0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
32 tayangan81 halaman

Binder 14

Tesis ini meneliti pengaruh pemberian astaxanthin terhadap kadar soluble Fms like tyrosine kinase-1 pada awal plasentasi kehamilan risiko preeklamsia. Astaxanthin dapat menurunkan radikal bebas dan sitokin selama proses plasentasi, sehingga dapat mencegah terjadinya disfungsi endotel plasenta dan sistemik yang menyebabkan preeklamsia.

Diunggah oleh

anya d
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
32 tayangan81 halaman

Binder 14

Tesis ini meneliti pengaruh pemberian astaxanthin terhadap kadar soluble Fms like tyrosine kinase-1 pada awal plasentasi kehamilan risiko preeklamsia. Astaxanthin dapat menurunkan radikal bebas dan sitokin selama proses plasentasi, sehingga dapat mencegah terjadinya disfungsi endotel plasenta dan sistemik yang menyebabkan preeklamsia.

Diunggah oleh

anya d
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 81

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

TESIS

PENGARUH PEMBERIAN ASTAXANTHIN


TERHADAP
KADAR SOLUBLE FMS LIKE TYROSINE KINASE-1
PADA AWAL PLASENTASI
KEHAMILAN RISIKO PREEKLAMSIA

Oleh :
KRISNA JOKO SAMODRA
S.580 6006

Pembimbing :
Pembimbing I: H. Loekmono Hadi, dr. SpOG (K)
Pembimbing II: Dr. Hj. Sri Sulistyowati, dr. SpOG (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BIDANG STUDI OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit to user

i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGARUH PEMBERIAN ASTAXANTHIN


TERHADAP
KADAR SOLUBLE FMS LIKE TYROSINE KINASE-1
PADA AWAL PLASENTASI
KEHAMILAN RISIKO PREEKLAMSIA

TESIS

Tugas Akhir
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Disampaikan di Hadapan Panitia Ujian Tesis
Pada Hari : Kamis
Tanggal : 26 Mei 2011
Jam : 09.00

Oleh :
Krisna Joko Samodra
S.580 6006
commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Telah disetujui pada ujian proposal


Tanggal 04 Agustus 2010

PANITIA UJIAN PROPOSAL :


Ketua: Dr. Sri Sulistyowati, dr. SpOG (K)
Anggota:
1. Loekmono Hadi, dr. SpOG (K)
2. Prof. Dr. J.B. Dalono, dr. SpOG (K)
3. Rustam Sunaryo, dr. SpOG
4. Dr. Abkar Raden, dr. SpOG (K)
5. Dr. Supriyadi Hari Respati, dr. SpOG (K)
6. Mochamad Arief T.Q., dr. MS

Telah diuji pada ujian tesis


Tanggal 26 Mei 2011

PANITIA UJIAN TESIS :


Ketua: Dr. Supriyadi Hari Respati, dr. SpOG (K)
Anggota:
1. Loekmono Hadi, dr. SpOG (K)
2. Dr. Sri Sulistyowati, dr. SpOG (K)
3. Prof. Dr. J.B. Dalono, dr. SpOG (K)
4. Rustam Sunaryo, dr. SpOG
5. Dr. Abkar Raden, dr. SpOG (K)
6. Mochamad Arief T.Q., dr. MS

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang disusun
untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Obstetri dan Ginekologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Perkenankanlah pada kesempatan ini saya mengucapkan rasa hormat setinggi-


tingginya dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

H. Loekmono Hadi, dr. SpOG(K) selaku Pembimbing I yang dengan penuh


kesabaran memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, dan saran-saran dalam penyelesaian
tesis ini.

Dr. Hj. Sri Sulistyowati, dr. SpOG(K) selaku Pembimbing II dan Ketua
Program Studi Obstetri dan Ginekologi, di tengah kesibukan yang begitu padat masih
berkenan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, petunjuk dan dorongan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
Rektor Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S dan mantan
rektor Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. H. Syamsulhadi, dr. SpKJ, serta Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, dr.
SpPD(K) dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Dr. H.A.A
Subiyanto, dr. M.S, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Direktur RSUD. Dr. Moewardi Surakarta, Basoeki Soetardjo, drg. MM dan
Mardiyatmo, dr. SpRad mantan direktur RSUD. Dr. Moewardi Surakarta atas ijin dan
kesempatan yang diberikan untuk menggunakan fasilitas Rumah Sakit dalam rangka
penelitian tesis ini.
Rustam Sunaryo, dr. SpOG, selaku Kepala Bagian/SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, atas arahan dan nasihatnya selama saya menempuh pendidikan.
Mochammad Arief T.Q, dr. MS atas kesediaan dan kesabaran memberikan
bimbingan metodologi penelitian.
commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Prof. Dr. J.B. Suparyatmo,dr. SpPK, selaku Ketua Panitia Kelaikan Etik
Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr Moewardi, dan Kepala Laboratorium SMF/Patologi
Klinik RSUD Dr. Muwardi / Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada :

H. A Hafidh Zaini, dr. SpOG (Alm), H. Rochaditomo Moektiono, dr. SpOG (Alm),
H. Maskunaryo, dr. SpOG (Alm), Docang Tjiptosisworo, dr. SpOG(K), MMR, Prof.
Dr. JB Dalono, dr. SpOG(K), Prof. Dr. KRMT. Tedjo Danudjo Oepomo, dr.
SpOG(K), H. Tri Budi Wiryanto, dr. SpOG(K), H. Glondong Suprapto, dr. SpOG,
Wuryatno, dr. SpOG, M. Mochtarom, dr. SpOG (Alm), Dr. H. Abkar Raden, dr.
SpOG(K), Dr. H. Soetrisno, dr. SpOG(K), Dr. Supriyadi Hari Respati, dr. SpOG,
Hermawan Udiyanto, dr. SpOG, Teguh Prakoso, dr. SpOG, Darto, dr. SpOG,
Eriana Melianawati, dr. SpOG(K), Abdurahman Laqif, dr. SpOG(K), Heru
Priyanto, dr. SpOG(K), Wisnu Prabowo, dr. SpOG, Eric Edwin Y., dr. SpOG, Affi
Angelia R., dr. SpOG , MKes, M. Adrianes B., dr. SpOG, atas segala bimbingan,
nasihat, pengarahan, pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan kepada saya selama
menempuh program pendidikan dokter spesialis.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Rusbandi, dr. SpOG
Kepala Bagian Obstetri dan Ginekologi RSU Sragen, Eka Budi W, dr. SpOG, MKes
Kepala Bagian Obstetri dan Ginekologi RSU Wonogiri, H. Suroso, dr. SpOG Kepala
Bagian Obstetri dan Ginekologi RSU Kebumen, Suwaryo Madsukadi, dr. SpOG
Kepala Bagian Obstetri dan Ginekologi RSU Cepu, Nugroho, dr. SpOG Kepala Bagian
Obstetri dan Ginekologi RSU Blora, Budiadi, dr. SpOG Kepala Bagian Obstetri dan
Ginekologi RSU Boyolali, yang selalu memberikan bimbingan dan kesempatan kami
untuk belajar dan menimba pengalaman di rumah sakit jejaring tersebut.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kepada Laboratorium Klinik Prodia atas
kerjasamanya dalam pengukuran dan analisis sampel penelitian ini.
Kepada teman sejawat residen PPDS I Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, bidan, paramedis, non medis, seluruh responden yang pernah diperiksa di
commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSUD Dr. Moewardi, serta mbak Lestari, mbak
Erna, dan mas Danang atas segala bantuan dan kerjasamanya yang baik selama
penelitian ini.
Hormat dan terima kasih yang tidak terhingga saya haturkan kepada kedua
orangtua saya ayahanda F.X. Sunarto, dr. SpOG dan ibunda Th. M. Kristiani Noor
yang telah membesarkan, mendidik dan senantiasa mendoakan saya. Terima kasih juga
kepada adik-adik saya M.I. Pangestuti Arum Sasanti, S.E, M.M., Andreas Basuki
Rahmat, S.E., dan M.C. Mahardani Dini Pramesti, dr., atas dukungan dan doanya
yang menyertai saya dalam pendidikan ini.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang
dengan sukarela membantu dan memberi semangat selama masa pendidikan, saya
menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga. Semoga Tuhan yang Maha Esa
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Krisna Joko Samodra

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

RINGKASAN

PENGARUH PEMBERIAN ASTAXANTHIN TERHADAP


KADAR SOLUBLE FMS LIKE TYROSINE KINASE-1
PADA AWAL PLASENTASI KEHAMILAN RISIKO
PREEKLAMSIA

Krisna Joko Samodra

Salah satu teori yang menjelaskan etiologi preeklamsia adalah teori maladaptasi
imun, yaitu adanya gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis uterus sehingga terjadi
aktivasi abnormal sel-sel limfoid desidua, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan
kadar spesies radikal bebas. Peningkatan radikal bebas dan sitokin pada proses plasentasi
kehamilan dengan risiko preeklamsia akan menyebabkan disfungsi endotel
(endotheliosis) plasenta dan sistemik. Keadaan ini mengakibatkan stres oksidatif
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara faktor-faktor angiogenik dan kadar soluble
fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) meningkat sebelum onset preeklamsia.
Penggunaan antioksidan dilatarbelakangi oleh ketidakseimbangan oksidatif pada
preeklamsia. Stress oksidatif pada preeklamsia yang dimanifestasikan melalui peroksidasi
lipid berlangsung hebat karena berkurangnya antioksidan yang diperlukan. Pemberian
antioksidan saat pembentukan plasenta dapat membantu respon adaptasi antioksidan
maternal, sehingga dapat menormalkan efek stres oksidatif. Astaxanthin adalah
karotenoid alami yang saat ini merupakan antioksidan paling kuat, yang mampu
mengontrol spesies oksigen reaktif lebih efektif dibandingkan antioksidan lainnya.
Jenis penelitian ini adalah the randomized control group pretest-postest design
untuk membuktikan pengaruh astaxanthin 2 mg sebagai antioksidan terhadap faktor
antiangiogenik (sFlt-1) pada ibu hamil dengan risiko preeklamsia. Teknik pengambilan
sampel adalah secara consecutive yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian
dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi. Sampel penelitian adalah 30 ibu hamil 8 minggu dengan risiko
preeklamsia yang terbagi secara acak menjadi dua kelompok, masing-masing 15 orang.
Kelompok perlakuan mendapatkan astaxanthin 2 mg/hari dan asam folat 1 mg/hari
commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sampai usia kehamilan 20 minggu, sedangkan kelompok kontrol hanya asam folat 1
mg/hari. Kedua kelompok diukur kadar sFlt-1 saat kehamilan 8 minggu dan 20 minggu.
Selanjutnya ditentukan hubungan antara pemberian astaxanthin 2 mg dan kadar sFlt-1
kemudian diukur kekuatan korelasinya.
Pemberian astaxanthin 2 mg terlihat dapat menekan kenaikan kadar sFlt-1 pada
kehamilan risiko preeklamsia. Penurunan kadar sFlt-1 dari kehamilan 8 minggu ke
kehamilan 20 minggu pada kelompok perlakuan astaxanthin 2 mg terjadi pada 81.3 %
kasus. Sedangkan 85.7 % dari kelompok kontrol menunjukkan peningkatan kadar sFlt-1.
Salah satu titik tangkap astaxanthin sebagai antioksidan adalah efek antiinflamasinya
yaitu menetralkan reaksi oksigen bermuatan tunggal dan menekan peroksidase lipid jauh
lebih efektif dibandingkan dengan antioksidan lainnya, sehingga dapat mengontrol
keberadaan spesies oksigen reaktif (ROS) dan menurunkan kadar faktor antiangiogenik
preeklamsia (soluble fms-like tyrosine kinase-1).
Hubungan antara pemberian astaxanthin 2 mg dan penurunan kadar sFlt-1 pada
kehamilan dengan risiko preeklamsia adalah bermakna dan korelasinya kuat. Responden
yang mendapat astaxanthin 2 mg mempunyai kemungkinan 26 kali mengalami penurunan
kadar sFlt-1 dibandingkan responden yang tidak mendapatkan astaxanthin 2 mg. Tidak
ditemukan efek samping apapun pada individu kelompok perlakuan astaxanthin 2 mg dan
tidak terdapat tanda-tanda preeklamsia pada kehamilan 20 minggu baik pada kelompok
kontrol maupun kelompok perlakuan.
Kesimpulan penelitian ini adalah astaxanthin 2 mg yang diberikan pada ibu hamil
dengan risiko preeklamsia sejak kehamilan 8 minggu sampai dengan 20 minggu dapat
menurunkan kadar sFlt-1.

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SUMMARY

THE EFFECT OF ASTAXANTHIN ON


SOLUBLE FMS LIKE TYROSINE KINASE-1 LEVEL
AT THE BEGINNING OF PLASENTATION
ON PREGNANCY WITH RISK OF PREECLAMPSIA

Krisna Joko Samodra

One theory that explains the etiology of preeclampsia is immune maladaptation


theory, that is interference on trophoblast invasion in uterine spiral arteries leading to
abnormal activation of decidual lymphoid cells, which in turn led to increased level of
free radical species. Increased free radicals and cytokines in the plasentation process of
pregnancy with preeclampsia risk will cause placental and systemic endothelial
dysfunction (endotheliosis). This situation resulted in oxidative stress resulting in an
imbalance between angiogenic factors and level of soluble fms-like tyrosine kinase-1
(sFlt-1) increased before the onset of preeclampsia.
The use of antioxidants against the background of oxidative imbalance in
preeclampsia. Oxidative stress in preeclampsia is manifested by severe ongoing lipid
peroxidation due to reduced antioxidant that is required. Giving antioxidant during the
formation of placenta to help the adaptation of maternal antioxidant respon, so it can
normalize the effects of oxidative stress. Astaxanthin is a natural carotenoid which is
currently the most powerful antioxidants, capable of controlling reactive oxygen species
more effectively than other antioxidants.
This research is the randomized control group pretest-posttest design to prove the
effect of 2 mg astaxanthin as an antioxidant against antiangiogenic factors (sFlt-1) in
pregnant women with preeclampsia risk. Sampling technique using a consecutive
sampling technique that every patient who meets the criteria included in the study until a
certain time, so the number of samples required are met. The research sample was 30
women 8 weeks gestational age with the risk of preeclampsia who were randomly
divided into two groups, each with 15 people. Treatment groups get astaxanthin 2 mg/day
and folic acid 1 mg/day until 20 weeks of gestational age, whereas the control group only
folic acid 1 mg/day. Both groups measured level of sFlt-1 during pregnancy 8 weeks and
commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20 weeks. Next is determined the correlation between the administration of 2 mg


astaxanthin and level of sFlt-1 and then measured the power of correlation.
Giving 2 mg astaxanthin suppress the increasing level of sFlt-1 in pregnancy with
risk of preeclampsia. Decreased level of sFlt-1 from 8 to 20 weeks of gestational age at 2
mg astaxanthin treatment group occurred in 81.3% of cases. While 85.7% of the control
group showed elevated level of sFlt-1. One of the catching point is the antiinflamation
effect of astaxanthin as an antioxidant that neutralizes single-charged oxygen reaction
and suppress lipid peroxidation is much more effective than other antioxidants, so it can
control the presence of reactive oxygen species (ROS) and reduce level of preeclampsia
antiangiogenic factor (soluble fms-like tyrosine kinase-1).
The correlation between the administration of 2 mg astaxanthin and decreased
level of sFlt-1 in pregnancy with preeclampsia risk was significant and strong
correlation. Respondents who received 2 mg astaxanthin has 26 times the possibility of
decreased level of sFlt-1 compared to respondents who did not get the 2 mg
astaxanthin. Not found any side effects on the individual treatment group of 2 mg
astaxanthin and there were no signs of preeclampsia at 20 weeks of gestational age both
in the control group and treatment group.
The conclusion of this research was administration with 2 mg astaxanthin in
pregnant women with preeclampsia risk from 8 to 20 weeks of gestational age can reduce
sFlt-1 level.

commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGARUH PEMBERIAN ASTAXANTHIN TERHADAP


KADAR SOLUBLE FMS LIKE TYROSINE KINASE-1
PADA AWAL PLASENTASI KEHAMILAN RISIKO PREEKLAMSIA

Krisna Joko Samodra

ABSTRAK

Latar Belakang: Peningkatan radikal bebas pada proses plasentasi kehamilan dengan
risiko preeklamsia menyebabkan disfungsi endotel plasenta. Hal ini mengakibatkan stres
oksidatif, sehingga kadar soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) meningkat sebelum
onset preeklamsia. Stress oksidatif pada preeklamsia berlangsung hebat karena
berkurangnya antioksidan. Pemberian antioksidan saat pembentukan plasenta dapat
membantu respon adaptasi antioksidan maternal, sehingga dapat menormalkan efek stres
oksidatif. Astaxanthin adalah karotenoid alami yang saat ini merupakan antioksidan
paling kuat, yang mampu mengontrol spesies oksigen reaktif lebih efektif dibandingkan
antioksidan lainnya.

Tujuan: Untuk menganalisis pengaruh pemberian astaxanthin 2 mg sejak usia kehamilan


8-20 minggu terhadap kadar sFlt-1 pada kehamilan dengan risiko preeklamsia.
.
Bahan dan Cara Kerja: Penelitian the randomized control group pretest-postest design
terhadap 30 ibu hamil 8 minggu dengan risiko preeklamsia yang terbagi secara acak
menjadi dua kelompok, masing-masing 15 orang. Kelompok perlakuan mendapatkan
astaxanthin 2 mg/hari dan asam folat 1 mg/hari sampai dengan usia kehamilan 20 minggu,
sedangkan kelompok kontrol hanya mendapatkan asam folat 1 mg/hari. Kedua kelompok
diukur kadar sFlt-1 saat kehamilan 8 dan 20 minggu. Uji homogenitas dilakukan dengan
uji T tidak berpasangan, sedangkan kemaknaan perbedaan kadar sFlt-1 pada masing-
masing kelompok ditentukan dengan uji Wilcoxon. Penentuan hubungan antara
pemberian astaxanthin 2 mg dan kadar sFlt-1 adalah dengan uji X2. Kekuaatan
korelasinya diukur dengan uji korelasi Lambda.

Hasil: Perbedaan rerata kadar sFlt-1 antara kehamilan 8 dan 20 minggu pada masing-
masing kelompok adalah bermakna dengan p = 0.02. Pada kelompok perlakuan terjadi
penurunan sFlt-1 (81.3% kasus), sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan
sFlt-1 (85.7%). Hubungan antara pemberian astaxanthin 2 mg dan penurunan kadar sFlt-1
pada kehamilan dengan risiko preeklamsia adalah bermakna (p = 0.000) dengan OR = 26,
IK 95%: 3.686–183.418, dan korelasi yang kuat (r = 0.643). Tidak ada efek samping
yang ditemukan pada kelompok perlakuan astaxanthin 2 mg. Tidak ada tanda-tanda
preeklamsia pada kehamilan 20 minggu, tetapi terdapat kenaikan tekanan sistol dari 120
menjadi 130 mmHg sebanyak 4 kasus (26.67%) pada kelompok kontrol dan 1 kasus
(6.67%) pada kelompok perlakuan.

Kesimpulan: Astaxanthin 2 mg yang diberikan pada ibu hamil dengan risiko


preeklamsia sejak kehamilan 8 sampai dengan 20 minggu dapat menurunkan kadar sFlt-1.

Kata kunci: astaxanthin 2 mg, sFlt-1, awal plasentasi, kehamilan risiko preeklamsia.
commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

THE EFFECT OF ASTAXANTHIN ON


SOLUBLE FMS LIKE TYROSINE KINASE-1 LEVEL
AT THE BEGINNING OF PLASENTATION
ON PREGNANCY WITH RISK OF PREECLAMPSIA

Krisna Joko Samodra

ABSTRACT

Background: The increase of free radicals in the plasentation of pregnancy with risk of
preeclampsia causing placental endothelial dysfunction. This results in oxidative stress,
so that level of soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) increased before the onset of
preeclampsia. Oxidative stress in preeclampsia great progress because of reduced
antioxidant. Giving antioxidant during the formation of the placenta to help the
adaptation of maternal antioxidant respon, so it can normalize the effects of oxidative
stress. Astaxanthin is a natural carotenoid which is currently the most powerful
antioxidants, capable of controlling reactive oxygen species more effectively than other
antioxidants.

Objective: To analyze the effect of 2 mg astaxanthin administration since 8 to 20 weeks


of gestational age on sFlt-1 level in pregnancy with preeclampsia risk.

Material and Method: Research the randomized control group pretest-posttest design
with 30 pregnant women 8 weeks of gestaional age with the risk of preeclampsia who
were randomly divided into two groups, each with 15 people. Treatment groups get
astaxanthin 2 mg/day and folic acid 1 mg/day up to age 20 weeks of gesational age,
whereas the control group only get folic acid 1 mg/day. Both groups measured level of
sFlt-1 during pregnancy 8 and 20 weeks. Homogeneity test carried out by unpaired t test,
whereas significance of differences in level of sFlt-1 in each group is determined by
Wilcoxon test. Determination of the correlation between the administration of 2 mg
astaxanthin and sFlt-1 level is by X2 test. Power of correlation was measured with
Lambda correlation test.

Results: The difference in average concentrations of sFlt-1 between 8 and 20 weeks of


pregnancy in each group is significant with p = 0.02. In the treatment group decreased
sFlt-1 (81.3% of cases), whereas in the control group increased sFlt-1 (85.7%). The
correlation between the administration of 2 mg astaxanthin and decreased level of sFlt-1
in pregnancy with preeclampsia risk was significant (p = 0.000) with OR = 26, CI 95%:
3686-183418, and a strong correlation (r = 0643). No side effects found in treatment
group 2 mg astaxanthin. There are no signs of preeclampsia at 20 weeks of gestational
age, but there is increasing systole from 120 to 130 mmHg in 4 cases (26.67%) in the
control group and 1 case (6.67%) in the treatment group.

Conclusion: 2 mg astaxanthin given to pregnant women with preeclampsia risk from 8 to


20 weeks of gestational age can reduce sFlt-1 level.

Keywords: astaxanthin 2 mg, sFlt-1, early plasentation, pregnancy with risk of


preeclampsia.
commit to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM TESIS ............................................................................................ i
LEMBAR PRASYARAT GELAR SPESIALIS ............................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iii
PANITIA PENGUJI TESIS .......................................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................................... v
RINGKASAN ............................................................................................................... viii
SUMMARY ................................................................................................................... x
ABSTRAK .................................................................................................................... xii
ABSTRACT ................................................................................................................. xiii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ xix
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................. xx
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………... 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 3
1.3. Tujuan ………………………………………………………………………. 3
1.3.1. Tujuan Umum ....................................................................................... 3
1.3.2. Tujuan Khusus ...................................................................................... 3
1.4. Manfaat …………………………………………………………………….. 3
1.4.1. Manfaat Keilmuan ................................................................................. 3
1.4.2. Manfaat Klinis ....................................................................................... 3
1.5. Keaslian Penelitian …………………………………………………………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4


2.1. Preeklamsia dan Faktor Risikonya …………………………………………... 4
2.2. Patogenesis Preeklamsia ……………………………………………………. 5
commit to user

xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.2.1. Tahap I: Abnormalitas Plasentasi ……………………………….…... 5


2.2.2. Tahap II: Sindrom Maternal ……………………………………..…... 8
2.3. Faktor Angiogenik pada Preeklamsia .............................................................. 10
2.4. Faktor Antiangiogenik .................................................................................... 11
2.5. Soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) ..................................................... 11
2.6. Stres oksidatif pada preeklamsia .................................................................... 12
2.7. Status antioksidan pada preeklamsia .............................................................. 17
2.8. Pencegahan preeklamsia dengan antioksidan ................................................. 18
2.9. Astaxanthin ..................................................................................................... 19
2.9.1. Struktur kimia dan sumber alami astaxanthin ..................................... 19
2.9.2. Cara kerja antioksidan astaxanthin ...................................................... 21
2.9.3. Efek antiinflamasi dan antioksidan astaxanthin .................................. 23
2.9.4. Pengaruh astaxanthin terhadap pembuluh darah ................................. 23
2.9.5. Pengaruh astaxanthin terhadap diabetes mellitus sebagai faktor risiko
preeklamsia..................................................................................................... 25
2.9.6. Pengaruh astaxanthin terhadap obesitas sebagai faktor risiko
preeklamsia .................................................................................................... 26
2.9.7. Bioaviabilitas astaxanthin .................................................................... 27
2.9.8. Waktu paruh astaxanthin .................................................................... 27
2.9.9. Sediaan dan dosis ................................................................................ 28
2.9.10. Keamanan dan efek samping astaxanthin ......................................... 28
2.10. Asam Folat .................................................................................................... 29

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS ....................................... 31


3.1. Kerangka Konsep ........................................................................................ 31
3.2. Penjelasan Kerangka Konsep ....................................................................... 33
3.2. Hipotesis ..................................................................................................... 34

BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................................. 35


4.1. Jenis Penelitian ........................................................................................... 35
4.2. Rancangan Penelitian ................................................................................. 35
commit to user

xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.3. Subjek Penelitian ....................................................................................... 35


4.3.1. Populasi penelitian ............................................................................ 35
4.3.2. Besar sampel ..................................................................................... 36
4.3.3. Teknik pengambilan sampel ............................................................. 36
4.3.4. Kriteria Inklusi .................................................................................. 36
4.3.5. Kriteria Eksklusi ............................................................................... 36
4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 37
4.5. Variabel Penelitian .................................................................................... 37
4.5.1. Variabel bebas ................................................................................. 37
4.5.2. Variabel tergantung .......................................................................... 37
4.6. Definisi Operasional Variabel .................................................................... 37
4.7. Langkah Penelitian ..................................................................................... 38
4.8. Analisa Data ............................................................................................... 39

BAB V HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN ........................................................ 40


5.1. Karakteristik Subjek Penelitian ................................................................. 40
5.2. Kesetaraan Kelompok ............................................................................... 41
5.3. Hasil Pemeriksaan Kadar sFlt-1 Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan ................................................................................................... 42
5.4. Efek Samping Astaxanthin 2 mg ............................................................... 44
5.5. Hubungan antara Pemberian Astaxanthin 2 mg dan Penurunan Kadar
sFlt-1 pada Kehamilan dengan Risiko Preeklamsia ................................ 44

BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................................ 46


BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 52
LAMPIRAN ................................................................................................................. 59

commit to user

xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 5.1. Sebaran dan Keragaman Data Subjek Penelitian ........................................... 40
Tabel 5.2. Uji Beda Rerata Subjek Penelitian antara Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan ....................................................................................................... 41
Tabel 5.3. Distribusi Rerata Kadar sFlt-1 Kelompok Kontrol dan Perlakuan pada
Kehamilan 8 minggu dan 20 minggu ........................................................... 43
Tabel 5.4. Tabel X2 Pemberian Astaxanthin 2 mg dan Kadar sFlt-1 ............................. 45

commit to user

xvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Perbandingan plasentasi kehamilan normal dan preeklamsia .................... 7
Gambar 2.2. Skema Patogenesis Preeklamsia ................................................................. 9
Gambar 2.3. Keterlibatan stres oksidatif plasental pada patogenesis preeklamsia .......... 13
Gambar 2.4. Konsekuensi generasi O2• sistemik maternal pada stres oksidatif dan fungsi
vaskuler pada preeklamsia ........................................................................ 15
Gambar 2.5. Struktur kimia astaxanthin (C40 H52 O4) (berat molekul: 596,84 g/mol) ..... 20
Gambar 2.6. Rata-rata kemampuan tiap antioksidan menghambat singlet oksigen ....... 21
Gambar 2.7. Astaxanthin menjangkau dua lapisan membran sel ………………...……. 22
Gambar 2.8. Cara kerja antioksidan astaxanthin pada mitokondria ...………………… 22
Gambar 2.9. Pemberian astaxanthin (5 mg/kgBB/hari) pada binatang percobaan dengan
hipertensi spontan, mengurangi rata-rata tekanan darah. p<0,001 ............ 24
Gambar 2.10.Pemberian astaxanthin (6 mg/hari) selama 10 hari memperbaiki aliran darah
pada manusia dengan alat MC-FAN. p<0,01 vs awal; p<0,05 vs
kontrol ........................................................................................................ 25
Gambar 2.11.Konsentrasi astaxanthin dalam plasma dibandingkan dengan waktu ........ 28

Gambar 5.1. Diagram Perbandingan Kadar sFlt-1 antara Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol .................................................................................. 44
Gambar 5.2. Diagram Perbandingan Kadar sFlt-1 antara Kehamilan 8 minggu dan
Kehamilan 20 minggu ............................................................................. 45

commit to user

xviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Surat Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian ....................... 59


Lampiran 2 : Tabel Proses Pengamatan ….....................……………………...… 60
Lampiran 3 : Pengukuran Kadar Soluble fms-like kinase-1 (sFlt-1) dengan Metoda
Elecsys ............................................................................................. 61
Lampiran 4 : Data Pasien …...................…………….………...……………...... 64
Lampiran 5 : Hasil Perhitungan Distribusi Variabel Penelitian ………………... 65
Lampiran 6 : Uji Normalitas Variabel Penelitian ……………………………...... 69
Lampiran 7 : Uji T Tidak Berpasangan …………………………………………. 70
Lampiran 8 : Hasil Pemeriksaan Kadar sFlt-1 ...................................................... 74
Lampiran 9 : Hasil Perhitungan Distribusi Rerata Kadar sFlt-1 .......................... 75
Lampiran 10 : Uji Normalitas Kadar sFlt-1 ............................................................. 76
Lampiran 11 : Uji Wilcoxon Perbedaan Rerata Kadar sFlt-1 antara Kehamilan 8
minggu dan 20 minggu pada Kelompok Perlakuan ......................... 77
Lampiran 12 : Uji X2 Hubungan antara Pemberian Astaxanthin 2 mg dan Penurunan
Kadar sFlt-1 ...................................................................................... 78
Lampiran 13 : Odds Ratio (OR) dan Uji Korelasi Lambda antara Pemberian
Astaxanthin 2 mg dan Penurunan Kadar sFlt-1 .............................. 79
Lampiran 14 : Ethical Clearance ............................................................................. 80

commit to user

xix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR SINGKATAN

COX : cyclooxygenase
DIC : disseminated intravascular coagulation
GDS : gula darah sewaktu
GPX : Glutathione peroxidase
GSTPi : Glutathione S-transferase Pi
HELLP syndrome : haemolysis, elevated liver enzym, dan low plateled
HSP : heat shock protein
H2O2 : hydrogen peroxide
IMT : Indeks Massa Tubuh
IL-1 : interleukin-1
LDL : Low Density Lipoprotein
MDA : Malonedialdehyde
NAD(P)H : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
NF-K B : Nuclear Factor kappa B
NO : Nitric Oxide
O2• : Superoxide radical
PlGF : Placental Growth Factor
ROS : Reactive Oxygen Species
sEng : soluble Endoglin
sFlt-1 : soluble Fms-like tyrosine kinase-1
SGOT : Serum Glutamic Oxaloasetic Transaminase
SGPT : Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
SOD : Superoxide dismutase
TGFβ-1 : Tissue Growth Factor β-1
Th : T helper
TNF : tumor necrosis factor
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
XO : Xanthine oxidase
XOR : Xanthine oxidoreductase
commit to user

xx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Preeklamsia menurut American College of Obstetricans and Gynecologist (ACOG)
adalah hipertensi (tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg) disertai
proteinuria (≥ 30 mg/liter urin atau ≥ 300 mg/24 jam) yang didapatkan setelah umur
kehamilan 20 minggu (North, 1999). Preeklamsia saat ini masih merupakan masalah pada
ibu hamil. Melahirkan adalah satu-satunya terapi yang efektif bagi preeklamsia, yang
direkomendasikan bagi penderita preeklamsia ringan ketika usia kehamilannya telah
optimal dan bagi seluruh penderita preeklamsia berat. Kecuali bila akan dilakukan
manajemen ekspektatif, yaitu bila tekanan darah penderita terkontrol sebelum kehamilan
32 minggu. Dengan meneruskan kehamilannya, ibu menanggung risiko berbagai
komplikasi seperti sindrom haemolysis, elevated liver enzym atau peningkatan enzim
hepar, dan low plateled atau penurunan trombosit (sindrom HELLP), eklamsia,
disseminated intravascular coagulation (DIC) atau koagulasi intravaskuler yang meluas,
dan edema paru (Rumiris, 2005).
Prevalensi preeklamsia berkisar antara 4,4-17,5%. Sementara laporan lainnya
menyebutkan angka kejadiaan preeklamsia 5-7% dari ibu hamil (Cuningham, 2005). Di
Indonesia angka kejadian preeklamsia 3-10% dan memberikan kontribusi sebesar 39,5%
pada angka kematian ibu pada tahun 2001 dan meningkat tajam menjadi 55,56% pada
tahun 2002. Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta kematian ibu hamil yang disebabkan oleh
preeklamsia ada 25 ibu hamil dari 37 ibu hamil yang meninggal dari 1956 persalinan
pada tahun 2008 (Sulistyowati, 2010).
Salah satu teori yang menjelaskan etiologi preeklamsia adalah teori maladaptasi
imun, yaitu adanya gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis uterus sehingga terjadi
aktivasi abnormal sel limfoid desidua, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan kadar
spesies radikal bebas, neutrofil elastase dan sitokin, seperti tumor necrosis factor (TNF)
dan interleukin-1 (IL-1) (Dekker, 1998). Dengan adanya peningkatan radikal bebas dan
sitokin pada proses plasentasi kehamilan dengan risiko preeklamsia akan menyebabkan
disfungsi endotel (endotheliosis) plasenta dan sistemik. Keadaan ini mengakibatkan stres
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oksidatif sehingga terjadi ketidakseimbangan antara faktor proangiogenik (Vascular


Endothelial Growth Factor/VEGF, Placental Growth Factor/PlGF, Tissue Growth
Factor β-1/TGFβ-1) dan faktor antiangiogenik (Soluble fms-like tyrosine kinase-1/sFlt-1
dan Soluble Endoglin/sEng) yang bersirkulasi pada saat sebelum preeklamsia
(Karumanchi dkk, 2008). Soluble fms-like tyrosine kinase-1 merupakan inhibitor endogen
VEGF, yang akan meningkat sebelum onset preeklamsia (Lim dkk., 2008).
Penggunaan antioksidan dilatarbelakangi oleh ketidakseimbangan oksidatif pada
preeklamsia yang berhubungan erat dengan aktivitas sitokin, khususnya tumor necrosis
factor (TNF) (Dekker, 1998). Antioksidan secara selektif menghambat pelepasan TNF
karena dapat mengontrol status reduksi oksidasi dari glutation, yang merupakan
modulator endogen dari produksi TNF (Concard, 2006). Pada preeklamsia, stress
oksidatif yang dimanifestasikan melalui peroksidasi lipid berlangsung hebat karena
berkurangnya antioksidan yang diperlukan, sehingga lipid peroksida dari plasenta
tersebar secara sistemik melalui lipoprotein (Dekker, 1998).
Antioksidan yang terakhir ditemukan adalah golongan karotenoid termasuk
retinol (atau vitamin A) (Palan dkk, 2001). Astaxanthin adalah karotenoid alami yang
saat ini merupakan antioksidan paling kuat, tetapi tidak mempunyai aktifitas vitamin A
dan termasuk kelompok xanthophyll (Odeberg dkk., 2003). Salah satu titik tangkap
utama astaxanthin sebagai antioksidan adalah efek antiinflamasinya yaitu menetralkan
reaksi oksigen bermuatan tunggal dan menekan peroksidase lipid jauh lebih efektif
dibandingkan dengan antioksidan lainnya, sehingga dapat mengontrol keberadaan spesies
oksigen reaktif (ROS) (Lee dkk., 2003) dan menurunkan kadar faktor antiangiogenik
preeklamsia (soluble fms-like tyrosine kinase-1).
Intervensi yang seawal mungkin terhadap kehamilan dengan risiko preeklamsia
dapat menjadi harapan dalam terapi pencegahan preeklamsia. Pemberian antioksidan
yang lebih awal saat pembentukan plasenta dapat membantu respon adaptasi antioksidan
maternal, dengan demikian menormalkan efek stres oksidatif (Chappell dkk., 1999).
Dengan berdasarkan data dan teori di atas, penulis berkeinginan meneliti
pengaruh antioksidan astaxanthin terhadap faktor antiangiogenik (soluble fms-like
tyrosine kinase-1 atau sFlt-1) pada wanita hamil dengan risiko preeklamsia, karena secara
teoritis hal ini adalah terapi yang rasional, mengingat terapi preventif dengan antioksidan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berpijak pada patogenesis preeklamsia, serta diberikan sebelum terjadi gejala dan tanda
preeklamsia.

1.2. Rumusan Masalah


Apakah astaxanthin 2 mg sebagai antioksidan yang diberikan pada ibu hamil
dengan risiko preeklamsia sejak usia kehamilan 8 minggu sampai dengan usia kehamilan
20 minggu dapat menurunkan kadar sFlt-1?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui adanya penghambatan proses preeklamsia pada wanita hamil
dengan risiko preeklamsia dengan pemberian antioksidan sejak awal kehamilan.

1.3.2. Tujuan Khusus:


Untuk menganalisis pengaruh pemberian astaxanthin 2 mg sebagai antioksidan
sejak usia kehamilan 8-20 minggu, terhadap kadar sFlt-1 pada wanita hamil dengan
risiko preeklamsia.

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Keilmuan
Menambah dan mengembangkan informasi ilmiah tentang stres oksidatif sebagai
salah satu dasar patogenesis preeklamsia dan antioksidan sebagai terapi preventif
preeklamsia, guna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi karena
preeklamsia.

1.4.2. Manfaat Klinis


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar pencegahan preeklamsia.

1.5. Keaslian Penelitian


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai penggunaan


astaxanthin sebagai antioksidan untuk menghambat preeklamsia pada awal kehamilan.

BAB II
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Preeklamsia dan Faktor Risikonya


Preeklamsia menurut American College of Obstetricans and Gynecologist
(ACOG) adalah hipertensi (tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90
mmHg) disertai proteinuria (≥ 30 mg/liter urin atau ≥ 300 mg/24 jam) yang didapatkkan
setelah umur kehamilan 20 minggu (North, 1999). Penyebab preeklamsia belum
sepenuhnya diketahui. Beberapa faktor yang dianggap berperan pada kejadian
preeklamsia adalah gen, plasenta, respon imun, dan penyakit vaskular pada ibu.
Faktor risiko yang paling kuat untuk preeklamsia adalah primiparitas dengan 75%
kasus terjadi pada primigavida. Salah satu interpretasinya adalah bahwa ibu mempunyai
memori imunologi untuk kehamilan pertamanya dan secara terminologi imunologi
konvensional, kehamilan akan menginduksi toleransi pada kehamilan berikutnya. Belum
ada penjelasan yang memuaskan mengapa kehamilan pertama berisiko preeklamsia dan
mengapa kehamilan berikutnya secara umum normal. (Moffett, A., Hiby, S., 2007)
Kurang lebih 40 sampai 50 persen wanita multipara yang didiagnosis preeklamsia,
mempunyai riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya (Noori, M., Savvidou, M.,
Williams, D., 2007). Jika kondisinya mengharuskan persalinan sebelum usia kehamilan
32 minggu pada kehamilan sebelumnya, maka odds ratio untuk terulangnya preeklamsia
meningkat lebih dari 40%. Selanjutnya usia ibu lebih dari 35 tahun juga meningkatkan
kemungkinan preeklamsia, walaupun belum ada penjelasan patogenesisnya (Sibai dkk,
2000).
Predisposisi pewarisan dari maternal telah lama dicatat meningkatkan risiko
empat kali lipat mengalami preeklamsia berat jika wanita tersebut mempunyai riwayat
keluarga (Cincotta dan Brennecke, 1998). Akhir-akhir ini penelitian berbasis populasi
besar memperlihatkan bahwa gen paternal juga berperan menjadi risiko wanita
mengalami preeklamsia (Moffett, A., Hiby, S., 2007).
Penderita obesitas dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) (berat badan dalam
kilogram dibagi kuadrat dari tinggi badan dalam meter) lebih dari 25 pada awal
kehamilan akan mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang IMT-nya lebih rendah,
tetapi belum tentu menjadi hipertensi gestasional maupun preeklamsia (Noori, M.,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Savvidou, M., Williams, D., 2007). Terjadi peningkatan risiko preeklamsia dari 4,3%
pada penderita dengan IMT kurang dari 19,8 kg/m2 menjadi 13,3% pada penderita
dengan IMT lebih dari 25 kg/m2 (Sibai dkk, 2000).
Kehamilan multipel mempunyai dua kali risiko mengalami preeklamsia.
Sedangkan diabetes mellitus pragestasional juga merupakan faktor risiko lain untuk
preeklamsia; insidensinya berkisar antara 9% sampai dengan 66% pada penderita dengan
riwayat diabetik nefropati. Besarnya masa plasenta baik pada kehamilan multipel maupun
kehamilan dengan diabetes merupakan sebab masalahnya (Noori, M., Savvidou, M.,
Williams, D., 2007).
Wanita dengan riwayat kelainan medis karena disfungsi endotel, seperti hipertensi
kronik dan diabetes, akan meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia (Noori, M.,
Savvidou, M., Williams, D., 2007). Penderita yang memiliki tekanan darah sistolik atau
diastolik relatif tinggi sebelum kehamilan 20 minggu, meningkatkan risiko preeklamsia.
Sebagai contoh, pada penelitian terhadap 13.000 wanita hamil trimester pertama dengan
tekanan darah sistolik 130 mmHg atau lebih, akan mempunyai kemungkinan empat kali
menjadi preeklamsia dibandingkan dengan wanita dengan tekanan sistolik lebih rendah
dari 110 mmHg. Tekanan darah diastolik dilaporkan pengaruhnya sebagai faktor risiko
lebih lemah dibandingkan tekanan darah sistolik.

2.2. Patogenesis Preeklamsia


Patogenesis preeklamsia sangat kompleks karena melibatkan beberapa faktor
genetik, imunologi, dan faktor lingkungan yang saling berinteraksi. Patogenesis
preeklamsia secara umum terdiri dari dua tahapan proses. Tahap pertama merupakan
tahap asimtomatik yang ditandai perkembangan plasenta yang abnormal selama trimester
I yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan beberapa material plasenta ke
dalam sirkulasi maternal. Tahap kedua yaitu tahap simtomatik atau sindrom maternal
yang ditandai oleh hipertensi, gangguan ginjal, dan proteinuria (Karumanchi dkk, 2008).

2.2.1. Tahap I: Abnormalitas Plasentasi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Preeklamsia hanya terjadi bila ada plasenta meskipun tidak ada fetus
misalnya pada mola hidatidosa. Preeklamsia akan sembuh dengan sendirinya
setelah plasenta diangkat. Pada kasus preeklamsia dengan kehamilan di luar
kandungan, pengangkatan bayi saja tidak cukup, gejala preeklamsia akan tetap ada
sampai plasenta diangkat (Karumanchi dkk, 2008).
Oleh sebab itu cukup masuk akal apabila mengasumsikan bahwa plasenta
berperan utama dalam patogenesis penyakit. Uji patologi plasenta pada kehamilan
dengan preeklamsia umumnya menunjukkan terjadinya infark pada plasenta,
penyempitan arteri dan arteriole karena sklerosis, yang ditandai dengan adanya
invasi endovaskular yang dangkal oleh sitotrofoblas dan remodeling yang tidak
memadai pada arteri spiral uterus (Karumanchi dkk, 2008).
Pada awal plasentasi, ekstravilli sitotrofoblas mempengaruhi uterus pada
makrofag desidua. Pada kehamilan normal invasi sitotrofoblas di arteri spiralis
menyebabkan down regulasi sel trofoblas yang akan mengadopsi fenotip sel endotel.
Proses ini dikenal sebagai pseudovaskulogenesis. Transformasi sel epitel menjadi
sel endotel ini akan memungkinkan peningkatan laju darah ke uterus yang
diperlukan untuk kelanjutan hidup janin selama dalam kandungan. Transformasi ini
juga diikuti oleh perubahan ekspresi molekul adhesi yang semula merupakan
karakter sel epitel (integrin α6/β5, αω/β3, dan E-chaderin) menjadi bersifat adhesi
yang diekspresikan oleh sel endotel (integrin α1/β1, αω/β3, platelet endothelialcells
adhesion molecule dan vascular endothelial-chaderin) (Karumanchi dkk, 2008).
Trofoblas pada preeklamsia mengalami maltransformasi saat menginvasi
arteri spiralis. Hal tersebut menyebabkan abnormalitas plasentasi di mana invasi
sitotrofoblas pada arteri terbatas tidak sampai endotel, sangat dangkal, dan tidak
menyebar (Gambar 2.1). Diferensiasi abnormal plasenta ini merupakan awal
hipoksia yang pada akhirnya menyebabkan iskemia plasenta. (Maynard dkk, 2005;
Karumanchi dkk, 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Invasi trofoblas normal Invasi trofoblas pd desidua tidak adekuat


dan gangguan pembentukan a.spiralis

Iskemia & inflamasi plasenta


Kehamilan
normal

DISFUNGSI ENDOTEL

Inflamasi Apoptosis Radikal Pelepasan substansi


sistemik bebas toksik

PREEKLAMSIA

Gambar 2.1. Perbandingan plasentasi kehamilan normal dan preeklamsia


(Karumanchi dkk, 2008)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.2.2. Tahap II: Sindrom Maternal


Abnormalitas plasentasi sebagai akibat maltransformasi sitotrofoblas pada
arteri spiralis uterus yang menyebabkan pelepasan faktor-faktor antiangiogenik
tersekresi ke sirkulasi maternal dan mencapai puncaknya pada simptom klinis
preeklamsia yang dikenal dengan sindrom maternal. Manifestasi klinis preeklamsia
antara lain glomerular endotheliosis, peningkatan permeabilitas vaskular, dan
respon inflamasi sistemik yang mengakibatkan kerusakan organ atau hipoperfusi.
Manifestasi klinis biasanya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu (Karumanchi
dkk, 2008).
Manifestasi klinis yang dijumpai meliputi hipertensi, proteinuria, dan
sindrom fetal seperti pertumbuhan janin terhambat. Meskipun penelitian tentang
patogenesis preeklamsia sudah sangat ekstensif dilakukan, namun etiologinya masih
belum jelas. Patofisiologi yang dapat menjelaskan mekanisme yang mengakibatkan
perkembangan preeklamsia antara lain (Barton dan Sibai, 2008):
§ Gangguan diferensiasi dan invasi trofoblas ke arteri spiralis
§ Disfungsi endotel arteri spiralis
§ Maladaptasi imunitas terhadap antigen paternal
§ Respon inflamasi sistemik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Faktor Genetik ? Faktor Lingkungan ? Faktor Imunologi ?

Implantasi

- Imunologik/malreaksi
- Maltransformasi trofoblas
Tahap I - Plasentasi Abnormal
(trimester I dan II)
- Arteria spiralis
-iskhemik
-trombosis
- Th1↑ NK cell↑ Lim T sitotoksik ↑

Penurunan perfusi plasenta

↑ Sirkulasi sFlt-1
↓ Sirkulasi PlGF dan ↓VEGF, ↑AT1-AA
Endoglin↑
Oksidan↑

Endoteliosis / Disfungsi vaskuler


sistemik / Vasospasme

Tahap II
(trimester III) Tromboksan A2↑
Endotelin↑
Renin-Angiotensin↑

Proteinuria Hipertensi Kelainan Koagulasi (HELLP)


Endoteliosis Glomerular Odem Cerebri (Eklamsia)

Gambar 2.2. Skema Patogenesis Preeklamsia (Lam dkk., 2005)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.3. Faktor Angiogenik pada Preeklamsia


Dahulu preeklamsia dikenal sebagai ”disease of theory”, karena begitu banyak
teori-teori yang berusaha menjelaskan etiologi preeklamsia. Sampai pada milenium telah
ditemukan penanda untuk memprediksi preeklamsia dengan pasti. Selain itu, strategi
manajemen preeklamsia yang ada masih bersifat suportif simtomatik dan terminasi masih
merupakan terapi definitif. Namun penelitian-penelitian pada sepuluh tahun terakhir telah
merubah paradigma tersebut, karena penemuan mengenai prediktor preeklamsia mulai
menunjukkan titik terang, ditemukannya jalur molekular yang mengatur pseudo
vaskulogenesis membuka potensi faktor-faktor yang terlibat di dalamnya menjadi
prediktor preeklamsia. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor angiogenik dan
reseptornya (Davidson, 2004).
Diduga ketidakseimbangan antara faktor-faktor proangiogenik dan antiangiogenik
berhubungan erat dengan terjadinya perkembangan preeklamsia. Beberapa penelitian
yang sudah dipublikasikan menunjukkan bahwa terdapat ketidakseimbangan antara
faktor-faktor proangiogenik dan antiangiogenik yang bersirkulasi pada saat sebelum
onset preeklamsia (Barton dan Sibai, 2008).
Mamalia termasuk manusia memerlukan angiogenesis yang ekstensif untuk
memastikan jaringan kerja yang baik untuk menyuplai oksigen dan nutrisi ke janin.
Angiogenesis ini melibatkan berbagai macam faktor proangiogenik dan antiangiogenik
yang bekerja sama dalam perkembangan plasenta. Pada preeklamsia terdapat dua protein
antiangiogenik yang diproduksi secara berlebihan sehingga menyebabkan peningkatan
pada sirkulasi maternal yang bertanggungjawab terhadap fenotipe preeklamsia yaitu
soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) dan soluble Endoglin (sEng). Faktor-faktor
proangiogeniknya adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Placental
Growth Factor (PIGF), dan Tissue Growth Factor β-1 (TGFβ-1). Soluble Fms-like
tyrosine kinase-1 (sFlt-1) merupakan inhibitor endogen VEGF dan PIGF yang mengatur
angiogenesis plasenta, sedangkan sEng merupakan ko-reseptor yang bersirkulasi yang
menghambat penandaan TGFβ-1 di dalam pembuluh darah (Karumanchi dkk, 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.4. Faktor Antiangiogenik pada Plasenta Preeklamsia


Penelitian dilakukan dengan menggunakan chip microarray Affimetrix yang
membandingkan antara plasenta preeklamsia dan plasenta normal. Para peneliti
menemukan bahwa plasenta pada preeklamsia mengalami peningkatan ekspresi faktor
antiangiogenik yaitu sFlt-1 dan mRNA ENG. Hasil penelitian ini juga dipastikan dengan
nothern blotting dan immunostaining terhadap Eng. Pemeriksaan untuk sEng kemudian
lebih dikembangkan dan ditemukan hubungan yang erat antara sEng dan sFlt-1 sesuai
derajad keparahan penyakit. Para peneliti lalu menggunakan sEng dan sFlt-1 untuk
menginduksi preeklamsia pada tikus hamil. Perlakuan tersebut menyebabkan perubahan
tekanan darah, peningkatan enzim hati, dan proteinuria. Percobaan selanjutnya
menunjukkan bahwa sEng dan sFlt-1 menghambat sinyal TGFβ-1 pada sel endotel dan
menghambat aktivasi TGFβ-1 yang dimediasi oleh NOS (Luft, 2006).
Etiologi peningkatan konsentrasi sFlt-1 dan sEng pada preeklamsia belum
diketahui. Namun diperkirakan faktor-faktor genetik, hipoksia, dan imunologi terlibat di
dalamnya. Ekspresi sEng dan sFlt-1 meningkat sebagai respon terhadap hipoksia yang
dimediasi oleh hypoxia inducible factors 1 (HIF1). Selama kehamilan normal plasenta
relatif dalam keadaan hipoksia pada awal kehamilan. Hipoksia kemudian menghilang
seiring dengan peningkatan laju darah ke plasenta selama trimester kedua. Penelitian
pada preeklamsia yang dilakukan Rana dkk, baik sFlt-1 dan sEng keduanya meningkat
selama trimester 1 hingga trimester 2 pada preeklamsia preterm, hal ini sangat
berlawanan dengan kehamilan normal di mana kadar keduanya tetap atau bahkan turun.
Keadaan ini mendukung dugaan bahwa hipoksia plasenta berperan penting dalam
peningkatan produksi faktor antiangiogenik pada wanita preeklamsia (Rana dkk., 2007).

2.5. Soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1)


Soluble Fms-like tyrosine kinase-1 adalah protein anti-angiogenik sirkulasi yang
beraksi dengan mengikat reseptor yang didominasi PlGF dan VEGF, sehingga mencegah
interaksi PlGF dan VEGF dengan reseptor-reseptor permukaan sel endotelial dan
menyebabkan disfungsi endotelial. Selama kehamilan normal terjadi kondisi
proangiogenik, yaitu tingkat sFlt-1 adalah rendah sampai dengan akhir trimester kedua
dan tingkat PlGF adalah tinggi. Pada saat usia kehamilan preeklamsia bertambah, tingkat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sFlt-1 secara bertahap akan meningkat sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi
melemahkan PlGF. Peningkatan produksi sFlt-1 oleh plasenta preeklamtik menyebabkan
konsentrasi PIGF dan VEGF bebas yang bersirkulasi menjadi rendah, karena terikat oleh
sFlt-1. Hal ini menyebabkan proses angiogenesis plasenta terganggu. (Davidson dkk.,
2004).
Produksi Flt1 melalui sekresi trofoblas secara endogen menghasilkan potongan
Flt-1 bersifat larut air yang disebut soluble Flt-1 (sFlt-1) yang dilepaskan ke sirkulasi.
Soluble Flt-1 merupakan bentuk Flt-1 yang kehilangan domain sitoplasmik dan
transmembran tetapi masih memiliki domain ligand-binding (Krysiak dkk., 2005).
Pada preeklamsia sFlt-1 berfungsi sebagai umpan selama perkembangan plasenta
dan mencegah VEGF berikatan dengan reseptornya. Percobaan pada tikus hamil yang
diinjeksi adenoviral yang kuat mengekspresikan sFlt-1, ternyata menyebabkan tikus
mengalami hipertensi, proteinuria, dan endoteliosis glomerular(Luft, 2006).
Ekspresi sFlt-1 mengalami peningkatan pada keadaan preeklamsia. Pada satu
studi diketahui bahwa rata-rata konsentrasi serum sFlt-1 pada kehamilan normal adalah
1,5 ± 0,22 ng/mL, pada preeklamsia ringan adalah 3,28 ± 0,83 ng/mL dan pada
preeklamsia berat adalah 7,64 ± 1,5 ng/mL. Konsentrasi sFlt akan menurun secara
dramatis setelah melahirkan, baik pada preeklamsia maupun pada yang normal (Lam dkk,
2005).
Peran sFlt1 dalam patogenesis preeklamsia memiliki nilai prediktif dan implikasi
diagnostik yang penting. Konsentrasi mulai meningkat mendekati akhir trimester 2 pada
wanita yang nantinya mengalami preeklamsia. Empat sampai 5 minggu sebelum
manifestasi klinis terdeteksi pertama kali. Seiring dengan berjalannya waktu, manifestasi
preeklamsia ‘nyata’ sebagai peningkatan sFlt-1 dengan konsentrasi meningkat 2 hingga 4
kali kehamilan normal dan terbesar pada preeklamsia berat (Karumanchi dkk., 2008).

2.6. Stres oksidatif pada preeklamsia


Terdapat hipotesis, bahwa berkurangnya respon antioksidan terhadap stimulus
oksigenasi akan menghasilkan stres oksidatif. Stres oksidatif pada kehamilan dapat
menyebabkan degenerasi trofoblas. Preeklamsia berhubungan dengan kelainan invasi
trofoblas yang berkaitan dengan stres oksidatif (Gambar 2.3).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Respon antioksidan tidak adekuat


setelah inisiasi aliran darah maternal
pada ruang intervillus akibat hipoksia

- maltransformasi trofoblas
- kurangnya perfusi plasenta

- hipoksia plasenta
- stres ↑
- PlGF↓
- sFlt-1↑

- xantin oksidase ↑
- NAD(P)H oksidase ↑ Umpan balik positif
Umpan balik ↓
positif - generasi O2• ↑

- stres oksidatif kronis


- apoptosis & nekrosis ↑
Gangguan keseimbangan
redoks dan perubahan ekspresi
gen (sensitif-redoks)
Pelepasan faktor-faktor plasenta:
- mikropartikel
- sitokin
- lipid peroksidasi

Kerusakan oksidatif

Pertahanan dengan antioksidan

Gambar 2.3. Keterlibatan stres oksidatif plasental pada patogenesis preeklamsia


(Jauniaux dkk. 2000)

Jauniaux dkk. (2000) menemukan bahwa aktifitas beberapa enzim antioksidan


pada jaringan plasenta normal meningkat bersamaan dengan peningkatan tekanan
oksigen yang terjadi pada usia kehamilan 10-12 minggu (Jauiaux dkk, 2000). Pada
penelitian terakhir, dilaporkan peningkatan pencemaran oleh residu nitrotirosin dan heat
shock protein (HSP) 70 pada jaringan plasenta dari missed abortion. Stres oksidatif dapat
menjadi faktor kunci pada kegagalan kehamilan awal (Jauniaux dkk, 2003).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Burton dan Hung (2003) melaporkan, bahwa adanya kelainan invasi trofoblas
pada preeklamsia dapat menyebabkan perfusi plasenta yang menurun, akibat oklusi
trombotik yang diikuti bekuan, yang menyebabkan hipoksia kronis plasenta dan
kemudian menjadi inisiasi stres oksidatif. Hal ini mengacu pada berlimpahnya
lingkungan menjadi bentuk hipoksia antioksidan pritsos oreduktase (XOR) pada plasenta,
yang dikonversi oksidase, sehingga menyebabkan peningkatan generasi radikal
superoksida (O2•) (Many dkk, 2000).
Jaringan plasenta dari penderita preeklamsia memperlihatkan peningkatan
kapasitas O2• reaktif (Deschend dkk, 2003; Sikkema dkk, 2001; Wang dan Walsh, 2001),
yang berhubungan dengan peningkatan ekspresi xanthin oksidase (XO) (Many dkk,
2000). Dechend dkk (2003) melaporkan peningkatan immunostaining dari subunit
NAD(P)H oksidase pada plasenta preeklamsia. Perbandingan NAD(P)H oksidase-
termediasi generasi O2• antara jaringan plasenta preeklamsia dan plasenta normotensi
menunjukkan bahwa generasi O2• pada plasenta preeklamsia awitan awal lebih tinggi
daripada yang normotensi.
Stres oksidatif plasenta berubah menjadi sumber stres oksidatif sistemik. Sebagai
konsekuensinya, penderita preeklamsia menunjukkan peningkatan apoptosis trofoblas
dan mikrovilli (Crocker dkk, 2003). Pemindahan mikropartikel plasenta ke dalam
sirkulasi maternal pada kehamilan normal diperkirakan juga berperan pada respon
inflamasi maternal yang berlebihan pada preeklamsia (Redman dan Sargent, 2000) dan
berhubungan dengan generasi O2• lokal (Gambar 2.4).
Stimulasi generasi O2• dengan agonis termediasi reseptor pada neutrofil
preeklamsia lebih tinggi daripada penderita normotensi (Tsukimori dkk, 1993). Pada
penderita hipertensi gestasional, peningkatan konsentrasi asam urat plasma berkaitan
dengan peningkatan enzim XO pada plasma (Nemeth dkk, 2002). Peningkatan
konsentrasi asam urat pada darah penderita preeklamsia dapat menjadi penanda tidak
langsung dari peningkatan produksi O2• oleh XO (Many dkk, 1996).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.4 Konsekuensi generasi O2• sistemik maternal pada stres oksidatif dan fungsi
vaskuler pada preeklamsia (Redman dan Sargent, 2000)

Ketidakstabilan membran eritrosit menyebabkan pelepasan besi dari darah


penderita preeklamsia (Spickett dkk, 1998). Fe tidak terikat mampu menggenerasi ROS
(O2•, H2O2, dan OH•) (Rayman dkk, 2002). Penderita preeklamsia menunjukkan ferritin
serum meningkat, yang berhubungan dengan peningkatan konsentrasi Fe bebas pada
serum (Hubel dkk, 1996a; Rayman dkk, 2002).
Pencarian penanda molekul sirkulasi maternal preerklamsia mengindikasikan
adanya stres oksidatif. Terdapatnya peningkatan generasi radikal peroksi-nitrit
menunjukkan adanya kerusakan oksidatif yang lebih besar (Hubel, 1999; Roggensack
dkk, 1999). Malonedialdehyde (MDA), suatu produk pemecahan utama lipid peroksidase,
adalah salah satu penanda biologis yang ditemukan meningkat (Ishihara, 1978). Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa kadar serum substansi reaktif asam tiobarbiturik
(yang terdiri dari MDA) meningkat pada penderita preeklamsia (Bayhan dkk, 2000;
Kharb, 2000c; Madazli dkk, 1999; Takacs dkk, 2001; Uotila dkk 1993).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Salah satu konsekuensi peroksidasi lipid adalah ikatan migrasi rantai hidrokarbon
pada asam lemak tak jenuh yang menghasilkan bentuk dienes terkonjugasi dan dapat
menjadi penanda biologis dari peroksidasi lipid. Dienes terkonjugasi meningkat pada
plasma atau trombosit penderita preeklamsia (Garzetti dkk, 1993; Hubel dkk, 1989;
Uotila dkk, 1993).
Profil lipid antara penderita preeklamsia dan kehamilan normotensi adalah
berbeda. Ukuran partikel LDL preeklamsia berkurang menyebabkan kerentanan oksidatif
yang lebih besar (Hubel dkk, 1998; Pierucci dkk, 1996; Sattar dkk, 2000). Terdapat pula
laporan tentang peningkatan titer antibodi yang melawan oksidasi LDL ini (Branch dkk,
1994; Uotila dkk, 1998; Wakatsuki dkk, 2000).
Protein dapat diubah oleh ROS atau spesies nitrogen reaktif atau secara tidak
langsung oleh reaksi dengan produk dari peroksidasi lipid. Kadarnya dilaporkan
meningkat pada plasma penderita preeklamsia (Zusterzeel dkk, 2000). Reaksi dengan
spesies nitrogen reaktif seperti peroksinitrit menghasilkan bentuk residu nitrotirosin yang
ekspresinya meningkat pada arteriol-arteriol penderita preeklamsia (Roggensack dkk,
1999).
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa produk-produk stres oksidatif dari plasenta
dapat berpengaruh terhadap respon inflamasi maternal. Hal ini diperparah dengan adanya
generasi lokal ROS. Sehingga karakteristik preeklamsia dapat diterangkan dengan dasar
stres oksidatif (Hubel dkk, 1999).
Fungsi vaskuler dapat diubah oleh stres oksidatif karena lipid peroksidase dapat
berinteraksi dan merusak fungsi sel endotelial (Davidge, 1998; Hubel dkk, 1989; Taylor
dkk, 1998). Beberapa laporan menunjukkan bahwa NO sintetase dan nitrit oksid
meningkat pada pembuluh darah penderita preeklamsia (Davidge, 1998; Roggensack dkk,
1999). NO dapat bereaksi cepat dengan O2• menghasilkan peroksinitrit, yang mengurangi
kemampuan NO sebagai vasorelaksan dan terlibat pada nekrosis dan apoptosis, sehingga
dapat merusak sel-sel endotelial. Peroksinitrit bersama dengan lipid peroksidase
menyebabkan produksi prostasiklin dan tromboksan berlebihan (Davidge, 1998;
Roggensack dkk, 1999). Kadar lipid peroksida yang ekstrim menghambat sintesa
prostaglandin H, menghasilkan penurunan konsentrasi prostasiklin (suatu vasorelaksan).
Selanjutnya baik kerusakan sel maupun radikal oksigen akan memicu pelepasan endotelin,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

suatu vasokonstriktor potensial, yang meningkat pada penderita preeklamsia (Slowinski


dkk, 2002).
Baik stres oksidatif plasenta maupun stres oksidatif sistemik dapat mengubah
ekspresi gen. Aktifitas faktor-faktor transkripsi kelompok mitogen yang teraktifasi oleh
protein kinase secara langsung diaktivasi oleh O2• dan menyebabkan gangguan ekspresi
protein yang terlibat pada pertumbuhan, angiogenesis, remodeling matriks, apoptosis, dan
proliferasi sel (Hayes dan McLellan, 1999).

2.7. Status antioksidan pada preeklamsia


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar glutathione, aktifitas
enzim GPX (Glutathione peroxidase) atau aktifitas katalase, merupakan respon adaptif
pada preeklamsia (Gümezoglu dkk, 1996; Knapen dkk, 1999; Wang dan Walsh, 1996).
Tetapi juga terjadi penurunan kapasitas antioksidan plasenta yang jauh lebih banyak.
Kadar vitamin E dan ekspresi beberapa antioksidan enzimatik lain (Superoxide
Dismutase/SOD, GPX, Glutathione s-Transferase Pi/GSTPi dan glukosa-6-fosfatase
dehidrogenase) berkurang (Walsh, 1998; Wang dan Walsh, 1996; Zusterzeel dkk, 2001).
Hasil penelitian lain menunjukkan penurunan kadar glutathione pada plasma
preeklamsia, sehingga rasio glutathione : hemoglobin lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok tekanan darah normal (Knapen dkk, 1998; Chen dkk, 1994; Kharb, 2000b).
Laporan tentang kadar vitamin E, dalam bentuk α-tokoperol, pada preeklamsia
juga bervariasi. Konsentrasi vitamin E plasma telah dilaporkan menjadi lebih rendah
(Madazli dkk, 1999; Sagol dkk, 1999), tetap sama (Uotila dkk, 1994; Vasecchi dkk,
1999), atau meningkat (Hubel dkk, 1997; Schiff dkk, 1996; Zusterzeel dkk, 2002) pada
preeklamsia dibandingkan dengan kehamilan normal.
Preeklamsia adalah keadaan dengan vitamin C yang hampir habis, di mana
sebagian besar penelitian menunjukkan rendahnya kadar vitamin C (Chappel dkk, 2002;
Madzali dkk, 1999; Mikhail dkk, 1994; Sagol dkk, 1999; Zang dkk, 2002c), walaupun
ada juga yang menemukan kadar yang tidak berubah (Uotila dkk, 1994; Zusterzeel dkk,
2002). Defisiensi vitamin C dapat mempengaruhi metabolisme vitamin E, karena vitamin
C beraksi secara sinergi dengan vitamin E. Kerusakan vitamin E akibat vitamin E yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

teroksidasi (karena rendahnya kadar vitamin C) dapat menyebabkan penurunan kapasitas


ikat vitamin E terhadap radikal bebas.
Kadar vitamin C dapat menurun karena rendahnya asupan makanan disertai
peningkatan sintesis radikal bebas. Suatu penelitian terhadap populasi acak penderita
preeklamsia di Amerika menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan risiko preeklamsia dua
kali pada kelompok dengan asupan vitamin C di bawah kadar nutrisi yang seharusnya
(<85 mg/hari) (Zhang dkk, 2002a).
Karotenoid termasuk retinol (atau vitamin A) belum menjadi subyek penelitian
yang intensif pada preeklamsia. Pada beberapa penelitian tentang pengukuran kadar
karotenoid yang simultan disimpulkan, bahwa kadar β-carotene (Mikhail dkk, 1994;
Palan dkk, 2001), lycopene (Palan dkk, 2001) dan retinal (Zhang dkk, 2001) masing-
masing berkurang.

2.8. Pencegahan preeklamsia dengan antioksidan


Walaupun pengertian tentang etiologi sindrom preeklamsia semakin jelas, tetapi
belum terdapat cara efektif yang dapat diterima untuk mencegah preeklamsia. Penelitian
tentang pencegahan preeklamsia dengan aspirin dan kalsium tidak menghasilkan
kesepakatan. Tetapi, terdapatnya bukti tentang stres oksidatif pada preeklamsia
memberikan harapan yang potensial akan strategi baru pencegahan preeklamsia dengan
antioksidan (Coomarasamy dkk, 2003).
Pemilihan antioksidan adalah penting. Beberapa antioksidan, khususnya vitamin
E, tidak hanya mendetoksifikasi radikal bebas, tetapi juga mempunyai keuntungan
langsung bagi penderita preeklamsia (Azzi dkk, 2002; Brigelius dkk, 2002). Antioksidan,
dengan mengurangi status redoks sel, secara tidak langsung melibatkan pengaturan
ekspresi gen yang sensitif terhadap redoks. Pada plasma, α-tokoferol telah menunjukkan
perannya pada pengenalan sel dengan pencegahan aktivasi protein kinase-C (PKC).
Melalui jalur ini vitamin E menggunakan efek antiproliferatif dan secara langsung
mempengaruhi reduksi generasi O2• oleh NAD(P)H oksidase, agregasi platelet dan
pencegahan adhesi monosit-endotelium (Azzi dkk, 2002). Melalui regulasi turun dari
Nuclear Factor kappa B (NF-KB), α-tokoferol mempengaruhi reduksi respon inflamasi
(Rimbach dkk, 2002; Weber dkk, 1994). Vitamin C dilaporkan mencegah apoptosis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(Rossig dkk, 2001) dan dapat mengurangi pembentukan mikropartikel pada plasenta.
Seperti telah dijelaskan di awal, asam askorbat meregenerasi α-tokoferol dengan
mereduksi radikal α-tokoferol. Secara bersamaan antioksidan-antoksidan ini tidak hanya
dapat mencegah reaksi rantai peroksidasi lipid, tetapi juga mengurangi generasi radikal
bebas, respon inflamasi dan status prokoagulan.
Penelitian terhadap karotenoid untuk mencegah preeklamsia belum banyak
dilakukan. Karotenoid dapat mengurangi bentuk reaktif dari oksigen yaitu oksigen singlet
dan menghambat perkembangan peroksidasi lipid (Krinsky, 1998).
Tiga penelitian telah dilakukan terhadap suplementasi antioksidan, yang
semuanya menggunakan kombinasi dosis tinggi vitamin E dan vitamin C untuk
pencegahan preeklamsia (Gülmezoglu dkk, 1997; Stratta dkk, 1994). Pada penelitian-
penelitian ini antioksidan diberikan pada saat onset penyakit dan tidak diperoleh efek
antioksidan. Sebaliknya, Chappell dkk. (1999) memberikan vitamin C 1000 mg dan
vitamin E 400 IU perhari pada populasi risiko tinggi preeklamsia, yaitu terdapatnya
gelombang Doppler abnormal atau terdapat riwayat preeklamsia pada kehamilan
sebelumnya, mulai dari awal kehamilan (18-22 minggu) sampai dengan persalinan.
Hasilnya adalah tidak hanya mengurangi risiko tinggi preeklamsia, tetapi antioksidan
juga memperbaiki penanda biokimiawi yang berhubungan dengan stres oksidatif. Hal ini
menunjukkan bahwa terapi antioksidan dapat mengurangi tingkat kerusakan oksidatif.
Perbedaan antara penelitian-penelitian tersebut mengindikasikan adanya
intervensi yang seawal mungkin, penting untuk mencegah preeklamsia. Pada preeklamsia
peningkatan tekanan oksidatif dari plasenta dan atau respon antioksidan yang rendah
pada sirkulasi maternal dapat menginisiasi rantai oksidasi, yang menyebabkan stres
oksidatif meningkat cepat. Pemberian vitamin yang lebih awal dapat membantu respon
adaptasi antioksidan maternal, dengan demikian menormalkan efek stres oksidatif. Tetapi,
saat sindrom klinis menunjukkan keterlibatan organ multipel, maka stres oksidatif tidak
dapat lagi dikoreksi oleh suplementasi antioksidan. Pengujian multisenter di Inggris,
Amerika Serikat, dan tiga negara berkembang saat ini menentukan bahwa profilaksis
preeklamsia dengan antioksidan dapat digunakan secara rutin.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.9. Astaxanthin
2.9.1. Struktur kimia dan sumber alami astaxanthin
Astaxanthin (3,3’-dihidroksi-β, β-karotin-4,4’-dione) adalah karotenoid alami
yang memiliki kekuatan antioksidan yang luar biasa, tidak mempunyai aktifitas vitamin
A dan termasuk kelompok xanthophyll (Odeberg dkk., 2003). Astaxanthin diperoleh dari
alga bersel satu hijau Haematococcus pluvi-alis (Kobayashi dkk, 1997).

Gambar 2.5. Struktur kimia astaxanthin (C40 H52 O4) (berat molekul: 596,84 g/mol)
(Odeberg dkk., 2003)

Astaxanthin adalah salah satu contoh evolusi. Secara normal, mikroalga yang
berenang bebas di air kolam adalah hijau, tetapi pada saat air kolam mengering dan alga
terpapar sinar matahari, alga mulai memproduksi astaxanthin berwarna merah terang
dalam jumlah yang besar. Astaxanthin adalah antioksidan kuat yang melindungi alga dari
radiasi sinar ultraviolet, membuat alga dapat bertahan hidup bahkan dalam kondisi paling
sulit sekalipun. Ini terjadi karena fungsi astaxanthin adalah melindungi nukleus sel alga
terhadap radikal bebas yang disebabkan radiasi sinar ultraviolet yang dapat merusak
DNA dan sumber energi peroksidase.
Astaxanthin memberikan warna merah muda dan merah pada daging salmon
segar, udang, dan lobster. Astaxanthin adalah salah satu dari antioksidan yang paling kuat
yang pernah ditemukan. Nishida dkk. (2007) menemukan bahwa astaxanthin memiliki
kekuatan :
§ 550 kali lebih kuat dibanding vitamin E dan 40 kali lebih kuat dibanding beta
karotene untuk pengikatan Singlet Oksigen
§ 1000 kali lebih kuat dibanding vitamin E untuk peroksidase lipid.
§ 800 kali lebih kuat dibanding koenzim Q10
§ 560 kali lebih kuat dibanding EGCG (green tea)
§ 75 kali lebih kuat dibanding alpha lipoid acid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

§ 40 kali lebih kuat dibanding beta karoten


§ 17 kali lebih kuat dibanding biji anggur.

6 5.4

Aktifitas Penghambatan
5

Singlet Oxygen
4
3
2
1
1 0.3 0.2 0.1
0
n s 0 C
n thi c hin Q1 in
xa te e a m
A st a a ca nzy
m Vit
e e
nt Co
r ee
G

Gambar 2.6. Rata-rata kemampuan tiap antioksidan menghambat singlet oksigen


(Nishida dkk., 2007)

2.9.2. Cara kerja antioksidan astaxanthin


Pada mitokondria dengan respon antioksidan yang tidak adekuat, TNF (tumor
necrosis factor) merusak aliran elektron sehingga melepaskan radikal bebas oksigen dan
lipid peroksida. Salah satu radikal bebas oksigen yaitu spesies oksigen reaktif (ROS)
mempunyai tiga tipe mayor antara lain superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2),
dan ion hidroksil (OH•-).
Radikal superoksida dibentuk saat elektron keluar dari rantai transport elektron.
Superoksida dismutase menghasilkan hidrogen peroksida. Beberapa enzim oksidase juga
dapat langsung membentuk radikal hidrogen peroksida. Ion hidroksil sangat reaktif dapat
mengubah purin dan pirimidin, sehingga menyebabkan kerusakan DNA.
Pada tingkat sel astaxanthin terkumpul dalam membran sel dan membran
mitokondria. Astaxanthin mempunyai struktur yang unik dengan kemampuan
molekulnya untuk menjangkau dua lapisan membran, sehingga dapat berpengaruh kuat
baik di luar maupun di dalam sel atau mitokondria (gambar 2.7.)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.7. Astaxanthin menjangkau dua lapisan membran sel (Odeberg dkk., 2003)

Gambar 2.8. Cara kerja astaxanthin pada mitokondria (Odeberg dkk., 2003)

Astaxanthin bekerja sebagai antioksidan dengan cara: mencari radikal bebas


(ROS) dan menghambat pembentukannya dengan mendetoksifikasi peroksidasi lipid
(H2 O2) mitokondria melalui pengikatan singlet oksigen yaitu superoksida (O2•-).
Selanjutnya akan terjadi penurunan xanthin oksidase (XO) dan NADP(H) oksidase dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peningkatan generasi O2-, sehingga stres oksidatif pada periode plasentasi preeklamsia
akan berkurang dan terjadi penurunan proses apoptosis dan nekrosis (Odeberg dkk.,
2003).

2.9.3. Efek antiinflamasi dan antioksidan astaxanthin


Astaxanthin merupakan antioksidan larut dalam lemak alami yang tersimpan
dalam membran sel dan menunjukkan efek antiinflamasi baik pada penelitian in vitro
maupun in vivo, seperti efek penghambatan NF-K B dan cyclooxygenase-2 (COX-2 )(Choi
dkk., 2008) dan menyeimbangkan respon Th1/Th2 (Bennedsen dkk., 1999). Efek
antioksidan yang utama dari astaxanthin adalah menetralkan reaksi oksigen bermuatan
tunggal dan menekan peroksidase lipid jauh lebih efektif dibandingkan dengan
antioksidan lainnya yang sehingga dapat mengontrol keberadaan ROS (Lee dkk., 2003).

2.9.4. Pengaruh astaxanthin terhadap pembuluh darah


Suplementasi astaxanthin memperlihatkan kemampuan mengurangi oksidasi LDL.
Pada percobaan, peroksidasi LDL diturunkan dengan pemberian dosis suplemen
astaxanthin selama dua minggu. Efek perlindungan ini didapatkan pada dosis astaxanthin
1,8 mg/hari (Iwamoto dkk., 2000). Penelitian tak tersamar-ganda lebih lanjut juga
menunjukkan hasil yang sama, astaxanthin secara signifikan mengurangi oksidasi asam
lemak dalam plasma, dalam delapan minggu pemberian (Karppi dkk., 2007). Kedua
penelitian ini dengan jelas memperlihatkan astaxanthin dapat menurunkan oksidasi lemak
pada plasma manusia.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa astaxanthin mempunyai efek anti
inflamasi pada dinding arteri sehingga mencegah pecahnya plak aterosklerosis yang dapat
menyebabkan trombosis. Suplementasi astaxanthin pada kelinci yang mengalami
aterosklerosis menghasilkan penurunan reaksi inflamasi oleh invasi makrofag pada
dinding arteri. Suplementasi ini menstabilkan plak dan menurunkan pelepasan enzim
proteolitik sehingga menghasilkan penurunan kejadian pecahnya plak dibandingkan
kelompok kontrol (Li dkk., 2004).
Pada penelitian Hussein dkk. (2006b) terhadap model tikus hipertensi yang
disuplementasi dengan astaxanthin, secara signifikan menunjukkan penurunan tekanan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

darah dibandingkan kelompok kontrol. Pada kelompok yang mendapat perlakuan ini
didapatkan adanya dinding arteri yang lebih elastis dan lumen pembuluh darah yang lebih
besar sehingga menurunkan resistensi perifer. Terdapat pula, peningkatan relaksasi
pembuluh darah yang bergantung pada nitrit oksida dan sensitifitas mekanisme
konstriksinya. Penemuan-penemuan ini mendukung efek positif terhadap tekanan darah.
Sebagai tambahan, tikus yang diberi astaxanthin secara signifikan menunjukkan efek
neuroprotektif pada dosis yang relatif tinggi dengan mencegah kerusakan tempat memori
yang disebabkan oleh iskemia.

Gambar 2.9. Pemberian astaxanthin (5 mg/kgBB/hari) pada binatang percobaan dengan


hipertensi spontan, mengurangi rata-rata tekanan darah. p<0,001 (Hussein dkk, 2005b)

Mekanisme antihipertensi dapat dijelaskan dari perubahan reaktifitas vaskuler dan


hemoreologi. Microchannel Array Flow Analysis (MC-FAN) mengukur suatu
peningkatan aliran darah yang signifikan sebesar 11% pada kelompok yang diberi
astaxanthin. Meskipun fluiditas plasma kebanyakan dipengaruhi oleh fibrinogen, tetapi
tingkat fibrinogen tidak berubah dan oleh karena itu perbaikan deformasi dan penurunan
agregasi darah merupakan mekanisme yang memungkinkan (Hussein dkk, 2005). Hal ini
didukung Miyawaki dkk (2005), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Investigasi sistematik pada respon relaksan dan konstrikstor menunjukkan bahwa
astaxanthin dapat memperbaiki relaksasi pada mekanisme konstriksi dan sensitifitas yang
bergantung pada NO. Astaxanthin juga mengurangi sensitifitas terhadap angiotensin II
yang terlibat dalam vasokonstriksi dan mengikat spesies oksigen reaktif (ROS) yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

biasanya akan menghalangi dilatasi yang bergantung pada nitrit oksida (NO) (Hussein
dkk., 2005b, 2006a, 2006b)

Gambar 2.10. Pemberian astaxanthin (6 mg/hari) selama 10 hari memperbaiki


aliran darah pada manusia dengan alat MC-FAN. p<0,01 vs awal; p<0,05 vs
kontrol (Miyawaki dkk., 2005).

2.9.5. Pengaruh astaxanthin terhadap diabetes mellitus sebagai faktor risiko


preeklamsia
Penelitian terkontrol terhadap pemberian diet astaxanthin natural pada tikus
model diabetes tipe II menghasilkan antara lain 1) penurunan kadar glukosa puasa; 2)
pemeliharaan kadar insulin; dan 3) kontrol yang lebih baik terhadap toleransi glukosa
(Naito dkk., 2004). Peneliti menyimpulkan, bahwa astaxanthin natural membantu
pemeliharaan fungsi pankreas dan sensitifitas terhadap insulin.
Naito dkk. (2004) juga menunjukkan efek perlindungan tambahan dari
astaxanthin terhadap progresifitas kerusakan ginjal, yang secara normal terjadi pada usia
16 minggu, yang terdeteksi dengan analisis urin dan area mesangial pada glomerulus
ginjal. Tikus yang mendapat perlakuan mengalami penurunan kehilangan albumin
sebesar 67%, penurunan kerusakan DNA sebesar 50%, dan secara signifikan
memperlihatkan pemeliharaan area mesangial ginjal.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penelitian terakhir juga mendukung mekanisme proteksi astaxanthin terhadap


nefropati termasuk pelindungan terhadap mitokondria melawan stres oksidatif glukosa
kadar tinggi dan mencegah respon pro inflamasi yang disebabkan oleh aktifasi NF-KB
(Naito dkk., 2006; Manabe dkk., 2008). Penelitian-penelitian awal ini menyimpulkan,
bahwa astaxanthin natural dapat membantu mengatur kondisi pra-diabetik, mengontrol
diabetes mellitus tipe II, dan kerusakan ginjal yang progresif lambat.

2.9.6. Pengaruh astaxanthin terhadap obesitas sebagai faktor risiko


preeklamsia
Keuntungan astaxanthin terhadap pengaturan berat badan antara lain
meningkatkan metabolisme lemak dan mendukung daya tahan otot. Kombinasi dua efek
ini dapat berarti pelepasan lemak tubuh ekstra, pencegahan pengaruh balik, dan
pengalaman olah raga yang lebih menyenangkan.
Ikeuchi dkk.(2007) memperlihatkan, bahwa asupan makanan tinggi lemak
(asupan lemak per hari 40%) yang meningkatkan berat badan, dapat ditekan dengan dosis
tunggal astaxanthin natural. Penelitian di Jepang menjelaskan adanya beberapa
penurunan signifikan seperti berat badan total ( turun 15%), berat hepar, jaringan adiposa
(turun 34%), trigliserid plasma, dan kolesterol total pada penelitian hewan terkontrol.
Mekanisme dasar peningkatan metabolisme lemak ini adalah astaxanthin
melindungi membran mitokondria terhadap oksidasi. Stres oksidatif yang digenerasi oleh
astaxanthin selama generasi energi dapat memperbaiki metabolisme lemak. Salah satu
enzimnya adalah CPT 1. Enzim ini memasukkan lemak ke dalam mitokondria yang
digunakan menjadi bahan bakar untuk menggenerasi energi (Aoi dkk., 2008). Enzim
mitokondrial lain seperti 3-HAD terlibat dalam metabolisme asam lemak.
Data epidemiologi dan klinis menunjukkan bahwa karotenoid seperti astaxanthin
dapat melindungi dari penyakit kardiovaskuler termasuk hipertensi. Kondisi ini
berhubungan dengan gangguan fungsi pembuluh darah, perubahan kontraktilitas dan
ritme; yang dimediasi oleh zat relaksan (nitrat oksida/NO; prostasiklin) dan faktor
konstriktor (tromboksan; endotelin) dalam darah. Lebih lanjut, sifat alir darah
mempunyai peranan penting pada komplikasi patologis yang terlihat pada aterosklerosis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan penyakit jantung koroner. Astaxanthin dapat digunakan sebagai terapi antioksidan
untuk mengurangi hipertensi.

2.9.7. Bioaviabilitas astaxanthin


Karotenoid adalah molekul larut-lemak, yang diserap melalui diit lemak (Erdman
dan Deming, 1999). Kebanyakan xanthophyll, termasuk astaxanthin, dalam bentuk
teresterifikasi (monoester dan diester) dan terhidrolisa sebelum penyerapan (Zaripheh,
2002). Proses absorpsi pada traktus intestinal ke dalam sel-sel usus adalah terutama
melalui proses pasif tidak termasuk transpor epitelial khusus (Olson, 1999). Bentuk
disolusi dari matriks dan penyatuan ke dalam misel-misel adalah melalui dua langkah
penting absorpsi melalui membran sel. Di dalam sel usus, xanthophyll disatukan dalam
kilomikron, dan dilepaskan ke dalam sistem limfatika sebelum masuk dalam sirkulasi
sistemik (Zaripheh, 2002). Xanthophyll tidak disatukan dalam kilomikron melalui
pengembalian lewat lumen dengan sel-sel mukosa usus. Tidak terdapat bukti yang
signifikan tentang absorpsi karotenoid di sistem portal, baik pada manusia ataupun
mamalia lain (Parker, 1996; Zaripheh, 2002).
Penggunaan yang bersamaan dengan karotenoid lain (β-carotene, lutein,
cantaxanthin, dan lycopene) dapat mengurangi penyerapan astaxanthin, karena kompetisi
absorpsi pada traktus gastrointestinal.

2.9.8. Waktu paruh astaxanthin


Waktu paruh (t1/2) astaxanthin adalah 15,9 ± 5,3 jam. Kurva konsentrasi
dibandingkan waktu (mean values, n=8) pada formulasi yang berbeda-beda, setelah
pemberian astaxanthin 40 mg. Empat perbedaan formulasi yang digunakan: formulasi
referensi (40 mg/10 kapsul) (o), formulasi A (40,3±3,0 mg / 9 kapsul) (˜), formulasi B
(40,9±1,4 mg / 12 kapsul) (à), dan formulasi C (41,8±2,0 mg / 12 kapsul) (D) ditunjukkan
pada Gambar 2.9 (Odeberg dkk., 2003).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.11. Konsentrasi astaxanthin dalam plasma dibandingkan dengan waktu


(Odeberg dkk., 2003)

2.9.9. Sediaan dan dosis


Nama generik: astaxanthin difosfat. Sediaan astaxanthin yaitu: kapsul 2 mg dan 4
mg. Dosisnya 1-3 kapsul per hari.

2.9.10. Keamanan dan efek samping astaxanthin


Penelitian selama empat minggu pada dosis asupan astaxanthin 30 mg/hari tidak
menunjukkan kekhawatiran akan keamanan yang signifikan. Suatu penelitian dengan
dosis 6 mg/hari selama 12 minggu tidak menimbulkan efek yang merugikan. Sebagai
tambahan, berbagai uji klinis selama empat minggu yang mengukur efek kesehatan
termasuk analisis toksikologi sekunder di mana tidak terdeteksi efek yang merugikan
dalam pemeriksaan darah dan biokimia pada dosis asupan astaxanthin murni 4 mg sampai
dengan 12 mg/hari. Data ini menunjukkan, bahwa pada astaxanthin tidak ada
kekhawatiran akan keamanan berdasarkan analisis hematologi secara keseluruhan.
Tidak ada efek samping serius dari astaxanthin, kecuali terdapat laporan hasil
penelitian berupa tiga kasus (0,1%) nyeri kepala pada pemakaian dosis 40 mg per hari
(Odeberg dkk., 2003). Pada penelitian terhadap manusia oleh Mera Pharmaceuticals
tahun 1999, dinyatakan tidak terdapat efek samping negatif yang bermakna selama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penggunaan astaxanthin, sehingga penggunaannya dinilai aman. Efek samping yang


mungkin dialami seperti penurunan kadar kalsium darah, penurunan tekanan darah,
peningkatan pertumbuhan rambut, peningkatan pigmentasi kulit, dan perubahan kadar
hormon. Pada beberapa orang juga dapat mengalami perubahan warna feses menjadi
lebih jingga (orange).
Seorang ahli yang independen, Harry G. Preuss M.D. dari Georgetown University
Medicak Center telah meninjau kembali literatur yang ada sampai tahun 2001 tentang
keamanan astaxanthin. Kesimpulannya, bahwa astaxanthin aman saat digunakan pada
dosis yang sesuai dan tidak perlu khawatir akan keamanannya dibandingkan penggunaan
karotenoid lain.

2.10. Asam Folat


Asam folat atau disebut juga vitamin B9 atau folacin mempunyai nama kimia
pteroyl-L-glutamic acid. Asam folat sendiri bukan bentuk biologi aktif, tetapi merupakan
konversi dari asam dihidrofolik di hati. Asam folat penting untuk fungsi tubuh mulai dari
biosintesis nuklotida sampai dengan remetilasi homosistein. Tubuh manusia memerlukan
asam folat untuk sintesis DNA, perbaikan DNA, dan metilasi DNA. Hal ini khususnya
penting untuk periode pembelahan sel cepat dan pertumbuhan. Manusia membutuhkan
asam folat untuk menghasilkan sel darah merah sehat dan mencegah anemia.
Asam folat merupakan nutrisi penting untuk wanita hamil. Kadar asam folat
selama kehamilan turun karena peningkatan sintesis sel darah merah dan kebutuhan fetus
pada trimester kedua. Pada empat bulan pertama kehamilan dibutuhkan asam folat untuk
perkembangan otak, tulang, dan sumsum tulang belakang. Kelainan kongenital mayor
seperti neural tube defect jarang ditemukan pada wanita yang mengkonsumsi asam folat
0,4 mg per hari. Neural tube defect (NTDs) merupakan malformasi tulang belakang
(spina bifida), tulang, dan otak (anencefali). Risiko neural tube defect secara signifikan
berkurang ketika suplementasi asam folat dikonsumsi selama bulan pertama setelah
konsepsi. Suplementasi asam folat juga menurunkan risiko kelainan jantung kongenital,
bibir sumbing, anomali ekstremitas, dan anomali traktus urinarius. Disarankan untuk
mengkonsumsi suplementasi asam folat sintetik 400 mikrogram per hari. Kebutuhan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

asam folat untuk wanita hamil adalah 600-800 mikrogram, dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita tidak hamil.
Cara kerja asam folat mencegah kelainan kongenital masih belum diketahui.
Hipotesanya adalah gen insuline-like growth factor 2 (IGF2) termetilasi dan perubahan
pada IGF2 diperoleh pada pertumbuhan intrauterin.
Defisiensi folat selama kehamilan dapat meningkatkan risiko persalinan preterm,
bayi berat badan lahir rendah, dan gangguan pertumbuhan janin. Defisiensi folat pada ibu
meningkatkan kadar homosistein darah, yang dapat menimbulkan abortus spontan dan
komplikasi kehamilan seperti abrupsio plasenta dan preeklamsia.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Plasentasi Abnormal
pada Preeklamsia
- Arteria spiralis
-iskhemik
-trombosis
- Th1↑ NK cell ↑ Lim T sitotoksik ↑

I sk he mi a

Penurunan perfusi
plasenta

Sirkulasi sFlt-1 ↑
AT1-AA ↑
Endoglin ↑
Oksidan↑
Sirkulasi PlGF ↓
VEGF ↓

Endoteliosis / Disfungsi vaskuler sistemik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ASTAXANTHIN 2 mg : MITOKONDRIA
- mencari radikal bebas: ROS KEHAMILAN
- menghambat pembentukan ROS RISIKO TINGGI
- mengikat singlet oksigen (O2•-) PREEKLAMSIA
- mendetoksifikasi sel H2 O2 (peroksidasi) Respon antioksidan
mitokondria tidak
adekuat setelah
inisiasi aliran darah
maternal pada ruang
intervillus
(kehamilan 8
minggu)

sFlt-1 ↓

- xantin oksidase ↓ - stres oksidatif ↓


- NAD(P)H oksidase ↓ - apoptosis & nekrosis ↓

generasi O2- ↑

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3.2. Penjelasan Kerangka Konsep


Pada kehamilan dengan risiko preeklamsia, stres oksidatif mulai terjadi pada
mitokondria sejak inisiasi aliran darah maternal pada ruang intervillus yaitu pada
kehamilan delapan minggu. Hal ini akibat invasi trofoblas yang tidak sempurna, yang
menyebabkan kegagalan perubahan arteri spiralis yang berdinding tebal dan berliku-liku
menjadi pembuluh sinusoid lemah, iskhemik, trombosis, dengan pertahanan yang rendah.
Invasi yang tidak sempurna menghasilkan perfusi plasenta yang terganggu. Hipoksia
plasenta menimbulkan peningkatan ekspresi xanthin oksidase (XO) dan NADP(H)
oksidase yang mengakibatkan peningkatan turunan anion superoksida. Peningkatan
turunan anion superoksida mengganggu keseimbangan stres oksidatif, yang
menyebabkan peningkatan lipid peroksidase dan sFlt-1.
Pada mitokondria dengan respon antioksidan yang tidak adekuat, TNF (tumor
necrosis factor) merusak aliran elektron sehingga melepaskan radikal bebas oksigen dan
lipid peroksida. Salah satu radikal bebas oksigen yaitu spesies oksigen reaktif (ROS)
mempunyai tiga tipe mayor antara lain superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2),
dan ion hidroksil (OH•-). Radikal superoksida dibentuk saat elektron keluar dari rantai
transpor elektron. Superoksida dismutase menghasilkan hidrogen peroksida. Beberapa
enzim oksidase juga dapat langsung membentuk radikal hidrogen peroksida. Ion hidroksil
sangat reaktif dapat mengubah purin dan pirimidin, sehingga menyebabkan kerusakan
DNA.
Astaxanthin bekerja sebagai antioksidan dengan cara: mencari radikal bebas
(ROS) dan menghambat pembentukannya dengan mendetoksifikasi peroksidasi lipid
(H2 O2) mitokondria melalui pengikatan superoksida (O2•-). Selanjutnya akan terjadi
penurunan xanthin oksidase (XO) dan NADP(H) oksidase serta peningkatan generasi O2-,
sehingga stres oksidatif pada periode plasentasi preeklamsia akan berkurang dan terjadi
penurunan proses apoptosis dan nekrosis.
Kembalinya keseimbangan oksidatif pada akhir proses plasentasi kehamilan risiko
preeklamsia (usia kehamilan 20 minggu) akan ditunjukkan dengan penurunan faktor
antiangiogenik, yaitu penurunan kadar sFlt-1.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3.3. Hipotesis
Pemberian astaxanthin 2 mg sebagai antioksidan mulai awal plasentasi kehamilan
dengan risiko preeklamsia dapat menurunkan kadar sFlt-1 pada kehamilan 20 minggu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan the randomized control group pretest-postest design
untuk membuktikan pengaruh astaxanthin 2 mg sebagai antioksidan terhadap faktor
antiangiogenik (sFlt-1) pada ibu hamil dengan risiko preeklamsia.

4.2 Rancangan penelitian

Kehamilan 8 mgg Kehamilan 20 mgg

Ukur kadar
Kontrol sFlt-1
Sampel Randomisasi

Studi Ukur kadar


Ukur kadar sFlt-1
sFlt-1

Keterangan:
· Kelompok studi diberi perlakuan Astaxanthin 2 mg/hari mulai usia
kehamilan 8 s/d 20 minggu
· Baik kelompok kontrol maupun kelompok studi mendapatkan
tablet asam folat 1 mg/hari

4.3. Subjek Penelitian


4.3.1. Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua ibu hamil dengan risiko preeklamsia
yang melakukan perawatan ante natal di poliklinik kebidanan RSUD dr.
Moewardi Surakarta.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.3.2. Besar sampel


Penentuan besar sampel didasarkan pada rumus (Pudjirahardjo.W, 1993):

n = ( Zα + Zβ)²
n = besar masing-masing kelompok sampel.
Zα = nilai studi normal yang besarnya tergantung α
Bila α = 0,05 Zα = 1,96
Bila α = 0,01 Zα = 2,57
Zβ = nilai studi normal yang besarnya tergantung β, Β = power test
Bila β = 0,05 Zβ = 1,89
Bila β = 0,01 Zβ = 2,42.
didapatkan jumlah n untuk masing-masing kelompok adalah 15.

4.3.3. Teknik pengambilan sampel


Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik pengambilan secara
consecutive yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan
dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi.

4.3.4. Kriteria Inklusi


1. Usia kehamilan 8 minggu.
2. Kehamilan dengan risiko preeklamsia: usia ibu 35 tahun atau lebih,
primigravida tua atau paritas ≥ 2 dengan riwayat preeklamsia pada
kehamilan sebelumnya, dan obesitas (IMT > 25 kg/m2).

4.3.5 Kriteria Eksklusi


1. Riwayat penyakit ginjal dan hepar.
2. Riwayat hipertensi kronis dan diabetes mellitus
3. Riwayat alergi atau intoleransi terhadap sediaan astaxanthin
4. Tidak bersedia ikut dalam penelitian.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian


4.4.1. Penelitian dilakukan di Poliklinik Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi
RSUD. dr. Moewardi Surakarta / Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
4.4.2. Pemeriksaan sampel serum ibu hamil dilakukan di Laboratorium Prodia
Pusat Jakarta.
4.4.3. Penelitian dilakukan dari bulan November 2010 sampai dengan April 2011.

4.5. Variabel Penelitian


4.5.1. Variabel bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian astaxanthin 2 mg sebagai
antioksidan dengan skala pengukuran nominal.

4.5.2. Variabel tergantung


Variabel tergantung penelitian ini adalah kadar sFlt1 dengan skala
pengukuran rasio.

4.6. Definisi Operasional Variabel


4.6.1. Variabel bebas : astaxanthin 2 mg
Astaxanthin 2 mg adalah antioksidan dalam bentuk kapsul lunak 2 mg
yang diberikan dengan cara satu kapsul per hari per oral mulai usia kehamilan 8
minggu sampai dengan usia kehamilan 20 minggu.
4.6.2. Variabel tergantung: kadar sFlt1
Soluble fms like tyrosine kinase -1 (sFlt-1) adalah protein anti-angiogenik
sirkulasi yang beraksi dengan mengikat reseptor yang didominasi PlGF dan
VEGF, serta berinteraksi dengan membran sel endotel dan menyebabkan
disfungsi endotelial. Konsentrasinya diukur menggunakan analisator otomatis
pada tiap sampel serum darah yang dianalisa ke dalam satuan pg/ml.
4.6.3. Awal plasentasi adalah periode pembentukan plasenta mulai usia
kehamilan 8 minggu. Periode pengamatan adalah mulai plasentasi usia
kehamilan 8 minggu sampai dengan usia kehamilan 20 minggu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.6.4. Kehamilan risiko preeklamsia adalah kehamilan dengan usia ibu 35 tahun
atau lebih, primigravida tua atau paritas ≥ 2 dengan riwayat preeklamsia
pada kehamilan sebelumnya, dan obesitas (IMT > 25 kg/m2)
4.6.5. Primigravida adalah kehamilan yang pertama
4.6.6. Riwayat preeklamsia adalah riwayat kehamilan dengan hipertensi (tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg) disertai proteinuria
pada kehamilan di atas 20 minggu
4.6.7. Obesitas adalah keadaan dengan indeks massa tubuh (IMT) > 25 kg/m2
4.6.8. Kehamilan dengan penyakit ginjal adalah kehamilan disertai penyakit
ginjal dengan didapatkannya kenaikan kadar ureum > 50 mg/dl dan
kreatinin > 1,1 mg/dl
4.6.9. Kehamilan dengan penyakit hepar adalah ibu hamil yang menderita
penyakit hepar dengan didapatkannya kenaikan kadar SGOT > 31 U/l dan
SGPT > 31 U/l
4.6.10. Kehamilan dengan hipertensi kronik adalah kehamilan disertai hipertensi
(tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg) yang
didapat sebelum terjadinya kehamilan
4.6.11. Kehamilan dengan diabetes mellitus adalah kehamilan dengan kadar gula
darah sewaktu > 120 mg/dl
4.6.12. Alergi atau intoleransi terhadap astaxanthin adalah terdapatnya gejala
seperti nyeri kepala, penurunan tekanan darah, peningkatan pertumbuhan
rambut, peningkatan pigmentasi kulit, atau warna feses menjadi lebih
jingga (oranye) setelah minum astaxanthin 2 mg.

4.7. Langkah Penelitian


1. Calon peserta penelitian (pasien hamil 8 minggu dengan risiko preeklamsia)
diberi penjelasan tentang tujuan dan cara penelitian. Bila setuju, dimintakan
persetujuan tertulisnya, sedangkan bila tidak setuju tidak diikutsertakan dalam
penelitian.
2. Pasien yang memenuhi syarat penerimaan sampel masuk dalam penelitian,
kemudian diacak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Semua pasien dilakukan pemeriksaan tanda vital, indeks massa tubuh (IMT),
kehamilannya, kadar Hb, gula darah sewaktu, ureum, kreatinin, SGOT, dan SGPT.
4. Data-data mengenai pasien dicatat sesuai variabel yang diperlukan.
5. Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar sFlt-1 menggunakan sampel serum darah
oleh laboratorium klinik Prodia.
6. Untuk kelompok perlakuan diberikan astaxanthin 2 mg satu kapsul per hari secara
per oral selama 3 bulan (sampai dengan usia kehamilan 20 minggu) dan tablet
asam folat 1 mg per hari (satu kapsul per hari) secara per oral selama 3 bulan
(sampai dengan usia kehamilan 20 minggu).
7. Untuk kelompok kontrol diberikan tablet asam folat 1 mg (satu tablet per hari)
secara per oral selama 3 bulan (sampai dengan usia kehamilan 20 minggu).
8. Dilakukan evaluasi setiap dua minggu sekali saat pasien datang kembali untuk
memeriksakan kehamilannya. Dicatat tanda vital dan efek samping yang terjadi.
9. Jika muncul efek samping yang berat sampai mengganggu kondisi pasien maka
pemberian astaxanthin langsung dihentikan dan diberikan terapi untuk mengatasi
efek samping tersebut.
10. Saat usia kehamilan mencapai 20 minggu dilakukan pemeriksaan kadar sFlt-1
terhadap seluruh pasien menggunakan sampel serum darah oleh laboratorium
klinik Prodia.

4.8. Analisa Data


Analisa data dibantu dengan perangkat lunak komputer yaitu Statistica Package
for the Social Sciences ( SPSS) for Windows versi 17.0. yaitu:
1. Pengujian normalitas variabel penelitian menggunakan uji Shapiro-Wilk dan
pengujian homogenitasnya dengan uji T tidak berpasangan (uji Lavene).
2. Analisis beda rerata kadar sFlt-1 menggunakan uji Wilcoxon.
3. Pengujian ada tidaknya hubungan pemberian astaxanthin 2 mg terhadap penurunan
kadar sFlt-1 dilakukan dengan uji X2 dan uji korelasi Lambda untuk menghitung
besar koefisien korelasi (r).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

5.1. Karakteristik Subjek Penelitian


Subjek penelitian adalah 30 orang ibu hamil 8 minggu, usia ≥ 35 tahun,
primigravida tua atau paritas ≥ 2 dengan riwayat preeklamsia pada kehamilan
sebelumnya, dan obesitas (IMT > 25 kg/m2) yang terbagi dalam dua kelompok yaitu 15
orang diberi perlakuan astaxanthin 2 mg (disebut sebagai kelompok perlakuan) dan 15
orang tanpa perlakuan (disebut sebagai kelompok kontrol) yang semuanya memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
Tabel 5.1. Sebaran dan Keragaman Data Subjek Penelitian

Variabel N Min Maks Rerata SD


Umur responden (tahun) 30 35 40 36.93 1.617
Paritas responden 30 1 5 2.60 1.303
Indeks Massa Tubuh saat
30 25.23 26.22 25.7910 0.27020
kehamilan 8 minggu (kg/m2 )

Tekanan darah sistolik saat


30 100 130 118.00 7.611
kehamilan 8 minggu (mmHg)

Tekanan darah diastolik saat


30 60 80 76.33 5.561
kehamilan 8 minggu (mmHg)
Hb (gr/dl) 30 10.3 14.2 12.067 1.2330
GDS (mg/dl) 30 68 112 86.83 11.943
Ureum (mg/dl) 30 15 40 26.207 7.5910
Kreatinin (mg/dl) 30 0.2 1.0 0.620 0.2280
SGOT (U/l) 30 16.4 29.2 23.110 3.6715
SGPT (U/l) 30 16.3 29.7 24.113 3.4381

Dari data di atas didapatkan bahwa rerata variabel umur ibu hamil adalah 36.93 ±
1.617 tahun, rerata paritas adalah 2.60 ± 1.303, rerata indeks massa tubuh (IMT) adalah
25.791 ± 0.2702 kg/m2, rerata tekanan darah sistolik adalah 118 ± 7.611 mmHg, rerata
tekanan darah diastolik adalah 76.33 ± 5.561 mmHg, rerata kadar hemoglobin adalah
12.067 ± 7.7910 gr/dl, rerata gula darah sewaktu (GDS) adalah 86.83 ± 11.943 mg/dl,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

rerata kadar ureum 26.207 ± 7.5910 mg/dl, rerata kadar kreatinin adalah 0.620 ± 0.2280
mg/dl, rerata kadar SGOT adalah 23.110 ± 3.715 U/l, dan rerata kadar SGPT 24.113 ±
3.4381 U/l (lampiran 5).

5.2. Kesetaraan Kelompok


Analisis statistik menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk (lampiran 6) terhadap
variabel penelitian umur responden, indeks massa tubuh (IMT) saat kehamilan 8 minggu,
indeks massa tubuh (IMT) saat kehamilan 20 minggu, tekanan darah sistolik saat
kehamilan 8 minggu, tekanan darah sistolik saat kehamilan 20 minggu, tekanan darah
diastolik saat kehamilan 8 minggu, tekanan darah diastolik saat kehamilan 20 minggu,
kadar hemoglobin, gula darah sewaktu, ureum, kreatinin, SGOT, dan kadar SGPT pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak didapatkan perbedaan bermakna (p >
0.05). Dengan demikian untuk menilai kesetaraan kelompok antara kelompok kontrol dan
perlakuan digunakan uji T tidak berpasangan (Dahlan, 2009).
Distribusi sampel responden pada penelitian ini ditinjau dari umur, indeks massa
tubuh (IMT), tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, kadar hemoglobin, gula
darah sewaktu, ureum, kratinin, SGOT, dan kadar SGPT antara kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan adalah homogen (uji Lavene pada uji T tidak berpasangan
mendapatkan nilai p > 0.05). Uraian di atas tercantum dalam lampiran 7.

Tabel 5.2. Uji Beda Rerata Subjek Penelitian antara Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan

Variabel Kelompok N Rerata SD P* Makna

Umur responden (tahun) Kontrol 15 36.3 1.534


0.310 TB
Perlakuan 15 36.93 1.792
Kontrol 15 2.67 2.53
Paritas 0.816 TB
Perlakuan 15 1.345 1.302

IMT Kehamilan 8 minggu Kontrol 15 25.8073 0.28664


0.799 TB
(kg/m2 ) Perlakuan 15 25.7747 0.26172

IMT Kehamilan 20 Kontrol 15 26.7913 0.31530


0.789 TB
minggu (kg/m2) Perlakuan 15 26.7173 0.33858
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Variabel Kelompok N Rerata SD P* Makna


Tekanan Darah Sistolik Kontrol 15 116.00 7.368
Kehamilan 8 minggu 0.167 TB
Perlakuan 15 118.00 5.606
(mmHg)
Tekanan Darah Sistolik Kontrol 15 120.00 7.559
Kehamilan 20 minggu 0.796 TB
Perlakuan 15 116.67 7.237
(mmHg)
Tekanan Darah Diastolik Kontrol 15 75.33 6.399
Kehamilan 8 minggu 0.068 TB
Perlakuan 15 77.33 4.577
(mmHg)
Tekanan Darah Diastolik Kontrol 15 77.33 4.577
Kehamilan 20 minggu 0.068 TB
(mmHg) Perlakuan 15 75.33 6.399

Kontrol 15 12.073 1.2453


Hb (gr/dl) 0.957 TB
Perlakuan 15 12.060 1.2642
Kontrol 15 86.47 12.597
GDS (mg/dl) 0.715 TB
Perlakuan 15 82.00 11.681
Kontrol 15 24.773 6.8201
Ureum (mg/dl) 0.229 TB
Perlakuan 15 27.640 8.2733
Kontrol 15 0.627 0.2251
Kreatinin (mg/dl) 0.769 TB
Perlakuan 15 0.613 0.2386
Kontrol 15 22.373 3.2374
SGOT (U/l) 0.310 TB
Perlakuan 15 23.847 4.0346
Kontrol 15 23.100 3.3888
SGPT (U/l) 0.864 TB
Perlakuan 15 25.127 3.2864
* uji T tidak berpasangan
TB = tidak bermakna, bila p > 0.05

5.3. Hasil Pemeriksaan Kadar sFlt-1 Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan
Hasil pemeriksaan kadar sFlt-1 ditunjukkan pada lampiran 8, yaitu terdapat 12
orang responden dari kelompok kontrol dengan kadar sFlt-1 saat kehamilan 20 minggu
lebih tinggi daripada saat kehamilan 8 minggu dan tiga orang dengan kadar sFlt-1 saat
kehamilan 20 minggu lebih rendah daripada saat kehamillan 8 minggu. Pada kelompok
perlakuan terdapat 13 orang responden dengan kadar sFlt-1 saat kehamilan 20 minggu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lebih rendah daripada saat kehamilan 8 minggu dan dua orang dengan kadar sFlt-1 saat
kehamilan 20 minggu lebih tinggi daripada saat kehamillan 8 minggu.
Tabulasi hasil perhitungan distribusi rerata kadar sFlt-1 pada kelompok kehamilan
risiko preeklamsia dengan perlakuan astaxanthin 2 mg menunjukkan penurunan kadar
sFlt-1 dari kehamilan 8 minggu ke kehamilan 20 minggu (81.3%). Sedangkan pada
kelompok kontrol menunjukkan peningkatan kadar sFlt-1 dari kehamilan 8 minggu ke
kehamilan 20 minggu (85.7%).
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk kadar sFlt-1 menunjukkan baik kelompok
kontrol maupun kelompok perlakuan tidak dalam distribusi normal karena nilai
signifikansi masing-masing kelompok adalah p < 0.05 (0.000 dan 0.001), sehingga untuk
menentukan nilai kemaknaan perbedaan kadar sFlt-1 pada kedua kelompok tersebut
digunakan uji nonparametrik Wilcoxon (Dahlan, 2009). Uraian uji normalitas tersebut
terdapat pada lampiran 10.

Tabel 5.3. Distribusi Rerata Kadar sFlt-1 Kelompok Kontrol dan Perlakuan pada
Kehamilan 8 minggu dan 20 minggu

Besar
Kehamilan 20
Sampel Kehamilan 8 minggu P#
minggu
(N)
Distribusi Kelompok
Rerata Kadar 15 1839.287 ± 614.4838 2114.260 ± 341.2191 0.02
Kontrol
sFlt-1 Kelompok
(pg/ml) 15 1862.440 ± 720.1519 1713.480 ± 697.3155 0.02
Perlakuan
#
uji Wilcoxon

Analisis variabel kadar sFlt-1 pada kelompok perlakuan menggunakan uji


Wilcoxon menunjukkan nilai kemaknaan 0.02 (p < 0.05), dengan demikian disimpulkan
terdapat perbedaan kadar sFlt-1 yang bermakna antara sebelum dan sesudah perlakuan
dengan astaxanthin 2 mg. Perhitungan analisis tersebut dapat dilihat pada lampiran 11.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Diagram Perbandingan Kadar sFlt-1


2500

2000
Kadar sFlt-1

1500
Kehamilan 8 minggu
1000
Kehamilan 20 minggu
500

0
Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan

Gambar 5.1. Diagram Perbandingan Kadar sFlt-1 antara Kelompok Kontrol dan
Kelompok Perlakuan

5.4. Efek Samping Astaxanthin 2 mg


Tidak ditemukan efek samping apapun pada individu kelompok perlakuan
Astaxanthin 2 mg.

5.5. Hubungan antara Pemberian Astaxanthin 2 mg dan Penurunan Kadar sFlt-1


pada Kehamilan dengan Risiko Preeklamsia
Penentuan ada tidaknya hubungan antara pemberian astaxanthin 2 mg dan
penurunan kadar sFlt-1 menggunakan tabel 2 x 2. Pada lampiran 12 dapat dilihat bahwa
nilai expected masing-masing sel tidak ada yang kurang dari lima, sehingga tabel 2 x 2 ini
layak untuk diuji dengan Chi-Square (uji X2).
Tabel 5.4 menunjukkan hasil uji X2 hubungan antara pemberian astaxanthin 2 mg
dan penurunan kadar sFlt-1 yaitu p = 0.000, berarti terdapat hubungan yang bermakna
antara pemberian astaxanthin 2 mg dan penurunan kadar sFlt-1 pada kehamilan dengan
risiko preeklamsia. Analisa statistik uji X2 terdapat pada lampiran 12.
Hasil perhitungan Odds Ratio (OR) sebesar 26 dengan interval kepercayaan 95%
(IK): 3.686 – 183.418, artinya responden yang mendapat astaxanthin 2 mg mempunyai
kemungkinan 26 kali mengalami penurunan kadar sFlt-1 dibandingkan responden yang
tidak mendapatkan astaxanthin 2 mg (atau probabilitasnya 96,3%).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 5.4. Tabel X2 Pemberian Astaxanthin 2 mg dan Kadar sFlt-1


Kadar sFlt-1
OR IK 95% P@
menurun meningkat
13 2
diberikan (81.3%) (14.3%)
Astaxanthin
3
26 3.686 – 183.418 0.000
2 mg 12
tidak diberikan (18.8%) (85.7%)
@ 2
uji X

Diagram Perbandingan Kadar sFlt-1


2500

2000
Kadar sFlt-1

1500
Kelompok
1000 Kontrol
500 Kelompok
Perlakuan
0
Kehamilan 8 minggu Kehamilan 20 minggu

Gambar 5.2. Diagram Perbandingan Kadar sFlt-1 antara Kehamilan 8 minggu dan
Kehamilan 20 minggu

Kekuatan korelasi (koefisien korelasi) antara pemberian astaxanthin 2 mg dan


penurunan kadar sFlt-1 adalah 0.643 yang berarti, bahwa terdapat korelasi yang kuat
antara penurunan kadar sFlt-1 dan pemberian astaxanthin 2 mg (antara 0.60-0.799).
Analisis koefisien korelasi dengan uji Korelasi Lambda dapat dilihat pada lampiran 13.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian ini adalah penelitian the randomized control group pretest-postest


design untuk membuktikan pengaruh astaxanthin 2 mg sebagai antioksidan terhadap
faktor antiangiogenik (sFlt-1) pada ibu hamil dengan risiko preeklamsia. Upaya untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu yang disebabkan preeklamsia antara lain
adalah pemberian antioksidan saat awal pembentukan plasenta untuk membantu respon
adaptasi antioksidan maternal dalam menurunkan efek stres oksidatif.
Penelitian dilakukan dari bulan November 2010 sampai dengan bulan April 2011.
Subjek penelitian ini adalah 30 orang wanita usia 35 tahun ke atas, primigravida tua atau
paritas ≥ 2 dengan riwayat preeklamsia sebelumnya, yang hamil 8 minggu, dan
mengalami obesitas (IMT ≥ 25 kg/m2). Masing-masing subjek penelitian dilakukan
pemeriksaan tekanan darah dan diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan kadar Hb,
GDS, ureum, kreatinin, SGOT, dan SGPT.
Subjek penelitian yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya
diperiksa serum darahnya untuk menentukan kadar sFlt-1 pada kehamilan 8 minggu.
Peneliti memasukkan riwayat penyakit ginjal, hepar, hipertensi kronis dan diabetes
mellitus sebagai kriteria eksklusi karena pada penderita penyakit tersebut telah terdapat
perubahan endoteliosis sistemik yang akan merancukan penelitian ini. Kadar sFlt-1
meningkat pada kasus-kasus disfungsi endotel sistemik (Davidson dkk., 2004).
Randomisasi secara sederhana dikerjakan terhadap subjek penelitian dan
membaginya dalam dua kelompok yaitu 15 orang mendapatkan perlakuan astaxanthin 2
mg/hari (disebut kelompok perlakuan) dan 15 orang tidak mendapatkan perlakuan
(disebut kelompok kontrol). Kedua kelompok mendapatkan suplemen tablet asam folat 1
mg/hari. Asam folat tidak bersifat antioksidan, tetapi penting bagi biosintesis DNA dan
RNA, serta mencegah hiperhomosisteinemia karena vaskulopati plasenta misalnya pada
preeklamsia (Fairfield dan Fletcher, 2006). Tablet Fe tidak diberikan karena
ketidakstabilan membran eritrosit pada darah penderita preeklamsia menyebabkan
pelepasan besi (Fe) (Spickett dkk, 1998). Fe yang tidak terikat mampu menggenerasi
spesies oksigen reaktif / ROS (misal O2•, H2O2, dan OH•) (Rayman dkk, 2002).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tidak didapatkan perbedaan umur yang bermakna antara kedua kelompok (p =


0.310). Umur ibu 35 tahun ke atas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
preeklamsia. Variabel paritas juga tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (p =
0.816). Sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu bahwa primigravida juga termasuk
faktor risiko preeklamsia, sementara paritas lebih dari satu dapat meningkatkan kejadian
preeklamsia bila terdapat riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya. Sedangkan
indeks massa tubuh (IMT) yang dimasukkan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah
lebih dari 25 kg/m2 karena obesitas juga termasuk faktor risiko preeklamsia. Karakteristik
variabel IMT ini juga tidak berbeda bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan (p = 0.799 untuk IMT pada kehamilan 8 minggu dan p = 0.789 untuk IMT
pada kehamilan 20 minggu).
Semua variabel lain seperti tekanan darah sitolik-diastolik, kadar Hb, GDS, ureum,
kreatinin, SGOT, dan SGPT antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, secara
statistik tidak berbeda bermakna (p > 0.05), sehingga dinyatakan homogen. Hal tersebut
dilakukan untuk menghilangkan bias yang mungkin terjadi pada penelitian ini.
Kesimpulannya kedua kelompok baik kontrol maupun perlakuan dapat diperbandingkan.
Teknik pengukuran terhadap hasil pemeriksaan kadar sFlt-1 ini adalah double
blind, yaitu baik peneliti maupun responden sama-sama tidak dapat membedakan obat
apa yang diterima dan yang diselidiki pada kedua kelompok. Keuntungan dari teknik
double blind ini antara lain peneliti terlepas dari beban moral untuk membagi responden
pada uji klinis dan peneliti terhindar dari bias perasaan entusias terhadap obat baru dalam
hal ini astaxanthin 2 mg (Tjokronegoro dan Sudarsono, 1999).
Pada kelompok kontrol terdapat perbedaan bermakna (p = 0.02) rerata kadar sFlt-
1, yaitu pada kehamilan 8 minggu 1839.287 ± 614.4838 pg/ml meningkat menjadi
2114.260 ± 341.2191 pg/ml pada kehamilan 20 minggu, sedangkan pada kelompok
perlakuan mengalami penurunan yang signifikan dari 1862.440 ± 720.1519 pg/ml
menjadi 1713.480 ± 697.3155 pg/ml (p = 0.02).
Lim dkk. (2008) melaporkan hasil penelitian cutoff value kadar sFlt-1 kehamilan
trimester II (± 17 minggu) yang nantinya menjadi preeklamsia adalah 2705.8 pg/ml
(tingkat positif palsu 45%, ROC 0.76, dan interval kepercayaan 95%: 0.68-0.84). Lim
dkk. selanjutnya meneliti, bahwa kadar sFlt-1 pada penderita preeklamsia saat kehamilan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

aterm adalah 4945.1 ± 3329.4 pg/ml dibandingkan kehamilan normotensi yaitu 2788.2 ±
1329.4 pg/ml dengan p < 0.001.
Etiologi peningkatan konsentrasi sFlt-1 pada preeklamsia belum diketahui pasti.
Namun diperkirakan faktor-faktor genetik, hipoksia, dan imu/pnologi terlibat di
dalamnya. Ekspresi sFlt-1 meningkat sebagai respon terhadap hipoksia yang dimediasi
oleh hypoxia inducible factors 1 (HIF1). Penelitian pada preeklamsia yang dilakukan
Rana dkk, sFlt-1 meningkat selama trimester 1 hingga trimester 2 pada preeklamsia
preterm, hal ini sangat berlawanan dengan kehamilan normal. Keadaan ini mendukung
dugaan bahwa hipoksia plasenta berperan penting dalam peningkatan produksi faktor
antiangiogenik sFlt-1 pada wanita preeklamsia (Rana dkk., 2007).
Pemberian astaxanthin 2 mg terlihat dapat menekan kenaikan kadar sFlt-1 pada
kehamilan risiko tinggi preeklamsia. Penurunan kadar sFlt-1 dari kehamilan 8 minggu ke
kehamilan 20 minggu pada kelompok perlakuan astaxanthin 2 mg terjadi pada 81.3 %
kasus. Sedangkan 85.7 % dari kelompok kontrol menunjukkan peningkatan kadar sFlt-1.
Salah satu titik tangkap utama astaxanthin sebagai antioksidan adalah efek
antiinflamasinya yaitu menetralkan reaksi oksigen bermuatan tunggal dan menekan
peroksidase lipid jauh lebih efektif dibandingkan dengan antioksidan lainnya, sehingga
dapat mengontrol keberadaan spesies oksigen reaktif (ROS) (Lee dkk., 2003) dan
menurunkan kadar faktor antiangiogenik preeklamsia (soluble fms-like tyrosine kinase-1).
Hubungan antara pemberian astaxanthin 2 mg dan penurunan kadar sFlt-1 pada
kehamilan dengan risiko preeklamsia adalah bermakna (dengan uji X2 p = 0.000).
Responden yang mendapat astaxanthin 2 mg mempunyai kemungkinan 26 kali
mengalami penurunan kadar sFlt-1 dibandingkan responden yang tidak mendapatkan
astaxanthin 2 mg (OR = 26 dengan interval kepercayaan 95%: 3.686 – 183.418).
Terdapat korelasi yang kuat antara pemberian astaxanthin 2 mg dan penurunan kadar
sFlt-1 (koefisien korelasi = 0.643).
Terdapat dua individu (14.3%) kelompok perlakuan yang mengalami peningkatan
kadar sFlt-1. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara oksidan
dan antioksidan yang tidak dapat diatasi oleh astaxanthin 2 mg. Di atas telah dijelaskan
bahwa sebab meningkatnya sFlt-1 belum diketahui pasti, diperkirakan terdapat faktor-
faktor genetik, hipoksia, dan imunologi yang terlibat. Perlu ada penelitian lebih lanjut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengenai peningkatan kadar sFlt-1 pada kelompok perlakuan, termasuk dosis terapi
astaxanthin yang lebih tepat. Masih terdapat pula kemungkinan kurangnya kepatuhan
responden dalam meminum obat yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti.
Tidak ditemukan efek samping apapun pada individu kelompok perlakuan
astaxanthin 2 mg, tetapi untuk membuktikannya perlu dilakukan penelitian dengan
jangka waktu lebih panjang hingga persalinan. Dosis astaxanthin yang digunakan pada
penelitian ini berdasarkan penelitian Iwamoto dkk. tahun 2000 yaitu peroksidasi LDL
diturunkan dengan suplementasi astaxanthin 1,8 mg/hari. Penelitian selama empat
minggu pada dosis astaxanthin 30 mg/hari tidak menunjukkan efek samping negatif yang
signifikan, kecuali terdapat laporan hasil penelitian berupa tiga kasus (0,1%) nyeri
kepala pada pemakaian dosis 40 mg per hari (Odeberg dkk., 2003).
Tidak terdapat tanda-tanda preeklamsia pada kehamilan 20 minggu baik pada
kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan, tetapi terdapat kenaikan tekanan darah
sistolik dari 120 menjadi 130 mmHg sebanyak 4 kasus (26.67%) pada kelompok kontrol
dan 1 kasus (6.67%) pada kelompok perlakuan. Tanda-tanda preeklamsia mulai
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu, yaitu terdapatnya tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg, disertai dengan proteinuria. Untuk membuktikan
apakah terjadi preeklamsia pada individu penelitian ini, maka diperlukan penelitian
lanjutan sampai dengan persalinan. Relatif stabilnya tekanan darah pada kelompok
perlakuan disebabkan karena astaxanthin dapat memperbaiki relaksasi pada mekanisme
konstriksi pembuluh darah yang dipengaruhi oleh nitrit oksida (NO). Astaxanthin juga
mengurangi sensitifitas terhadap angiotensin II yang terlibat dalam vasokonstriksi dan
mengikat spesies oksigen reaktif (ROS) yang akan menghalangi dilatasi pembuluh darah
(Hussein dkk., 2005b, 2006a, 2006b).
Penelitian sebelumnya oleh Rumiris dan Wibowo (2005) juga menunjukkan
keberhasilan kombinasi antioksidan yaitu vitamin A 1000 IU, B6 2,2 mg, B12 2,2 µg, C
200 mg, E 400 IU, asam folat 400 µg, N asetilsistein 200 mg, Mn 0,5 mg, Zn 15 mg, Cu
2 mg, Fe 30 mg, kalsium 800 mg, dan selenium 100 µg per hari sejak usia kehamilan 8
minggu dalam mencegah terjadinya preeklamsia. Belum diketahui perbedaan kekuatan
antioksidan antara astaxanthin 2 mg dibandingkan kombinasi antioksidan tersebut dalam

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mencegah preeklamsia, di samping penelitian dengan astaxanthin ini masih terbatas


sampai dengan kehamilan 20 minggu.
Pada akhirnya dengan adanya pemikiran bahwa preeklamsia disebabkan oleh stres
oksidatif pada fase plasentasi, maka penelitian ini memperlihatkan kemungkinan
astaxanthin yang diberikan pada kehamilan awal dapat mencegah terjadinya preeklamsia.
Kelemahan penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini terbatas terhadap kadar antiangiogenik sFlt-1 sampai dengan usia
kehamilan 20 minggu sehingga belum dapat diketahui efektifitas astaxanthin 2 mg
dalam mencegah preeklamsia termasuk efek sampingnya, maka perlu ada penelitian
lanjutan sampai dengan persalinan.
2. Dosis astaxanthin masih harus diteliti lebih lanjut, agar dapat diketahui dosis terapi
dalam pencegahan preeklamsia.
3. Kenaikan sFlt-1 tergantung dari hipoksia plasenta. Hipoksia tersebut terkait dengan
timbulnya preeklamsia, pertumbuhan janin terhambat (intrauterine growth restriction
/ IUGR) dan kematian janin dalam rahim (intra uterine fetal death / IUFD), sehingga
sFlt-1 tidak spesifik untuk preeklamsia saja. Oleh karenanya untuk meningkatkan
nilai prediktif sFlt-1 sebaiknya dipergunakan kombinasi data rasio antara faktor-
faktor proangiogenik (PlGF dan TGFβ-1) dengan faktor-faktor antiangogenik (sFlt-1
dan sEng) dengan rumus (sFlt-1 + sEng) : (PlGF + TGFβ-1) (Lim dkk., 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. KESIMPULAN
Astaxanthin 2 mg sebagai antioksidan yang diberikan pada ibu hamil dengan
risiko preeklamsia sejak usia kehamilan 8 minggu sampai dengan usia kehamilan 20
minggu dapat menurunkan kadar sFlt-1 (OR = 26, interval kepercayaan 95%: 3.686 –
183.418, dan koefisien korelasi = 0.643).

7.2. SARAN
Penelitian multisenter yang melibatkan lebih banyak peserta penelitian dan
sampai dengan persalinan diperlukan, agar dapat menerapkan hasil penelitian pada
populasi ibu hamil dalam mencegah preeklamsia.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bagan Alur Penelitian

Wanita hamil 8 mgg dengan


risiko preeklamsia

Informed Concern

Kriteria inklusi dan eksklusi


Pemeriksaan kadar serum sFlt-1

Randomisasi
Kelompok Kelompok
perlakuan kontrol

Astaxanthin 2 mg Hanya tablet asam


dan tablet asam folat 1 mg folat 1 mg selama 3
selama 3 bulan (s/d usia bulan (s/d usia
kehamilan 20 mgg) kehamilan 20 mgg)

Catat Data 2 minggu sekali


saat pasien datang ANC
(Vital sign dan efek samping)

Pemeriksaan kadar serum


sFlt-1 saat kehamilan 20 mgg

Catatan :
1. Bila dalam pengamatan terjadi komplikasi preeklamsia, akan dilakukan terapi yang
sesuai dan pemberian astaxanthin dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
2. Jika muncul efek samping yang berat sampai mengganggu kondisi pasien maka
pemberian astaxanthin langsung dihentikan dan diberikan terapi untuk mengatasi efek
samping tersebut

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, H. I., Billett, A., Kan, A. K. (1998). Obstetric outcome in 232 ovum donation
pregnancies dalam Moffett, A., Hiby, S., (2007), Immunologycal factors and
placentation: implications for pre-eclampsia, Pre-eclampsia: Etiology and Clinical
Practice,92

Aoi, L. (2008), Astaxanthin protects enzyme which imports lipids into the mitochondria
to be used as fuel for generating energy, 55:23-30

Arief, M. (2009), Pengantar metodologi penelitian untuk ilmu kesehatan, LPP dan UPT
UNS Press, 133-134

Barton, J.R., Sibai, B.M. (2008), Prediction and prevention of reccurent preeclampsia,
Clinical expert series obstetric and gynecologic, 112:359-372

Bayhan, G., Atamer, Y., Atamer, A., Yokus, B., Baylan, Y. (2000), Significance of
changes in lipid peroxides and antioxidant enzyme activities in pregnant women
with preeclampsia and eclampsia, Clinical Experience of Obstetric and
Gynecologic, 27(2):142-146

Bennedsen, A. (1999), Astaxanthin has shown anti-inflammatory effects in several in


vitro and in vivo studies like balancing the Th1/Th2 response, 70:185-189

Branch, D. W., Mitchell, M. D., Miller, E., Palinski, W., Witztum, J. L. (1994), Pre-
eclampsia and serum antibodies to oxidised low-density lipoprotein, Lancet,
343(8898): 45-46

Brigelius-Flohe, R., Kelly, F. J., Salonen, J. T., Neuzil, J., Zingg, J. M., Azzi, A. (2002),
The European perspective on vitamin E: current knowledge and future research,
American Journal Clinical and Nutrition, 76(4), 703-16

Burton, G. J., Hung, T. H. (2003), Hypoxiareoxygenation; a potential source of placental


oxidatives stress in normal pregnancy and preeclampsia, Fetal Maternal Med. Rev.,
14(2):97-117

Chappell, L. C., Seed, P. T., Briley, A. (2002), A longitudinal study of biochemical


variables in women at risk of preeclampsia, American Journal Obstetric
Gynecologic, 187(1), 127-136

Chen, G., Wilson, R., Cumming, G., Walker, J. J., Smith, W. E., McKillop, J. H. (1994),
Intracellular and extracellular antioxidant buffering levels in erythrocytes from
pregnancy-induced hypertension, J. Hum. Hypertens., 8(1), 37-42

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Cincotta dan Brennecke, (1998), Family history of preeclampsia as predictor


preeclampsia in primigravidas dalam Moffett, A., Hiby, S., (2007), Immunologycal
factors and placentation: implications for pre-eclampsia, Pre-eclampsia: Etiology
and Clinical Practice, 93

Comphaire, B. (2005), The astaxanthin treatment improved the sperm functionality and
decreased amount of free radicals in semen, Asian Journal of Andrology, 7:257-262

Choi, Z. (2008), Astaxanthin has shown anti-inflammatory effects in several in vitro and
in vivo studies like inhibitory effects of COX-2, 44:20-32

Crocker, I. P., Cooper, S., Ong, S. C., Baker, P. N. (2003), Differences in apoptotic
susceptibility of cytotrophoblasts and syncytiotrophoblasts in normal pregnancy to
those complicated with preeclampsia and intrauterine growth restriction, American
Journal of Pathologic, 162(2):637-643

Concard, K.P, Benyo, D.F. (2006), Placental cytokines and the pathogenesis of
preeclampsia. Am J reprod Immunol ;37:240-249

Cunningham, F.G., Norman, G., Leveno, K.J., Gilstrap. (2005) William’s Obstetrics,
22th ed, 567-618

Dahlan, M. S. (2009) Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan

Data Obstetri. 2008, RSUD Dr. Moewardi Surakarta, di dalam Sulistyowati S. 2010.
Disertasi: Ekspresi Protein MHC Klas Ib (HLA-G & Qa-2) yang Rendah Terhadap
Profil Hsp-70, VCAM-1, dan MMP-9 pada Preeklamsia. Penelitian Pada Ibu Hamil
dan Hewan Coba Mus Musculus dengan Model Disfungsi Endotel, 2:26

Davidson, J.M., Homuth, V., Jeyabalan A. Karumanchi, S.A. (2004), New aspect in
phatophysiology of preeclampsia, 15:2440-2448

Davidge, S. T. (1998), Oxidative stress and altered endothelial cell function in


preeclampsia, Reproduction Endocrinology, 16(1), 65-73

Dechend, R., Viedt, C., Muller, D. N. (2003), AT1 receptor agonistic antibodies from
preeclamptic patients stimulate NADPH oxidase, Circulation, 107(12):1632-1639

Dekker, G.A., Sibai, B.M. (1998), Ethiology and pathogenesis of preeclampsia: current
concept; 179:1359-1375

Duley, L., Meher, S., Abalos, E. (2006), Management of Preeclampsia, BMJ: 332:463-
468

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Emery. P.S. (2005), Hypertensive disorders of pregnancy: overdiagnosis is appropriate,


Cleavland clinic journal of Medicine, 72(4):345-52

Fairfield K.M., Fletcher R.H. (2006), Vitamins for chronic disease prevention in adults:
Scientific review. JAMA 2002; 287:3116-3126 in High Risk Pregnancy:
Management Options

Garzetti, G. G., Tranquilli, A. L., Cugini, A. M., Mazzanti, L., Cester, N., Romanini, C.
(1993), Altered lipid composition, increased lipid peroxidation, and altered fluidity
of the membrane as evidence of platelet damage in preeclampsia, Obstetric and
Gynecologic, 81(3):337-340

Gibson P., Carson M. (2008), Hypertension and pregnancy, Medicine Ob/Gyn, Psyciatry
and surgery, dalam Sulistyowati S. (2010), Ekspresi Protein MHC Klas Ib (HLA-G
& Qa-2) yang Rendah Terhadap Profil Hsp-70, VCAM-1, dan MMP-9 pada
Preeklamsia. Penelitian Pada Ibu Hamil dan Hewan Coba Mus Musculus dengan
Model Disfungsi Endotel, 1

Gu¨lmezoglu, A. M., Oosthuizen, M. M. J., Hofmeyr, G. J. (1996), Placental


malondialdehyde and glutathione levels in a controlled trial of antioxidant treatment
in severe preeclampsia, Hypertension in Pregnancy, 15(3): 287-295

Hayes, J. D.,McLellan, L. I. (1999), Glutathione and glutathione-dependent enzymes


represent a co-ordinately regulated defence against oxidative stress, Free Rad. Res.,
31(4): 273-300

Hubel, C. A., Kozlov, A. V., Kagan, V. E. (1996a), Decreased transferrin and increased
transferrin saturation in sera of women with preeclampsia: implications for
oxidative stress, American Journal Obstetreic and Gynecologic, 175(3)(Pt. 1):692-
700

Hubel, C. A., McLaughlin, M. K., Evans, R. W., Hauth, B. A., Sims, C. J., Roberts, J. M.
(1996b), Fasting serum triglycerides, free fatty acids, and malondialdehyde are
increased in preeclampsia, are positively correlated, and decrease within 48 hours
post partum, American Journal of Obstetric and Gynecologic, 174(3):975-982

Hubel, C. A., Shakir, Y., Gallaher, M. J., McLaughlin, M. K., Roberts, J. M. (1999),
Low-density lipoprotein particle size decreases during normal pregnancy in
association with triglyceride increases, Journal of Gynecologic Investigation,
5(5):244-250

Hung, T. H., Skepper, J. N., Charnock-Jones, D. S., Burton, G. J. (2002). Hypoxia-


reoxygenation: a potent inducer of apoptotic changes in the human placenta and
possible etiological factor in preeclampsia, 90(12), 1274-1281

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Huppertsz, B. (2008), Placental origin of preeclampsia: challenging the current


hypothesis, 51:970-975

Hussein, G. (2005), Antihypertensive potensial and mecanisme of action of astaxanthin,


28:967-971

Hussein, G. (2006), Astaxanthin, a caroteoid with potential in human health and nutrition,
69 (3):433-449

Ikeuchi, A. (2007), Significant reduction of lipid metabolism by natural astaxanthin, 2

Ishihara, M. (1978). Studies on lipoperoxide of normal pregant women and of patients


with toxemia of pregnancy, Clin. Chim. Acta, 84:1-9

Iwamoto,T., Hosoda, K., Hirano, R., Kurata, H., Matsumoto, A., Miki, W., (2000),
Inhibition of low-density lipoprotein oxidation by astaxanthin, Journal of
atherosclerosis and thrombosis, 7:216-222

Jauniaux, E., Watson, A. L., Hempstock, J., Bao, Y. P., Skepper, J. N. and Burton, G. J.
(2000), Onset of maternal arterial blood flow and placental oxidative stress. A
possible factor in human early pregnancy failure, American Journal of Pathology.,
157(6), 2111-22

Karppi, S. (2007), The astaxanthin supplementation significantly reduced oxidation of the


most easily oxidised fatty acids in the plasma, International journal of vitamin and
nutrition, 77:3-11

Karumanchi S.A., Lindheimer M.D., (2008), Preeclampsia Pathogenesis: “Triple A


Rating” Autoantibodies and Antiangiogenic Factors. Hypertension, 51:991-992

Kharb, S. (2000c), Total free radical trapping antioxidant potential in pre-eclampsia,


International Journal Gynaecologic and Obstetric, 69(1):23-26.

Krysiak, O., Bretschneider, A., Zhong, E., Webb, J., Hopp, H. (2005), Soluble vascular
endothelial growth factor receptor-1 (sFlt-1) mediates down regulation of Flt-1 and
prevents activated netrophilis from women with preeclampsia from additional
migration by VEGF, 97:1253-1261

Lam, C., Liem, KH., Karumanchi, S.A. (2005), Circulating angiogenic factors in
pathogenesis and prediction of preeclampsia, Hypertension, 46:1077-1085

Lim, J.H., Kim, S.Y., Park, S.Y., Yang, J.H., Kim, M.Y., Ryu, H.M. (2008), Effective
prediction of preeclampsia by a combined ratio of angiogenesis-related factors,
Obstetric and Gynecologic, 111:1403

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Lee, G. (2003), Astaxanthin has shown anti-inflammatory effects in several in vitro and
in vivo studies like inhibitory effects of NK-kB, 1: 97-105

Li, D. (2004), The supplementation of astaxanthin stabilised the plaques and reduced the
release of proteolytic enzymes resulting in less ruptured plaques, 37:969-978

Li, D. K., Wi, S. (2000), Changing paternity and the risk of preeclampsia/eclampsia in
the subsequent pregnancy dalam Moffett, A., Hiby, S., (2007) Immunologycal
factors and placentation: implications for pre-eclampsia, Pre-eclampsia: Etiology
and Clinical Practice, 93

Madazli, R., Benian, A., Gumustas, K., Uzun, H., Ocak, V., Aksu, F. (1999), Lipid
peroxidation and antioxidants in preeclampsia, European Journal of Obstetric and
Gynecologic Reproduction Biology, 85(2):205-208

Many, A., Hubel, C. A., Fisher, S. J., Roberts, J. M., Zhou, Y. (2000), Invasive
cytotrophoblasts manifest evidence of oxidative stress in preeclampsia, American
Journal Pathologic, 156(1):321-331

Miyawaki, H., dkk. (2005), Effects of astaxanthin on human blood rheology, 21:421-429

Noori, M., Savvidou, M., Williams, D., (2007), Endothelial factors dalam Pre-eclampsia:
Etiology and Clinical Practice: 62

Naito, K. (2004), Additional protective effects of astaxanthin against the progression of


kidney damage in type 2 diabetic mice, 20:49-59

Nemeth, I., Talosi, G., Papp, A., Boda, D. (2002), Xanthine oxidase activation in mild
gestational hypertension, Hypertension in Pregnancy, 21(1): 1-11

North, R.A. (1999), Classification and diagnosis of pre-eclampsia dalam Etiology and
Clinical Practice, 244-245

Noris, M., Perico, N., Remuzzi, G.. (2005), Hypotesis of preeclampsia pathophysiology

Norwitz, E.R., Robinson, J.N. (1999), “Prevention of Preeclampsia: Is it possible?”


dalam Rumiris, D., Wibowo, N., Antioksidan sebagai terapi preventif preeklamsia,
Majalah Obsteri dan Ginekologi Indonesia, 114

Odeberg, J.M., Lignell, A., Pettersson, A., Hoglund, P. (2003), Oral bioavailability of the
antioxidant astaxanthin in humans is enhanced by incorporation of lipid based
formulations, European journal of pharmaceutical sciences, 299-304

Pangemanan, W. T., Pencegahan preeklamsia,


http://digilib.unsri.ac.id/download/pencegahanpreeklamsia.pdf
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pierucci, F., Piazze Garnica, J. J., Cosmi, E. V., Anceschi, M. M. (1996), Oxidability of
low density lipoproteins in pregnancy-induced hypertension, Br. J. Obstet.
Gynaecol., 103(11), 1159-1161

Pipkin, F.B., (2001), Risk Factors of Preeclampsia, The New England Journal of
Medicine

Pudjiharjo, W (1993), dalam, Metode penelitian dan struktur terapan

Rana S., Karumanchi S.A., Levine R.J., Vankatesha S., Rauh-Hain J.A., Tamez H.,
Thadhani R., (2007) Sequential Changes in Antiangiogenic Factors in Early
Pregnancy and Risk of Developing Preeclampsia, Hypertension, 50:137-142

Rayman, M. P., Barlis, J., Evans, R. W., Redman, C. W., King, L. J. (2002), Abnormal
iron parameters in the pregnancy syndrome preeclampsia, American Journal of
Obstetric Gynecologic, 187(2):412-418

Redman, C.W.G., Sargent, I.L., (2000), Placental D Placental debris, oxidative stress and
pre-eclampsia, Placenta, 21(7):597-602

Roeshadi, R. H. (2004), Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Hariadi R., Ilmu kedokteran
fetomaternal Surabaya, Himpunan Kedokteran Fetomaternal, POGI, 494-498

Roggensack, A. M., Zhang, Y. and Davidge, S. T. (1999), Evidence for peroxynitrite


formation in the vasculature of women with preeclampsia, Hypertension, 33(1):83-
89

Rumiris, D., Wibowo, N., (2005), Antioksidan sebagai terapi preventif preeklamsia,
Majalah Obsteri dan Ginekologi Indonesia, 114

Salha, O., Sharma, V., Dada, T., et al. (1999). The influence of donated gametes on the
incidence of hypertensive disorders of pregnancy dalam Moffett, A., Hiby, S.,
(2007), Immunologycal factors and placentation: implications for pre-eclampsia,
Pre-eclampsia: Etiology and Clinical Practice, 93

Sattar, N., Clark, P., Greer, I. A., Shepherd, J., Packard, C. J. (2000), Lipoprotein (a)
levels in normal pregnancy and in pregnancy complicated with preeclampsia,
Atherosclerosis, 148(2):407-411

Sikkema, J. M., van Rijn, B. B., Franx, A. (2001), Placental superoxide is increased in
pre-eclampsia, Placenta, 22(4):304-308

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Slowinski, T., Neumayer, H. H., Stolze, T., Gossing, G., Halle, H., Hocher, B. (2002),
Endothelin system in normal and hypertensive pregnancy, Clinical Science
(London), 103(Suppl. 48): 446S-9S

Spickett, C. M., Reglinski, J., Smith, W. E., Wilson, R., Walker, J. J., McKillop, J. (1998),
Erythrocyte glutathione balance and membrane stability during preeclampsia. Free
Radical Biologic Medicine, 24(6):1049-1055
Sulistyowati S. (2010), Disertasi: Ekspresi Protein MHC Klas Ib (HLA-G & Qa-2) yang
Rendah Terhadap Profil Hsp-70, VCAM-1, dan MMP-9 pada Preeklamsia.
Penelitian Pada Ibu Hamil dan Hewan Coba Mus Musculus dengan Model
Disfungsi Endotel, 2:26

Takacs, P., Kauma, S. W., Sholley, M. M., Walsh, S. W., Dinsmoor, M. J., Green, K.
(2001), Increased circulating lipid peroxides in severe preeclampsia activate NF-
kappaB and upregulate ICAM-1 in vascular endothelial cells, FASEB J., 15(2):279-
281

Taylor, R. N., de Groot, C. J. M., Cho, Y. K. and Lim, K.-H. (1998), Circulating factors
as markers and mediators of endothelial cell dysfunction in preeclampsia,
Reproduction Endocrinology, 16(1): 17-31

Tjokronegoro, A. dan Sudarsono, S. (1999), Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran,


Balai Penerbit FKUI, 292:67

Tsukimori, K., Maeda, H., Ishida, K., Nagata, H., Koyanagi, T., Nakano, H. (1993), The
superoxide generation of neutrophils in normal and preeclamptic pregnancies,
Obstetric and Gynecologic, 81(4):536-540

Uotila, J. T., Tuimala, R. J., Aarnio, T. M., Pyykko, K. A., Ahotupa, M. O. (1993),
Findings on lipid peroxidation and antioxidant function in hypertensive
complications of pregnancy, Br. J. Obstet. Gynaecol., 100(3):270-276

Walsh, S. W. (1998), Maternal_placental interactions of oxidative stress and antioxidants


in preeclampsia, Reproduction Endocrinology, 16(1):93-104

Wang, Y., Walsh, S. W. (1998). Placental mitochondria as a source of oxidative stress in


pre-eclampsia, Placenta, 19(8): 581-586

Wang, Y., Walsh, S. W. (2001). Increased superoxide generation is associated with


decreased superoxide dismutase activity and mRNA expression in placental
trophoblast cells in pre-eclampsia, Placenta, 22(2-3):206-212

Zusterzeel, P. L. M., Mulder, T. P. J., Peters, W. H. M., Wiseman, S. A., Steegers, E. A.


P. (2000), Plasma protein carbonyls in nonpregnant, healthy pregnant and
preeclamptic women, Free Rad. Res., 33(5): 471-476

commit to user

Anda mungkin juga menyukai