Tugas 3
Tugas 3
ketentuan berikut:
Berikanlah tanggapan atas topik diskusi dari hasil pemikiran dan analisis sendiri yang di
dukung dengan teori yang relevan dari membaca BMP Hukum Persaingan Usaha dan sumber
referensi lain yang dijadikan rujukan.
Jawaban yang diberikan bukan hasil Chat AI (seperti ChatGPT, Perflexity, dan yang lainnya).
Tutor akan memberikan Nilai 0 jika tanggapan yang diberikan adalah hasil chat AI.
Tidak dibolehkan copy paste jawaban teman, Jika jawaban yang diberikan hasil copy paste
jawaban teman maka Tutor langsung memberikan Nilai 0;
Tuliskan/cantumkan Sumber Referensi yang dijadikan Rujukan. Jika tidak ada sumber
rujukan maka tutor akan memberikan nilai Minimal.
Kasus kartel di Indonesia yang menarik perhatian publik diantaranya adalah kartel harga tiket
pesawat kelas ekonomi. Pada 23 Juni 2020, KPPU menetapkan tujuh maskapai penerbangan
nasional telah melakukan kartel harga tiket pesawat kelas ekonomi. Hal ini tertuang di dalam
Putusan Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019. Ketujuh maskapai tersebut, yakni Garuda
Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, Nam Air, Batik Air, Lion Air, dan Wings Air. Dalam
putusannya, KPPU memerintahkan ketujuh maskapai untuk memberitahukan secara tertulis
kepada KPPU sebelum mengambil setiap kebijakan yang akan berpengaruh terhadap peta
persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat selama dua tahun
sejak putusan. Tak terima, Lion Air Group yang terdiri dari Batik Air, Lion Air dan Wings
Air mengajukan gugatan keberatan kepada PN Jakarta Pusat (Jakpus). Pada 2 September
2020, PN Jakpus memutuskan menerima gugatan Lion Air Group dan membatalkan putusan
KPPU. Atas putusan ini, KPPU pun mengajukan permohonan kasasi kepada MA. Pada 13
Desember 2022, MA mengabulkan kasasi KPPU. Dengan begitu, maka putusan KPPU telah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan wajib dilaksanakan.
Arti(Kompas.com)
Pertanyaan:
berdasarkan kasus diatas, berikanlah analisis pemahaman anda terkait Kartel yang dilakukan
oleh 7 maskapai pesawat diatas, kaitkan dengan materi pembahasan tentang Perjanjian yang
dilarang sesuai pemabahsan Inisiasi pada sesi 4 ini.
Jawaban :
Kartel adalah suatu hubungan adanya kerjasama atau kolusi antara beberapa kelompok
produsen atau perusahaan dalam hal melakukan produksi barang serta memasarkannya yang
bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi penawaran dan persaingan (Referensi:
Wikipedia).
Kartel merupakan salah satu perjanjian yang dilarang dalam suatu pasar atau persaingan
usaha. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.”
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU adalah lembaga independen yang dibentuk
untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Referensi: Wikipedia).
Berdasarkan kasus di atas, KPPU telah menetapkan 7 maskapai penerbangan nasional telah
melakukan kartel harga tiket pesawat kelas ekonomi. Kartel sangat berbahaya bagi pasar
karena kesepakatan yang dibuat berkaitan dengan hal-hal yang sangat pokok dalam suatu
transaksi bisnis, yakni harga, wilayah dan konsumen. Tak hanya itu, kartel juga dapat
menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akibat penentuan
tingkat harga yang sangat tinggi atau jumlah produksi yang dilakukan. Pada akhirnya, kartel
akan menyebabkan kerugian bagi konsumen karena harga yang dapat dipastikan akan mahal
dan terbatasnya barang atau jasa di pasar.
Berdasarkan artikel di atas, Lion Air Grup mengajukan gugatan keberatan kepada PN Jakpus,
kemudian PN Jakpus memutuskan menerima gugatan Lion Air Group dan membatalkan
putusan KPPU. Atas putusan ini, KPPU pun mengajukan permohonan kasasi kepada MA.
Pada 13 Desember 2022, MA mengabulkan kasasi KPPU. Dengan begitu, maka putusan
KPPU telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan wajib dilaksanakan.
Permohonan kasasi adalah upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung untuk
membatalkan putusan pengadilan tingkat banding atau putusan tingkat terakhir dari semua
lingkungan peradilan. Apabila permohonan kasasi dikabulkan, artinya Mahkamah Agung
mengadili sendiri dan membatalkan putusan pengadilan tingkat banding tersebut.
Berdasarkan Pasal 30 UU 14 Tahun 1985, MA dalam tingkat kasasi membatalkan
putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena :
(a). tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; (b). salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku; dan/atau (c). lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan. (Referensi: https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/registry-news/2156-
catat-permohonan-kasasi-yang-dikabulkan-hanya-11-92)
Disparitas Ancaman Minimal Khusus Dalam Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 telah mengatur mengenai ketentuan
minimum khusus yang dapat dijatuhkan terhadap terdakwa. Artinya bahwa dalam undang-
undang tersebut telah mengatur secara limitatif terkait batasan pidana minimum yang dapat
dijatuhkan hakim terhadap terdakwa. Namun, dalam prakteknya masih ada kasus tindak
pidana korupsi yang divonis di bawah batas minimal khusus.
Sehubungan dengan itu berikan analisis mengenai alasan pembentuk undang-undang
merumuskan ketentuan ancaman pidana minimum dalam perkara tindak pidana korupsi dan
bagaimana menurut saudara apakah dengan pembatasan minimum tersebut tidak
menyimpang dengan prinsip kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana dan berikan
contoh putusan hakim yang pidananya di bawah ancaman pidana minimum.
Jawaban :
Sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengatur tentang
batas hukuman minimal dan maksimal amanya pidana penjara, sehingga mencegah hakim
menjatuhkan putusan dibawah ketentuan yang berlaku yang dirasa tidak adil oleh masyarakat.
Pemberlakuan ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ini menjadi indikator para aparat penegak hukum untuk serius dalam menangani
setiap perkara indak pidana korupsi agar setiap pelakunya yang terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat dijerat hukuman pidana yang
setimpal walaupun tindak pidana korupsi yang dilakukan tidak memiliki dampak yang besar
ataupun jumlah kerugian yang ditaksir sangat kecil. (Referensi : Jurnal Rechtcientia Hukum
ISSN 2775-5517 Vol. 1, No. 2, September 2021)
(F.F) (F.F)
Sistem pidana minimum memberi batasan terhadap kebebasan yang dimiliki hakim dalam
menjatuhkan putusan. Apabila dikaitkan antara asas kebebasan hakim dengan penjatuhan
pidana, seorang hakim memiliki asas kekuasaan yang bebas dalam menjatuhkan pidana
terhadap seorang terdakwa. Akan tetapi, putusan berupa pemidanaan di bawah umur
minimum dari ancaman pidana yang telah diatur dan ditetapkan dalam undang-undang akan
menimbulkan kontroversi atau pun perdebatan.
Topik aturan hukum minimal kaitannya dengan asas kebebasan hakim ini yang kemudian
diteliti Supandriyo, S.H., M.H. Disertasinya yang berjudul “Asas Kebebasan Hakim dalam
Penjatuhan Pidana Terhadap Tindak Pidana Dengan Ancaman Minimum khusus”. Menurut
Supandriyo membatasi kebebasan hakim dalam mengekspresikan logika-logika hukum
terhadap setiap kasus tertentu pada akhirnya hanya akan menghambat upaya proses pencarian
nilai-nilai keadilan yang sebenarnya. Meski menurut Supandriyo kebebasan tersebut bukan
berarti sebebas-bebasnya tanpa disertai dengan tanggung jawab secara yuridis. Oleh karena
itu, Supandriyo melakukan penelitiannya untuk memahami dan menganalisis interpretasi
serta pemaknaan hakim tentang asas kebebasan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap
tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus.
Berdasarkan hasil penelitiannya yang dilakukan terhadap beberapa responden yang
merupakan hakim tingkat pertama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Yogyakarta,
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, Pengadilan Tinggi Jawa Timur, dan Pengadilan Tinggi
Kalimantan Selatan memunculkan beberapa kesimpulan. Hasil penelitian Supandiyo
menyimpulkan bahwa intrepetasi hakim tentang penerapan asas kebebasan hakim di dalam
melakukan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana yang memuat ancaman minimum
khusus sangat dipengaruhi oleh paradigma hakim dalam memahami hukum dari dimensi
ontologi, aksiologis maupun epistimologi.
Dengan demikian penjatuhan putusan pemidaan kepada seorang terdakwa hakim harus
mendasarkan pada bobot kesalahannya dan tidak terikat dengan ketentuan pidana minimum
khusus karena acuan tertinggi hakim adalah nilai keadilan.
(Referensi : https://ugm.ac.id/id/berita/16313-mengkaji-asas-kebebasan-hakim-dalam-
penjatuhan-pidana-dengan-ancaman-minimum-khusus/)
Berikut ini merupakan contoh putusan hakim yang pidananya di bawah ancaman pidana
minimum :
Nomor putusan: 151/Pid.Sus/Tpk/2015/Pn.Jkt.Pst dimana terdakwa bernama Moh Yagari
Bhastara Guntur alias Gary. Berdasarkan putusan tersebut maka dapat diketahui bahwa
dakwaan yang diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terdakwa didakwa dengan Surat Dakwaan nomor: DAK-46/24/11/2015
tanggal 10 November 2015.
Putusan hakim menyimpang dengan apa yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Dimana
dalam pasal Pasal 6 ayat (1) huruf a UUPTPK menyatakan bahwa minumum pidana adalah 3
(tiga) tahun dan maksimum pidana adalah 15 (lima belas) tahun. Oleh sebab itu penjatuhan
putusan oleh hakim tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam dakwaan primair
Penuntut Umum. Batas minimum hakim dapat menjatuhkan pidana kepada Gary adalah 3
(tiga) tahun. Namun dalam hal ini hakim malah menjatuhkan pidana terhadap Gary dengan
pidana penjara selama 2 (dua) tahun. (Referensi : Recidive Volume 7 No. 2 Mei - Agustus
2018)