Dampak Penggunaan Laporan Keuangan UMKM Menggunakan Sak EMKM Abstract
Dampak Penggunaan Laporan Keuangan UMKM Menggunakan Sak EMKM Abstract
Dampak Penggunaan Laporan Keuangan UMKM Menggunakan Sak EMKM Abstract
Abstract:
Abstrak
PENDAHULUAN
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peran strategis dalam
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Selain itu peran UMKM dalam
penyerapan tenaga kerja dan mendistribusikan hasil-hasil pembangunan. Tingkat penyerapan
tenaga kerja sekitar 97% dari seluruh tenaga kerja nasional dan mempunyai kontribusi
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 57%. Kontribusi UMKM terhadap PDB
Nasional ini dihitung menurut harga yang berlaku pada tahun 2011 sebesar Rp 4.321,8 triliun
atau 58,05% sedangkan pada tahun 2012 sebesar Rp. 4.869,5 triliun atau 59,08% (Bank
Indonesia, 2015).
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tahun 2016 telah menerbitkan
Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil dan Menengah (SAK EMKM). SAK ini
berlaku efektif bulan agustus 2016 terbitnya SAK ini mengakomodir penerapan SAK
sebelumnya yaitu Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK
ETAP). Sebelum tahun 2016 entitas UMKM dipersilahkan untuk menggunakan SAK ETAP
namun karena efesiensi dan efektivitas pemakaian untuk entitas yang lebih kecil maka
penggunaan SAK ETAP menjadi tidak relevan. Untuk itu diterbitkanlah SAK EMKM
sebagai standar yang khusus mengatur pelaporan keuangan entitas UMKM. Diharapkan
dengan SAK EMKM ini akan lebih memudahkan lagi para pelaku usaha UMKM dalam
membuat pembukuan atau akuntansi untuk pelaporan keuangan dibandingkan dengan SAK
ETAP.
TINJAUAN TEORETIS
Definsi Usaha Kecil Menengah. Beberapa penulis buku tentang Usaha Kecil
Menengah mendefinisikan pengertian UKM dan Indusri Kecil adalah sebagai berikut:
c. Menurut Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang dimaksud
dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI) adalah entitas usaha yang
mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Sementara itu, usaha menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia
yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000 tidak
termasuk tanah dan bangunan.
d. Menurut Badan Pusat Statitik Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi
UKM berdasarkan kunatitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang
memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias
usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang.
Dalam SAK EMKM, Laporan keuangan entitas disusun menggunakan asumsi dasar
akrual dan kelangsungan usaha, sebagaimana yang digunakan oleh entitas selain entitas
mikro, kecil maupun menengah, serta konsep entitas bisnis. Laporan keuangan entitas terdiri
dari: Laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, dan catatan atas laporan keuangan.
Laporan keuangan yang disajikan menurut SAK EMKM memiliki tujuan yang sama
dengan laporan keuangan pada umumnya. Tujuan laporan keuangan menurut SAK EMKM
menyediakan informasi posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas yang bermanfaat
bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi oleh siapapun yang
tidak dalam posisi dapat meminta lpaoran keuangan khusus untuk memenuhi kebutuhan
informasi tersebut. Pengguna tersebut meliputi penyedia sumber daya bagi entitas seperti
kreditor maupun investor. Dalam memenuhi tujuannya, laporan keuangan juga menunjukkan
pertanggung jawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. (IAI,
2013).
Kerangka Pemikiran.
Pada era modernisasi saat ini banyak UMKM yang hanya melakukan pencatatan
jumlah kas masuk dan kas keluar, jumlah barang yang diperoleh dan diserahkan ke konsumen
serta tagihan dan kewajiban dari UMKM. Format pencatatan yang dibuat oleh UMKM
tersebut belum menunjukkan format keuangan yang baku sebagai pelaku usaha. Adanya
tuntutan dari pihak eksternal seperti perbankan untuk membuat laporan keuangan menjadikan
pelaku usaha mencoba mengkaryakan ahli akuntansi. Namun mereka beranggapan bahwa
dengan merekrut tenaga akuntansi akan menambah biaya operasional dan mungkin akan
menganggu perhitungan untung rugi UMKM.
Menurut Rizki (2012), terdapat beberapa hal yang diduga dapat mempengarugi
persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan bagi tumbuh dan
berkembangnya usaha seperti jenjang pendidikan terakhirm latar belakang pendidikan,
ukuran usaha serta lama usaha berdiri.
Menurut Rizki (2012), terdapat beberapa hal yang diduga dapat mempengarugi
persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan bagi tumbuh dan
berkembangnya usaha seperti jenjang pendidikan terakhirm latar belakang pendidikan,
ukuran usaha serta lama usaha berdiri. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan
meningkatkan kemampuan menyerap pengetahuan baru (Gray 2006; Van Hermert et al
2011).
Pinasti (2011) menemukan bahwa ukuran usaha merupakan faktor yang sulit
dipisahkan dengan lingkungan pengusaha UMKM. Ukuran usaha dapat mempengaruhi
pemikiran pengusaha terkait dengan kompleksitas dan semakin tingginya tingkat transaksi
perusahaan singga diharapkan dengan makin besarnya ukuran usaha dapat mendorong
sesorang untuk berpikir dan belajar terkait solusi untuk menghadapinya. Ukuran perusahaan
yang besar berimplikasi perusahaan mempunyai sumber daya yang lebih besar dan juga
mampu mempekerjakan karyawan dengan keahlian yang lebih baik. Lama suatu usaha berdiri
memberikan pengaruh terhadap pengusaha UMKM mengenai SAK EMKM. Umur usaha
yang semakin panjang, memberikan keuntungan dalam hal telah mempunyai struktur dan
proses yang rutin yang mendisiplinkan setiap tindakan perusahaan. Termasuk dalam proses
tersebut adalah proses pembukuan.
Hipotesis.
H1d: Lama usaha berdiri berpengaruh positif terhadap persepsi pengusaha terkait
pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan.
Hasil survey yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2015 menunjukkan
beberapa kendala internal yang menyebabkan beberapa pembiayaan UMKM sebesar 60%-
70% belum terserap dan belum mendapatkan akses perbankan. Diantara penyebabnya adalah
kendala administratif, seperti system pembukuan yang masih manual dan tradisional.
Pengelolaan keuangan belum dapat memisahkan antara uang untuk operasional rumah tangga
dan usaha.
Menurut Baas dan Shrooten (2006) dalam Rizki (2012) bahwa salah satu teknik
pemberian kredit yang paling banyak digunakan adalah financial statement lending yang
mendasarkan pemberian kreditnya atas informasi keuangan dari debiturnya. Namun disisi
lain hal tersebut menjadi kendala tersendiri sebab UMKM tidak mampu menyediakan
informasi keuangan. Rizki (2012) menyimpulkan bahwa kualitas laporan keuangan masih
tergolong rendah, rendahnya kualitas laporan keuangan UMKM menyebabkan kualitas
laporan keuangan tidak berpengaruh positif terhadap besarnya jumlah kredit/termin kredit
yang diterimanya.
Berikut ini adalah hipotesis yang diajukan terkait dengan jumlah kredit yang
diberikan perbankan ke UMKM:
H2b : Ukuran usaha berpengaruh positif terhadap jumlah kredit perbankan yang
diterima oleh UMKM
H2c : lama usaha berdiri berpengaruh positif terhadap jumlah kredit perbankan yang
diterima oleh UMKM
H2d : besaran jaminan berpengaruh positif terhadap jumlah kredit perbankan yang
diterima oleh UMKM
H2e : Termin kredit berpengaruh negatif terhadap jumlah kredit perbankan yang
diterima oleh UMKM
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian primer dimana penelitian dilakukan langsung
dengan wawancara langsung atau menggunakan kuesioner. Sumber data diperoleh dengan
cara mendatangi atau mengirimkan kuesioner kepada responden. Didalam kuesioner akan
diajukan beberapa pertanyaan terkait dengan variabel yang akan diuji.
Hasil pengujian model 1 secara parsial pada tabel 2 dapat disimpulkan bahwa variabel
jenjang pendidikan (PDDK_JJG) tidak berpengaruh posistif terhadap persepsi penyusunan
laporan keuangan. (H1a ditolak). Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar
responden berada pada jenjang sekolah SMA/SMK dengan latar belakang keilmuan non
akuntansi. Keadaan inilah yang menimbulkan jenjang sekolah tidak mempengaruhi persepsi
penyusunan laporan keuangan. Hasil pengujian ini konsisten dengan penelitian Rizki (2012)
yang juga menunjukkan jenjang pendidikan tidak berpengaruh terhadap persepsi penyusunan
laporan keuangan. Hasil pengujian model 1 secara parsial pada tabel 2 dapat disimpulkan
bahwa variabel jenjang pendidikan (PDDK_JJG) tidak berpengaruh positif terhadap persepsi
penyusunan laporan keuangan. (H1a ditolak). Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian
besar responden berada pada jenjang sekolah SMA/SMK dengan latar belakang keilmuan
non akuntansi.
Ukuran usaha (SKALA) tidak berpengaruh positif terhadap persepsi pengusaha (H1b
ditolak). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh mayoritas responden yang masih dalam skala
usaha mikro dan kecil sehingga beranggapan bahwa pembukuan dan pelaporan keuangan
belum terlalu penting. Hal ini sejalan dengan hasil keusioner yang menunjukkan bahwa 25
responden belum melakukan pembukuan. Namun tidak konsisten dengan pengujian yang
dilakukan oleh Rizki (2012) yang menyimpulkan bahwa semakin besar ukuran UMKM maka
kebutuhan informasi keuangan akan sangat penting. Variabel lama usaha (USIA) tidak
berpengaruh positif terhadap persepsi penyusunan laporan keuangan (H1c) ditolak. Keadaan
ini menunjukkan bahwa usia perusahaan yang muda menunjukkan persepsi penyusunan
laporan keuangan menjadi semakin besar sedangkan usia yang semakin tua menunjukkan
persepsi penyusunan yang semakin kecil. Hal ini juga konsisten dengan penelitian Rizki
(2012) yang menujukkan hasil negatif signifikan.
Hasil pengujian model 2 yang disajikan pada tabel diatas menunjukkan bahwa
variabel Kualitas laporan keuangan tidak berpengaruh terhadap jumlah kredit yang diterima
(H2a ditolak). Hal ini mungkin disebabkan karena kualitas laporan keuangan mungkin belum
dijadikan sebagai alat oleh perbankan untuk merealisasikan kredit kepada UMKM.
Kemungkinan lebih melihat pada jumlah omzet dan kebutuhan modal kerja yang ingin
digunakan oleh UMKM. Hasil pengujian ini konsisten dengan penelitian Rizki (2012) yang
menunjukkan bahwa kualitas laporan keuangan tidak berpengaruh terhadap kredit yang
diterima.
Variabel skala usaha berpengaruh positif terhadap jumlah kredit yang diterima (H2b
diterima). Hal ini konsisten dengan penelitian Rizki (2012) yang menunjukkan bahwa
perbankan lebih memperhatikan skala usaha sebagai bahan pertimbangan dalam pencairan
kredit. Usia usaha berdiri (USIA) tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kredit yang
dicairkan (H2c ditolak). Hal ini dikarenakan perbankan tidak melihat usia entitas sebagai
media untuk mencairkan kredit. Lama usaha ataupun baru berdiri tidak mempengaruhi
besaran kredit yang diterima. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian Rizki (2012) yang
menunjukkan bahwa usaha yang lama berdiri akan mendapatkan kredit yang cukup besar dari
perbankan, karena risiko usahanya lebih kecil dibandingkan dengan yang baru berdiri.
Besaran Jaminan yang diberikan berpengaruh positif signifkan terhadap jumlah kredit
yang diterima (H2d diterima). Hal ini konsisten dengan penelitian Rizki (2012) yang
menunjukkan bahwa besaran kredit yang diterima dipengaruhi oleh besaran aset yang
dijaminkan oleh UMKM.
Dilihat dari tabel 5, nilai probabilitas signifikan yang diperoleh adalah sebesar 0,837
yang lebih besar dari taraf nyata (0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak
dapat digunakan secara bersama-sama untuk memprediksi berpengaruh tidaknya jenjang
pendidikan (PDDK_JJG), latar belakang pendidikan (PDDK_LTR), ukuran usaha (SKALA)
dan informasi (INFO) terhadap pemahaman pengusaha UMKM atas SAK EMKM.
KESIMPULAN
SAK EMKM merupakan standar akuntansi yang disusun untuk mengakomodir para
pelaku UMKM untuk melakukan pembukuan dengan baik dan benar. Latar belakang
pendidikan, jenjang pendidikan. ukuran usaha dan lama berdirinya perusahaan tidak
berpengaruh terhadap persepsi pengusaha dalam melakukan pembukuan dan cenderung
berpengaruh negatif. Hal ini dikarenakan para pelaku UMKM cenderung ingin memperluas
bisnisnya dan melakukan upaya agar usaha tetap dijalankan daripada melakukan pembukuan
dengan baik dan benar.
Besaran pencairan kredit yang diberikan oleh perbankan cenderung tidak dipengaruhi
oleh kualitas laporan keuangan, hal ini terlihat pada hasil pengujian yang menunjukkan
pengaruh negatif. Besaran kredit yang diberikan oleh perbankan cenderung dipengaruhi oleh
besaran Jaminan dan skala bisnis.
Persepsi pengusaha atas SAK EMKM masih sangat rendah hal ini terlihat pada
kurangnya informasi yang sangat minim tentang SAK EMKM. Latar belakang pendidikan
dan jenjang pendidikan juga tidak berpengaruh terhadap pemahaman pengusaha atas SAK
EMKM. Hal ini dikarenakan latar belakang pendidikan responden dan jenjang pendidikan
yang sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK dan dari latar belakang non ekonomi
akuntansi. Keadaan tersebut menjadikan responden tidak begitu memahami tentang standar
akuntansi. Skala usaha dan lamanya usaha berdiri juga tidak mempengaruhi pemahaman
pengusaha atas SAK EMKM. Hal ini dikarenakan UMKM yang sudah lama berdiri
cenderung tidak memperhatikan pembukuan dan UMKM yang baru berdiri lebih
mengutamakan peningkatan omzet dan kelangsungan bisnis daripada memahami sistem
pembukuan sesuai SAK EMKM. Keadaan ini menunjukkan harapan dari SAK EMKM untuk
menciptakan pembukuan yang sederhana bagi para UMKM masih belum terwujud secara
baik.
Penelitian ini juga menunjukkan hasil yang konsiten dengan penelitian Rizki (2012)
yang mengambil model dengan menggunakan SAK ETAP. Beberapa pengujian menunjukkan
bahwa baik itu memakai SAK ETAP maupun SAK EMKM, para pelaku UMKM masih
belum memahami tentang penggunaan SAK untuk penyusunan laporan keuangan. Hal ini
dikarenakan bahwa semua variabel belum menunjukkan signifikansi yang positif untuk
menguji kelayakan SAK ETAP dan SAK EMKM yang diterapkan oleh UMKM.