita.
4) Anogenital
Untuk mengetahui apakah ada pengeluaran pervaginam, varices, dan oedema,
serta tanda-tanda abnormal/kelainan lainnya, seperti tanda-tanda infeksi.
5) Ekstremitas atas dan bawah
Untuk mengetahui apakah ada oedema, sianosis, pada kaki dan tangan, serta
keadaan kuku apakah kemerahan ataukah pucat.
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Defisit Nutrisi
2. Nyeri Akut
3. Gangguan Mobilitas Fisik
4. Gangguan Pola Nafas Tidak Teratur
5. Gangguan Harga Diri Rendah Situasional
L. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Defisit Nutrisi
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhn keperawatan diharapkan status nutrisi membaik
(L. 03030)
Kriteria hasil :
a. IMT membaik
b. Frekuensi makan membaik
c. Nafsu makan meningkat
d. Bising usus membaik
e. Membran mukosa lembap
Intervensi :
a. Manajemen nutrisi ( I.03119)
Observasi
1) Identifikasi status nutrisi
2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3) Identifikasi makanan yang disukai
4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
5) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastreik
6) Monitor asupan makanan
7) Monitor berat badan\
8) Monitor hasil pemeriksaan laboratoriun
Terapeutik
1) Lakukan oral hygine sebelum makan, jika perlu
2) Fasilitasi menentukan pedoman diet ( mis. Piramida makanan )
3) Sajikan maknan secara menarik dan suhu yang sesuai
4) Berikan makanan tinggi serat untuk mecegah konstipasi
5) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
6) Berikan suplemen makanan, jika perlu
7) Hentikan pemberian makan, melalui selang nasogastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
1) Anjurkan posisi duduk, jika perlu
2) Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan ( mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrirn yang dibutuhkan, jika perlu
b. Promosi berat badan ( I.03136 )
Observasi
1) Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
2) Monitor adanya mual dan muntah
3) Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari hari
4) Monitor berat badan
5) Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit serum
Terapeutik
1) Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan, jika perlu
2) Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien ( mis. Makan dengan
tekstur halus, makanan yang diblender, makanan cair yang diberikan
melalui ngt atau gastrostomy, total parenteral nutrion sesuai indeks )
3) Hidangkan makanan secara menarik
4) Berikan suplemen, jika perlu
5) Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk peningjatan yang dicapai
Edukasi
1) Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun tetaap yang
terjangkau
2) Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan.
2. Nyeri Akut
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan tingkat nyeri menurun
Kriteria hasil :
a. Keluhan nyeri menurun
b. Rasa gelisah menurun
c. Sikap protektif terhadap nyeri menurun
d. Pola tidur membaik
e. Pola nafas membaik
f. Frekuensi nadi membaik
Intervensi :
a. Manajemen nyeri ( I.08238 )
Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respons nyeri non verbal
4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nywri
6) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9) Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. Terapi
bermain,ternik hipnosis, akupresur, terapi musik, terapi pijat dll )
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri ( mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan )
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strateri
meredakan nyeri
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, pemicu nyeri
2) Jelaskan strtegi meredakan nyeri
3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4) Anjurkan menggunakan anslgetik secara tepat
5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian anslgetik, jika perlu
3. Ganggguan Mobilitas Fisik
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan mobilitas fisik meningkat
Kriteria hasil :
a. Pergerakan ekstermitas meningkat
b. Kekuatan otot meningkat
c. Rentang gerak ( ROM )
d. Nyeri menurun
e. Kaku sendi
f. Kelemahan fisik menurun
Intervensi :
a. Dukungan ambulasi ( I.06171 )
Observasi
1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2) Identifikasi toleransi aktivitas melakukan ambulasi
3) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi
4) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
Terapeutik
1) Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu ( mis. Tongkat, kruk )
2) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
2) Anjurkan melakukan ambulasi dini
3) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dikakukan ( mis. Berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi )
b. Dukungan mobilisasi ( I. 05173 )
Observasi
1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2) Identifikasi toleransi aktivitas melakukan pergerakan
3) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
4) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik
1) Fasilitasi aktifitas mobilisasi dengan alat bantu ( mis. Pagar tempat tidur )
2) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dikakukan ( mis. Berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi )
4. Gangguan Pola Nafas Tidak Efektif
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pola nafas membaik
Kriteria hasil :
a. Dispnea menurun
b. Penggunaan oto bantu nafas menurun
c. Pernafasan cuping hidung menurun
d. Frekuensi nafas membaik
e. Kedalaman nafas membaik
Intervensi :
a. Manajemen jalan nafas ( I. 01011 )
Observasi
1) Monitor pola nafas ( frekuensi, kedalaman, usaha nafas )
2) Monitor bunyi nafas tambahan ( mis. Gurgling, mengi., wheezing, ronkhi
kering )
3) Monitor sputum ( jumlah, warna, aroma )
Terapeutik
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-till dan chin-lift ( jaw
thrust jika curiga trauma servikal )
2) Posisikan semi foeler atau fowler
3) Berikan minum hangat
4) Lakukan fifioterapi dada, jika perlu
5) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2) Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
b. Pemantauan respirasi ( I. 01014 )
Observasi
1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafasmonitor pola nafas (
seperti bradipnea,takipnea,hiperventilasi kussmaul, cheyne-
stokes,biot,ataksik )
2) Monitor kemampuan batuk efektif
3) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
4) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
5) Auskultasi bunyi nafas
6) Monitor saturasi oksigen
7) Monitor nilai AGD
8) Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
1) Atur intervai pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2) Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
5. Gangguan Harga Diri Rendah Situasional
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan harga diri meningkat
Kriteria hasil :
a. Penilaian diri positif meningkat
b. Perasaan memiliki kelebihan atau kemampuan positif meningkat
c. Penerimaan penilaian positif terhadap diri sendiri meningkat
d. Berjalan menampakan wajah meningkat
e. Perasaan malu menurun
Intervensi :
a. Manajemen perilaku ( I. 12453 )
Observasi
1) Identifikasi harapan untuk mengendalikan perilaku
Terapeutik
1) Diskusikan tanggung jawab terhadap perilaku
2) Jadwalkan kegiatan terstruktur
3) Ciptakan dan pertahankan lingkungan dan kegiatan perawatan konsisten
setiap dinas
4) Tingkatkan aktivitas fisik sesuai kemampuan
5) Batasi jumlah pengunjung
6) Bicara dengan nada rendah dan tenang
7) Lakukan kegiatan pengalihan terhadap sumber agitasi
8) Cegah perilaku pasif dan agresif
9) Beri penguatan positif terhadap keberhasilan mengendalikan perilaku
10) Lakukan pengekangan fisik sesuai indikasi
11) Hindari bersikap menyudutkan dan menghentikan pembicaraan
12) Hindari sikap mengancam dan berdebat
13) Hindari berdebat atau menawar batas perilaku yang telah ditetapkan
Edukasi
1) Informasikan keluarga bahwa keluarga sebagai dasar pembentukan
kognitif
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Skoliosis yang merupakan kelengkungan lateral pada vertebrata bisa disebabkan
sejumlah abnormalitas pada vertebrata sendiri (struktural) atau karena vertebrata
tergantung miring (postural). Berbeda dengan bungkuk, penyakit skoliosis merupakan
kelainan pada rangka tulang belakang yang melengkuk ke samping secara tidak normal
atau berbentuk huruf S.
Tanda gejala dari scoliosis adalah Tubuh penderita skoliosis condong ke satu sisi ,
salah satu bahu lebih tinggi, salah satu tulang belikat tampak lebih menonjol, tinggi
pinggang tidak rata.
B. Saran
1. Bagi kita sebagai seorang pelajar dan generasi mendatang sudah sepantasnya untuk
mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan
skoliosis
2. Bagi para pembaca, jika ingin mengetahui tentang materi ini yang lebih lengkap dan relevan
bisa membaca buku atau jurnal yang membahas tentang konsep asuhan keperawatan pada
anak dengan gangguan skoliosis
3. Bagi tenaga kesehatan diharapkan bisa meningkatkan upaya penyuluhan terutama bagi ibu
untuk memperluas wawasan dan pemahaman masyarakat terkait pencegahan skoliosis pada
anak sehingga dapat menurunkan angka kejadian penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Afrian Faturrahman. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Scoliosis Vetebra Thoracal 7 –


Lumbal 1 Di RSAL Dr.Ramelan.

Andung Maheswara Rakasiwi. 2009. Hubungan Sikap Duduk Salah dengan Terjadinya
Skoliosis Pada Anak Usia 10 – 12 Tahun Di Sekolah Dasar Negeri Jetis 1 Juwiring

Irianto, Komang Agung. Yazid, Hizbillah. 2019. “Congenital Scoliosis: An Article Review”:
Journal Orthopaedi And Traumatology Volume 8 No.1. Surabaya: Faculty of
Medicine Universitas Airlangga.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Nazhira, Parida, dkk. 2020. Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan skoliosis.
Tanjung karang : DIII keperawatan politeknik kesehatan tanjung karang

Suriani Sari. 2013. Tesis Swiss Ball Exercise dan Koreksi Postur Tidak Terbukti Lebih Baik
dalam Memperkecil Derajat Skolisis Idiopatik daripada Klapp Exercise dan Koreksi
Postur pada Anak Usia 11 – 13 Tahun

Suyono, Slamet KE. dkk. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ll. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai