RIBA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

RIBA

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester


dan Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Kajian Teks Arab
Dosen Pengampu : Muhammad Anang Firdaus, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Nama : Muhammad Muhaimin
Nim : 22403060

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2023
A. Pendahuluan
Latar Belakang
Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezeki, dan dengan rezeki itu dia dapat
melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, al-Qur'an adalah petunjuk untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah Rasulullah saw berfungsi
menjelaskan kandungan al- Qur'an.1 Terdapat banyak ayat al-Qur'an dan Hadis Nabi yang
merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi
tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh al-Qur'an. Apabila kegiatan itu memiliki
watak yang merugikan banayak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti
monopoli, calo, perjudian dan riba, pasti akan ditolak.
Riba sebagai persoalan pokok dalam makalah ini, disebutkan dalam Al- Qur'an
dibeberapa tempat secara berkelompok. Dari ayat-ayat tersebut para 'ulama' membuat
rumusan riba, dan dari rumusan itu kegiatan ekonomi diidentifikasi dapat dimasukkan
kedalam kategori riba atau tidak. Dalam menetapkan hukum, para 'ulama' biasanya
mengambil langkah yang dalam Ushul Fiqh dikenal dengan ta 'lil (mencari illat). Hukum
suatu peristiwa atau keadaan itu sama dengan hukum peristiwa atau keadaan lain yang
disebut oleh nash apabila sama illat-nya.2
Kendati riba dalam Al-Qur'an dan hadis secara tegas dihukumi haram, tetapi karena
tidak diberikan batasan yang jelas, sementara masalah ini sangat dekat dengan aktivitas
ekonomi masyarakat sejak dulu hingga kini, hal ini menimbulkan beragam interpretasi
terhadapnya. Sejak masa awal, persoalan riba telah dipandang sebagai salah satu
permasalah agama yang paling pelik. Sampai-sampai Umar ibn Khattab dikabarkan
menyatakan: "Ada tiga perkara yang sangat aku sukai seandainya Rasulullah
meninggalkan wasiat untuk kita, yakni persoalan pewarisan kakek (datuk). kalalah, dan
persoalan riba, sayang Rasulullah telah meninggal sebelum beliau menerangkannya. Oleh
karena itu, tinggalkanlah riba dan ribah thal-hal yang meragukan).

1
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Mustalahuh (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 46- 50
2
Fathi al-Daraini, al-Fiqh al-Islam al-Muqarin ma'a al-Mazahib (Dimasyqa: Jami'ah Dimasyqa. 1979). Hlm. 49-
54.
B. Pembahasan
1. Teks Teori

‫َر َبا الَّش ْيُئ َيْر ُبْو َر ْبًو ا َو َر ًبا‬


Artinya : sesuatu itu bertambah dan tumbuh.

Jika orang menyatakan ‫ َأْر َبيْـُتُه‬artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.
Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi tambahan pada hal-hal
yang khusus.

2. Pengembangan Teori
a. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu
yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta
uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali yang artinya adalah
"akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya
menurut ukuran syara', ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak
atau salah satu keduanya.
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan
penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara' atau terlambat salah
satunya.
Syaik Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-
penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam
hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang
telah ditentukan.3
Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan
(riba bai"). Riba bai terdiri da dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi
jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan
jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi ah).4
b. Hukum Riba
Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan riba, demikian pula hadis-
hadis yang menerangkan larangan riba dan yang menerangkan siksa bagi pelaku riba.

3
Hendi suhendi, Figh Muamalah, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002) h.57
4
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h.13
Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: "bahwasanya jual-beli itu
seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual- beli dan mengharamkan riba". (Q.S Al Baqarah,
ayat 275).
Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan: Nabi Muhammad SAW bersabda yang
artinya: Dari Jabir R.A ia berkata: Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang suka
makan riba. orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya, orang yang menyaksikan riba.
Rasulullah selanjut bersabda "mereka semuanya sama. (dalam berlaku maksiat dan dosa). 5
c. Macam-Macam Riba
1. Riba fuduli
Fuduli artinya lebih, misalnya menjual salah satu dari dua barang yang sejenis yang saling
dipertukarkan lebih banyak daripada yang lainnya, misalnya:
Menjual uang Rp. 100.000,- dengan uang Rp. 110.000,-
Menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras.
Yang dimaksud lebih ialah dalam timbangannya pada barang yang ditimbank: takaran pada
barang yang ditakar: ukuran pada barang yang diukur, dan jumlah banyak pada uang yang
dipertukarkan dan sebagainya.
2. Riba qardi
Riba qardi, yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang menghutangi (qardi-
pinjam), seperti orang berhutang Rp. 100.000,- dengan perjanjian akan membayar kembali
kelak Rp. 10.000,-
3. Riba yad
Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima. Misalnya orang yang membeli sepeda
motor, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari si penjual, si penjual tidak boleh menjual
sepeda motor itu kepada siapapun, sebab barang yang dibeli dann belum diterima masih
dalam ikatan jual-beli yang pertama.
4. Riba nasa
Riba nasa', misalnya dipersyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan
ditangguhkan pembayarannya. Umpama, membeli barang kalau tunai Rp. 100.000,- tetapi
kalau tidak tunai harganya Rp.125.000,-. Kelebihan membayar Rp. 25.000,- inilah yang
dinamakan riba nasa.6
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
a. Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhi adalah tambahan zat harta pada akad jual-beli yang
diukur dan sejenis.

5
Moh Rifai, Mutiara Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 1998) h.772-773
6
Moh Rifai. Mutiara Fiqih. (Sentarung CV. Wicaksana, 1998) h.775-777
Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis
dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan
akad jual-beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar
dari unsur riba.
b. Riba Nasi'ah
Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan,
seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu tengah kilogram gandum, yang
dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual- beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu
buah semangka dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan.7
Ibn Abbas.Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir dan lain-lain berpendapat bahwa riba
yang diharamkan hanyalah riba nasi ah.
Ulama Syafi'iyah membagi riba menjadi tigas jenis:
a. Riba Fadhi
Riba fadhi adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari
yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi
pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah
kilogram kentang.
b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai antara dua orang
yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum
dengan stair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi'ah, yakni menambah yang tampak dari
utang.
c. Riba Nasi'ah
Riba nasi'ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.
Menurut ulama Syafi'iyah, riba yad dan riba nasi'ah sama-sama terjadi pada pertukaran
barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang,
sedangkan riba nasi'ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al- Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan
riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada ribs
fadhl.8
d. Riba Dalam Perspektif Ekonomi Islam
Islam sangat melarang keras riba dalam praktek ekonomi. Salah satu dasar pemikiran utama
yang paling sering dikemukakan oleh para cendekiawan muslim adalah keberadaan riba
dalam ekonomi merupakan bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusk inti ajaran

7
Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei. FIQII Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setra, 2001)
h.262-263
8
Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQII Muamalah, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001) h.264
Islam tentang keadiln sosial. Oleh karena itu penghapusan riba dari sistem ekonomi Islam
ditujukan untuk memberikan keadilan ekonomi dan perilaku ekonomi yang benar secara etis
dan moral.
Dasar pemikiran dari mengapa Al-Qur'an mewahyukan ayt yang regas mmelarang riba adalah
karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi dan mendukung sistem ekonomi yang
bertujuan mengamankan sosiockonomi yang luas. Karena itu Islam mengutuk semua bentuk
eksploitasi, khususnya ketidakadilan yakni dimana pemberi pinjaman dijamin mendapatkn
pengembalian positif tanpa mempertimbangkan pembagian risiko dengan peminjam, atau
dengan kata lain peminjam menanggung semua jenis risiko. Dengan pertimbangan bahwa
kekayaan yang dimilliki oleh individu sebenarnya merupkan amanah dari Allah swt.
sebagaimana kehidupan seseorang, maka amanah kekayaan merupakan hal yang sacral.9
Al-Qur'an dengan tegas dan jelas melarang akuisisi terhadap milik orang lain dengan cara
yang tidak benar.10 Isalam mengenal dua tipe hak milik :
a. Hak milik yang merupakan hasil kombinasi kerja individual dengan sumber daya alam
b. Hak atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran, pembayaran yang dalam Islam
disebut sebagai hak orang miskin untuk menggunakan sumber daya yang menjadi hak mereka
(zakat dan infak), bantuan tunai dan warisan.
Uang mempresentasikan klaim tunai pemiliknya kepada hak milik yang diciptakan oleh aset
yang diperoleh melalui poin a dan atau b. Akibatnya meminjamkan uang adalah pengalihan
hak milik dari pemberi pinjaman kepada yang meminjam dan yang dapat diklaim untuk
dikembalikan adalah yang berjumlah setara dengan pinjaman tersebut, tidak boleh lebih.
Dalang islam, instrumen keuangan untuk tujuan perdagangan dan produksi didasarkan atas
pembagian risiko dan pembagian keuntungan sebagai pengembalian atas usaha bisnis dan
modal finansial. Pemberi pinjaman yang meminjamkan uang untuk berdagang dan
berproduksi dapat membuat akad untuk menerima pembagian keuntungan. Dengan
melakukan hal tersebut, dia menjadi bagian dari pemilik modal dan berbagi dalam risiko
usaha bukan sebagai kreditor.
e. Dampak Dan Hikmah Pelanggaran Riba
Banyak pakar muslim yang menyatakan bahwa pelarangan riba oleh Islam memiliki 2
dimensi:
1. Menghadirkan akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko yang setara
2. Menganggap tindakan pemberian pinajaman sebagai tidakan kebajikan dengan alasan
untuk membantu seseorang yang sedang membutuhkan.
Menurut yusuf qardhawi, para ulama telah menjelaskan panjang lebar hikmah diharamkannya
riba secara rasional, antara lain:

9
Menurut salah satu sabda Rasulullah saw... "Kekayaan seseorang adalah sama sucinya dengan darah
seseorang."
10
Lihat QS.2: 188,429,4: 161 dan 9:34.
a. Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi
hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik individu maupun
masyarakat.
b. Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di peroleh si
pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya
diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari
padanya.
e. Keharaman riba dapat membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini
mengandung pesan moral yang sangat tinggi.
d. Biasanya orang yang memberi utang adalah orang yang kaya dan orang yang berutang
adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utanag dari orang yang miskin sangat
bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan
sosial.

C. Praktik Riba
Dalam praktik jual beli, ada tiga praktik transaksi riba yang terkenal, yaitu riba al-fadl,
riba al-yad dan riba al-nasa’.11 Karena butuh ruang khusus untuk membahas riba al-nasa’ (riba
yang terjadi akibat jual beli tempo), dalam kesempatan ini hanya akan dijelaskan dua riba jual
beli, yaitu riba al-fadl dan riba al-yad.
Pertama, riba al-fadl, yaitu: transaksi jual beli harta ribawi (emas, perak dan bahan
makanan) yang disertai dengan sesama jenisnya, dan disertai adanya melebihkan di salah satu
barang yang dipertukarkan. Karena adanya unsur melebihkan (fudlul) ini maka riba ini diberi
nama sebagai riba al-fadl (riba kelebihan).
Suatu misal Bu Eko memiliki beras bagus seberat 1 kilogram. Bu Hasan memiliki beras
jelek seberat 2 kilogram. Bu Eko bermaksud memiliki beras kualitas jelek milik Bu Hasan
tersebut untuk campuran pakan ternaknya. Sementara itu Bu Hasan membutuhkan beras
bagus untuk konsumsi keluarganya. Akhirnya, terjadilah transaksi keduanya untuk saling
menukarkan beras tersebut. Bu Eko membawa beras bagus seberat 1 kilogram dan Bu Hasan
membawa beras kualitas buruk seberat 2 kilogram. Transaksi terjadi dengan penukaran beras
1 kg ditukar dengan beras 2 kg.
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam contoh ini adalah termasuk transaksi riba,
disebabkan ada kelebihan timbangan dari beras miliknya Bu Hasan, dengan selisih 1
kilogram. Pasal yang dilanggar dalam hal ini adalah karena ketiadaan sama timbangannya,
sebagaimana syarat sah transaksi barang ribawi, yaitu harus kontan, saling menyerahkan, dan
sama timbangannya.
Sebagai solusinya, agar terhindar dari transaksi riba, yaitu seharusnya Bu Eko membeli
beras yang dimiliki Bu Hasan dengan tunai. Demikian pula, Bu Hasan membeli berasnya Bu
Eko dengan tunai. Selanjutnya, dari uang yang diterima, dibelikan beras yang dikehendaki

11
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean,
Jatim
oleh masing-masing. Uang Bu Eko dibelikan beras milik Bu Hasan. Demikian pula, uang
yang didapat Bu Hasan dibelikan beras milik Bu Eko.
Kedua, transaksi riba al-yad, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli barang ribawi (emas,
perak dan bahan makanan) yang disertai penundaan serah terima kedua barang yang
ditukarkan, atau penundaan terhadap penerimaan salah satunya. Karena ada unsur penundaan
inilah, maka riba ini disebut sebagai riba al-yad (riba kontan).
Demikian logikanya: Emas, perak dan bahan makanan merupakan bahan yang cenderung
mengalami perubahan (fluktuasi) harga. Harga emas saat ini bisa jadi berbeda dengan harga
emas untuk esok hari. Harga cabe hari ini juga memungkinkan berbeda dengan harga cabe
esok hari. Karena kondisi inilah, maka diperlukan syarat mutlak “penetapan harga” yang
disepakati oleh kedua belah pihak apabila terjadi transaksi barang ribawi.
Ambil contoh, misalnya transaksi jual beli barang ribawi antara Pak Ahmad (pedagang
jagung) dengan Pak Hasan (pedagang beras). Pak Ahmad hendak membeli beras milik Pak
Hasan dengan standart 1 kg beras untuk 4 kg jagung. Standart ini dibangun, karena kebetulan
harga beras saat itu adalah 10 ribu rupiah per kilogram. Sementara jagung memiliki harga
2.500 rupiah per kilogram. Keduanya sudah sama-sama sepakat. Setelah Pak Ahmad
menerima beras milik Pak Ahmad, ternyata Pak Ahmad tidak segera menyerahkan jagung
yang dimilikinya kepada Pak Hasan di majelis akad dan saat itu juga. Transaksi inilah yang
disebut sebagai riba al-yad disebabkan ada kemungkinan harga 1 kg beras di kemudian hari
berbeda dengan harga 4 kg jagung. Bahkan adakalanya harga 1 kg beras sama dengan harga 5
kg jagung.
Muncul pertanyaan, bagaimana caranya akad transaksi tukar-menukar barang seperti di
atas agar hukumnya tetap boleh?
Ada beberapa solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini, antara lain:
1. Harus ada ketetapan harga barang untuk masing-masing pihak yang berakad.
Misalnya: harga beras dihitung 10 ribu rupiah per kilogram dan harga jagung dihitung
2.500 rupiah per kilogram.
2. Setelah ditetapkan harga masing-masing barang, selanjutnya Pak Ahmad membeli
beras milik Pak Hasan dengan standart harga yang ditetapkan tersebut. Misalnya, 1
juta rupiah untuk 1 kuintal beras. Demikian juga dengan Pak Hasan, membeli jagung
milik Pak Ahmad dengan ketetapan harga yang sudah disepakati, yaitu 1 juta rupiah
untuk 4 kuintal jagung.
3. Dalam kondisi sudah ada ketetapan harga sebagaimana dimaksud di atas, maka boleh
dilakukan penundaan penyerahan barang salah satu yang hendak dipertukarkan oleh
masing-masing pihak disebabkan ada nilai uang yang menjembatani di antara
keduanya.
4. Bila terjadi penundaan penyerahan barang, maka pada dasarnya salah satu pihak yang
bertransaksi adalah sama dengan sedang hutang uang, dan bukan hutang komoditas.
Oleh karena itu pendapat yang melemahkan akan kebolehan dari transaksi ini adalah
unsur taqabudl-nya, yaitu saling menerima barang saat transaksi di majelis transaksi.
5. Bila ternyata harga beras atau harga jagung di satu bulan kemudian mengalami
kenaikan, maka akad dikembalikan pada asalnya, yaitu bahwa pada dasarnya akad
tersebut bukan akad jual beli. Keberadaan uang yang menjadi alat ukur nilai
komoditas berubah haluan menjadi uang yang dihutang. Dengan demikian, pihak
yang menunda dihukumi sebagai pihak yang berhutang uang sebesar 1 juta rupiah,
dan bukan hutang komoditas beras seberat 1 kuintal atau hutang jagung seberat 4
kuintal.
6. Karena adanya unsur taqabudl yang melemahkan kekuatan dari pendapat ini, maka
diperlukan unsur saling ridha/saling menyadari di antara kedua pihak yang saling
berakad, bahwa akad terjadi dengan standart uang sehingga yang wajib dikembalikan
adalah dalam bentuk uang.
Lemahnya pendapat ini, kadang disebabkan timbul rasa tidak enak di dalam hati kedua
orang yang berakad. Misalnya, timbul pemikiran dari Pak Ahmad: “1 bulan yang lalu, harga
beras masih 10 ribu rupiah. Uang 1 juta yang aku serahkan, saat itu bisa mendapatkan beras 1
kuintal. Namun, karena saat ini beras naik menjadi 10.500 rupiah per kilogram, uang sebesar
1 juta rupiah itu tidak lagi mendapat 1 kuintal beras. Ia hanya mendapatkan 95,2 kg beras.”
Timbulnya rasa ini merupakan hal yang manusiawi dan bisa terjadi kapan saja dan bisa
menyasar siapa saja yang melakukan transaksi ribawi sebagaimana di atas. Itulah sebabnya,
agar muncul kehati-hatian, maka ditetapkan dalam teks fiqih bahwa riba al yad, merupakan
riba jual beli barang ribawi, akibat “pertukaran” barang sejenis atau tidak sejenis, namun
salah satu dari kedua belah pihak ada yang melakukan penundaan penyerahan barang.” Frasa
“pertukaran” ini merupakan batas fiqih yang harus dipatuhi. “Pertukaran antara jagung
dengan beras”, akan sangat berbeda pengertiannya dengan “menjual jagung, kemudian uang
yang didapat digunakan untuk membeli beras.” Untuk kasus terakhir, ada uang yang menjadi
timbangan harga di antara komoditas yang ditawarkan oleh dua orang yang bertransaksi.

D. Analisa
1. Ketentuan Hukum Riba
Riba dalam Islam adalah perbuatan dosa dan dilarang keras praktiknya oleh Allah SWT.
Larangan riba langsung disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ali-Imran ayat
130 yang berbunyi:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َتْأُك ُلو۟ا ٱلِّر َبٰٓو ۟ا َأْض َٰع ًفا ُّم َٰض َع َفًةۖ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّلل َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحوَن‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan."
Mengutip buku 30 Dosa Riba Yang Dianggap Biasa oleh Dr. Sa'id Al-Qahtani, Imam
An-Nawawi mengatakan bahwa kaum muslim telah sepakat bahwa secara garis besar riba
hukumnya adalah haram.12
Rasulullah SAW pun secara nash mengharamkan riba yang terdiri dari enam bentuk yakni
barang, emas, perak, gandum, sya'ir (sejenis gandum), kurma, dan garam.
2. Hadist

12
Cicin Yulianti – detikHikmah Sabtu, 31 Des 2022
Tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama terkait dengan keharaman riba. Ini didasarkan pada
al-Qur’an dan hadis yang melarang perbuatan riba. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits
berikut ini:13

‫ ُهْم‬: ‫ َو َقاَل‬.‫ َو َش اِهَد ْيِه‬،‫ َو َك اِتَبُه‬،‫ َو ُم ْؤ ِكَلُه‬،‫ َلَع َن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم آِكَل الِّر َبا‬: ‫ َقاَل‬، ‫َع ْن َج اِبٍر‬
‫َس َو اٌء‬
Artinya: Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Rasulullah saw melaknat pemakan
riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya. Rasulullah SAW mengatakan,
‘mereka itu sama.” (HR. Muslim no. 1598)

Penyelesaian dan penanganan riba ini tidaklah mudah. Cara terbaik untuk
menyelesaikannya tidak cukup hanya dengan menyampaikan ancaman dan bahaya riba
terhadap kehidupan, tetapi diperlukan juga ada lembaga-lembaga dan jasa-jasa yang berbasis
syari’ah yang siap untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan modal
bisnis atau pendanaan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang membutuhan.
Lembaga dan jasa pelayanan tersebut murni berprinsip ta’awun (tolong-menolong) tidak ada
unsur untuk meraih laba sedikit pun dari memberikan pinjaman (utang) kepada masyarakat.
3. Teks

‫َر َبا الَّش ْيُئ َيْر ُبْو َر ْبًو ا َو َر ًبا‬


Artinya : sesuatu itu bertambah dan tumbuh.

Jika orang menyatakan ‫ َأْر َبيْـُتُه‬artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.
Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi tambahan pada hal-hal
yang khusus.

Sementara itu di dalam kitab Mughnil Muhtaaj disebutkan bahwa riba adalah akad
pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama
dalam pandangan syari’at, baik dilakukan saat akad ataupun dengan menangguhkan
(mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan atau salah satunya. Maka dapat disimpulkan
bahwa secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli
maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam.

13
Ahmad Farhan Juliawansyah (Mahasiswa Ilmu Hadis UAD Angkatan 2018)
E. PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyadah) atau berarti tumbuh dan
membesar. Adapun menurut istilah syara' adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara', atau terlambat
menerimanya. Para pakar ekonomi memahami lebih banyak lagi Bahaya riba mengikuti
perkembangan praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi kekayaan.
kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemahnya perkembangan ekonomi, pengangguran, dan
lain-lain.
Riba memiliki jenis-jenis, diantaranya adalah riba karādh. riba jahiliyah. riba nasi'ah
dan riba fadil dan masing-masing dari semuanya memiliki perbedaan tersendiri. Riba
merupakan sebuah praktek yang diharamkan sejak zaman Rasulullah saw. baik larangan itu
secara tegas dalam Al-Qur'an maupun hadis. Riba merupakan dosa besar harus dihinari
karena berpengaruh pada kehidupan manusia terlebih lagi dalam masalah ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Farhan Juliawansyah (Mahasiswa Ilmu Hadis UAD Angkatan 2018)

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h.13
Cicin Yulianti – detikHikmah Sabtu, 31 Des 2022

Fathi al-Daraini, al-Fiqh al-Islam al-Muqarin ma'a al-Mazahib (Dimasyqa: Jami'ah


Dimasyqa. 1979). Hlm. 49-54.
Hendi suhendi, Figh Muamalah, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002) h.57
Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei. FIQII Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setra, 2001) h.262-263

Lihat QS.2: 188,429,4: 161 dan 9:34.

Menurut salah satu sabda Rasulullah saw... "Kekayaan seseorang adalah sama sucinya dengan
darah seseorang."

Moh Rifai, Mutiara Fiqih, Semarang: CV. Wicaksana, 1998) h.772-773


Moh Rifai. Mutiara Fiqih. (Sentarung CV. Wicaksana, 1998) h.775-777

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Mustalahuh (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), hal.
46- 50
Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQII Muamalah,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2001) h.264

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri
Putri, P. Bawean, Jatim

Anda mungkin juga menyukai