Etika Bisnis Syariah KLMPK 5
Etika Bisnis Syariah KLMPK 5
Etika Bisnis Syariah KLMPK 5
Di susun oleh:
Kelompok 5
Mohammad Daffa : 3622038
Jerry Alfajri : 3622042
Dosen Pengampu:
Harfandi SE, M. Si
i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Swt. Yang telah menganugrahkan al-Qura’an
sebagai petunjuk bagi manusia dan rahmat bagi segenap alam, serta karunia
kepada hamba-Nya yang beriman sehingga bias membedakan antara yang benar
dan salah.
Salawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Utusan yang
baik kepada semua umat manusia yang telah member petunjuk, rahmat bagi
segenapalam, member kabar gembira, dan peringatan, serta mengajak kepada
umatnya menuju jalan yang benar.
Penulisan makalah ini dapat selesai dengan baik berkat bantuan bimbingan
dan arahan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih sebanyak banyaknya kepada Bapak Harfandi selaku dosen
pengampu.
Dan penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari pembaca guna penyempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3
A. Pengertian Muamalah..............................................................................3
B. Hal-hal yang Dilarang Muamalah...........................................................5
C. Prinsip-Prinsip Muamalah.......................................................................8
BAB III PENUTUP.........................................................................................13
A. Kesimpulan ...........................................................................................13
B. Saran .....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dari
makalah ini adalah:
1. Apa itu Muamalah?
2. Apa hal-hal yang Dilarang Muamalah?
3. Bagaimana Prinsip-prinsip Muamalah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
1
1. Mengetahui Pengertian Muamalah.
2. Mengetahui Hal-hal yang Dilarang Muamalah.
3. Prinsip-prinsip Muamalah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muamalah
Kata Muamalat )امالت88 (المعyang kata tunggalnya muamalah )ة88 (المعاملyang
berakar pada kata )ا88 (عامsecara arti kata mengandung arti saling berbuat atau
berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti hubungan antara orang
dan orang. Muamalah secara etimologi sama dan dengan al-mufa'alah yaitu saling
berbuat. Kata ini, menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang
dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-
masing. Atau muamalah secara etimologi itu artinya tidak saling bertindak, atau
saling mengamalkan.
Secara terminologi, muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
pengertian muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pengertian muamalah
dalam arti luas yaitu menghasilkan duniawi supaya menjadi sebab suksesnya
masalah ukhrawy.
Jadi, pengertian muamalah dalam arti luas yaitu hukum-hukum Allah untuk
mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan
sosial.1
1
Prilia Kurnia Ningsih, FIQIH MUAMALAH (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2018).
3
Istilah ini terutama mencakup dua jenis riba: riba al-nasi'ah (riba
yang dikenakan atas penundaan pembayaran) dan riba al-fadl (riba yang
dikenakan dalam pertukaran barang).
a. Riba al-nasi'ah: Ini terjadi ketika seseorang meminjam uang dan
kemudian harus membayar kembali jumlah yang lebih besar dari
jumlah yang dipinjamkan, hanya karena adanya tambahan bunga
atau bunga. Dalam Islam, ini dianggap tidak adil karena
menguntungkan pemberi pinjaman tanpa memberikan manfaat
nyata kepada peminjam
b. Riba al-fadl: Ini terjadi ketika pertukaran barang dilakukan secara
tidak seimbang, di mana salah satu pihak mendapat keuntungan
lebih besar dari yang seharusnya. Contohnya adalah pertukaran
emas dengan emas, di mana jumlah yang ditukar tidak sama
(misalnya, satu ons emas untuk dua ons emas).
Larangan riba dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan, kesejahteraan bersama, dan penolakan eksploitasi. Al-Quran
secara tegas melarang riba dalam beberapa ayat, dan Nabi Muhammad
SAW juga menyampaikan larangan riba dalam hadisnya. Dalam sistem
keuangan Islam, alternatif yang digunakan untuk menghindari riba antara
lain adalah akad-akad keuangan yang didasarkan pada prinsip syariah
seperti murabahah, mudharabah, musharakah, dan lainnya, yang bertujuan
untuk memastikan kesetaraan dan keadilan dalam transaksi keuangan.2
2. Risywah
Yang sering kali disebut juga sebagai suap, adalah praktik yang
melibatkan pemberian atau penerimaan sesuatu yang memiliki nilai,
seperti uang, barang, atau layanan, sebagai imbalan untuk mempengaruhi
tindakan atau keputusan seseorang yang memiliki kekuasaan atau
2
Evan Hamzah Muchtar, “Muamalah Terlarang: Maysir Dan Gharar,” Jurnal Asy-Syukriyyah 18
(2017): 82–100.
4
kewenangan. Praktik ini bisa terjadi di berbagai sektor, termasuk politik,
bisnis, atau penegakan hukum.
Dalam konteks politik, risywah dapat digunakan untuk
memperoleh dukungan atau pengaruh politik, baik dalam proses legislasi
maupun dalam pemilihan umum. Di bidang bisnis, risywah bisa digunakan
untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah, seperti mendapatkan
kontrak atau menghindari pemeriksaan yang ketat. Sedangkan dalam
penegakan hukum, risywah dapat mengganggu keadilan dan integritas
sistem peradilan.
Praktik risywah secara luas dianggap merugikan masyarakat
karena merusak keadilan, memperburuk kualitas layanan publik, dan
melanggar prinsip moral serta hukum. Oleh karena itu, banyak negara
mengadopsi undang-undang dan kebijakan anti-korupsi serta melakukan
upaya penegakan hukum yang ketat untuk memerangi praktik ini.
Meskipun langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum
telah dilakukan, risywah masih menjadi masalah yang persisten di banyak
negara. Pendidikan, kesadaran, dan partisipasi masyarakat sangat penting
dalam upaya mengurangi dampak negatif risywah dan memperbaiki tata
kelola yang baik dalam suatu negara.
3. Gharar
Secara bahasa gharar adalah bahaya (al mukhatarah), cenderung pada
kerusakan (al ta‟ridh li al halak), penipuan (alkhida‟), ketidakjelasan
(jahalah) atau sesuatu yang lahirnya disukai tetapi bathinnya dibenci
(Djamil, 2013: 159).
Secara terminologi, gharar adalah semua jenis jual beli yang
mengandung ketidak jelasan (jahalah), spekulasi, atau mengandung
taruhan (Sabiq, 1998: 54-55 dan Zuhaili, 1984: 3411).
Para fuqaha melakukan kategorisasi terhadap sesuatu yang dianggap
gharar; gharar atau jahalah yang besar, yang sedikit, dan yang
pertengahan. Gharar yang dianggap besar adalah benda yang diperjual
5
belikan belum atau tidak dimiliki seperti burung yang terbang di udara.
Gharar kecil adalah benda yang sifatnya belum jelas kecuali setelah
dilihat. Gharar kecil ini bagi sebagian ulama (Hanafiyah) dibolehkan.
Adapaun gharar menengah adalah diikutkan kepada mana yang paling
condong sedikit ghararnya atau banyak. Terhadap gharar besar, ulama
sepakat mengharamkannya (Zuhaili, 1996: 3414).
4. Tadlis
Yakni penipuan atas adanya kecacatan barang yang diperjual belikan.
Tadlis ada kalanya dari penjual dan ada kalanya dari pembeli. Tadlis dari
penjual berupa merahasiakan cacat barang dan mengurangi kuantitas atau
kualitas barang tetapi seolah-olah tidak berkurang. Tadlis pada pembeli
berupa alat pemabayaran yang tidak sah. Dalam ekonomi Islam kondisi
ideal dalam pasar yaitu penjual dan pembeli mempunyai informasi yang
sama terhadap objek atau barang yang diperjualbelikan sehingga terjadi
kerelaan dari masing-masing pihak (an taradhin minkum). Pada saat terjadi
ketimpangan informasi terhadap objek yang diperjualbelikan, maka besar
kemungkinan terjadi penipuan. Oleh sebab iu tadlis ini dilarang. Bentuk
tadlis bisa terjadi pada kuantitas barang dan bisa juga pada kualitas barang.
Tadlis pada kuantitas barang misalnya menjual baju bekas sebanyak satu
kontainer. Karena jumlahnya banyak dan tidak mungkin menghitung satu
persatu, penjual berusaha mengurangi jumlah barang yang dikirim kepada
pembeli. Sementara itu tadlis pada kualitas ialah menyembunyikan cacat
atau kualitas barang, misalnya dalam penjualan mobil bekas (Djamil,
2013: 170).
Dalam sejarah disebutkan bahwa seorang pedagang mengelabui
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, tidak jujur dalam jual belinya. Dari
Abu Hurairah, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian
tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya,
6
“Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab,
“Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan
agar manusia dapat melihatnya?Ketahuilah, barang siapa menipu maka
dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim)
larangan lain yang dapat menyebabkan akad bisa dibatalkan seperti
transaksi karena persoalan kecakapan orang yang berakad seperti jual beli
orang gila, anak kecil, terpaksa, menjual barang orang lain tanpa
seizinnya; atau bisa juga karena persoalan shigat seperti tidak sesuai antara
ijab dan kabul; dari segi objek seperti barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan akan tidak ada. Dan lain sebagainya.
C. Prinsip-prinsip Muamalah
prinsip muamalah dapat disimplikasi pada hal-hal yang dilarang dalam
praktek muamalah dan hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan. Untuk hal-hal
yang diperintahkan dalam muamalah adalah sebagai berikut :
1. Objek transaksi mesti halal. Artinya dilarang melakukan bisnis ataupun
aktivitas ekonomi terkait yang haram. Sebagai contoh Islam melarang
menjual minuman keras, najis, alat-alat perjuadian, dan lain-lain.
Sehubungan dengan itu berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang
mencampuradukkan barang-barang halal dan haram juga tak dibenarkan
dalam Islam. Investasi tidak halal yang dilakukan oleh suatu perusahaan
sama artinya dengan tolong menolong dalam keburukan. Preferensi
seorang muslim bukan sekedar ditentukan oleh utility semata, tetapi apa
yang disebut sebagai mashlahat dengan tanpa meninggalkan aspek
rasionalitas.
2. Adanya keridhaan pihak-pihak yang bermualamah. Dasar asas ini adalah
kalimat an taradhin minkum (saling rela diantara kalian, QS. AnNisa: 29).
Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas
dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Kerelaan antara pihak-pihak
yang berakad dianggap sebagai prasyarat bagi terwujudnya semua
7
transaksi. Jika dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, maka itu artinya
sama dengan memakan sesuatu dengan cara bathil yang dilarang Allah.
Transaksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai
sebuah bentuk kegiatan yang saling rela diantara yang melakukan transaksi
jika di dalamnya ada tekanan, paksaan, tipuan dan miss-statemen. Jika asas
ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam proses transaksis dari pihak
manapun, kondisi ini diimplementasikan dalam perjanjian yang dilakukan
diantaranya dengan kesepakatan dalam bentuk shigat ijab dan qabul serta
adanya hak kiyar.
3. Pengurusan dana yang amanah. Amanah mempunyai akar kata yang sama
dengan kata iman dan aman, sehingga mukmin berarti yang beriman, yang
mendatangkan keamanan, juga yang memberi dan menerima amanah.
Orang yang beriman disebut juga al-mukmin, karena orang yang beriman
menerima rasa aman, iman dan amanah. Bila orang tidak menjalankan
amanah berarti tidak beriman dan tidak akan memberikan rasa aman baik
untuk dirinya dan sesama masyarakat lingkungan sosialnya. Dalam sebuah
hadis dinyatakan "Tidak ada iman bagi orang yang tidak berlaku amanah".
Dari pengertian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa
amanah adalah menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak
mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain,
baik berupa harga maupun jasa. Amanah merupakan hak bagi mukallaf
yang berkaitan dengan hak orang lain untuk menunaikannya karena
menyampaikan amanah kepada orang yang berhak memilikinya adalah
suatu kewajiban.
Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah merupakan cirri yang
mesti ditunjukkan karena merupakan sifat Nabi dan Rasul dalam
kehidupan sehari-hari. Terkait ini Nabi bersabda :
Pedagang yang jujur dan amanah berada bersama para Nabi dan para
syuhada. Amanah (trust) adalah modal utama untuk terciptanya kondisi
8
damai dan stabilitas di tengah masyarakat, karena amanah sebagai
landasan moral dan etika dalam bermuamalah dan berinteraksi sosial.3
3
Siti Saleh, “J-HES,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 2, no. 1 (2018).
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muamalah merupakan segala bentuk interaksi dan aktivitas ekonomi yang
dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam Islam,
muamalah memiliki aturan dan batasan yang jelas, yang bertujuan untuk
menciptakan sistem ekonomi yang adil, sejahtera, dan berkah.
Di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, terdapat beberapa hal yang dilarang
dalam muamalah, di antaranya:
1. Riba adalah pengambilan keuntungan berlipat ganda dari pinjaman uang.
Riba diharamkan karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan ketidakadilan.
2. Risywah: Risywah adalah pemberian atau penerimaan suap untuk
mendapatkan keuntungan. Risywah diharamkan karena dapat merusak sistem
keadilan dan demokrasi.
3. Gharar adalah transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan dan
keraguan. Gharar diharamkan karena dapat menimbulkan perselisihan dan
sengketa di kemudian hari.
B. Saran
Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para pembaca,
karena kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang
dengan Itu semua kami harapkan makalah ini akan menjadi lebih baik lagi.
10
DAFTAR PUSTAKA
11