Ass 1 Kompos Rara

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertanian organik merupakan jawaban dari revolusi hijau yang digalakkan pada
tahun 1960-an yang menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan kerusakan
lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida kimia yang tidak terkendali. Sistem
pertanian berbasis high input energy seperti pupuk kimia dan pestisida dapat merusak
tanah yang akhirnya dapat menurunkan produktifitas tanah, sehingga berkembang
pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya sudah sejak lama dikenal, sejak ilmu
bercocok tanam dikenal manusia, semuanya dilakukan secara alamiah. Pertanian
organik modern didefinisikan sebagai sistem budidaya pertanian yangmengandalkan
bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Pengelolaan pertanian
organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan.
Prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus
memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi,
dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling
berhubungan dan tidak terpisahkan (Mayrowani, 2012).
Pertanian Organik merupakan salah satu teknologi yang berwawasan lingkungan.
Pertanian organik dipahami sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berazaskan
daur ulang hara secara hayati. Pertanian organik merupakan kegiatan bercocok tanam
yang ramah lingkungan atau akrab dengan lingkungan dengan cara berusaha
meminimalkan dampak negatif bagi alam sekitar dengan ciri utama pertanian organik
yaitu menggunakan varietas lokal, pupuk, dan pestisida organik dengan tujuan untuk
menjaga kelestarian lingkungan (Sutanto, 2002).
Pengomposan adalah proses perombakan atau biasa disebut dekomposisi bahan-
bahan organik dengan memanfaatkan peran atau aktivitas mikroorganisme. Melalui
proses tersebut, bahan-bahan organik akan diubah menjadi pupuk kompos yang kaya
dengan unsur-unsur hara baik makro ataupun mikro yang sangat diperlukan
oleh tanaman. Penambahan bioaktivator dapat mempercepat proses pengomposan
dan kualitas produk kompos. Penambahan kotoran sapi sebagai bioaktivator
bermanfaat sebagai sumber nutrien untuk membangun sel-sel baru
mikroorganisme agar proses dekomposisi berjalan dengan baik atau mempercepat
proses pematangan kompos (Widiarti, 2015).
Pupuk organik mempunyai berbagai manfaat, antara lain adalah untuk
meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki kondisi kimia, fisika dan biologi tanah,
penggunaannya aman bagi manusia dan lingkungan, meningkatkan produksi pertanian,
dan mengendalikan penyakit-penyakit tertentu (Musnawar, 2003).
Berbagai kendala yang dimiliki pupuk organik antara lain kualitas kompos tidak
konsisten tergantung kepada bahan bakunya. Apalagi kalau kompos dibuat dari pupuk
kandang malah dapat bersifat racun bagi tanaman karena terdapat mineral tembaga dan
seng. Pupuk kompos bersifat ruah (bulky) sehingga diperlukan dalam jumlah
yang cukup besar, kandungan unsur hara baik makro maupun mikro rendah, dan
untuk mengetahui efek pupuk organik terhadap tanaman biasanya diperlukan
waktu yang lama (Sentana, 2010).
Penggunaan kompos yang belum matang akan menyebabkan dekomposisi pada
kondisi anaerobik. Hal tersebut akan menghasilkan senyawa fitotoksik dari asam-
asam organik, amoniak, nitrit-nitrogen, besi, dan mangan. Untuk mengatasi hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan kompos yang telah memenuhi standar
yang telah ditentukan (Widiarti, 2015).
Berdasarkan pemaparan diatas maka praktikum pembuatan pupuk kompos perlu
dilakukan agar kita dapat mengetahui dan memahami proses pembuatan pupuk kompos
yang akan digunakan untuk memperoleh hasil produksi budidaya tanaman yang lebih
baik.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui dan memahami kompos
secara umum, metode pengomposan, faktor pengaruh pengomposan, serta indikator
kematangan kompos.
Kegunaan dari praktikum ini adalah memberi gambaran untuk mengetahui dan
memahami kompos secara umum, metode pengomposan, faktor pengaruh
pengomposan, serta indikator kematangan kompos.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian kompos


Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-
bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi
berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan
aerobik atau anaerobik (Crawford, 2003).
Kompos merupakan zat akhir suatu proses fermentasi, tumpukan sampah/ seresah
tanaman dan ada kalanya pula termasuk bingkai binatang. Sesuai dengan humifikasi
fermentas suatu pemupukan, dirincikan oleh hasil bagi C/N yang menurun.
Perkembangan mikrobia memerlukan waktu agar tercapai suatu keadaan fermentasi
yang optimal. Pada kegiatan mempercepat proses dipakai aktifator, baik dalam jumlah
sedikit ataupun banyak, yaitu bahan dengan perkembangan mikrobia dengan
fermentasi maksimum. Aktifator misalnya: kotoran hewan. Akhir fermentasi untuk
C/N kompos 15 – 17 (Sutedjo, 2002).
Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata
persentase bahan organik sampah mencapai ±80%,sehingga pengomposan merupakan
alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk
dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang
dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan
lepasnya gas metana ke udara (Rohendi, 2005).
(Secara garis besar membuat kompos berarti merangsang pertumbuhan bakteri
(mikroorganisme) untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan yang
dikomposkan sehingga terurai menjadi senyawa lain.Proses yang terjadi adalah
dekomposisi, yaitu menghancurkan ikatan organik molekul besar menjadi molekul
yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan CO2 dan H2O serta penguraian lanjutan yaitu
transformasi ke dalam mineral atau dari ikatan organik menjadi anorganik.Proses
penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa organik yang
sukar larut menjadi senyawa organik yang larut sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut
agar kompos dapat terbentuk lebih cepat.Proses pengomposan oleh bahan organik
mengalami penguraian secara biologis,khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.Membuat kompos adalah
mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih
cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air
yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan).
2.2 Metode Pengomposan
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
1. Ukuran Bahan
Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang
menjadi bahan yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi karena
peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak. Sampai
batas tertentu semakin kecil ukuran partikel bahan maka semakin cepat
pula waktu pelapukannya (Murbandono, 1993)
2. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)
Rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam
pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk
menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan nitrogen yang berperan
dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya (Triadmojo, 2001). Kisaran rasio C/N
yang ideal adalah 20-40, dan rasio yang terbaik adalah 30 (Center for policy and
Implementation Study, 1992). Rasio C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses
berjalan lambat karena kandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya jika rasio C/N
terlalu rendah akan menyebabkan terbentuknya amoniak, sehingga nitrogen akan
hilang ke udara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001).
3. Temperatur Pengomposan
Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhu
optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Suhu optimum pengomposan
berkisar antara 35-55 oC, akan tetapi setiap kelompok mikroorganisme mempunyai
suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum pengomposan merupakan integasi
dari berbagai jenis mikroorganisme (Murbandono, 1993).
4. Derajat Keasaman (pH)
Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat
dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut Center for
Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH) yang dituju adalah 6-
8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi tanaman. Hasil dekomposisi
bahan organik ini menghasilkan kompos yang bersifat netral sebagai akibat
dari sifat-sifat basa bahan organik yang difermentasikan. Pada pengomposan pupuk
organik padat nilai pH pada hari ketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan hari ke-enam
berkisar pada 8,66-9,08 (Nengsih, 2002).
5. Mikroorganisme yang Terlibat dalam Pengomposan
Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada
permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan pada bahan yang akan
dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan (Indriyani,
1999). Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya proses pengomposan akan
berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang
terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dan
termofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu
antara 45-65 oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari 45 oC, maka proses
pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas suhu tersebut (45-65 oC) mikroorganisme
yang berperan adalah termofilik (Gaur, 1983). Mikroorganisme mesofilik pada
hakekatnya berfungsi memperkecil ukuran partikel zat organik sehingga luas
permukaan partikel bertambah (Center for Policy and Implementation Study, 1992).
Bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi untuk
mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat
terdegradasi dengan cepat (Gaur, 1983).
2.4 Indikator Kematangan Kompos
Stabilitas dan kematangan kompos adalah beberapa istilah yang sering
dipergunakan untuk menentukan kualitas kompos. Stabil merujuk pada kondisi kompos
yang sudah tidak lagi mengalami dekomposisi dan hara tanaman secara perlahan (slow
release) dikeluarkan ke dalam tanah. Stabilitas sangat penting untuk menentukan
potensi ketersediaan hara di dalam tanah atau media tumbuh lainnya. Kematangan
adalah tingkat kesempurnaan proses pengomposan. Pada kompos yang telah matang,
bahan organik mentah telah terdekomposisi membentuk produk yang stabil. Untuk
mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji dilaboratorium
ataupun pengamatan sederhana di lapangan.
Menurut Isroi (2009), cara sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan
kompos yaitu sebagai berikut:
1. Dicium atau dibaui
Jika proses pembuatan kompos berjalan dengan normal, maka tidak boleh
menghasilkan bau yang menyengat (bau busuk). Walaupun demikian dalam
pembuatan kompos tidak akan terbebas sama sekali dari adanya bau. Dengan
memanfaatkan indra penciuman, dapat dijadikan sebagai alat untuk mendeteksi
permasalahan yang terjadi selama proses pembuatan kompos. Sebagai gambaran, jika
tercium bau amonia, patut diduga campuran bahan kompos kelebihan bahan yang
mengandung unsur Nitrogen (ratio C/N terlalu rendah). Untuk mengatasinya
tambahkanlah bahan-bahan yang mengandung C/N tinggi, misalnya berupa: Potongan
jerami,Potongan kayu, Serbuk gergaji, Potongan kertas koran dan atau karton dan lain-
lain. Jika tercium bau busuk, mungkin campuran kompos terlalu banyak mengandung
air. Apabila ini terjadi, lakukanlah pembalikan. Kompos yang sudah matang berbau
seperti tanah dan harum. Apabila kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi
fermentasi anaerobik dan menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin
berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya
berarti kompos belum matang.
2. Warna kompos
Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman. Apabila
kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti
kompos tersebut belum matang.
3. Penyusutan
Terjadi penyusutan volume atau bobot kompos seiring dengan kematangan
kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat
kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20-40%. Apabila penyusutan masih
kecil atau sedikit kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum
matang.
4. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan.
Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50° C berarti proses pengomposan masih
berlangsung aktif.
5. Kandungan air kompos
Kompos yang sudah matang memiliki kandungan air kurang lebih 55-65%. Cara
mengukur kandungan air kompos adalah sebagai berikut : Ambil sampel kompos dan
ditimbang. Kompos dikeringkan dalam oven atau microwave hingga beratnya konstan,
kompos ditimbang kembali.
2.5 Manfaat Kompos
Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan
kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur
tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan
kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktifitas mikroba
tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos.
Aktifitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan
menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktifitas
mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan
penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik
kualitasnya daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misalnya hasil panen
lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
Menurut Isroi (2009), kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari
beberapa aspek yakni sebagai berikut:
1. Aspek Ekonomi
Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah, Mengurangi
volume/ukuran limbah, Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya.
2. Aspek Lingkungan
Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah, Mengurangi kebutuhan
lahan untuk penimbunan .
3. Aspek bagi tanah/tanaman
Meningkatkan kesuburan tanah, Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah,
Meningkatkan kapasitas serap air tanah, Meningkatkan aktifitas mikroba tanah,
Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen), Menyediakan
hormon dan vitamin bagi tanaman, Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman.
Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah.
Pada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fisik tanah yang
selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman hortikultura (buah-
buahan, tanaman hias, dan sayuran) atau tanaman yang sifatnya perishable ini hampir
tidak mungkin ditanam tanpa kompos. Demikian juga di bidang perkebunan,
penggunaan kompos terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman. Di bidang
kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan kompos. Sementara itu, pada
perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan pada tambak, umur pemeliharaan 7
bulan menjadi 5-6 bulan.
Kompos membuat rasa buah-buahan dan sayuran lebih enak, lebih harum dan
lebih masif. Hal inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik, selain lebih
sehat dan aman karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia rasanya lebih
baik, lebih getas, dan harum. Penggunaan kompos sebagai pupuk organik saja akan
menghasilkan produktivitas yang terbatas. Penggunaan pupuk buatan saja (urea, SP,
MOP, NPK) juga akan memberikan produktivitas yang terbatas. Namun, jika keduanya
digunakan saling melengkapi, akan terjadi sinergi positif. Produktivitas jauh lebih
tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk tersebut secara masing-masing.
Sampah organik secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis
mikroba, binatang yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini
memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok
kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 4 – 6 minggu sudah jadi.
Apabila sampah organik ditimbun saja, baru berbulan-bulan kemudian menjadi
kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas karena aktifitas mikroba. Ini
pertanda mikroba mengunyah bahan organik dan merubahnya menjadi kompos. Suhu
optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 450-650C. Jika terlalu
panas harus dibolak-balik, setidak-tidaknya setiap 7 hari (Nia, 2010).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum dasar-dasar agronomi dengan materi kompos mulai di praktekkan pada
hari Rabu, 24 Oktober 2018 pada pukul 16.00-selesai WITA yang bertempat di
Teaching Farm, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum yaitu ember, parang/pisau,
karung/terpal. Bahan yang digunakan yaitu daun gamal, rumput gajah, limbah sayur,
pupuk kandang, dedak, EM4, gula merah cair dan eceng gondok.
3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari praktikum adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Mencacah daun gamal, eceng gondok dan rumput gajah.
3. Mencampur pupuk kandang, dedak, daun gamal, eceng gondok dan rumput
gajah.
4. Mencampurkan larutan gula merah kedalam 1 liter air dan mencampurkan
dengan EM4 sebanyak 1 tutup botol.
5. Menuangkan larutan tersebut secara bertahap.
6. Mengaduk semua bahan agar tercampur dengan merata.
7. Melakukan penutupan semua bahan yang telah dicampur agar tidak
terkontaminasi dengan udara.
8. Melakukan pengadukan pupuk kompos seminggu sekali.
9. Mengamati perubahan warna, tekstur, aroma, dan bobot total.
BAB IV
Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pembuatan Kompos Minggu Pertama sampai Minggu
Keempat
Minggu Minggu
Indikator Minggu II Minggu IV
I III
Warna Hijau Hijau lumut Coklat tua coklat
Tidak
Aroma Busuk Busuk Tidak berbau
berbau
Agak
Tekstur Kasar Agak kasar Halus
kasar
Bobot
total

Sumber: Data primer setelah diolah, 2018


4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan pupuk kompos pada minggu I kompos berwarna
hijau, beraroma busuk, dan bertekstur kasar. Pada minggu II kompos mulai berwarna
hijau lumut, beraroma busuk, dan bertekstur agak kasar. Pada minggu III kompos
sudah berwarna coklat tua, beraroma tidak berbau busuk, dan bertekstur agak kasar.
Sedangkan pada minggu IV kompos sudah berwarna coklat, beraroma tidak berbau
busuk, dan bertekstur halus.
Untuk mengetahui tingkat kematangan suatu kompos dapat dilihat berdasarkan
warnanya yang berubah menjadi coklat kehitaman serta tidak mengeluarkan aroma
yang tidak berbau. Dilihat dari data hasil praktikum, dapat dikatakan bahwa kompos
yang kami buat sudah mengalami proses dekomposisi dengan baik karena adanya
faktor mikroorganisme pengurai.
Untuk perubahan warna kompos sudah terlihat cukup pekat atau hitam karena
disebabkan oleh bahan yang digunakan, dimana dedaunan yang digunakan kebanyakan
dedaunan yang masih berumur muda. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuningsih (2014)
yang menyatakan bahwa, semakin muda umur tanaman maka proses dekomposisi akan
berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar
nitrogennya tinggi, imbangan C/N yang sempit serta kandungan leacheat yang rendah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Indriani (2001) yang menyatakan bahwa,
komposisi mikrobia pada aktivator dan aktivitas mikrobia selama proses dekomposisi
pada berbagai macam bahan organik sangat mempengaruhi lama dekomposisi dan
kualitas kompos.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum pembuatan kompos yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa proses pengomposan dapat dilakukan dengan menggunakan sisa-
sisa tanaman atau sampah dari bahan organik yang ditandai dengan perubahan warna
menjadi hitam dan tidak mengeluarkan bau. Hasil yang yang didapatkan berdasarkan
faktor- faktor yang mempengaruhi pembuatan kompos adalah kompos sudah berwarna
coklat, beraroma tidak berbau, dan bertekstur halus. Jika hal ini terjadi maka kompos
telah terdekomposisi dengan baik.
4.2 Saran
Tempat pelaksanaan kompos dibutuhkan yang baru dalam penempatan tumpukan
kompos, namun jika hal ini tidak memungkinkan disebabkan kendala tempat yang
tidak memadai maka dibutuhkan tempat yang terhindari dari hujan agar akhir-akhir
umur pengomposan hasilnya bagus dan mahasiswa dapat mengetahui hasil kompos
yang dihasilkannya dan dapat diaplikasikan pada materi praktikum selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Indriani, 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya: Jakarta


Mayrowani, Henny. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi, Volume 30 No. 2.
Musnamar, E. I.. 2003. Pupuk Organik Padat Pembuatan dan Aplikasinya. Penebar
Swadaya: Jakarta
Nia. 2010. Kompos. http://migroplus.com/brosur/kompos.pdf. Diakses tanggal 01
November 2010
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan Pengembangan.
Kanisius: Jakarta
Sentana, Suharwaji. 2010. Pupuk Organik, Peluang dan Kendalanya. Yogyakarta:
Pengembangan Teknologi Kimia Yogyakarta untuk Pengolahan Sumber Daya
Alam Indonesia.
Widiarti, Subandi, Soengkono S. 2015. Pemanfaatan Sampah Menjadi Pupuk. Jurnal
Teknologi Pertanian Vol. 17 (3): 165-176.
Yuningsih, Hartati Dwi. 2012. Hubungan Bahan Organik Dengan Produktivitas
Perairan Pada Kawasan Tutupan Eceng Gondok. Perairan Terbuka Dan
Keramba Jaring Apung Di Rawa Pening Kabupaten Semarang Jawa Tengah.
Diponegoro: Universitas Diponegoro. Vol 3( 1): 37-43.

Yulianti, N dan Isroi. 2009. Kompos. Yogyakarta: C.V Andi Offset

Anda mungkin juga menyukai