Tugas 1 Hukum Perlindungan Konsumen

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : NUR ACHFIAH BUDHI ARTHA

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 048198364

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4312/Hukum Perlindungan Konsumen

Kode/Nama UPBJJ : 80/UPBJJ-UT Makassar

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
TUGAS 1 TUTON HKUM4312/HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
BPOM telah menginstruksikan PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories untuk menghentikan
produksi dan atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut. Menanggapi instruksi tersebut, PT.
Pharos Indonesia telah menarik seluruh produk Viostin DS dengan NIE dan nomor bets tersebut dari
pasaran, serta menghentikan produksi produk Viostin DS. Begitu juga dengan PT Medifarma Laboratories
yang telah menarik seluruh produk Enzyplex tablet dengan NIE dan nomor bets tersebut dari pasaran.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan suplemen makanan Viostin DS produksi PT
Pharos Indonesia dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories terbukti positif mengandung
DNA babi. Dikutip dari laman resmi BPOM, yang mengandung DNA babi adalah produk dengan nomor
izin edar NIE POM SD.051523771 dengan nomor bets BN C6K994H untuk Viostin DS dan NIE
DBL7214704016A1 nomor bets 16185101 untuk Enzyplex tablet.

Sumber: Hukum Online.com

Pertanyaan:

1. Berdasarkan kasus diatas, menurut analisa anda, apakah dengan adanya UUPK dapat memberikan
perlindungan yang khusus kepada konsumen?
2. Menurut analisa anda, apakah kasus diatas merupakan bagian dari pemenuhan hak-hak konsumen
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan?
3. Menurut anda berdasarkan kasus diatas, apakah pelaku usaha (PT. Pharos Indonesia dan PT
Medifarma Laboratories) harus bertanggung jawab semuanya jika ada konsumen yang dirugikan?
Berikan analisis hukum anda!

Jawaban:
1. Setiap warga negara berhak atas perlindungan hukum yang wajib diberikan oleh negara, dan salah
satu perlindungan hukum yang wajib diberikan negara adalah perlindungan konsumen.
Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan
Konsumen) menjelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen dilakukan
agar masyarakat tidak mengonsumsi atau menggunakan produk barang dan atau jasa yang dapat
membahayakan keselamatan, Kesehatan dan sebagainya.
Cakupan perlindungan konsumen dapat dibagi menjadi 2 (dua) aspek, antara lain:
1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai
dengan apa yang telah disepakati dengan konsumen; dan
2. Perlindungan terhadap konsumen yang mendapatkan perlakuan syarat-syarat yang tidak adil.
Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen yang terdiri dari
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan hukum bagi konsumen pada dasarnya merupakan perlindungan terhadap hak-hak
konsumen. Dengan demikian terdapat 3 (tiga) hak dasar dalam melindungi konsumen, yaitu:
1. Hak untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik dari kerugian personal dan kerugian harta
kekayaan;
2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar; dan
3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Dari hak dasar tersebut, jika konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak konsumen harus
dipenuhi oleh negara maupun pelaku usaha, karena pemenuhan hak tersebut akan melindungi
konsumen dari kerugian berbagai aspek.
Berdasarkan kasus di atas, BPOM telah menginstruksikan PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma
Laboratories untuk menghentikan produksi dan atau distribusi produk yang terbukti positif
mengandung DNA Babi tersebut, menanggapi instruksi tersebut, PT Pharos Indonesia telah menarik
seluruh produk tersebut dari pasaran dan menghentikan produksi produk tersebut. Begitupun dengan
PT Medifarma Laboratories yang telah menarik seluruh produk Enzyplex tablet tersebut dari pasaran.
Meski instruksi BPOM telah dipenuhi, mencuatnya kasus ini cukup menjadi perhatian masyarakat.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengapresiasi sikap BPOM. Namun, bagaimana
pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen yang telah menjadi korban mengonsumsi kedua
jenis obat dimaksud?
YLKI mendesak BPOM untuk melakukan tindakan yang lebih luas dan komprehensif terkait kasus
tersebut. Hal utama yang perlu dilakukan adalah mengaudit secara komprehensif terhadap seluruh
proses pembuatan dari semua merek obat yang diproduksi oleh kedua produsen farmasi dimaksud.
Hal yang rasional jika ada potensi merek obat lain dari kedua produsen itu terkontaminasi DNA Babi.
Audit komprehensif sangat penting untuk memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen,
khususnya konsumen muslim. Sebab berdasar UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, proses produksi dan konten obat harus bersifat halal.
Di samping itu, YLKI mendesak PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories untuk meminta
maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia akibat keteledoran dan atau kesengajaannya
memasukkan DNA Babi yang sangat merugikan konsumen. YLKI juga mendesak kepada kedua
produsen untuk memberikan kompensasi kepada konsumen yang telah mengonsumsi obat tersebut,
minimal mengembalikan sejumlah uang kepada konsumen sesuai nilai pembeliannya.
Selain itu, YLKI mendesak BPOM untuk memberikan sanksi yang lebih tegas dan keras kepada kedua
produsen farmasi tersebut karena telah banyak melanggar UU, baik UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, UU Jaminan Produk Halal, dan regulasi lainnya.
Untuk diketahui, Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang keras
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak
sesuai standar yang diatur sesuai ketentuan peraturan perundangan. Pelanggaran atas ketentuan ini
bisa dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua
milyar rupiah).
Sedangkan Pasal 18 ayat (1) UU tentang Jaminan Produk Halal menyatakan bahwa bahan yang berasal
dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi: a. bangkai; b.
darah; c. babi; dan/atau d. hewan yang disembelih tidak sesuai syariat.
Anggota Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh mengatakan keterbukaan informasi mengenai kandungan
makanan dan obat-obatan merupakan hal serius yang harus dipenuhi oleh produsen. Ia juga memuji
dan mendukung Langkah BPOM untuk menarik semua produk yang tidak memberikan informasi yang
benar kepada konsumen. Menurut Ninik, Konsumen memiliki hak penuh untuk mendapatkan
informasi tentang kandungan apa pun yang ada pada produk yang mereka konsumsi.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban produsen makanan, obat-obatan atau suplemen untuk
memberikan informasi tersebut. Dengan demikian BPOM dan lembaga terkait harus berhati-hati
dalam memberikan izin edar suatu produk di pasaran.
Dengan demikian dalam rangka mewujudkan tujuan perlindungan hukum bagi konsumen, negara
memiliki tanggung jawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum. Pembinaan dan
penyelenggaraan perlindungan hukum dapat dilakukan dengan upaya menciptakan iklim usaha yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen, mengembangkan lembaga perlindungan hukum bagi
konsumen, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
2. Berdasarkan kasus di atas, penyelesaian kasus yang dilakukan BPOM dan YLKI merupakan bagian dari
pemenuhan hak-hak konsumen yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Produsen yang
telah menghentikan produksi produk yang mengandung DNA babi dan menarik produk tersebut dari
pasaran, juga harus meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat, selain itu produsen harus
diberikan sanksi yang tegas dan keras untuk mempertanggungjawabkan keteledoran atau
kesengajaannya memasukkan DNA babi yang sangat merugikan konsumen serta produsen wajib
untuk memberikan kompensasi kepada konsumen yang telah mengonsumsi obat tersebut, minimal
mengembalikan sejumlah uang kepada konsumen sesuai nilai pembeliannya. Dengan demikian hak-
hak konsumen yang dirugikan atas kasus tersebut dapat terpenuhi dengan penyelesaian yang patut
atas permasalahan yang dihadapi.
3. Berdasarkan kasus di atas, pelaku usaha (PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories) harus
bertanggung jawab semuanya jika ada konsumen yang dirugikan. Berdasarkan Pasal 7 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dari peraturan perundang-undangan di atas, sebagai pelaku usaha harus memperhatikan
kewajibannya dalam memproduksi barang dan/atau jasa. Selain itu berdasarkan Pasal 8 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, menerangkan bahwa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha,
antara lain:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang
dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau
bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma
Laboratories sebagai pelaku usaha harus bertanggung jawab atas keteledoran dan kesengajaannya
yang telah merugikan konsumen dengan menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai